"Sialan! Kamu bener-bener ya, Nisya ... A arrrhhh! Bisa nggak kebiasaanmu yang satu ini dihilangkan! Untung ini jantung buatan Tuhan coba kalau buatan manusia, sudah tinggal nama aku, Nisya Kailandra!"
Aku menghendikan bahu acuh dan masa bodo dengan amarah Yasa yang memenuhi ruangannya. Sudah menjadi kebiasaanku untuk langsung masuk ke ruangannya tanpa permisi. Dan aku tentu sudah biasa dengan amarah Yasa setelahnya.
Mengabaikan gerutuannya yang masih bisa kudengar, aku memilih abai dan mengambil duduk persis di hadapannya dengan dia yang lantas menggesel laptop ke samping untuk menyambut kedatanganku."Gimana dengan masalah yang kemarin, sudah beres semua, kan?"
"Kamu tanya beginian ada maksud apa? Dan lagi aku minta tolongnya sudah dari kapan, Ibu Guru Nisya yang sok sibuk!"
"Biasa aja enggak usah ngegas, satu lagi aku memang benar-benar sibuk tahu!"
"Sibuk apa? Ngurusin ha
Setelah insiden kemarin aku selalu dihantui rasa bersalah terhadap Mas Ryan, bukannya tidak mau jujur tetapi aku merasa ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masa laluku. Beruntung Mas Ryan tidak lagi membahas masalah itu dan kembali melanjutkan pekerjaanya ketika Bayu datang saat akucakan menjawab pertanyaan mendebarkan itu. "Nis, Al sudah tidur?" tanya Mas Ryan saat menyusulku yang tengah menidurkan anaknya. "Sudah, kenapa?" "Bisa minta tolong?" Aku mengangguk, perlahan dengan hati-hati turun dari atas tempat tidur agar Alshad tidak sampai terbangun merasakan pergerakanku. "Buatkan mas kopi ya, sekalian antar ke ruang kerja mas." Pintanya ketika aku sudah berada didekatnya lalu menutup pintu kamar. Kembali aku mengangguk dan segera melakukan perintahnya. Mas Ryan, dia langsung menuju ruang kerjanya yang berada tepat di depan kamar utama. "Lembur, Mas?" tanyaku saat mengantar dan menaruh kopi pesanannya di at
"Mau sampai kapan kamu diamkan mas seperti ini?" Aku tidak menjawab dan tidak juga menoleh kearahnya, sudah aku bilang kan jika aku paling nggak suka ada orang yang semena-mena sendiri. "Oke, mas minta maaf, mas ngaku salah kerena nggak bisa bersikap tegas sama Sarah," ucapannya lagi. Dan aku masih tetap diam dan terus melanjutkan sarapanku, karena terlanjur malas dengan sikapnya itu. Mas Ryan, kuakui dia memang baik sebagai seorang suami, tapi kebaikannya itu juga yang menjadi kelemahannya. Selama menjadi istrinya tidak pernah sekalipun aku bersikap kurang ajar atau tidak sopan padanya, biarpun aku masih belum bisa sepenuhnya menerima dia sebagai suamiku. Tapi itu tidak menjadikanku alasan untuk bersikap semauku terhadapnya, bahkan aku cenderung menghormatinya sebagai laki-laki juga imam keluarga. "Nisya!" Dia menarik lenganku, "mas janji ini yang terakhir mas bantu dia." "Terakhir ya," responku lalu meletakkan kembali sendok yang kupegang.
