Selama perjalanan, keheningan hanya menyapa Alea sama Bram. Kedua orang itu sama sekali nggak ada yang memulai bicara sama sekali. Karena mereka paham, pada akhirnya mereka hanya akan bertengkar satu sama lain setiap mau mulai membuka pembicaraan.
Sampai mobil Bram berhenti di sebuah pusat perbelanjaan.
“Kamu beli apa pun yang ada di sana. Bakalan mas bayar. Sekarang nggak ada batasan sama sekali. Kamu bisa bebas mau ambil apa aja. Asal kamu nggak ada lagi marah sama mas.”
Alea masih aja diam.
“Kenapa diam aja kayak gini? Harusnya kamu seneng dong karena saya bebasin kamu. Di saat biasanya mas selalu batesin uang belanja kamu. Apalagi baru beberapa waktu lalu mas kirim uang bulanan buat kamu. Jadi, nggak usah lah cemberut kayak gini. Mas mau liat senyuman kamu. Bukan sifat kamu yang gini.”
“Karena bukan ini yang aku mau!”
“Pisah? Yang kamu mau kamu pergi kan dari hidup saya? Tapi maaf saja ... karena kemauan saya bukan apa yang kamu mau. Jadi lebih baik diam dan dengarkan apapun perintah saya kalau kamu nggak mau hal buruk terjadi sama kamu atau keluarga kamu!”
“Mas ... berenti ancam keluarga aku,” protes Alea memandang kesal. “Ini semua salah aku dan mereka nggak tahu sama sekali tentang apa yang aku lakuin. Jadi, stop bawa mereka ke masalah kita. Karena aku bener benci banget sama kamu yang gini!”
Bram tertawa remeh.
Tangannya berada di pundak Alea dan ia tepuk perlahan.
“Sayangnya saya nggak peduli, kamu yang masuk ke hidup saya membuat saya harus jaga diri dan mengetahui semua tentang kamu. Jadi kalau kamu macam-macam sama saya, mereka akan kebawa juga.”
Bram menatap tajam Alea. “Jadi kalau nggak mau kenapa-napa, mendingan kamu diam dan jadi perempuan yang nurut sama saya,” lanjut Bram dengan congkak.
Melihat kalau Alea cuma diam aja membuatnya tertawa. “Bagus ...”
Alea menghela napas kasar.
Ia sudah terlalu malas. Perempuan itu membuka seatbelt dan keluar dari mobil. Ia hirup udara segar hari ini dan menghembus kan nya dengan kasar.
“Hari yang mengesalkan. Tapi aku harus kuat. Yuk bisa Alea!” seru Alea berusaha menyemangati dirinya sendiri.
“Aku harus selesaiin semuanya dengan baik. Karena ibu atau bapak nggak ada yang boleh tahu tentang semua ini! Walau kalau tahu juga pasti mereka nggak peduli. Tapi aku nggak mau kalau nanti pulang, mereka bakalan ungkit terus masalah ini! Jadi, lebih baik kalau mereka nggak tahu sama sekali.”
Bram ikut turun dari mobil, tak lupa dirinya mengunci mobil dan langsung merangkul Alea. Tidak ada balasan seperti biasanya. Mereka seperti pasangan yang sedang bertengkar satu sama lain. Nggak ada yang mau mengalah.
“Jangan cemberut kayak gini dong,” seru Bram sambil terus menyamakan langkahnya sama Alea.
“Kamu mau apa? Jangan diam aja kayak gini dong. Biasanya kamu suka kalau mas ajak ke tempat kayak gini loh. Saya nggak mau kalau kamu mendam semua nya sendiri. Kamu harus keluarin semua nya ya. Jangan kayak gini. Saya mohon.”
“Di sini yang salah itu kamu, kamu yang udah lukai hati saya. Tapi apa? Saya masih maafin kamu kan? Jadi, selagi saya masih baik. Lebih baik kamu turuti semua keinginan saya dan berhenti cemberut nggak jelas kayak gini.”
Bram menarik kasar Alea untuk semakin dekat dirinya. Lalu Bram mengusap lengan atas Alea dan mengecup pipi Alea.
Alea pasrah. Tenaga laki-laki jauh di atas dirinya dan ia nggak bisa menghentikannya sama sekali. Lagipula, ia malas bicara sama sekali.
“Nah ... begini dong. Nggak usah sok jadi perempuan. Ini kerjaan kamu, jadi profesional dan harus keliatan senang saat bersama saya!”
“Hmm ...”
“Oh iya ... kamu tahu nggak sih kalau hari ini banyak banget yang bilang sama mas kalau tahun depan mas bakalan dapat kebahagiaan melimpah. Ya ... semacam ramalan biasa sih. Tapi saya rasa ini ada hubungannya sama kamu. Bisa jadi tahun depan hubungan kita bisa lebih jauh kan?”
