Clara menatap Nick dengan tidak percaya. Matanya membulat dan kata-katanya tercekat di tenggorokannya. Kekasihnya adalah monster. Monster yang berjubah emas dengan hati sekeras batu. Keras, angkuh, dan arogan. Harusnya Clara tahu itu. Harusnya Clara lebih memperhatikan temperamen Nick. Harusnya ia sadar bagaimana Nick begitu anti dengan sesuatu yang ia anggap tidak selevel dengannya.Dan kata-kata terakhir itu? Hanya pelayan? Bukankah pelayan juga seorang manusia? Bukankah pelayan juga semestinya diperlakukan dengan baik?Clara melepaskan genggaman tangannya dari Nick. Pria itu menoleh dan menatap Clara dengans sedikit bingung."Ada apa, Sayang?" Tanya Nick."Aku juga pelayan, Nick." Ucap Clara lirih.Nick tertawa. Tidak mengerti arah pembicaraan kekasihnya."Apa maksudmu, Clara Sayang?"Clara mengangkat wajahnya dan menatap Nick dengan perasaan terluka."Katamu mereka hanya pelayan kan? Tapi aku juga pelayan, Nick. Aku pernah bekerja seperti mereka. Jika aku yang ada disana, apakah k
Sejak pertengkaran kecil malam itu, Ansel semakin menyadari bahwa ia dan Elsa memang tidak pernah cocok. Dari pertemuan pertama mereka pun Ansel sudah merasa begitu. Tapi mungkin rasa kesepian yang membuat Ansel merasa gegabah dan meminta Elsa menjadi kekasihnya. Dan Ansel sedikit menyesali keputusan itu.Sudah genap seminggu sejak malam ia bertemu dengan Clara. Dan selama seminggu itu pula Ansel tidak bisa melupakan gadis itu. Seolah seluruh upayanya untuk menghapus Clara dari otaknya terbuang percuma hanya dalam satu malam.Tapi apa yang bisa Ansel lakukan? Clara memang sudah mencuri dan mengambil tempat khusus di hatinya sejak lama. Dan melihat gadis itu setelah satu bulan berpisah, Ansel merasa rindunya meluap dan tidak tertahankan lagi. Apalagi jika Ansel mengingat bagaimana Clara meleleh di dalam pelukannya. Dan bagaimana cara Clara membalas ciuman Ansel seolah keduanya saling merindu."Ah! Sialan! Aku bisa gila!" Umpat Ansel kesal.Ia melangkah keluar kamarnya dan mendapati Els
Clara benar-benar tidak mengira bahwa ia akan menemukan Ansel lagi di tempat itu. Dan lebih parahnya lagi, Ansel dengan senang hati akan menemani Clara mencari Tante Ana. Rencana Clara baru saja berubah seratus delapan puluh derajat tanpa ia kira.Sekarang keduanya duduk bersisian di bangku belakang taksi yang mereka pesan. Clara bingung harus berbicara apa kepada Ansel. Haruskah ia menanyakan kabar Ansel? Haruskah ia mengatakan bahwa ia merindukan Ansel? Atau apakah lebih baik jika ia diam saja? Aneh sekali rasanya. Padahal dulu ia dan Ansel sangat dekat. Ajaib mengingat apa yang bisa dilakukan jarak dalam satu bulan."Kita akan kemana, Clara?" Ansel bertanya kepada Clara. Iseng mungkin? Atau mungkin Ansel berusaha keras untuk membuka pembicaraan dengan Clara.Clara tampak mengeluarkan selembar kertas dari tas kecilnya. Ia membaca tulisan yang ada di kertas itu sebelum menjawab pertanyaan Ansel."Kita akan pergi ke All Saints Home." Jawab Clara mantap."Dan itu adalah tempat Tante An