Sudah beberapa hari ini aku jadi rutin mengunjunginya lagi, setelah kemarin-kemarin tidak bisa karena terhalang oleh aktivitasku yang tidak sebebas dulu. Aku letakkan setangkai bunga yang aku bawa, bersebelahan dengan bunga dari Sena, dia tidak bisa ikut karena sedang ada acara dengan keluarganya Mas Biru. Selanjutnya aku akan menjemput, Al, di rumah ibunya Mas Ryan sebelum pulang, tapi beberapa hari ini Al sudah mulai agak berubah kepadaku entah karena apa, dia jadi lebih pendiam dan nggak lagi suka bermanja denganku. "Al, kenapa sekarang nggak pernah cari bunda lagi kalau bangun tidur?" tanyaku sesaat setelah keluar dari rumah mama. Jarak rumah mama tidak terlalu jauh dari kediamanku sehingga aku berani membonceng anak ini menggunakan motor. "Kata ayah nggak boleh ganggu bunda lagi," ucapnya disela-sela perjalanan kami. "Kapan ayah bilang begitu?" "Kemarin, pas Al rewel terus ayah yang datang katanya mulai sekarang nggak
"Aku lihat sejak turun dari mobil Mas Biru, kamu tidak berhenti buat nggak unjuk gigi Sen, ada apa rupanya?" Dan sosok yang kutanya masih bertahan dengan senyuman yang asli membuatku ingin sekali menampol wajah ngeselinnya. "Arsena Nadhira! lo kesambet, hah?!" tanyaku yang mulai kesal. "Sabar Nis, aku bingung mau cerita dari mananya." "Nggak usah cerita, lagian pede banget aku mau dengar ceritamu yang nggak mutu itu!" "Dasar ibu-ibu ambekan, oke aku cerita dengerin baik-baik, aku ... habis dilamar Mas Biru dong," ucapnya dengan percaya diri sambil mengangkat tangannya untuk memperlihatkan kalau sudah ada cincin yang melingkar di jari manisnya. "Udah basi, lamarannya sudah dari kapan ceritanya baru sekarang, kamu masih waras kan, Sen?" "Ish, beda Nisya, ini tuh Mas Biru ngelamarnya pakek acara ala-ala yang romantis gitu tahu." Girangnya. "Jadi, Mas Biru melamar kamu lagi begitu?" Dia menga
"Masih belum selesai?" tanya Mas Ryan, memelukku dari belakang. Dengan melingkarkan lengannya di perut serta menempelkan dagunya di atas pundakku. Sehingga bisa aku rasakan hangat hembusan napasnya menerpa sisi wajahku. Aksinya ini membuatku mematung untuk beberapa, sebab belum pernah kejadian sebelumnya. Dan ini pertama kalinya dalam pernikahan Mas Ryan berani melakukan skinship denganku selain aktivitas ranjang tentunya. Karena sebelum ini jangankan pelukan, bergandengan tangan saja tidak pernah dilakukannya. "Tinggal sedikit lagi," balasku kikuk dan masih kurasakan debaran jantungku yang dua kali lebih cepat dari biasanya. Aku sedang berkutat di dapur saat Mas Ryan menghampiri, berikut perlakuannya yang masih begitu asing buatku. Namun entah kenapa sudut terdalamku seolah tidak ingin ini cepat berlalu. "Biar mas yang lanjutin, kamu siap-siap sudah mas siapin airnya," Mas Ryan lantas mengambil alih pekerjaanku yang tengah membua
