Clara melangkah dengan hati-hati menyusuri koridor menuju apartemen Nick. Jantungnya berdegup begitu kencang karena rasa takut. Clara bahkan bisa membayangkan amarah yang ada di mata Nick saat menunggunya pulang.Tangannya gemetar ketika memasukkan kartu akses ke dalam slotnya. Clara berusaha menenangkan dirinya sendiri berkali-kali namun gagal. Ia terlalu takut menghadapi api amarah Nick. Namun tidak ada pilihan lain selain pulang ke penjara emasnya lagi.Pintu itu terbuka dan Clara langsung disambut oleh sosok Nick yang berdiri menghadap ke arah deretan kaca yang memperlihatkan pemandangan kota Singapura. Pria itu membelakangi Clara namun Clara berani bertaruh bahwa Nick mendengar langkah Clara yang mendekat.Tanpa menoleh ke arah Clara, Nick berbicara dengan begitu dingin kepadanya."Darimana saja kamu?"Clara terdiam sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menjawabnya."Aku baru saja dari rumah sakit, Nick. Tante Ana kritis dan aku harus kesana sebagai walinya."Suara Cla
Sudah seminggu ini apartemen Ansel terasa sepi. Elsa pergi dari sana tanpa berkata apa-apa dan ia memblokir Ansel di seluruh media sosialnya. Ah, sebenarnya Ansel sangat benci sendirian disini tapi ia kemudian menyadari bahwa lebih baik sendirian daripada bersama Elsa yang selalu ribut dengan hal kecil.Ansel merebahkan dirinya di sofa dan tatapannya menerawang lurus ke langit-langit apartemennya. Ia kembali teringat momen sederhana bersama Clara seminggu yang lalu. Bisa terlibat dalam sebuah momen penting di hidup Clara sungguh menyenangkan bagi Ansel. Seolah ia bisa menjadi pahlawan bagi Clara.Di tengah khayalannya tentang Clara, Ansel dikagetkan dengan ponselnya yang berdering nyaring. Awalnya ia mengumpat pada siapapun yang meneleponnya saat itu karena sudah mengganggu lamunannya. Namun nama penelepon di layar ponselnya membuat Ansel seketika sumringah dan berbunga-bunga.Ansel dengan cepat menjawab panggilan itu tanpa bisa menyembunyikan senyum di bibirnya."Halo Clara?"Tapi an
Ansel menciumi punggung Clara dengan lembut. Ia mulai membuka pakaian gadis itu dengan hati-hati. Clara berdiri memunggungi Ansel dan menghadap ke arah dinding keramik kamar mandi yang dingin. Setelah pakaian Clara terlepas seluruhnya, Ansel mulai membuka pakaian yang ia pakai. Sekejap kemudian, keduanya sudah bugil dan berada di bawah shower kamar mandi.Tangan Clara memutar keran dan air mulai mengalir dari shower yang berada di atas mereka. Ansel lalu mengambil sedikit shampoo dan membasuh rambut Clara dengan lembut. Jemarinya memijat kepala Clara dan gadis itu memejamkan matanya karena pijatan Ansel sungguh luar biasa."Aku tidak tahu kamu pandai memijat, Ansel." Goda Clara iseng.Ansel tertawa. Ah, betapa rindunya Clara mendengar tawa yang dulu selalu menghiasi harinya itu."Aku cukup ahli dalam hal ini Clara. Hanya saja aku tidak melakukannya kepada sembarang orang."Clara terkekeh."Oh iya? Lalu orang seperti apa yang mendapatkan kehormatan untuk dipijat olehmu?""Hmmm entahlah
