Ansel merangkak ke atas tubuh Elsa. Ia sudah melucuti pakaian yang ia kenakan dan kini keduanya sama-sama bugil tanpa busana. "Apakah kamu menyimpan kondom?" Tanya Ansel pelan. Sialan, ia benar-benar tidak menyangka semuanya akan berubah secepat ini. Ansel bahkan tidak mempersiapkan apapun sebagai pengaman di antara mereka. Berbeda dengan Clara dimana mereka berdua sudah memiliki kepercayaan yang begitu besar satu sama lain. Clara tidak pernah keberatan dengan pilihan Ansel untuk tidak mengenakan pengaman apapun. Karena Clara sendiri pun selalu menelan pilnya dengan teratur.Tapi berbeda dengan Elsa. Ansel tidak mau mengambil resiko itu. Ansel tidak siap jika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi dan ia harus terikat dengan gadis ini atas dasar sesuatu yang mereka tidak suka. Membayangkannya saja sudah membuat Ansel meringis ngeri."Apakah kamu memiliki kondom disini?" Ulang Ansel lagi.Elsa menghela nafas kesal. "Aku dalam program, Ansel. Aku rutin meminum pil kontrol. Tidakkah it
Sejujurnya Clara sedikit terkejut dengan kabara yang ia terima dari Ansel. Rasanya begitu cepat. Tapi Clara yakin itulah yang terbaik bagi Ansel. Tidak akan bagus jika ia terus menerus mengingat Clara walaupun tidak pernah ada hubungan apapun selain persahabatan di antara mereka. Clara yakin keputusan Ansel untuk berkencan dengan Elsa adalah yang terbaik. Lagipula untuk itu dia memutuskan pindah, bukan?Tapi entah kenapa ada pojok hati Clara yang sedikit merasa aneh. Sakit hati? Sepertinya bukan. Dan akan sangat aneh pula jika Clara merasa cemburu dengan kabar bahwa sahabatnya memiliki kekasih baru. Clara yakin tidak ada apa-apa di antaranya dan Ansel. Mungkin Clara hanya sedikit merindukan Ansel saja.Gadis itu kembali fokus pada acara televisi yang ada di depannya. Ah, drama Korea kesukaan Clara. Kisah cinta klise antara CEO dan gadis miskin. Sesuatu yang hanya pernah Clara tonton tapi sekarang ia menjalani kehidupan itu.Rasanya menyenangkan bisa hidup tenang tanpa memikirkan apapu
"Disini tempatnya?"Nick melihat ke arah sebuah gedung lusuh yang terletak di sudut jalan. Sisi Singapura yang belum pernah ia lihat sama sekali. Tidak kumuh, hanya saja terlihat tidak semaju dan mentereng seperti daerah tempat tinggalnya. Nick mengernyitkan alisnya dan menatap Clara heran. Apa yang ia lakukan di daerah ini?Clara mengangguk."Kata pria itu disini mantan suami bibiku bekerja. Mungkin aku bisa bertanya kepadanya dimana Tante Ana." Jelas Clara sedikit ragu. Sungguh, bahkan ia sendiri ragu Jo akan mau memberitahukan keberadaan bibinya. Mengingat betapa Jo membenci Clara karena sesuatu yang bahkan tidak pernah ia lakukan.Clara melangkah masuk ke gedung tua itu. Beberapa langkah, ia berhenti dan menoleh ke belakang. Melihat ke arah kekasihnya yang tampak ragu."Kamu ikut?" Tanya Clara.Nick menggeleng. Dengan sangat mantap seolah ia takut bangunan jelek itu akan memberikannya infeksi."Tidak. Aku akan menunggu disini saja. Aku minta agar kamu jangan berlama-lama disana, S