Clara pulang ke apartemen Nick dengan hati yang lega. Sungguh ia merasa bahagia sudah bisa bertemu dengan Tante Ana. Clara seolah kembali menemukan rumahnya lagi. Tempat ia bisa merasakan kehangatan sebagaimana ketika ia pulang ke pelukan ibunya.Tangannya meraih kenop pintu apartemen Ansel. Sepersekian detik kemudian pintu itu terbuka setelah terdengar suara mesin di dalamnya. Tetapi betapa kagetnya Clara saat ia melihat Nick yang sudah ada di apartemen. Kekasihnya itu melihat ke arah pintu masuk seolah memang menunggu kepulangan Clara. Dan yang lebih berbahaya, Nick memasang raut kesal di wajahnya.Clara melihat ke arah kekasihnya itu dan sadar benar bahwa itu bukanlah sebuah pertanda baik. Nick sedang marah dan kemungkinan besar penyebabnya adalah Clara."Baru pulang?" Tanya Nick datar.Clara tersenyum penuh rasa bersalah. Ia bergerak mendekati kekasihnya itu dan duduk di sisinya. Tangannya meraih tangan Nick namun pria itu menepisnya dengan kasar."Dengan siapa kamu pergi?" Ujar N
Seolah sebuah keajaiban yang diberikan tiba-tiba kepadanya. Bagaimana mungkin Ansel bisa mendapatkan kesempatan untuk menghabiskan seharian waktunya bersama Clara? Meskipun konteksnya hanya untuk mencari Tante Ana dan bukan yang lain.Dan momen sederhana itu berhasil membuat Ansel bahagia bukan kepalang. Ia pulang dengan hati yang berbunga dan senyum yang merekah. Rasanya Ansel akan melompat ke awan jika gravitasi tidak menariknya kembali.Ansel meraih kenop pintu apartemennya dan membuka pintu itu. Aneh. Apartemennya tampak kosong. Dan juga sunyi."Kemana Elsa? Apakah dia pergi?" Gumam Ansel.Ansel berkeliling ke seluruh penjuru apartemennya dan mencoba mencari Elsa namun ia tidak menemuka siapapun disana. Ia meraih ponselnya dan berpikir untuk menelepon kekasihnya itu. Namun Ansel kembali bimbang. Suasana hatinya sangat baik saat itu. Ia tidak ingin mengacaukannya dengan mendengarkan ocehan Elsa lagi di telepon.Tanpa berpikir dua kali, Ansel masuk ke kamarnya sembari bersenandung
Kacau. Semuanya benar-benar kacau dan pikiran Clara sangat kalut. Ia harus berada di sisi Tante Ana tidak peduli apapun yang terjadi. Tapi bagaimana caranya? Nick menguncinya dan sudah mengganti kode keamanan di pintu tanpa setahu Clara."Mungkin Nick bisa menemaniku. Iya, dia pasti akan menemaniku." Ucap Clara penuh harap.Ia meraih ponselnya dan segera menghubungi Nick. Namun meskipun sudah berkali-kali mencoba, panggilan itu dialihkan ke pesan suara. Nick benar-benar tidak bisa dihubungi.Clara panik. Langkahnya mondar mandir menyusuri lantai apartemen Nick. Tangannya mencengkeram ponselnya sementara ia menggigit bibirnya karena gugup. Clara sibuk memutar otaknya dan berusaha mencari solusi untuk masalahnya ini. Dan solusi itu harus datang secepatnya. Detik ini juga.Sebuah ide terlintas di benak Clara. Tidak begitu sulit dan mungkin akan mudah dilaksanakan. Ia segera menelepon resepsionis di lantai bawah yang bertugas."Selamat siang, Nona Dawson." Sapa petugas yang menyambut tele
Clara melangkah dengan hati-hati menyusuri koridor menuju apartemen Nick. Jantungnya berdegup begitu kencang karena rasa takut. Clara bahkan bisa membayangkan amarah yang ada di mata Nick saat menunggunya pulang.Tangannya gemetar ketika memasukkan kartu akses ke dalam slotnya. Clara berusaha menenangkan dirinya sendiri berkali-kali namun gagal. Ia terlalu takut menghadapi api amarah Nick. Namun tidak ada pilihan lain selain pulang ke penjara emasnya lagi.Pintu itu terbuka dan Clara langsung disambut oleh sosok Nick yang berdiri menghadap ke arah deretan kaca yang memperlihatkan pemandangan kota Singapura. Pria itu membelakangi Clara namun Clara berani bertaruh bahwa Nick mendengar langkah Clara yang mendekat.Tanpa menoleh ke arah Clara, Nick berbicara dengan begitu dingin kepadanya."Darimana saja kamu?"Clara terdiam sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menjawabnya."Aku baru saja dari rumah sakit, Nick. Tante Ana kritis dan aku harus kesana sebagai walinya."Suara Cla