"Sudah semua, kan? Nggak ada yang tertinggal?" "Sudah, Mas sendiri ada yang mau dibawa lagi?" Mas Ryan menggeleng, "ayo!" ajaknya seraya membukakan pintu penumpang untukku. Weekend ini aku diajaknya liburan entah mau kemana, Mas Ryan tidak memberi tahuku. Alshad, anak itu tidak ikut karena sejak kemarin sudah diambil papa untuk menginap di rumah beliau. "Mas," panggilku. "Kenapa?" Mas Ryan melirikku sekian detik setelah itu fokusnya kembali pada kemudinya. Aku mengangkat tautan jemari kami, " Bisa nggak ini dilepas dulu? Nanti Mas susah dan makin capek nyetirnya." "Biasanya juga seperti ini, kan?" "Iya, tapi biasanya ...." Aku tidak lagi bisa melanjutkan kata-kataku, karena Mas Ryan secara tiba-tiba membawa jemariku untuk dikecupnya, sambil menoleh kearahku dan tersenyum tipis. "Kamu istirahat saja, nanti kalau sudah sampai mas bangunin," ucapnya sambil mengelus pelan
Setelah permainan panas yang kami lakukan, membuatku semakin terlena dan tidak ingin waktu berlibur ini cepat berlalu, Mas Ryan juga semakin menunjukan sifat romantisnya kepadaku."Ada apa? Tumben banget kamu jadi manja gini, mau melakukannya lagi, heemm?" tanyanya sambil menangkup wajahku dengan kedua tangannya dan mengecup bibirku kilat."Enggak dulu ya, Nisya masih capek tahu!"Kudengar Mas Ryan terkekeh geli, mungkin sedang menertawakan kelakuanku. Aku bahkan malu pada diriku sendiri jika ingat apa yang sudah kuperbuat. Bisa-bisanya aku bersikap seperti itu, ya Tuhan sebenarnya apa sedang terjadi pada diriku ini.Minggu malamnya kami sepakat untuk pulang, setelah sebelumnya Mas Ryan ingin menambah satu hari lagi tapi dengan tegas aku tolak. Bukan tidak ingin tapi ini tentang tugas dan tanggung jawab yang sudah kami emban. Diperjalanan pulang, kulihat gelagat aneh dari Mas Ryan, dia seperti gelisah terlihat dari bahasa tubuhnya yang
["Nis, kapan ada waktu? Aku perlu bantuanmu, atau biar aku saja yang datang ke rumah, gimana?"] Pesan dari Yasa, baru kubuka setelah jam istirahat tiba, kalau sudah begini artinya dia memang sedang butuh bantuanku, karena Yasa hanya akan menghubungiku untuk itu, dan sangat jarang dia lakukan selama ini. ["Aku saja yang ke kantor."] Segera aku kirim balasan pesan kepadanya.Untuk kelas selanjutnya aku bisa meminta tolong Sena menggantikanku, semoga saja dia mau. Aku memandang bangunan 5 lantai di depanku ini dangan berbangga hati, aku tidak menyangka jika usaha yang kubangun dulu bisa sebesar ini. Aku sendiri yang mendesain bangunan ini bersama Yasa, dia orang yang kupercaya untuk memegang penuh kantor ini. Setelah kurang lebih dua tahun yang lalu aku memilih undur diri dari kursi kepemilikan. Setelah puas melihat wujud keberhasilan usahaku, dengan langkah santai aku mema
Dinginnya malam tidak menjadi halangan untuk sepasang suami istri yang sedang memadu kasih. Saling membelit satu sama lain, erangan juga desahan saling bersahutanMenikmati permainan yang seakan tidak akan ada kata puas bagi keduaanya. "Ah.. Sayang.. Mas akan segera sampai." "Tetap pada posisi Mas ya, please ...," Tidak mengindahkan permohonan sang istri, ketika dirasa puncak kenikmatan akan segera diraih sang suami yang semula bergarak lincah di atas istrinya mendadak melepaskan diri dari liang yang semula memberinya kenikmatan. Ia merelakan sedikit kenikmatan itu terenggut demi melindungi sang istri, menurutnya. Namun bukan ucapan terima kasih yang didapatkan, melainkan aksi merajuk dari istrinya setelah ia berhasil menumpahkan buah dari hasil pergulatan panas mereka di atas perut sang istri.