Sesampainya di apartemen mereka, Nick langsung menggendong Clara ke dalam kamarnya. Seolah pria itu tidak ingin menunggu apapun lagi untuk menunjukkan apa yang katanya kompensasi. Melihat nafas Nick yang begitu memburu, tidak sulit bagi Clara untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kompensasi itu. Hal yang pasti berhubungan dengan ranjang dan seks.Nick merebahkan Clara di kasurnya. Ia lalu melucuti tubuh Clara dari pakaiannya. Dalam sekejap, Clara sudah bertelanjang bulat dan gadis itu sedikit terkesiap dengan kecepatan tangan Nick. Jantung Clara berdebar begitu cepat. Antisipasi terasa akan membunuhnya saat itu juga."Apa yang akan kamu lakukan, Nick?" Tanya Clara bingung.Nick tertawa gelap."Meminta kompensasiku, Sayang."Nick lalu mengambil kedua tangan Clara dan membawanya ke atas kepala Clara. Ia lalu mengikatkan salah satu dasinya ke kedua tangan Clara dan kepala kasurnya. Tangan Clara sekarang terikat mantap di atas kepalanya tanpa bisa bergerak. Clara menatap Nick dengan s
Mata Ansel melihat ke arah Elsa yang sedang memakai cat kukunya. Gadis itu memulas setiap kuku dengan warna merah muda. Bibirnya bersenandung riang menyanyikan lagu yang Ansel juga tidak tahu apa.Sudah dua minggu Elsa tinggal bersama Ansel di apartemennya. Tidak, Ansel tidak pernah mengajak Elsa untuk pindah bersamanya. Hanya saja gadis itu mengundang dirinya sendiri untuk bermalam setiap hari di apartemen Ansel. Seolah Elsa begitu nyaman tinggal disana. Dan Ansel pun tidak bisa mengusirnya karena tidak memiliki alasan kuat di baliknya. Atau mungkin memang Ansel sedikit merindukan kehadiran orang lain di apartemennya. Entahlah, Ansel bahkan tidak mengerti apa yang ia rasakan sekarang. Semuanya terasa begitu membingungkan. Baik di kepala maupun di hatinya.Ansel segera duduk di sisi kasur tempat Elsa berada. Ia berusaha membuka perbincangan dengan gadis itu. Mencoba menjadi sedikit lebih akrab."Apa yang kamu lakukan, Elsa?"Elsa tampak fokus memulas kuku terakhirnya sehingga ia meng
Wanita itu pergi setelah sepuluh menit berbincang dengan Clara. Dan gadis itu tampaknya juga akan segera pergi dari tempat itu. Ansel panik. Ia tidak bisa membiarkan Clara pergi begitu saja tanpa menyapanya. Hatinya tidak mengizinkan Ansel berbuat seperti itu.Dengan buru-buru, Ansel berlari keluar restoran. Langkahnya cepat dan seolah takut gadis itu tiba-tiba pergi begitu saja dari depan matanya."Clara, tunggu!" Seru Ansel panik.Mendengar siapa yang memanggilnya, Clara langsung menoleh. Matanya membulat melihat sosok yang berlari mendekat ke arahnya. Clara bahkan tidak bisa menyembunyikan senyumnya meskipun ia mati-matian berusaha mengendalikan ekspresinya."Ansel?" Ucap Clara pelan saat Ansel berdiri di hadapannya.Ansel menghentikan larinya. Ia membungkuk dan terengah-engah karena berlari begitu kencang demi mengejar Clara. Ansel berusaha mengatur nafasnya agar ia bisa berbicara lebih baik dengan Clara. Dan gadis itu hanya memperhatikan Ansel dengan senyum yang terkulum.Setelah
Clara melingkarkan tangannya di lengan Nick. Keduanya berjalan bersisian menuju restoran tempat mereka makan malam saat itu. Restoran mewah tipikial tempat pilihan Nick biasanya. Dekorasi mahal namun minimalis, masakan khas Eropa, dan koki serta pelayan dengan kemampuan terbaik di bidangnya.Nick menarik kursi agar Clara bisa duduk di hadapannya. Sepersekian detik kemudian, ia duduk di hadapan Clara dengan senyum yang mengembang di wajah tampannya. Clara menatap Nick dengan senyum lebar. Apalagi yang harus ia lakukan selain tersenyum?Makan malam itu berlalu dengan sempurna. Seperti makan malam romantis mereka lainnya yang direncanakan tanpa ada kesalahan sedikitpun. "Pelayan, bawa kesini billnya." Ujar Nick seraya mengangkat tangannya.Seorang pria muda yang tampaknya berusia dua puluhan datang menghampiri mereka. Senyumnya ramah walaupun bahasa tubuhnya menunjukkan bahwa ia adalah karyawan baru. Clara sudah bertahun-tahun menjadi pelayan restoran dan ia bisa mengenali pelayan baru