“Lebih jauh?” tanya Alea
Bram mengangguk dengan cepat. “Iya. Karena salah satu capaian yang belum saya dapat yaitu menaklukkan kamu dan saya asa kebahagiaan yang di maksud itu kamu. Jadi, saya harap kamu nggak pergi dari sisi ini dan kita selalu bareng.”
“Aku bingung deh, kenapa kamu bisa mikir sejauh itu. Disaat hubungan kita aja lagi nggak baik dan juga berhenti bayangin hubungan kita yang semakin membaik. Di saat kamu sendiri nggak pernah mau melepaskan istri kamu.”
“Bukan begitu ... saya butuh waktu dan kamu tinggal sabar aja kok.”
Alea mengernyit. Ia menggeleng pelan dan tertawa lirih.
“Lagipula ... kamu masih percaya sama ramalan nggak jelas?”
“Hus!” seru Bram sambil menepuk pipi Alea pelan. “Ramalan yang kamu udah remehin ini nyatanya yang udah banyak terjadi loh. Bahkan mas kalau bicarain tentang perusahaan ke depannya. Mas akan tanya sama orang penting itu dan semua jawaban dia ternyata beneran. Kejadian ke perusahaan mas. Jadi kamu nggak boleh remehin dia sama sekali.”
Alea mengusap hidungnya dan hanya bisa menggeleng.
Alea kadang nggak habis pikir sama sosok Bram. Sosok penting yang dikagumi banyak orang, tapi nyatanya selalu takut banyak hal. Dan berakhir mempercayai ramalan nggak jelas. Dari lama Alea sudah berusaha memberi tau kalau semua ini nggak baik. Tapi dasarannya memang Bram yang nggak mau mendengarkan. Jadi, Bram terus aja melanjutkannya.
Lagipula,
Sejak kapan laki-laki itu mulai mendengarkan dirinya?
“Terserah kamu aja, mas. Intinya ... kamu terus percaya kita bisa bersama sampai nanti. Tapi kamu nggak ada niatan untuk cerai istri kamu itu kan? Jadi mau kamu percaya gimana pun. Kamu nggak akan pernah bisa terjadi ke hubungan kita.”
Bram tidak menjawab.
“Selama ini aku nggak pernah muluk-muluk sama semua ramalan kamu. Karena yang aku mau cuma kita bersama. Aku mulai capek, mas. Aku capek jadi orang kedua. Aku capek terus aja di sembunyiin atau aku yang harus hati-hati pas lagi sama kamu. Aku muak, mas. Aku juga butuh validasi dari semua orang dan kalau kamu cuma gini aja yang ada aku beneran mau pergi dari hidup kamu.”
“Bukan begitu Alea ... kamu tahu proses kan? Mas sama istri mas itu di jodohin. Kami juga sering bertengkar. Lagian mau mas sama istri mas tetap menikah juga nggak akan melunturkan kalau mas itu cinta sama kamu kan?”
“Tapi ... bukan itu yang aku maksud—
“Alea, dari awal hubungan kita yang memang gini. Kamu yang memberi saya kepuasan dan saya akan bayar kamu. Tapi sekarang kenapa mulai protes? Kamu beneran mau mas marahi atau mau mas bongkar!”
Alea menelan saliva. Seketika tenggorokannya kering.
“Gampang loh jadi, mas. Mas bisa aja kasih tau semua orang dengan kasih sedikit bumbu tanpa bawa nama mas. Dan berakhir kamu di rujak sama semua orang. Sementara mas? Nggak akan ada yang tau. Nama mas tetap bersih. Jadi dari pada kamu ngalamin ini semua. Mendingan kamu nurut dan diam aja!”
“Jahat ya kamu.”
“Terserah saya dong? Kan saya yang nyolong kamu selama ini.”
Alea menggeleng. “Terserah kamu aja lah mas. Nggak paham lagi aku tuh sama kamu.”
“Loh kenapa? Memang benar kan? Mas sama istri mas nggak saling cinta satu sama lain. Pernikahan kita juga nggak ngaruh tuh ke hubungan kita kan? Jadi harus nya kamu nggak usah protes sama sekali. Kita tetap terjalan dengan baik ini pernikahannya. Jadi ya gitu.”
Bram memiringkan wajahnya dan terdiam.
“Dan tentang yang tadi, mas cuma mengamankan posisi mas aja. Jadi nggak ada yang salah sama sekali. Kamu nggak tahu gimana usaha saya biar sampai ada di titik ini dan saya nggak mungkin ngebiarin kamu gitu aja dong hancurin posisi saya?”
Alea berhenti melangkah dan menoleh ke Bram. Membuat langkah Bram ikut berhenti.
