Ansel melangkah dengan ringan memasukki pusat perbelanjaan itu. Tentu saja, ia senang sekali karena Clara mengajaknya berkencan. Entah apapun sebutannya, Ansel akan menganggap ajakan ini sebagai kencan.Ansel meraih tangan Clara dan menggenggamnya erat. Clara terhenyak dan refleks menarik tangannya dari genggaman Ansel. Pria itu menatap Clara dengan bingung."Ada apa? Kamu tidak mau berpegangan tangan denganku?" Tanya Ansel bingung.Clata tertawa kikuk."Tidak, bukan begitu Ansel. Hanya saja tanganku baru terkena eksim. Aku takut akan menularkannya kepadamu." Ucap Clara berbohong secepatnya.Ansel makin heran. Alasan macam apa itu?"Sejak kapan kamu terkena eksim? Karena apa?" Tanya Ansel khawatir.Ansel meraih tangan gadis itu. Berusaha memeriksanya sendiri namun Clara buru-buru mencegah Ansel melakukannya. Bisa gawat kalau Ansel mengetahui kebohongannya."Ah, baru. Mungkin baru tiga hari ini. Gara-gara sabun yang baru aku beli. Kulitku menjadi sangat kering dan eksim. Tapi jangan kh
"Ayo, Ansel, kita menonton berdua saja. Biarkan Clara menyelesaikan urusannya."Elsa bergelayut manja di lengan Ansel padahal wajah pria itu sungguh tampak masam. Clara hanya tertawa canggung dan langsung pamit pergi pada kedua temannya itu.Tanpa menoleh ke belakang lagi, Clara mempercepat langkahnya. Meninggalkan Ansel dan Elsa yang akan segera berkencan hari itu. Namun aneh, kenapa Clara merasa hatinya begitu sesak? Rasanya seperti emosi tidak jelas memenuhi perasaan Clara.Clara menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. Ia terduduk di pinggir jalan karena terengah-engah. "Ada apa denganku? Kenapa hatiku merasa sesak melihat Ansel dan Elsa?" Gumam Clara bingung.Clara memukul-mukul dadanya sendiri. Berusaha menyadarkan dirinya agar rasa aneh itu segera hilang."Sadar, Clara! Sadar! Kamu tidak seharusnya merasa seperti ini! Kamu melakukan ini semua demi kebahagiaan Ansel!" Ingat Clara pada dirinya sendiri.Gadis itu terdiam sejenak. Ia bingung harus apa sekarang. Karena ia tidak mer
Nick beranjak mendekati Clara yang duduk di sampingnya. Ia segera mengangkat kekasihnya itu ke atas pangkuannya. Clara dengan cepat melingkarkan tangannya ke leher Nick. Keduanya berpagutan dengan mesra seolah tak ingin melepaskan satu sama lain.Sementara kedua bibir mereka masih menempel satu sama lain, tangan Nick mulai masuk ke dalam pakaian Clara. Menjelajahi dua gunung kenyal yang sangat Nick sukai. Kedua tangannya meremas dada Clara dari luar branya. Membuat gadis itu menggeliat manja di pangkuan Nick."Ahh... Nick... mmm..."Nick tersenyum tipis. Jemarinya mula membuka satu persatu kancing pakaian Clara. Memamerkan dua dadanya yang menegang. Clara dengan sigap membuka atasan dan bra yang menahan dua gunungnya. Menunjukkan bagian yang paling disukai Nick sepersekian detik kemudian.Nick menatap dada Clara dengan liar. Membuat Clara terkekeh pelan."Ini bagian favoritmu kan?" Tanya Clara sambil membenamkan kepala Nick ke dadanya.Tanpa basa basi pria itu langsung menciumi setiap
