Dua koper besar milik Clara sudah tersusun rapi di dekat pintu apartemennya. Gadis itu berdiri di dekatnya dan menatap kembali apartemennya. Tempat yang selama ini ia tinggali bersama Ansel. Tempat segala pertama baginya dimulai. Petualangan pertama di negeri orang, pemotretan pertama, dan bahkan seks pertamanya.Entah bagaimana Clara bisa sampai pada keputusan untuk meninggalkan tempat ini dan meninggalkan Ansel. Bahkan Clara tidak mengerti mengapa ia begitu mementingkan perasaan Elsa saat itu. Mungkin karena Clara hanya ingin yang terbaik untuk Ansel. Karena Clara tidak ingin Ansel berharap pada sesuatu yang tak pasti seperti hubungan mereka berdua.Beberapa langkah darinya, Ansel berdiri menatap Clara. Mata pria itu berkaca-kaca. Air mata sedikit merembes di sudut matanya. Badannya terasa kaku untuk memeluk Clara namun Ansel sadar benar apabila ia melewatkan kesempatan ini, maka ia akan menyesalinya seumur hidupnya.Ansel melangkah dan menutup jaraknya dengan Clara. Gadis itu mendo
Makan malam sederhana yang disiapkan Clara sudah selesai. Clara langsung mencuci piring dan berberes seperti yang ia biasa lakukan. Sementara Nick berdiri di sampingnya dengan senyum lebar yang tidak henti menghiasi wajahnya sejak tadi."Apakah kamu tidak bosan memperhatikanku terus, Nick?" Tanya Clara iseng.Bibir Nick merekah dalam tawa. Ia lalu memeluk Clara dari belakang dengan kedua tangannya. Lagi-lagi Nick benar-benar tidak bisa mengendalikan dirinya jika ia berada di sekitar Clara."Tidak akan pernah, Sayang. Bagaimana mungkin aku bisa merasa bosan memandang wajah cantikmu?"Pelukan Nick semakin erat seolah tidak ingin Clara berlari dari sisinya. Tangan Nick lalu dengan cepat mulai menggerayangi tubuh Clara. Mengelus perut Clara dan merayap ke kedua dada Clara. Gadis itu dengan cepat menyelesaikan apa yang tengah ia lakukan. Sangat tidak nyaman rasanya digoda seperti ini saat melakukan pekerjaan rumah.Clara segera membalik tubuhnya dan menatap Nick dengan senyuman iseng."Apa
Dering alarm terdengar memekakkan telinga. Ansel terhenyak dan bangun dengan jantung yang berdegup begitu cepat. Bangun dengan perasaan terkejut memang sangat tidak enak. Ditambah lalgi suasana hatinya akhir-akhir ini yang tidak terlalu baik. Ah, rasanya hidup terasa begith buruk sekarang.Dengan malas Ansel melangkah keluar dari kasurnya. Ia berjalan dengan gontai sembari mengusap matanya yang masih mengantuk. Ansel meraih kenop pintu kamarnya dan menekan besi itu hingga terbuka. Ia bergerak ke arah dapur dan matanya mencari-cari makanan yang bisa ia santap sebagai sarapan."Clara, apakah kamu tidak memasak sarapan?" Seru Ansel sembari melihat ke dalam kulkas.Hening. Tidak ada jawaban."Clara? Kamu dimana?" Ulang Ansel lagi karena ia tidak mendengar jawaban dari gadis yang ia panggil.Ansel terdiam. Ia baru sadar dengan situasi sebenarnya. Sudah tidak ada lagi teman serumahnya yang bernama Clara itu. Ia kembali teringat bahwa Clara sudah pindah dari apartemennya sejak kemarin. Dan A