"Kak, ikut Papa, yuk.""Mbak juga diajak kan, Pah?"Dedek ikut!""Jadi kalian semua mau ikut Papa? Boleh asal nanti tidak ada yang rewel cari-cari Bunda.""Mbak gak mau ikut.""Dedek mo cama Bunda.""Nah itu lebih baik, karena Papa akan pergi bersama Kakak lama sekali. Jadi kalian para princesnya Papa di rumah sama Bunda, ya."Dua anak perempuan yang tak lain adalah Arsy, dan Risya itu pun mengangguk patuh menatap pria dewasa yang dipanggilnya Papa. Keduanya harus merelakan sang Kakak yang akan pergi bersama Papanya untuk sementara waktu. Putri dari Ryan dan Nisya yang sudah berusia 6 dan 2 tahun itu kini hanya bisa memandang punggung kakaknya yang semakin menjauh dan menghilang dari pandangannya."Ayah, kapan Kakak Al pulangnya?""Mbak, Kakak baru saja pergi sudah ditanyain kapan pul
"Bunda, susu."Balita berusia 4 tahun itu menarik-narik baju yang dikenakan oleh ibunya. Adalah Nisya yang sedang memangku putrinya yang baru saja terlelap."Ngomongnya yang baik gimana, Sayang? Bunda kan sudah ajarkan, Mbak Arsy.""Bunda, minta tolong buatkan susu.""Subhanallah pintarnya anak Bunda, tunggu sebentar bisa? Tapi bunda juga minta tolong sama Mbak jagain Dedek bayi, boleh?""Kakak Al?""Kakak Al kan masih sekolah.""Ayah?""Mbak lupa emangnya tadi pagi Ayah pamit mau kemana?""Mo kelja, cali uangna buat beli susu Mbak, sama Dedek bayi.""Artinya Mbak sekarang mau dong tolongin Bunda jaga Dedek?"Balita perempuan itu mengangguk, meski setengah hati. Ia bukan tidak ingin menjaga adiknya, tetapi balita 4 tahun itu merasa takut karen
"Jangan bebaskan aku, Mbak. Biarkan aku menebus kesalahanku, dan dosaku di sini.""Tidak, kamu memang sempat bersalah tapi karena kamu juga nyawa Mbak dan anak Mbak terselamatkan. Jadi sebagai rasa terima kasih Mbak, tolong terima lah bantuan Mbak demi Ibu.""Bahkan untuk bertatap muka dengan Ibu aku sudah tidak berani, Mbak. Ibu pasti kecewa banget sama aku.""Siapa bilang? Ibu sangat menunggu putranya bisa segera bebas dan bisa berkumpul kembali."Tidak ada jawaban dari pemuda di hadapan Nisya, hanya isak tangis tertahan yang keluar dari mulutnya. Reno, pemuda itu terlihat begitu menyesali tindakannya yang gegabah. Demi rasa dendamnya yang salah, ia harus rela mendekam di balik jerusi besi."Kamu sudah menyesali perbuatanmu, itu sudah cukup buat Mbak, Ren. Mbak tahu kalau kamu sebenarnya tidak sejahat itu, terbukti kamu juga yang sudah selamatkan Mbak."
"Al, ayah minta tolong bisa?""Iya, Ayah. Minta tolong apa?""Tolong jaga adik-adik sebentar, ya.""Ayah mau kemana?""Ayah ada urusan, nanti kalau mereka rewel tolong panggil Nenek, atau Bibik di bawah.""Ayah, apa ayah akan ke tempat Bunda?""Iya, kalian di tunggu di rumah saja, ya. Ayah janji tidak akan lama.""Apa.. Al, boleh ikut, Yah?""Kalau Al ikut nanti yang bantu Ayah jaga adek siapa? Di rumah saja, ya. Ayah hanya sebentar setelah iku kita bisa jagain adek sama-sama."Anak itu mengangguk patuh, mengambil alih tanggung jawab dari sang ayah. Lalu mulai mengajak kedua adik perempuannya untuk bermain. Tidak terlalu sulit karena dua adiknya sangat mengerti situasi, kecuali yang paling kecil. Alshad masih belum bisa untuk mengatasi jika sedang rewel, kondisinya yang masih sangat l
"Mas, jangan banyak bergerak dulu. Bekas oprasi di kepala Mas masih sangat rentan, Didi gak mau kalau di suruh nangis lagi. Mas pikir gak capek apa nangis dua hari dua malam.""Mas mau bertemu Mbak, Dek. Gimana keadaannya?""Mbak baik, Mas jangan khawatir soal itu. Kita semua di sini untuk kesembuhan Mas Mbak dan juga anak kalian.""Dia, apa dia masih bertahan, Dek?""Tentu, karena dia anak yang kuat. Sangat kuat, Mas sepatutnya berbangga sama dia.""Dek, apa tidak bisa ruang perawatan kita di satukan saja?""Mas kata ini hotel bisa tawar menawar?""Tapi Mas beneran ingin ketemu mereka, Dek. Kalian tidak sedang menutu-nutupi sesuatu dari Mas, kan?"Diandra menatap netra Ryan dalam diam, berusaha sekuat tenaga agar terlihat biasa saja di hadapan Mas-nya, yang baru saja bangun dari tidur panjangnya.