Ansel mencium Clara lagi. Kali ini ciumannya menjadi lebih buas dan lapar. Seolah Ansel sudah puas memanjakan Clara dengan kelembutan dan kasih sayang. Sekarang waktunya untuk bercinta yang sesungguhnya.Kedua tangan Clara melingkar lagi di leher Ansel bagaikan tempat itu adalah titik paling nyaman untuk mengistirahatkan lengannya yang lelah. Clara membalas ciuman itu sembari memiringkan kepalanya sedikit. Ia membuka mulutnya dan membiarkan Ansel menjelajahinya dengan lidah Ansel yang lihai.Keduanya sudah tidak bisa menahan diri mereka satu sama lain lagi. Clara menginginkan Ansel dan begitu pula Ansel."Aku menginginkanmu, Ansel. Kumohon..."Ansel dengan mantap meletakkan dirinya di antara kedua kaki Clara yang terbuka. Ia memposisikan kejantanannya yang sudah begitu tegang tepat di depan bagian intim Clara. Tangan kanannya mengelus perut Clara yang halus sementara tangan kirinya menggenggam tangan Clara. Kedua tangan itu bertaut begitu erat seolah tidak ingin melepaskan satu sama l
Ansel dan Elsa tercekat dengan kehadiran Elsa yang begitu tiba-tiba. Gadis itu menatao keduanya dengan nanar. Tinjunya terkepal di sisi tubuhnya dan kemarahan sudah siap menyembur seperti sebuah gunung berapi."Ansel! Beraninya kamu berselingkuh dariku?!" Seru Elsa dengan meledak.Clara langsung berdiri dan berlari ke arah Elsa. Berusaha menenangkan lawan bicaranya dan menghentikan terjadinya konfrontasi yang tidak diinginkan. Namun Elsa menepiskan tangan Clara dengan kasar. Matanya menatap Clara tajam seolah Clara baru saja membunuh ibunya."Gadis murahan! Beraninya kamu menggoda Ansel, hah?!"Clara terhenyak dengan tudingan itu. Kata-kata tajam itu membuatnya mundur beberapa langkah."Tidak... bukan seperti itu Elsa..." ucap Clara lirih.Mendengar hinaan yang dilontarkan mulut Elsa ke arah Clara membuat Ansel enggan untuk diam saja. Pria itu harus membela gadis yang paling ia cintai demi seluruh hidupnya. Ansel beranjak dari kursinya dan berjalan menghampiri Elsa."Tutup mulutmu, El
Elsa tampak begitu kaget melihat kedatangan Ansel di hadapan mereka. Sementara Nick masih bertahan dengan ekspresi tenangnya seperti laut sebelum tsunami. Senyumnya tersungging di sudut bibir seolah meremehkan Ansel."Rencana apa yang kalian maksud?" Ansel bertanya sambil berkacak pinggang.Elsa tergagap. Ia buru-buru berdiri dan memegang tangan Nick. Berharap pria itu tidak mendengar apapun yang baru saja ia katakan kepada Nick."Tidak, bukan apa-apa, Sayang. Kamu hanya salah mendengarnya."Ansel melepaskan pegangan Elsa dengan cepat. Matanya melirik tajam ke arah Elsa lalu ia kembali memandang lurus ke arah Nick."Katakan, apa rencana yang kalian bicarakan tadi." Perintah Ansel tanpa takut.Nick terkekeh pelan. Ia menyilangkan kakinya sembari mendongak menatap Ansel yang berdiri di dekatnya. Jika arogan bisa diwujudkan sebagai manusia, maka Ansel yakin seratus persen manusia itu adalah Nick."Sederhana saja, Ansel. Aku dan Elsa bekerja sama untuk menjauhkan Clara darimu. Karena aku
Ansel dengan cepat menutup jarak di antaranya dan Clara dengan ciumannya. Ia menangkap bibir Clara dan melumatnya habis dalam ciuman yang memabukkan. Clara bangkit dari duduknya dan segera berpindah untuk duduk di atas mini bar dapur. Sekarang tubuhnya sejajar di hadapan Ansel yang berdiri di depannya.Jemari Ansel terbenam di rambut Clara dan menariknya pelan ke belakang. Membuat Ansel memiliki akses lebih untuk menjelajah setiap jengkal bibir Clara. Gadis itu melingkarkan lengannya di pinggang Ansel dan memainkan jemarinya di bagian tersebut.Ansel tak melewati sejengkal pun tubuh Clara. Ciumannya menurun ke sepanjang rahang lalu leher dan akhirnya ke belahan dada Clara yang tampak menggoda dari balik blus berpotongan rendah yang dipakainya. Ansel menciumi area itu dan menghirup aroma vanilla dari tubuh Clara yang sangat ia sukai. Clara beraroma seperti kue yang Ansel tidak sabar untuk makan.Mulutnya mencium dan menggigit pelan sekujur dada bagian atas Clara. Meninggalkan bekas kem