Clara mengambil posisi dengan duduk di pangkuan Nick. Ia lalu mensejajarkan kejantanan Nick yang terhunus dengan bagian intimnya yang sudah menghangat sejak tadi. Dan tanpa ragu, Clara langsung memasukkan milik Nick ke dalam liangnya. Clara dengan mantap duduk di atas pangkuan Nick dengan kejantanan Nick yang mengisi penuh bagian bawahnya."Mmmm... penuh sekali, Nick..." desah Clara pelan sembari memberikan waktu agar miliknya menyesuaikan dengan milik Nick yang besar.Setelah keduanya menyatu sepenuhnya, Clara kembali memeluk leher Nick dengan kedua tangannya. Bibirnya langsung menyergap Nick yang memangkunya dengan ciuman yang memabukkan. Keduanya saling membelit lidah dalam ciuman basah yang terdengar berisik.Clara mulai menggerakkan panggulnya ke depan dan belakang. Membuat kejantanan Nick menjamah seluruh bagian dalam kewanitaannya tanpa terlewat sedikit pun. Bibirnya terus mengeluarkan desahan sensual sembari irama keduanya semakin memanas."Ahhhh... Nick... ahhh... ahhh..."Ke
Clara melepas sebelah airpod yang ia pakai. Ia merasa mendengarkan keributan asing dari luar kamarnya. Hal yang amat jarang terjadi di rumahnya. Dan hal ini membuat Clara bertanya-tanya tentang apa yang terjadi."Siapa yang ribut-ribut?" Gumam Clara bingung.Ia beranjak dari kasurnya dan melangkah keluar kamarnya dengan hati-hati. Semakin ia mendekati pintu kamarnya, semakin ia yakin bahwa salah satu suara yang sedang bertengkar itu adalah suara Ansel. Tapi Clara kurang mengenali suara wanita yang menjadi lawan Ansel.Karena rasa penasarannya, Clara membuka pintunya sedikit dan mengintip kekacauan apa yang terjadi di luar kamarnya. Matanya mengintip dari celah pintu dan melihat Ansel yang berkelahi dengan Elsa. Pria itu mendorong Elsa keluar dari kamarnya dengan wajah yang tidak senang."Keluar kamu dari kamarku sekarang!" Seru Ansel sembari mendorong Elsa dengan kesal.Gadis itu tampak tergopoh-gopoh memakai pakaiannya dan melihat Ansel dengan wajahnya yang baru bangun tidur."Tapi k
Elsa tampaknya selalu saja ingin mengandalkan Clara dalam hubungannya dengan Ansel. Entah karena gadis itu yang terlalu terobsesi dengan Ansel atau mungkin memang Clara berbakat menjadi mak comblang. Entahlah. Tapi Clara memantapkan dirinya bahwa ini akan menjadi kali terakhirnya membantu Elsa. Bagaimanapun juga Clara memiliki kehidupannya sendiri.Begitu pula hari ini. Elsa kembali mengajak Clara bertemu tak tahu apa tujuannya. Walaupun sebenarnya Clara sangat malas meladeni Elsa, tapi ia sudah berjanji kepada gadis menyebalkan itu untuk selalu membantunya. Jadi disinilah Clara. Duduk sendirian di kafe demi menunggu Elsa.Clara mengecek arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam tangan ini adalah pemberian Nick. Satu set jam pasangan dengan milik Nick sebagai pelengkapnya.Clara berdecak kesal karena Elsa yang lagi-lagi terlambat. Terkadang Clara sampai bingung, padahal yang orang Indonesia adalah Clara tapi mengapa Elsa yang lahir san tumbuh di Singapura malah sangat suka d
Ansel menggendong Clara ke dalam kamar gadis itu. Rasanya sudah begitu lama ia tidak berada di kamar Clara. Clara memagut bibir Ansel sementara kedua tangannya melingkar di leher Ansel dan kakinya di pinggang Ansel. Persis seperti koala. Keduanya berciuman dengan panas dan suara kecupan basah terdengar sangat nyaring di udara.Keduanya tiba di kamar Clara dan bahkan Ansel tidak terpikir untuk menutup pintu kamar tersebut. Ia membaringkan Clara di kasurnya tanpa sedikitpun melepaskan bibirnya dari bibir Clara. Tanpa basa-basi, Ansel langsung membuka bajunya, begitu pula dengan Clara. Sepersekian detik kemudian keduanya sudah bertelanjang bulat tanpa ditutupi sehelai benang pun.Ciuman Ansel menuruni leher dan menuju dua gunung kenyal milik Clara. Mulutnya melumat puncak dada Clara yang menegang. Menghisapnya dan sesekali menjilatinya bak sebuah es krim. Sementara tangan Ansel mulai merayap ke bagian intim Clara. Jemarinya membuat gerakan menggunting dan bergerak naik turun di sepanjang