"Pa, sudah ada kabar dari orang suruhan papa?""Belum, Sa. Mereka masih menyelidiki setiap sudut rumah sakit ini yang memungkinkan bisa terpantau oleh kamera cctv.""Apa menurut Papa ini orang sama?""Kalau dari Nisya mungkin iya, tapi kita tidak tahu dari Ryan. Bisa jadi di pihak lain ada yang ingin menjatuhkan Ryan, sehingga melakukan ini semua."Abraham merasa kecolongan atas apa yang menimpa anak dan menantunya. Dia pikir keadaan sudah aman terkendali, nyatanya dia melupakan sesuatu jika dalang dari semua teror yang diterima putrinya dulu masih belum berhasil di tangkap kembali oleh pihak polisi."Maaf bukan maksud lancang, tapi jika diperbolehkan saya bisa membantu masalah ini. Kebetulan saya punya kenalan detektif juga yang selama ini membantu saya."Langit, Kakak dari Biru suami Sena yang kebetulan datang menjenguk Ryan ikut bersuara. Ia m
"Eengghh!"Nisya sudah mulai tersadar dari efek obat bius yang diberikan oleh perawat yang membawanya pergi dari rumah sakit. Untuk sesaat Nisya melihat sekeliling ruangan yang ditempatinya. Otaknya berpikir keras apa saja yang diingatnya, sampai ia sadar jika saat ini dirinya sedang dalam bahaya.Nisya ingat terakhir dia berada di basment yang tiba-tiba kesadaranya menghilang karena perawat yang membawanya membekapnya sehingga dia tidak sadarkan diri.Entah sudah berapa lama ia tertidur karana kini efek obat bius sudah mulai terasa efek sampingnya. Nisya merasa pusing yang teramat, berikut mual yang tak tertahankan. Ia ingin mengeluarkan isi perutnya saat ini juga. Tapi keadaan yang memaksa Nisya untuk menahannya, kedua tangan serta kakinya sudah terikat dengan erat menyatu pada sebuah kursi.Ceklek!Suara pintu yang terbuka dari luar membuat Nisya
"Dok, tolong jangan ucapkan kata itu. Kami semua tidak ingin mendengar kata 'maaf'.""Saya mengerti, tapi dengan berat hati saya harus mengatakan jika memang oprasinya telah berjalan dengan lancar. Tapi mohon maaf, pasien kami nyatakan koma untuk waktu yang belum bisa kami pastikan akan sampai kapan."Fakta itu membuat semua yang ada di sana tertunduk lesu, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Selain pasrah akan vonis dokter yang menangani Ryan. Setelah menjelaskan kondisi Ryan, juga berpesan untuk tidak dulu memperbolehkan membesuk Ryan yang sudah dipindahkan ke ruangan ICU.Mereka hanya bisa melihat tubuh Ryan yang terbujur di atas brangkar dengan berbagai alat yang menempel di tubuhnya."Gimana dengan Nisya? Apa kita akan mengatakan yang sebenarnya?""Sebaiknya memang jangan, dia sudah sangat shock atas kejadian ini. Jika dia tahu kondisi Ryan koma, dia pasti akan