Sudah seminggu ini apartemen Ansel terasa sepi. Elsa pergi dari sana tanpa berkata apa-apa dan ia memblokir Ansel di seluruh media sosialnya. Ah, sebenarnya Ansel sangat benci sendirian disini tapi ia kemudian menyadari bahwa lebih baik sendirian daripada bersama Elsa yang selalu ribut dengan hal kecil.Ansel merebahkan dirinya di sofa dan tatapannya menerawang lurus ke langit-langit apartemennya. Ia kembali teringat momen sederhana bersama Clara seminggu yang lalu. Bisa terlibat dalam sebuah momen penting di hidup Clara sungguh menyenangkan bagi Ansel. Seolah ia bisa menjadi pahlawan bagi Clara.Di tengah khayalannya tentang Clara, Ansel dikagetkan dengan ponselnya yang berdering nyaring. Awalnya ia mengumpat pada siapapun yang meneleponnya saat itu karena sudah mengganggu lamunannya. Namun nama penelepon di layar ponselnya membuat Ansel seketika sumringah dan berbunga-bunga.Ansel dengan cepat menjawab panggilan itu tanpa bisa menyembunyikan senyum di bibirnya."Halo Clara?"Tapi an
Ansel dan Clara tiba di kamar pengantin mereka. Ansel sengaja menyewa kamar dengan pemandangan terbaik di Castle Bromwich Hall, salah satu hotel dengan desain klasik yang paling menakjubkan di Birmingham. Ia akan membuat malam ini menjadi malam paling romantis bagi mereka berdua.Kedua tangan Ansel menggendong Clara layaknya seorang pengantin wanita. Ia membawa istrinya masuk ke dalam kamar itu sembari sesekali mencuri ciuman ke bibir Clara. Tawa Clara terdengar renyah dan menghangatkan hati Ansel.Sesampainya di kamar, Ansel segera menurunkan Clara dan gadis itu berseru senang sembari memeluk Ansel erat."Kita akhirnya menjadi suami isteri, Sayang!" Seru Clara bahagia.Ansel mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibir Clara. Matanya lalu menatap Clara dengan penuh cinta seolah cinta itu bisa menenggelamkan Clara saat itu juga. Tangan Ansel menarik turun resleting gaun yang dipakai Clara dan pakaian putih itu dengan cepat meluncur ke kedua kaki Clara. "Tidak sabar lagi, hmm?" Goda Cla
Semuanya bak mimpi yang begitu indah. Taman yang cantik ini, suasana yang begitu romantis, dan Ansel yang berlutut dengan cincin di hadapannya. Clara begitu terkejut hingga ia tak bisa mengatakan apapun. Satu-satunya reaksi yang bisa ia keluarkan hanyalah menangis. Tangisan haru yang meleleh dari kedua matanya."Clara Deolindra, will you marry me?"Ansel mengatakan itu dengan senyuman yang begitu lebar. Seolah kebahagiaan begitu besar ada di depan matanya sekarang."Aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan masa depan dimana tidak ada kamu di dalamnya. Dan kejadian kemarin membuat aku sadar betapa aku tidak ingin kehilangan dirimu." Ujar Ansel lembut.Ia mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah Clara yang menangis terharu. "Jadi, maukah kamu bersamaku selamanya sebagai isteriku, Sayang?"Tak ada keraguan sama sekali di hati Clara. Sejak lama ia mendambakan hari dimana Ansel akan melamarnya. Berandai-andai dengan mimpi yang sepertinya tak akan pernah tergapai