Clara meraih laptopnya dan membuka akun di aplikasi live streamingnya. Sudah cukup lama ia tidak melakukan siaran langsung dan hanya memghibur penggemarnya melalui foto-foto seksi saja. Beruntunglah Clara memiliki penggemar yang loyal. Yang masih bertahan meskipun beberapa memutuskan untuk pergi."Huft, wajar saja banyak yang berhenti berlangganan channelku." Gumam Clara sedikit murung.Sejak bersama Nick, ia benar-benar sulit untuk mendapatkan waktunya sendiri. Seolah pria itu selalu mengikuti Clara kemanapun ia pergi. Bagaimana mungkin Clara bisa melakukan siaran langsung dengan keadaan yang seperti itu? Dan lagipula bibir Clara terlalu kelu untuk meminta tolong Nick berpartisipasi dalam siaran langsungnya seperti Ansel dulu. Entah apakah kekasihnya yang tumbuh sebagai orang kelas atas itu akan mau menampilkan tubuhnya di depan orang ramai.Clara melihat statistik kanalnya yang menurun. Lalu tiba-tiba ia terhenyak karena mendengar pintu apartemen Nick dibuka. Ia segera menoleh ke ar
Makan malam itu dimasak khusus oleh seorang chef ternama yang Clara tidak tahu siapa. Makanan yang sungguh enak dan lezat. Servis dan pelayanan pun bintang lima. Mungkin memang sangat sepadan dengan biaya yang Nick keluarkan untuk memanjakan kekasihnya.Setelah selesai makan malam, Nick mengajak Clara untuk berjalan ke dek atas kapal. Tempat yang sunyi dan tidak ada seorang pun disana. Dek atas kapal seperti area pribadi bagi siapapun yang menyewa kapal itu. Dan Nick tidak akan melewatkan kesempatannya untuk berduaan dengan Clara disana.Ia menaikki tangga menuju dek atas. Sebelah tangannya meraih tangan Clara yang berjalan di belakangnya. Ia menggenggam lembut tangan Clara dan berjaga-jaga agar gadis itu tidak terjatuh. Jujur, Clara sangat tersentuh dengan sikap Nick yang begitu gentleman. Seolah seluruh lapisan dari diri Nick baru ia lihat ketika hubungan mereka melangkah ke tahap yang lebih serius.Nick dengan sabar menunggu Clara yang kesulitan menaikki tangga menuju dek atas. Set
Universal Studios? Mendengar namanya saja membuat Ansel teringat kembali pada Clara. Ia pernah berjanji akan mengajak gadis itu untuk pergi ke tempat tersebut. Namun bahkan hingga Clara tidak bersamanya lagi pun Ansel belum dapat memenuhinya. Dan sangat aneh rasanya mengetahui Elsa akan menjadi gadis pertama yang ia ajak kesana."Bagaimana penampilanku? Cantik kan?"Elsa bertanya pada Ansel sembari mematut diri di hadapan pria itu. Ia mengenakan blus merah muda dengan potongan dada yang rendah dan rok jeans pendek yang panjangnya hanya setengah pahanya. Ansel tertawa melihat gadis itu."Iya, kamu sudah cukup cantik. Setidaknya bisakah kita pergi sekarang, Elsa? Aku sudah bosan menunggu sejak tadi." Gerutu Ansel kesal.Mulut Elsa melengkung dan menampilkan seringainya yang indah. "Baiklah, ayo kita pergi sekarang, Ansel."Tanpa merasa canggung sedikitpun, Elsa menggandeng tangan Ansel. Sedikit menarik pria itu agar mengikuti langkahnya. Ia begitu senang karena akhirnya Ansel mau mener
Senyum Elsa menyungging. Ia merasa apapun yang akan dikatakan Ansel adalah sebuah kabar baik. Langkah besar menuju hubungan keduanya. Gadis itu menggeser duduknya dan duduk di sebelah Ansel. Matanya menatap Ansel dengan penuh penantian."Ada apa? Apa yang ingin kamu bicarakan, Ansel?"Ansel meneguk liurnya sekali dan berusaha mengumpulkan keberaniannya. Ia menatap ke arah Elsa dan meletakkan kedua tangannya di pundak Elsa."Apakah kamu akan marah jika aku menciummu sekarang?" Tanya Ansel serius.Pipi Elsa merona merah. Menghiasi wajah cantiknya dengan semburat rasa malu yang tidak bisa ia tahan. Jemari gadis itu memilin tepi rok yang ia pakai."Tidak, Ansel. Aku akan sangat senang jika kamu ingin melakukannya denganku." Jawab Elsa dengan kepala tertunduk.Merasa mendapatkan lampu hijau dari gadis itu, Ansel mulai mendekatkan wajahnya. Dalam sekejap ia sudah menutup jarak di antara keduanya dengan menangkap bibir Elsa dalam ciuman yang lapar. Satu tangan Ansel menahan belakang kepala E