“Kalau kamu memang nggak cinta, harus nya kamu mau pisah mas sama dia. Bukannya malah terus bertahan. Nggak mas. Aku tahu di mata istri kamu itu ada cinta ke kamu. Dan gitu juga sebaliknya. Aku paham kok. Kalau aku nggak seberharga itu sampai kamu mau pisah sama istri kamu demi aku doang.”
Alea mengusap kasar rambutnya dan berseru kecil.
“Dan egois banget kamu! Di sini yang ngelakuin tuh kita berdua. Jadi, kalau kena apa-apa ya udah seharusnya kita berdua juga yang nanggung. Bukannya Cuma aku yang di korbanin sama kamu. Tapi ... bukannya memang selalu gitu ya? Orang yang punya uang akan bertindak semau dia. Jadi, aku bisa apa?”
“Nah itu kamu tau ...”
Alea menggeleng dan meninggalkan Bram gitu aja. Dia melangkah lebar-lebar membuat Bram yang terdiam sejenak. Langsung memanggil Alea dengan kencang dan melangkah mengikutinya.
Semua orang menoleh, tapi dia nggak peduli sama sekali dan langsung bergegas ke arah Alea.
“Maksud kamu apaan sih? Kalau pun kita saling cinta. Nggak menutup hal kalau mas cinta kan sama kamu?” seru Bram sambil membalikkan tubuh Alea. “Kita yang saling cinta satu sama lain aja tuh udah bagus, Alea. Nggak perlu ada yang lebih.”
Alea menunduk.
“Kalau yang kamu khawatirin itu hubungan kita yang ketahuan. Mas bakalan pastiin kalau kita nggak akan pernah ketahuan sama sekali. Dan juga selama ini kita baik-baik aja kan? Jadi selama kamu nggak berulah. Kita nggak akan ketahuan sama semua orang.”
“Bukan masalah ketahuannya mas. Aku Cuma nggak mau berdiri di tengah harapan yang nggak pasti sama sekali. Aku nggak mau kalau pada akhirnya nanti kamu sama aku nggak akan pernah bisa bersama.”
“Bisa Alea ... mas kan pernah ajak kamu buat nikah siri. Tapi apa? Kamu nggak mau sama sekali kan? Nggak ... di sini memang kamunya yang nggak mau lanjutin hubungan kita. Kamu kayaknya udah lelah sama hubungan kita kan?”
Setelah ngomong begitu, ponsel Bram berdering. Laki-laki itu langsung saja mengeluarkan ponselnta dan seketika ia kelu melihat siapa yang menelpon dan menatap nggak enak sama Alea.
Alea dengan jelas melihat siapa penelpon Bram. Siapa lagi kalau bukan dari istrinya sendiri. Ia hanya tersenyum miris.
“Angkat aja mas, siapa tahu istri kamu lagi butuh.”
“Tapi kamu?”
“Pergi aja mas. Aku mau jalan-jalan di sekitaran sini juga. Nggak usah pikirin aku. Kasihan itu istri kamu.”
“Ya udah nanti mas transfer buat kamu. Mas pergi dulu ya? Mas minta maaf,” seru Bram sebelum bergegas kembali untuk menemui sangat istri.
Meninggalkan Alea sendiri.
“Selalu saja begini.”
“Di mana kamu?”Belum selesai satu masalah. Alea sekarang malah di serbu sama pesan yang dikirim sama Chris. Semua pesannya berisi kata yang sama yaitu menanyakan posisi dirinya. Pesan yang terus dikirim sampai udah puluhan pesan yang masuk ke ponselnya.Alea tidak mengerti kenapa, tapi ini benar-benar berisik membuat dia terpaksa balas semua itu./Berhenti bang ... aku bilang stop tanya aku ini itu. Omongan abang yang kemarin udah buat aku yakin kalau abang nggak mau kenal sama aku lagi. Aku tau kalau abang udah kecewa sama aku. Maka dari itu, udah ya. Berhenti chat aku kayak gini./Dan setelah pesan dikirim, Alea malah mendapat panggilan dari Chris membuat ia menghela napas dalam. Dengan cepat Alea mematikan ponsel dan memasukkan ke dalam tas. Sebelum beranjak dari tempatnya kini.“Aku nggak mengerti sama sekali, kenapa bisa terjebak oleh dua orang yang benar-benar posesif. Aku nggak tahu kalau mereka bakalan sampai sejauh ini.”Alea mengacak rambutnya dan menghela napas. Ia nggak p