Kondisi Clara sudah jauh membaik sejak kesadarannya pulih. Alat bantu yang mempertahankan hidupnya sudah dilepaskan satu persatu dan bahkan Clara sudah diperbolehkan untuk keluar dari ruangannya untuk berjalan-jalan sejenak.Dan kebahagiaan teramat besar dirasakan Ansel, Elliott, serta Adeline. Bagaikan diberi keajaiban yang luar biasa, ketiganya tak henti tersenyum setiap kali melihat perkembangan pada kondisi Clara.Hari ini, tepat tiga minggu Clara berada di rumah sakit. Hari ini juga merupakan hari dimana dokter sudah memperbolehkan Clara untuk pulang. Pukul sebelas siang, Ansel dan Clara siap pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ansel mendorong Clara yang berada di atas kursi roda untuk menyusuri koridor rumah sakit."Kita akan pulang hari ini, Sayang. Kamu senang?" Tanya Ansel bersemangat.Clara mengangguk mantap. Sejujurnya ia sudah sangat muak berada di rumah sakit. Tidak bisa melakukan apapun dan yang ia lakukan hanyalah terbaring di ranjang seharian. Clara merindukan rutinita
Kedua pria itu begitu larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya Ansel memutuskan untuk memecahkan keheningan dengan menegur sang ayah."Ada apa, Dad?"Elliott berdeham. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah puteranya itu. Tatapannya serius dan Ansel seolah mengerti apa yang ingin dikatakan ayahnya saat itu."Tentang Mom?" Tanya Ansel pelan.Elliott mengangguk. Ansel mengusap wajahnya dengan kasar."Ada apa lagi? Apa yang Mom keluhkan kepadamu kali ini?""Aku memintamu untuk memaafkan Mom, Ansel. Apakah kamu bisa melakukannya?" Elliott bertanya dengan begitu hati-hati. Ia tahu permintaannya itu sangat sulit dikabulkan Ansel sekarang. Setidaknya hingga Clara sadar.Ansel tertawa pahit. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Clara yang masih terbaring dalam koma di atas ranjangnya."Setelah semua hinaan yang diberikannya pada Clara, Dad? Kurasa tidak, Dad." Ucap Ansel lirih.Elliott menghela nafas berat. Ia memegang pundak Ansel dan meremasnya pelan. Puteranya
Tiga hari berselang, kondisi Clara dinyatakan jauh lebih baik. Walaupun belum sadar dari pingsannya, Clara sudah bisa dipindahkan ke kamar perawatan umum. Dan Ansel bisa merawat kekasihnya dan berada di sisinya setiap saat."Iya, Clara akan baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena semua ini terjadi saat Clara bersamaku. Tapi aku berjanji aku akan merawat Clara dengan baik." Ansel mengakhiri pembicaraannya di telepon. Ia menatap layar ponselnya dengan kosong. Helaan nafasnya terdengar berat namun Ansel memaksakan senyum tersungging di bibirnya.Ia kembali masuk ke kamar tempat Clara dirawat dan duduk di sisi ranjang."Ibumu menelepon, Sayang. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku sudah mengatakan kepadanya bahwa kamu akan baik-baik saja. Iya kan?"Hening. Gadis yang ditanya pun tidak menjawab apa-apa. Clara masih tertidur bak puteri di dalam dongeng. Wajah cantiknya tampak pucat dan Ansel tersenyum getir melihatnya.Ansel meraih tangan kekasihnya itu, meremasnya lembut, dan menciumnya
Kabar itu datang bagaikan petir di siang bolong. Menyadarkan Ansel dari segala lamunannya dan menghentakkannya kembali ke bumi. Begitu hancur hingga rasanya ia tak sanggup untuk menatap lurus ke depan.Dua kata. Hanya dua kata yang dikatakan ibunya di telepon. Tapi dua kata itu sukses menjungkirbalikkaan kehidupan Ansel. Membuatnya berlari dengan nafas memburu seperti orang gila.Clara kecelakaan. Kekasihnya mengalami kecelakaan. Dan bagaimana keadaan Clara sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Astaga, Ansel bahkan belum sempat berbicara dengannya tentang kesalahpahaman kemarin. Dan semuanya sudah menjadi kacau seperti ini dalam satu kedipan mata.Dengan terburu-buru, Ansel memacu mobilnya ke rumah sakit tempat Clara dilarikan. Ia tak peduli bagaimana kacaunya ia terlihat saat itu. Persetan dengan dasinya yang masih belum terikat dan sepatunya yang ia pakai secara asal-asalan. Yang terpenting bagi Ansel sekarang hanyalah melihat Clara. Tidak ada yang lain.Dua puluh menit memacu mobilny