Ansel merangkak ke atas tubuh Elsa. Ia sudah melucuti pakaian yang ia kenakan dan kini keduanya sama-sama bugil tanpa busana. "Apakah kamu menyimpan kondom?" Tanya Ansel pelan. Sialan, ia benar-benar tidak menyangka semuanya akan berubah secepat ini. Ansel bahkan tidak mempersiapkan apapun sebagai pengaman di antara mereka. Berbeda dengan Clara dimana mereka berdua sudah memiliki kepercayaan yang begitu besar satu sama lain. Clara tidak pernah keberatan dengan pilihan Ansel untuk tidak mengenakan pengaman apapun. Karena Clara sendiri pun selalu menelan pilnya dengan teratur.Tapi berbeda dengan Elsa. Ansel tidak mau mengambil resiko itu. Ansel tidak siap jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi dan ia harus terikat dengan gadis ini atas dasar sesuatu yang mereka tidak suka. Membayangkannya saja sudah membuat Ansel meringis ngeri."Apakah kamu memiliki kondom disini?" Ulang Ansel lagi.Elsa menghela nafas kesal. "Aku dalam program, Ansel. Aku rutin meminum pil kontrol. Tidakkah it
Ansel dan Clara tiba di kamar pengantin mereka. Ansel sengaja menyewa kamar dengan pemandangan terbaik di Castle Bromwich Hall, salah satu hotel dengan desain klasik yang paling menakjubkan di Birmingham. Ia akan membuat malam ini menjadi malam paling romantis bagi mereka berdua.Kedua tangan Ansel menggendong Clara layaknya seorang pengantin wanita. Ia membawa istrinya masuk ke dalam kamar itu sembari sesekali mencuri ciuman ke bibir Clara. Tawa Clara terdengar renyah dan menghangatkan hati Ansel.Sesampainya di kamar, Ansel segera menurunkan Clara dan gadis itu berseru senang sembari memeluk Ansel erat."Kita akhirnya menjadi suami isteri, Sayang!" Seru Clara bahagia.Ansel mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibir Clara. Matanya lalu menatap Clara dengan penuh cinta seolah cinta itu bisa menenggelamkan Clara saat itu juga. Tangan Ansel menarik turun resleting gaun yang dipakai Clara dan pakaian putih itu dengan cepat meluncur ke kedua kaki Clara. "Tidak sabar lagi, hmm?" Goda Cla
Semuanya bak mimpi yang begitu indah. Taman yang cantik ini, suasana yang begitu romantis, dan Ansel yang berlutut dengan cincin di hadapannya. Clara begitu terkejut hingga ia tak bisa mengatakan apapun. Satu-satunya reaksi yang bisa ia keluarkan hanyalah menangis. Tangisan haru yang meleleh dari kedua matanya."Clara Deolindra, will you marry me?"Ansel mengatakan itu dengan senyuman yang begitu lebar. Seolah kebahagiaan begitu besar ada di depan matanya sekarang."Aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan masa depan dimana tidak ada kamu di dalamnya. Dan kejadian kemarin membuat aku sadar betapa aku tidak ingin kehilangan dirimu." Ujar Ansel lembut.Ia mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah Clara yang menangis terharu. "Jadi, maukah kamu bersamaku selamanya sebagai isteriku, Sayang?"Tak ada keraguan sama sekali di hati Clara. Sejak lama ia mendambakan hari dimana Ansel akan melamarnya. Berandai-andai dengan mimpi yang sepertinya tak akan pernah tergapai