Clara menatap Nick dengan tidak percaya. Matanya membulat dan kata-katanya tercekat di tenggorokannya. Kekasihnya adalah monster. Monster yang berjubah emas dengan hati sekeras batu. Keras, angkuh, dan arogan. Harusnya Clara tahu itu. Harusnya Clara lebih memperhatikan temperamen Nick. Harusnya ia sadar bagaimana Nick begitu anti dengan sesuatu yang ia anggap tidak selevel dengannya.Dan kata-kata terakhir itu? Hanya pelayan? Bukankah pelayan juga seorang manusia? Bukankah pelayan juga semestinya diperlakukan dengan baik?Clara melepaskan genggaman tangannya dari Nick. Pria itu menoleh dan menatap Clara dengans sedikit bingung."Ada apa, Sayang?" Tanya Nick."Aku juga pelayan, Nick." Ucap Clara lirih.Nick tertawa. Tidak mengerti arah pembicaraan kekasihnya."Apa maksudmu, Clara Sayang?"Clara mengangkat wajahnya dan menatap Nick dengan perasaan terluka."Katamu mereka hanya pelayan kan? Tapi aku juga pelayan, Nick. Aku pernah bekerja seperti mereka. Jika aku yang ada disana, apakah k
Ansel dan Clara tiba di kamar pengantin mereka. Ansel sengaja menyewa kamar dengan pemandangan terbaik di Castle Bromwich Hall, salah satu hotel dengan desain klasik yang paling menakjubkan di Birmingham. Ia akan membuat malam ini menjadi malam paling romantis bagi mereka berdua.Kedua tangan Ansel menggendong Clara layaknya seorang pengantin wanita. Ia membawa istrinya masuk ke dalam kamar itu sembari sesekali mencuri ciuman ke bibir Clara. Tawa Clara terdengar renyah dan menghangatkan hati Ansel.Sesampainya di kamar, Ansel segera menurunkan Clara dan gadis itu berseru senang sembari memeluk Ansel erat."Kita akhirnya menjadi suami isteri, Sayang!" Seru Clara bahagia.Ansel mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibir Clara. Matanya lalu menatap Clara dengan penuh cinta seolah cinta itu bisa menenggelamkan Clara saat itu juga. Tangan Ansel menarik turun resleting gaun yang dipakai Clara dan pakaian putih itu dengan cepat meluncur ke kedua kaki Clara. "Tidak sabar lagi, hmm?" Goda Cla
Semuanya bak mimpi yang begitu indah. Taman yang cantik ini, suasana yang begitu romantis, dan Ansel yang berlutut dengan cincin di hadapannya. Clara begitu terkejut hingga ia tak bisa mengatakan apapun. Satu-satunya reaksi yang bisa ia keluarkan hanyalah menangis. Tangisan haru yang meleleh dari kedua matanya."Clara Deolindra, will you marry me?"Ansel mengatakan itu dengan senyuman yang begitu lebar. Seolah kebahagiaan begitu besar ada di depan matanya sekarang."Aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan masa depan dimana tidak ada kamu di dalamnya. Dan kejadian kemarin membuat aku sadar betapa aku tidak ingin kehilangan dirimu." Ujar Ansel lembut.Ia mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah Clara yang menangis terharu. "Jadi, maukah kamu bersamaku selamanya sebagai isteriku, Sayang?"Tak ada keraguan sama sekali di hati Clara. Sejak lama ia mendambakan hari dimana Ansel akan melamarnya. Berandai-andai dengan mimpi yang sepertinya tak akan pernah tergapai