Dua koper besar milik Clara sudah tersusun rapi di dekat pintu apartemennya. Gadis itu berdiri di dekatnya dan menatap kembali apartemennya. Tempat yang selama ini ia tinggali bersama Ansel. Tempat segala pertama baginya dimulai. Petualangan pertama di negeri orang, pemotretan pertama, dan bahkan seks pertamanya.Entah bagaimana Clara bisa sampai pada keputusan untuk meninggalkan tempat ini dan meninggalkan Ansel. Bahkan Clara tidak mengerti mengapa ia begitu mementingkan perasaan Elsa saat itu. Mungkin karena Clara hanya ingin yang terbaik untuk Ansel. Karena Clara tidak ingin Ansel berharap pada sesuatu yang tak pasti seperti hubungan mereka berdua.Beberapa langkah darinya, Ansel berdiri menatap Clara. Mata pria itu berkaca-kaca. Air mata sedikit merembes di sudut matanya. Badannya terasa kaku untuk memeluk Clara namun Ansel sadar benar apabila ia melewatkan kesempatan ini, maka ia akan menyesalinya seumur hidupnya.Ansel melangkah dan menutup jaraknya dengan Clara. Gadis itu mendo
Ansel dan Clara tiba di kamar pengantin mereka. Ansel sengaja menyewa kamar dengan pemandangan terbaik di Castle Bromwich Hall, salah satu hotel dengan desain klasik yang paling menakjubkan di Birmingham. Ia akan membuat malam ini menjadi malam paling romantis bagi mereka berdua.Kedua tangan Ansel menggendong Clara layaknya seorang pengantin wanita. Ia membawa istrinya masuk ke dalam kamar itu sembari sesekali mencuri ciuman ke bibir Clara. Tawa Clara terdengar renyah dan menghangatkan hati Ansel.Sesampainya di kamar, Ansel segera menurunkan Clara dan gadis itu berseru senang sembari memeluk Ansel erat."Kita akhirnya menjadi suami isteri, Sayang!" Seru Clara bahagia.Ansel mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibir Clara. Matanya lalu menatap Clara dengan penuh cinta seolah cinta itu bisa menenggelamkan Clara saat itu juga. Tangan Ansel menarik turun resleting gaun yang dipakai Clara dan pakaian putih itu dengan cepat meluncur ke kedua kaki Clara. "Tidak sabar lagi, hmm?" Goda Cla
Semuanya bak mimpi yang begitu indah. Taman yang cantik ini, suasana yang begitu romantis, dan Ansel yang berlutut dengan cincin di hadapannya. Clara begitu terkejut hingga ia tak bisa mengatakan apapun. Satu-satunya reaksi yang bisa ia keluarkan hanyalah menangis. Tangisan haru yang meleleh dari kedua matanya."Clara Deolindra, will you marry me?"Ansel mengatakan itu dengan senyuman yang begitu lebar. Seolah kebahagiaan begitu besar ada di depan matanya sekarang."Aku sangat mencintaimu, Sayang. Aku bahkan tidak bisa membayangkan masa depan dimana tidak ada kamu di dalamnya. Dan kejadian kemarin membuat aku sadar betapa aku tidak ingin kehilangan dirimu." Ujar Ansel lembut.Ia mendongakkan wajahnya dan menatap ke arah Clara yang menangis terharu. "Jadi, maukah kamu bersamaku selamanya sebagai isteriku, Sayang?"Tak ada keraguan sama sekali di hati Clara. Sejak lama ia mendambakan hari dimana Ansel akan melamarnya. Berandai-andai dengan mimpi yang sepertinya tak akan pernah tergapai