Kondisi Clara sudah jauh membaik sejak kesadarannya pulih. Alat bantu yang mempertahankan hidupnya sudah dilepaskan satu persatu dan bahkan Clara sudah diperbolehkan untuk keluar dari ruangannya untuk berjalan-jalan sejenak.Dan kebahagiaan teramat besar dirasakan Ansel, Elliott, serta Adeline. Bagaikan diberi keajaiban yang luar biasa, ketiganya tak henti tersenyum setiap kali melihat perkembangan pada kondisi Clara.Hari ini, tepat tiga minggu Clara berada di rumah sakit. Hari ini juga merupakan hari dimana dokter sudah memperbolehkan Clara untuk pulang. Pukul sebelas siang, Ansel dan Clara siap pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ansel mendorong Clara yang berada di atas kursi roda untuk menyusuri koridor rumah sakit."Kita akan pulang hari ini, Sayang. Kamu senang?" Tanya Ansel bersemangat.Clara mengangguk mantap. Sejujurnya ia sudah sangat muak berada di rumah sakit. Tidak bisa melakukan apapun dan yang ia lakukan hanyalah terbaring di ranjang seharian. Clara merindukan rutinita
Kedua pria itu begitu larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya Ansel memutuskan untuk memecahkan keheningan dengan menegur sang ayah."Ada apa, Dad?"Elliott berdeham. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah puteranya itu. Tatapannya serius dan Ansel seolah mengerti apa yang ingin dikatakan ayahnya saat itu."Tentang Mom?" Tanya Ansel pelan.Elliott mengangguk. Ansel mengusap wajahnya dengan kasar."Ada apa lagi? Apa yang Mom keluhkan kepadamu kali ini?""Aku memintamu untuk memaafkan Mom, Ansel. Apakah kamu bisa melakukannya?" Elliott bertanya dengan begitu hati-hati. Ia tahu permintaannya itu sangat sulit dikabulkan Ansel sekarang. Setidaknya hingga Clara sadar.Ansel tertawa pahit. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Clara yang masih terbaring dalam koma di atas ranjangnya."Setelah semua hinaan yang diberikannya pada Clara, Dad? Kurasa tidak, Dad." Ucap Ansel lirih.Elliott menghela nafas berat. Ia memegang pundak Ansel dan meremasnya pelan. Puteranya
Tiga hari berselang, kondisi Clara dinyatakan jauh lebih baik. Walaupun belum sadar dari pingsannya, Clara sudah bisa dipindahkan ke kamar perawatan umum. Dan Ansel bisa merawat kekasihnya dan berada di sisinya setiap saat."Iya, Clara akan baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena semua ini terjadi saat Clara bersamaku. Tapi aku berjanji aku akan merawat Clara dengan baik." Ansel mengakhiri pembicaraannya di telepon. Ia menatap layar ponselnya dengan kosong. Helaan nafasnya terdengar berat namun Ansel memaksakan senyum tersungging di bibirnya.Ia kembali masuk ke kamar tempat Clara dirawat dan duduk di sisi ranjang."Ibumu menelepon, Sayang. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku sudah mengatakan kepadanya bahwa kamu akan baik-baik saja. Iya kan?"Hening. Gadis yang ditanya pun tidak menjawab apa-apa. Clara masih tertidur bak puteri di dalam dongeng. Wajah cantiknya tampak pucat dan Ansel tersenyum getir melihatnya.Ansel meraih tangan kekasihnya itu, meremasnya lembut, dan menciumnya
Kabar itu datang bagaikan petir di siang bolong. Menyadarkan Ansel dari segala lamunannya dan menghentakkannya kembali ke bumi. Begitu hancur hingga rasanya ia tak sanggup untuk menatap lurus ke depan.Dua kata. Hanya dua kata yang dikatakan ibunya di telepon. Tapi dua kata itu sukses menjungkirbalikkaan kehidupan Ansel. Membuatnya berlari dengan nafas memburu seperti orang gila.Clara kecelakaan. Kekasihnya mengalami kecelakaan. Dan bagaimana keadaan Clara sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Astaga, Ansel bahkan belum sempat berbicara dengannya tentang kesalahpahaman kemarin. Dan semuanya sudah menjadi kacau seperti ini dalam satu kedipan mata.Dengan terburu-buru, Ansel memacu mobilnya ke rumah sakit tempat Clara dilarikan. Ia tak peduli bagaimana kacaunya ia terlihat saat itu. Persetan dengan dasinya yang masih belum terikat dan sepatunya yang ia pakai secara asal-asalan. Yang terpenting bagi Ansel sekarang hanyalah melihat Clara. Tidak ada yang lain.Dua puluh menit memacu mobilny