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, namun Clara tidak mempedulikannya sedikit pun. Ia berlari cepat menyusuri koridor rumah sakit tempat Tante Ana dirawat. Ansel mengikuti tak jauh di belakangnya. Ia begitu khawatir dengan keadaan Clara namun satu-satunya yang dipikirkan gadis itu adalah kesehatan bibinya.Clara segera menghambur ke dalam ruangan saat ia menemukan ruangan yang ia cari. Di dalamnya ia melihat Tante Ana dengan berbagai alat bantu menempel di tubuhnya. Gadis itu menangis kencang dan mendekat ke arah wanita tua yang terbaring sekarat di ranjang.Bagaikan dejavu, Ansel melihat pemandangan ini sekali lagi. Setelah dua minggu yang lalu keadaan Tante Ana membaik, kali ini kesehatannya menurun lagi. Dan tidak perlu analisa khusus untuk mengetahui bahwa serangan yang kedua jauh lebih buruk daripada sebelumnya.Clara duduk di sisi Tante Ana dan menggenggam lembut tangan wanita tua itu. Ia menangis dan terus menangis. Meratapi kemalangan hidup bibinya dan betapa menderi
Ansel dan Clara tiba di kamar pengantin mereka. Ansel sengaja menyewa kamar dengan pemandangan terbaik di Castle Bromwich Hall, salah satu hotel dengan desain klasik yang paling menakjubkan di Birmingham. Ia akan membuat malam ini menjadi malam paling romantis bagi mereka berdua.Kedua tangan Ansel menggendong Clara layaknya seorang pengantin wanita. Ia membawa istrinya masuk ke dalam kamar itu sembari sesekali mencuri ciuman ke bibir Clara. Tawa Clara terdengar renyah dan menghangatkan hati Ansel.Sesampainya di kamar, Ansel segera menurunkan Clara dan gadis itu berseru senang sembari memeluk Ansel erat."Kita akhirnya menjadi suami isteri, Sayang!" Seru Clara bahagia.Ansel mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibir Clara. Matanya lalu menatap Clara dengan penuh cinta seolah cinta itu bisa menenggelamkan Clara saat itu juga. Tangan Ansel menarik turun resleting gaun yang dipakai Clara dan pakaian putih itu dengan cepat meluncur ke kedua kaki Clara. "Tidak sabar lagi, hmm?" Goda Cla
Semuanya bak mimpi yang begitu indah. Taman yang cantik ini, suasana yang begitu romantis, dan Ansel yang berlutut dengan cincin di hadapannya. Clara begitu terkejut hingga ia tak bisa mengatakan apapun. Satu-satunya reaksi yang bisa ia keluarkan hanyalah menangis. Tangisan haru yang meleleh dari kedua matanya."Clara Deolindra, will you marry me?"Ansel mengatakan itu dengan senyuman yang begitu lebar. Seolah kebahagiaan begitu besar ada di depan matanya sekarang."Aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan masa depan dimana tidak ada kamu di dalamnya. Dan kejadian kemarin membuat aku sadar betapa aku tidak ingin kehilangan dirimu." Ujar Ansel lembut.Ia mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah Clara yang menangis terharu. "Jadi, maukah kamu bersamaku selamanya sebagai isteriku, Sayang?"Tak ada keraguan sama sekali di hati Clara. Sejak lama ia mendambakan hari dimana Ansel akan melamarnya. Berandai-andai dengan mimpi yang sepertinya tak akan pernah tergapai