Kondisi Clara sudah jauh membaik sejak kesadarannya pulih. Alat bantu yang mempertahankan hidupnya sudah dilepaskan satu persatu dan bahkan Clara sudah diperbolehkan untuk keluar dari ruangannya untuk berjalan-jalan sejenak.Dan kebahagiaan teramat besar dirasakan Ansel, Elliott, serta Adeline. Bagaikan diberi keajaiban yang luar biasa, ketiganya tak henti tersenyum setiap kali melihat perkembangan pada kondisi Clara.Hari ini, tepat tiga minggu Clara berada di rumah sakit. Hari ini juga merupakan hari dimana dokter sudah memperbolehkan Clara untuk pulang. Pukul sebelas siang, Ansel dan Clara siap pergi meninggalkan rumah sakit itu. Ansel mendorong Clara yang berada di atas kursi roda untuk menyusuri koridor rumah sakit."Kita akan pulang hari ini, Sayang. Kamu senang?" Tanya Ansel bersemangat.Clara mengangguk mantap. Sejujurnya ia sudah sangat muak berada di rumah sakit. Tidak bisa melakukan apapun dan yang ia lakukan hanyalah terbaring di ranjang seharian. Clara merindukan rutinita
Kedua pria itu begitu larut dalam pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya Ansel memutuskan untuk memecahkan keheningan dengan menegur sang ayah."Ada apa, Dad?"Elliott berdeham. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah puteranya itu. Tatapannya serius dan Ansel seolah mengerti apa yang ingin dikatakan ayahnya saat itu."Tentang Mom?" Tanya Ansel pelan.Elliott mengangguk. Ansel mengusap wajahnya dengan kasar."Ada apa lagi? Apa yang Mom keluhkan kepadamu kali ini?""Aku memintamu untuk memaafkan Mom, Ansel. Apakah kamu bisa melakukannya?" Elliott bertanya dengan begitu hati-hati. Ia tahu permintaannya itu sangat sulit dikabulkan Ansel sekarang. Setidaknya hingga Clara sadar.Ansel tertawa pahit. Ia lalu mengangkat wajahnya dan menatap ke arah Clara yang masih terbaring dalam koma di atas ranjangnya."Setelah semua hinaan yang diberikannya pada Clara, Dad? Kurasa tidak, Dad." Ucap Ansel lirih.Elliott menghela nafas berat. Ia memegang pundak Ansel dan meremasnya pelan. Puteranya
Tiga hari berselang, kondisi Clara dinyatakan jauh lebih baik. Walaupun belum sadar dari pingsannya, Clara sudah bisa dipindahkan ke kamar perawatan umum. Dan Ansel bisa merawat kekasihnya dan berada di sisinya setiap saat."Iya, Clara akan baik-baik saja, Bu. Maafkan aku karena semua ini terjadi saat Clara bersamaku. Tapi aku berjanji aku akan merawat Clara dengan baik." Ansel mengakhiri pembicaraannya di telepon. Ia menatap layar ponselnya dengan kosong. Helaan nafasnya terdengar berat namun Ansel memaksakan senyum tersungging di bibirnya.Ia kembali masuk ke kamar tempat Clara dirawat dan duduk di sisi ranjang."Ibumu menelepon, Sayang. Dia sangat mengkhawatirkanmu. Tapi aku sudah mengatakan kepadanya bahwa kamu akan baik-baik saja. Iya kan?"Hening. Gadis yang ditanya pun tidak menjawab apa-apa. Clara masih tertidur bak puteri di dalam dongeng. Wajah cantiknya tampak pucat dan Ansel tersenyum getir melihatnya.Ansel meraih tangan kekasihnya itu, meremasnya lembut, dan menciumnya
Kabar itu datang bagaikan petir di siang bolong. Menyadarkan Ansel dari segala lamunannya dan menghentakkannya kembali ke bumi. Begitu hancur hingga rasanya ia tak sanggup untuk menatap lurus ke depan.Dua kata. Hanya dua kata yang dikatakan ibunya di telepon. Tapi dua kata itu sukses menjungkirbalikkaan kehidupan Ansel. Membuatnya berlari dengan nafas memburu seperti orang gila.Clara kecelakaan. Kekasihnya mengalami kecelakaan. Dan bagaimana keadaan Clara sekarang? Apakah ia baik-baik saja? Astaga, Ansel bahkan belum sempat berbicara dengannya tentang kesalahpahaman kemarin. Dan semuanya sudah menjadi kacau seperti ini dalam satu kedipan mata.Dengan terburu-buru, Ansel memacu mobilnya ke rumah sakit tempat Clara dilarikan. Ia tak peduli bagaimana kacaunya ia terlihat saat itu. Persetan dengan dasinya yang masih belum terikat dan sepatunya yang ia pakai secara asal-asalan. Yang terpenting bagi Ansel sekarang hanyalah melihat Clara. Tidak ada yang lain.Dua puluh menit memacu mobilny