Kondisi Clara sudah jauh membaik sejak kesadarannya pulih. Alat bantu yang mempertahankan hidupnya sudah dilepaskan satu persatu dan bahkan Clara sudah diperbolehkan untuk keluar dari ruangannya untuk berjalan-jalan sejenak.Dan kebahagiaan teramat besar dirasakan Ansel, Elliott, serta Adeline. Bagaikan diberi keajaiban yang luar biasa, ketiganya tak henti tersenyum setiap kali melihat perkembangan pada kondisi Clara.Hari ini, tepat tiga minggu Clara berada di rumah sakit. Hari ini juga merupakan hari dimana dokter sudah memperbolehkan Clara untuk pulang. Pukul sebelas siang, Ansel dan Clara siap pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ansel mendorong Clara yang berada di atas kursi roda untuk menyusuri koridor rumah sakit."Kita akan pulang hari ini, Sayang. Kamu senang?" Tanya Ansel bersemangat.Clara mengangguk mantap. Sejujurnya ia sudah sangat muak berada di rumah sakit. Tidak bisa melakukan apapun dan yang ia lakukan hanyalah terbaring di ranjang seharian. Clara merindukan rutinita
Kedua pria itu begitu larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya Ansel memutuskan untuk memecahkan keheningan dengan menegur sang ayah."Ada apa, Dad?"Elliott berdeham. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah puteranya itu. Tatapannya serius dan Ansel seolah mengerti apa yang ingin dikatakan ayahnya saat itu."Tentang Mom?" Tanya Ansel pelan.Elliott mengangguk. Ansel mengusap wajahnya dengan kasar."Ada apa lagi? Apa yang Mom keluhkan kepadamu kali ini?""Aku memintamu untuk memaafkan Mom, Ansel. Apakah kamu bisa melakukannya?" Elliott bertanya dengan begitu hati-hati. Ia tahu permintaannya itu sangat sulit dikabulkan Ansel sekarang. Setidaknya hingga Clara sadar.Ansel tertawa pahit. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Clara yang masih terbaring dalam koma di atas ranjangnya."Setelah semua hinaan yang diberikannya pada Clara, Dad? Kurasa tidak, Dad." Ucap Ansel lirih.Elliott menghela nafas berat. Ia memegang pundak Ansel dan meremasnya pelan. Puteranya
Tiga hari berselang, kondisi Clara dinyatakan jauh lebih baik. Walaupun belum sadar dari pingsannya, Clara sudah bisa dipindahkan ke kamar perawatan umum. Dan Ansel bisa merawat kekasihnya dan berada di sisinya setiap saat."Iya, Clara akan baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena semua ini terjadi saat Clara bersamaku. Tapi aku berjanji aku akan merawat Clara dengan baik." Ansel mengakhiri pembicaraannya di telepon. Ia menatap layar ponselnya dengan kosong. Helaan nafasnya terdengar berat namun Ansel memaksakan senyum tersungging di bibirnya.Ia kembali masuk ke kamar tempat Clara dirawat dan duduk di sisi ranjang."Ibumu menelepon, Sayang. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku sudah mengatakan kepadanya bahwa kamu akan baik-baik saja. Iya kan?"Hening. Gadis yang ditanya pun tidak menjawab apa-apa. Clara masih tertidur bak puteri di dalam dongeng. Wajah cantiknya tampak pucat dan Ansel tersenyum getir melihatnya.Ansel meraih tangan kekasihnya itu, meremasnya lembut, dan menciumnya
Kabar itu datang bagaikan petir di siang bolong. Menyadarkan Ansel dari segala lamunannya dan menghentakkannya kembali ke bumi. Begitu hancur hingga rasanya ia tak sanggup untuk menatap lurus ke depan.Dua kata. Hanya dua kata yang dikatakan ibunya di telepon. Tapi dua kata itu sukses menjungkirbalikkaan kehidupan Ansel. Membuatnya berlari dengan nafas memburu seperti orang gila.Clara kecelakaan. Kekasihnya mengalami kecelakaan. Dan bagaimana keadaan Clara sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Astaga, Ansel bahkan belum sempat berbicara dengannya tentang kesalahpahaman kemarin. Dan semuanya sudah menjadi kacau seperti ini dalam satu kedipan mata.Dengan terburu-buru, Ansel memacu mobilnya ke rumah sakit tempat Clara dilarikan. Ia tak peduli bagaimana kacaunya ia terlihat saat itu. Persetan dengan dasinya yang masih belum terikat dan sepatunya yang ia pakai secara asal-asalan. Yang terpenting bagi Ansel sekarang hanyalah melihat Clara. Tidak ada yang lain.Dua puluh menit memacu mobilny