Kondisi Clara sudah jauh membaik sejak kesadarannya pulih. Alat bantu yang mempertahankan hidupnya sudah dilepaskan satu persatu dan bahkan Clara sudah diperbolehkan untuk keluar dari ruangannya untuk berjalan-jalan sejenak.Dan kebahagiaan teramat besar dirasakan Ansel, Elliott, serta Adeline. Bagaikan diberi keajaiban yang luar biasa, ketiganya tak henti tersenyum setiap kali melihat perkembangan pada kondisi Clara.Hari ini, tepat tiga minggu Clara berada di rumah sakit. Hari ini juga merupakan hari dimana dokter sudah memperbolehkan Clara untuk pulang. Pukul sebelas siang, Ansel dan Clara siap pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ansel mendorong Clara yang berada di atas kursi roda untuk menyusuri koridor rumah sakit."Kita akan pulang hari ini, Sayang. Kamu senang?" Tanya Ansel bersemangat.Clara mengangguk mantap. Sejujurnya ia sudah sangat muak berada di rumah sakit. Tidak bisa melakukan apapun dan yang ia lakukan hanyalah terbaring di ranjang seharian. Clara merindukan rutinita
Kedua pria itu begitu larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya Ansel memutuskan untuk memecahkan keheningan dengan menegur sang ayah."Ada apa, Dad?"Elliott berdeham. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah puteranya itu. Tatapannya serius dan Ansel seolah mengerti apa yang ingin dikatakan ayahnya saat itu."Tentang Mom?" Tanya Ansel pelan.Elliott mengangguk. Ansel mengusap wajahnya dengan kasar."Ada apa lagi? Apa yang Mom keluhkan kepadamu kali ini?""Aku memintamu untuk memaafkan Mom, Ansel. Apakah kamu bisa melakukannya?" Elliott bertanya dengan begitu hati-hati. Ia tahu permintaannya itu sangat sulit dikabulkan Ansel sekarang. Setidaknya hingga Clara sadar.Ansel tertawa pahit. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Clara yang masih terbaring dalam koma di atas ranjangnya."Setelah semua hinaan yang diberikannya pada Clara, Dad? Kurasa tidak, Dad." Ucap Ansel lirih.Elliott menghela nafas berat. Ia memegang pundak Ansel dan meremasnya pelan. Puteranya
Tiga hari berselang, kondisi Clara dinyatakan jauh lebih baik. Walaupun belum sadar dari pingsannya, Clara sudah bisa dipindahkan ke kamar perawatan umum. Dan Ansel bisa merawat kekasihnya dan berada di sisinya setiap saat."Iya, Clara akan baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena semua ini terjadi saat Clara bersamaku. Tapi aku berjanji aku akan merawat Clara dengan baik." Ansel mengakhiri pembicaraannya di telepon. Ia menatap layar ponselnya dengan kosong. Helaan nafasnya terdengar berat namun Ansel memaksakan senyum tersungging di bibirnya.Ia kembali masuk ke kamar tempat Clara dirawat dan duduk di sisi ranjang."Ibumu menelepon, Sayang. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku sudah mengatakan kepadanya bahwa kamu akan baik-baik saja. Iya kan?"Hening. Gadis yang ditanya pun tidak menjawab apa-apa. Clara masih tertidur bak puteri di dalam dongeng. Wajah cantiknya tampak pucat dan Ansel tersenyum getir melihatnya.Ansel meraih tangan kekasihnya itu, meremasnya lembut, dan menciumnya
Kabar itu datang bagaikan petir di siang bolong. Menyadarkan Ansel dari segala lamunannya dan menghentakkannya kembali ke bumi. Begitu hancur hingga rasanya ia tak sanggup untuk menatap lurus ke depan.Dua kata. Hanya dua kata yang dikatakan ibunya di telepon. Tapi dua kata itu sukses menjungkirbalikkaan kehidupan Ansel. Membuatnya berlari dengan nafas memburu seperti orang gila.Clara kecelakaan. Kekasihnya mengalami kecelakaan. Dan bagaimana keadaan Clara sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Astaga, Ansel bahkan belum sempat berbicara dengannya tentang kesalahpahaman kemarin. Dan semuanya sudah menjadi kacau seperti ini dalam satu kedipan mata.Dengan terburu-buru, Ansel memacu mobilnya ke rumah sakit tempat Clara dilarikan. Ia tak peduli bagaimana kacaunya ia terlihat saat itu. Persetan dengan dasinya yang masih belum terikat dan sepatunya yang ia pakai secara asal-asalan. Yang terpenting bagi Ansel sekarang hanyalah melihat Clara. Tidak ada yang lain.Dua puluh menit memacu mobilny