Entah berapa kali Clara mengutuk dirinya sendiri dan hati lembutnya ini. Ia sudah bertekad bahwa ia akan mengabaikan Ansel dan benar-benar menunjukkan kemarahannya. Namun sekarang, disinilah ia. Berjalan di pusat perbelanjaan Edinburgh mencari oleh-oleh untuk orang-orang yang ia sayangi. Hiasan kristal untuk Adeline, wiski untuk Elliott, dan wine serta parfum untuk Ansel.Ah, kenapa Clara bodoh sekali? Kenapa ia masih saja mau menghabiskan waktu dan uangnya untuk mereka yang bahkan tidak peduli dengannya?Tapi seperti itulah Clara. Beginilah cara ia menunjukkan rasa cintanya. Tak peduli seberapa kesalnya ia dengan orang-orang itu (kecuali Elliott, tentu saja), Clara tetap akan tersenyum lebar dan memberikan oleh-oleh ini kepada mereka."Semoga mereka menyukainya." Gumam Clara sembari mendorong troli belanjanya menuju kasir.Penerbangannya dua jam lagi dan Clara sekarang tengah menunggu pesawatnya di bandara. Ia melirik ponselnya lagi. Lagi-lagi panggilan dari Ansel. Untuk pertama kali
Pemotretan di Edinburgh benar-benar menyenangkan. Clara diharuskan berfoto di lokasi yang sedikit menantang yaitu di atas tebing St. Abbs. Dengan angin yang bertiup begitu kencang dan ombak yang menerpa dengan deras di bawahnya, tentu saja berfoto dengan menggunakan dua potong lingerie menjadi hal yang sedikit sulit untuk dilakukan.Tapi Clara menyukainya. Tidak, bukan hanya sekedar menyukainya. Clara benar-benar menikmatinya. Dan setidaknya kesibukannya ini akan mengalihkan perhatian Clara dari masalahnya dengan Ansel."Memangnya Ansel saja yang bisa sibuk bekerja?"Jepretan demi jepretan di ambil dan puluhan hasil foto yang tampak luar biasa benar-benar membuat Clara kagum. Jika ia adalah dirinya dua tahun lalu, maka mungkin Clara tidak akan pernah menyangka bahwa ia bisa bergaya sebagus itu. Layaknya seorang model profesional.Tapi Clara yang sekarang berbeda dengan Clara yang dulu. Ia sekarang adalah satu di antara deretan model La Perla. Dan juga salah satu model yang melenggok d
Pikiran Ansel benar-benar kalut. Hatinya tidak tenang karena rasa gelisah. Wajah terakhir yang ia lihat sebelum Clara pergi tadi pagi adalah hal yang paling tidak bisa ia lupakan. Kekasihnya itu benar-benar kecewa dan terluka. Matanya sembab karena menangis begitu hebat. Dan semua itu disebabkan oleh Ansel. Ansel dan segala egoismenya yang tidak bisa ia bendung.Dan karena itu pula Ansel tidak bisa fokus bekerja sejak tadi. Pikirannya selalu kembali kepada Clara dan Clara lagi. Rapat hari itu bahkan berjalan terasa sangat lambat karena Ansel tidak bisa meraih ponselnya untuk menghubungi kekasihnya itu."Jadi bagaimana, Tuan Brooks? Konsep iklan yang mana yang menurut Anda paling baik?"Pertanyaan dari salah seorang karyawannya menyadarkan Ansel dari kekalutannya. Ia segera mengerjapkan matanya berkali-kali dan mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaannya.Sadar, Ansel! Ada proyek senilai lima juta poundsterling yang harus kamu selesaikan!Ansel meninjau konsep yang dibuat oleh timnya