Entah berapa kali Clara mengutuk dirinya sendiri dan hati lembutnya ini. Ia sudah bertekad bahwa ia akan mengabaikan Ansel dan benar-benar menunjukkan kemarahannya. Namun sekarang, disinilah ia. Berjalan di pusat perbelanjaan Edinburgh mencari oleh-oleh untuk orang-orang yang ia sayangi. Hiasan kristal untuk Adeline, wiski untuk Elliott, dan wine serta parfum untuk Ansel.Ah, kenapa Clara bodoh sekali? Kenapa ia masih saja mau menghabiskan waktu dan uangnya untuk mereka yang bahkan tidak peduli dengannya?Tapi seperti itulah Clara. Beginilah cara ia menunjukkan rasa cintanya. Tak peduli seberapa kesalnya ia dengan orang-orang itu (kecuali Elliott, tentu saja), Clara tetap akan tersenyum lebar dan memberikan oleh-oleh ini kepada mereka."Semoga mereka menyukainya." Gumam Clara sembari mendorong troli belanjanya menuju kasir.Penerbangannya dua jam lagi dan Clara sekarang tengah menunggu pesawatnya di bandara. Ia melirik ponselnya lagi. Lagi-lagi panggilan dari Ansel. Untuk pertama kali
Pemotretan di Edinburgh benar-benar menyenangkan. Clara diharuskan berfoto di lokasi yang sedikit menantang yaitu di atas tebing St. Abbs. Dengan angin yang bertiup begitu kencang dan ombak yang menerpa dengan deras di bawahnya, tentu saja berfoto dengan menggunakan dua potong lingerie menjadi hal yang sedikit sulit untuk dilakukan.Tapi Clara menyukainya. Tidak, bukan hanya sekedar menyukainya. Clara benar-benar menikmatinya. Dan setidaknya kesibukannya ini akan mengalihkan perhatian Clara dari masalahnya dengan Ansel."Memangnya Ansel saja yang bisa sibuk bekerja?"Jepretan demi jepretan di ambil dan puluhan hasil foto yang tampak luar biasa benar-benar membuat Clara kagum. Jika ia adalah dirinya dua tahun lalu, maka mungkin Clara tidak akan pernah menyangka bahwa ia bisa bergaya sebagus itu. Layaknya seorang model profesional.Tapi Clara yang sekarang berbeda dengan Clara yang dulu. Ia sekarang adalah satu di antara deretan model La Perla. Dan juga salah satu model yang melenggok d
Pikiran Ansel benar-benar kalut. Hatinya tidak tenang karena rasa gelisah. Wajah terakhir yang ia lihat sebelum Clara pergi tadi pagi adalah hal yang paling tidak bisa ia lupakan. Kekasihnya itu benar-benar kecewa dan terluka. Matanya sembab karena menangis begitu hebat. Dan semua itu disebabkan oleh Ansel. Ansel dan segala egoismenya yang tidak bisa ia bendung.Dan karena itu pula Ansel tidak bisa fokus bekerja sejak tadi. Pikirannya selalu kembali kepada Clara dan Clara lagi. Rapat hari itu bahkan berjalan terasa sangat lambat karena Ansel tidak bisa meraih ponselnya untuk menghubungi kekasihnya itu."Jadi bagaimana, Tuan Brooks? Konsep iklan yang mana yang menurut Anda paling baik?"Pertanyaan dari salah seorang karyawannya menyadarkan Ansel dari kekalutannya. Ia segera mengerjapkan matanya berkali-kali dan mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaannya.Sadar, Ansel! Ada proyek senilai lima juta poundsterling yang harus kamu selesaikan!Ansel meninjau konsep yang dibuat oleh timnya