Entah berapa kali Clara mengutuk dirinya sendiri dan hati lembutnya ini. Ia sudah bertekad bahwa ia akan mengabaikan Ansel dan benar-benar menunjukkan kemarahannya. Namun sekarang, disinilah ia. Berjalan di pusat perbelanjaan Edinburgh mencari oleh-oleh untuk orang-orang yang ia sayangi. Hiasan kristal untuk Adeline, wiski untuk Elliott, dan wine serta parfum untuk Ansel.Ah, kenapa Clara bodoh sekali? Kenapa ia masih saja mau menghabiskan waktu dan uangnya untuk mereka yang bahkan tidak peduli dengannya?Tapi seperti itulah Clara. Beginilah cara ia menunjukkan rasa cintanya. Tak peduli seberapa kesalnya ia dengan orang-orang itu (kecuali Elliott, tentu saja), Clara tetap akan tersenyum lebar dan memberikan oleh-oleh ini kepada mereka."Semoga mereka menyukainya." Gumam Clara sembari mendorong troli belanjanya menuju kasir.Penerbangannya dua jam lagi dan Clara sekarang tengah menunggu pesawatnya di bandara. Ia melirik ponselnya lagi. Lagi-lagi panggilan dari Ansel. Untuk pertama kali
Pemotretan di Edinburgh benar-benar menyenangkan. Clara diharuskan berfoto di lokasi yang sedikit menantang yaitu di atas tebing St. Abbs. Dengan angin yang bertiup begitu kencang dan ombak yang menerpa dengan deras di bawahnya, tentu saja berfoto dengan menggunakan dua potong lingerie menjadi hal yang sedikit sulit untuk dilakukan.Tapi Clara menyukainya. Tidak, bukan hanya sekedar menyukainya. Clara benar-benar menikmatinya. Dan setidaknya kesibukannya ini akan mengalihkan perhatian Clara dari masalahnya dengan Ansel."Memangnya Ansel saja yang bisa sibuk bekerja?"Jepretan demi jepretan di ambil dan puluhan hasil foto yang tampak luar biasa benar-benar membuat Clara kagum. Jika ia adalah dirinya dua tahun lalu, maka mungkin Clara tidak akan pernah menyangka bahwa ia bisa bergaya sebagus itu. Layaknya seorang model profesional.Tapi Clara yang sekarang berbeda dengan Clara yang dulu. Ia sekarang adalah satu di antara deretan model La Perla. Dan juga salah satu model yang melenggok d
Pikiran Ansel benar-benar kalut. Hatinya tidak tenang karena rasa gelisah. Wajah terakhir yang ia lihat sebelum Clara pergi tadi pagi adalah hal yang paling tidak bisa ia lupakan. Kekasihnya itu benar-benar kecewa dan terluka. Matanya sembab karena menangis begitu hebat. Dan semua itu disebabkan oleh Ansel. Ansel dan segala egoismenya yang tidak bisa ia bendung.Dan karena itu pula Ansel tidak bisa fokus bekerja sejak tadi. Pikirannya selalu kembali kepada Clara dan Clara lagi. Rapat hari itu bahkan berjalan terasa sangat lambat karena Ansel tidak bisa meraih ponselnya untuk menghubungi kekasihnya itu."Jadi bagaimana, Tuan Brooks? Konsep iklan yang mana yang menurut Anda paling baik?"Pertanyaan dari salah seorang karyawannya menyadarkan Ansel dari kekalutannya. Ia segera mengerjapkan matanya berkali-kali dan mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaannya.Sadar, Ansel! Ada proyek senilai lima juta poundsterling yang harus kamu selesaikan!Ansel meninjau konsep yang dibuat oleh timnya