Entah berapa kali Clara mengutuk dirinya sendiri dan hati lembutnya ini. Ia sudah bertekad bahwa ia akan mengabaikan Ansel dan benar-benar menunjukkan kemarahannya. Namun sekarang, disinilah ia. Berjalan di pusat perbelanjaan Edinburgh mencari oleh-oleh untuk orang-orang yang ia sayangi. Hiasan kristal untuk Adeline, wiski untuk Elliott, dan wine serta parfum untuk Ansel.Ah, kenapa Clara bodoh sekali? Kenapa ia masih saja mau menghabiskan waktu dan uangnya untuk mereka yang bahkan tidak peduli dengannya?Tapi seperti itulah Clara. Beginilah cara ia menunjukkan rasa cintanya. Tak peduli seberapa kesalnya ia dengan orang-orang itu (kecuali Elliott, tentu saja), Clara tetap akan tersenyum lebar dan memberikan oleh-oleh ini kepada mereka."Semoga mereka menyukainya." Gumam Clara sembari mendorong troli belanjanya menuju kasir.Penerbangannya dua jam lagi dan Clara sekarang tengah menunggu pesawatnya di bandara. Ia melirik ponselnya lagi. Lagi-lagi panggilan dari Ansel. Untuk pertama kali
Pemotretan di Edinburgh benar-benar menyenangkan. Clara diharuskan berfoto di lokasi yang sedikit menantang yaitu di atas tebing St. Abbs. Dengan angin yang bertiup begitu kencang dan ombak yang menerpa dengan deras di bawahnya, tentu saja berfoto dengan menggunakan dua potong lingerie menjadi hal yang sedikit sulit untuk dilakukan.Tapi Clara menyukainya. Tidak, bukan hanya sekedar menyukainya. Clara benar-benar menikmatinya. Dan setidaknya kesibukannya ini akan mengalihkan perhatian Clara dari masalahnya dengan Ansel."Memangnya Ansel saja yang bisa sibuk bekerja?"Jepretan demi jepretan di ambil dan puluhan hasil foto yang tampak luar biasa benar-benar membuat Clara kagum. Jika ia adalah dirinya dua tahun lalu, maka mungkin Clara tidak akan pernah menyangka bahwa ia bisa bergaya sebagus itu. Layaknya seorang model profesional.Tapi Clara yang sekarang berbeda dengan Clara yang dulu. Ia sekarang adalah satu di antara deretan model La Perla. Dan juga salah satu model yang melenggok d
Pikiran Ansel benar-benar kalut. Hatinya tidak tenang karena rasa gelisah. Wajah terakhir yang ia lihat sebelum Clara pergi tadi pagi adalah hal yang paling tidak bisa ia lupakan. Kekasihnya itu benar-benar kecewa dan terluka. Matanya sembab karena menangis begitu hebat. Dan semua itu disebabkan oleh Ansel. Ansel dan segala egoismenya yang tidak bisa ia bendung.Dan karena itu pula Ansel tidak bisa fokus bekerja sejak tadi. Pikirannya selalu kembali kepada Clara dan Clara lagi. Rapat hari itu bahkan berjalan terasa sangat lambat karena Ansel tidak bisa meraih ponselnya untuk menghubungi kekasihnya itu."Jadi bagaimana, Tuan Brooks? Konsep iklan yang mana yang menurut Anda paling baik?"Pertanyaan dari salah seorang karyawannya menyadarkan Ansel dari kekalutannya. Ia segera mengerjapkan matanya berkali-kali dan mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaannya.Sadar, Ansel! Ada proyek senilai lima juta poundsterling yang harus kamu selesaikan!Ansel meninjau konsep yang dibuat oleh timnya