Entah berapa kali Clara mengutuk dirinya sendiri dan hati lembutnya ini. Ia sudah bertekad bahwa ia akan mengabaikan Ansel dan benar-benar menunjukkan kemarahannya. Namun sekarang, disinilah ia. Berjalan di pusat perbelanjaan Edinburgh mencari oleh-oleh untuk orang-orang yang ia sayangi. Hiasan kristal untuk Adeline, wiski untuk Elliott, dan wine serta parfum untuk Ansel.Ah, kenapa Clara bodoh sekali? Kenapa ia masih saja mau menghabiskan waktu dan uangnya untuk mereka yang bahkan tidak peduli dengannya?Tapi seperti itulah Clara. Beginilah cara ia menunjukkan rasa cintanya. Tak peduli seberapa kesalnya ia dengan orang-orang itu (kecuali Elliott, tentu saja), Clara tetap akan tersenyum lebar dan memberikan oleh-oleh ini kepada mereka."Semoga mereka menyukainya." Gumam Clara sembari mendorong troli belanjanya menuju kasir.Penerbangannya dua jam lagi dan Clara sekarang tengah menunggu pesawatnya di bandara. Ia melirik ponselnya lagi. Lagi-lagi panggilan dari Ansel. Untuk pertama kali
Pemotretan di Edinburgh benar-benar menyenangkan. Clara diharuskan berfoto di lokasi yang sedikit menantang yaitu di atas tebing St. Abbs. Dengan angin yang bertiup begitu kencang dan ombak yang menerpa dengan deras di bawahnya, tentu saja berfoto dengan menggunakan dua potong lingerie menjadi hal yang sedikit sulit untuk dilakukan.Tapi Clara menyukainya. Tidak, bukan hanya sekedar menyukainya. Clara benar-benar menikmatinya. Dan setidaknya kesibukannya ini akan mengalihkan perhatian Clara dari masalahnya dengan Ansel."Memangnya Ansel saja yang bisa sibuk bekerja?"Jepretan demi jepretan di ambil dan puluhan hasil foto yang tampak luar biasa benar-benar membuat Clara kagum. Jika ia adalah dirinya dua tahun lalu, maka mungkin Clara tidak akan pernah menyangka bahwa ia bisa bergaya sebagus itu. Layaknya seorang model profesional.Tapi Clara yang sekarang berbeda dengan Clara yang dulu. Ia sekarang adalah satu di antara deretan model La Perla. Dan juga salah satu model yang melenggok d
Pikiran Ansel benar-benar kalut. Hatinya tidak tenang karena rasa gelisah. Wajah terakhir yang ia lihat sebelum Clara pergi tadi pagi adalah hal yang paling tidak bisa ia lupakan. Kekasihnya itu benar-benar kecewa dan terluka. Matanya sembab karena menangis begitu hebat. Dan semua itu disebabkan oleh Ansel. Ansel dan segala egoismenya yang tidak bisa ia bendung.Dan karena itu pula Ansel tidak bisa fokus bekerja sejak tadi. Pikirannya selalu kembali kepada Clara dan Clara lagi. Rapat hari itu bahkan berjalan terasa sangat lambat karena Ansel tidak bisa meraih ponselnya untuk menghubungi kekasihnya itu."Jadi bagaimana, Tuan Brooks? Konsep iklan yang mana yang menurut Anda paling baik?"Pertanyaan dari salah seorang karyawannya menyadarkan Ansel dari kekalutannya. Ia segera mengerjapkan matanya berkali-kali dan mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaannya.Sadar, Ansel! Ada proyek senilai lima juta poundsterling yang harus kamu selesaikan!Ansel meninjau konsep yang dibuat oleh timnya