“Harus cari di mana uang sebanyak lima puluh juta?” Alea memeluk kakinya dan menarik napas dalam. “Lima puluh juta cuma untuk yang satu ini. Aku harus juga nyiapin sepuluh juta buat bayar hutang sama bunganya. Belum masing-masing lima juta buat uang jajan ibu sama bapak tiap bulannya.”“Dapet dari mana uang sebanyak itu?”Alea kembali menangis. Meratapi kisah hidupnya yang nggak pernah selesai.“Kapan aku bisa jadi orang kaya? Biar hal kayak gini nggak buat aku pusing lagi. Biar aku tahu harus nyelesain seperti apa kalau udah sejauh ini. Biar aku tau kalau aku juga berguna bagi orang tua aku.”Alea memandang langit yang sangat cerah.Teringat jelas masalah yang membuat dia ingin pergi dari hidup Bram.“Kalau kayak gini, aku bisa apa? Aku cuma bisa berakhir minta maaf sama mas Bram atas sikap aku. Biar aku bisa minta apa pun yang aku butuh. Biar mas Bram juga nggak ungkit semua masalah ini lagi.”Alea menarik napas dalam. Tangannya terulur meninju udara kosong. Ia benar-benar marah sam
“Alea ... apa kamu nggak mau mikir lebih dulu?”Hati Alea semakin ragu. Bayangan akan semua kebaikan Chris terus menghantui dirinya. Alea memang jatuh cinta sama Bram tapi dia juga nggak bisa memungkiri kalau bersama Chris dia jauh merasa aman. Seperti sosok kakak yang benar-benar menjaga adiknya dengan sangat hati-hati.Tapi bayangan tentang semua hutang orang tua membuat dia langsung menggeleng.“Maaf bang ... Abang bisa cari perempuan lain yang juga cinta sama abang. Pasti nggak susah kok. Apalagi abang tuh baik banget. Jadi, aku tuh yakin banget kalau abang bakalan dapat yang terbaik. Aku beneran seyakin itu ...”Chris melepas genggaman tangannya sambil melangkah mundur.“Berhenti jatuh cinta sama aku ya, bang.” Alea benar-benar memohon.Chris tertawa lirih dan menggeleng. “Mungkin gampang kamu ngomong kayak gitu. Kamu gak pernah merasakan apa yang abang rasakan selama ini. Kamu boleh suruh abang pergi tapi nyuruh abang biar nggak jatuh cinta sama kamu tuh egois banget. Nggak bisa
“TAHU DARI MANA KAMU!” seru Alea saat mereka udah di dalam lift, hanya berdua.“Udah bukan rahasia umum lagi sih. Lagian kamu memang ada tampang pelakor sih. Yaa namanya juga dari kampung. Pastinya kamu milih berbagai cara untuk mendapat apapun yang kamu mau. Tapi ya kalau sampai sejauh ini sih ... benar-benar memalukan.”Alea menatap bengis.“Nggak usah sok tahu, kamu! Maksudnya nggak usah ikut campur sama perempuan lain.”“YA ... memang nggak ada niatan ikut campur sih. Cuma geregetan aja sama kamu. Bisa-bisanya kamu lakuin hal jahat itu sama nona yang super baik itu. Atau ... memang kamu tuh nggak bakalan peduli sih sama hal kayak gini. Memang nggak punya hati nurani sama wanita lain. Dasar ...”Alea terdiam membuat perempuan itu semakin menggebu.“Dengar ya Alea ... kita semua di sini tuh udah pada tahu apa yang terjadi antara kamu sama tuan Bram. Tapi kita memang nggak mau ikut campur. Karena kita jelas tahu, orang yang punya banyak uang akan berakhir menang di banding kami. Aku
Setelah keluar dari ruangan kerja Bram, Alea benar-benar nggak kembali. Ia menyibukkan diri dengan file yang baru datang. Perempuan itu juga nggak peduli kalau mereka bakalan mengatakan hal yang buruk tentang dirinya. Yang ia punya kini hanya butuh waktu sendiri. Dia butuh menenangkan diri.***Pintu ruangannya terbuka dan ia melihat Bram masuk ke dalam. Langsung saja ia menunduk dan menghela napas dalam sambil terus saja menggeleng.“Kalau mas datang cuman buat bilang pisah, aku nggak bisa mas. Aku udah mikirin dari semalaman dan aku rasa kamu salah satu orang yang paling tepat di hidup aku dan setelah ngelewatin semua ini. Aku nggak mau kalau malah dengar penolakan dari kamu. Aku nggak akan pernah bisa sama sekali.”Bram duduk di depan Alea. Mendengar semua omongan selingkuhannya itu.“Kenapa? Kenapa tiba-tiba ngomong kayak gini?” tanya Bram dengan lembut. “Memangnya kamu tahu saya datang kesini untuk ngomong apa?”“Pisah kan?” tuduh Alea sambil menatap bengis pada Bram. “Kalau dar
Bisa nggak sih Alea menertawakan kencang-kencang dirinya? Bisa nggak sih dia bilang sama dirinya di masa lalu, kalau dia udah jadi perempuan yang benar-benar memalukan. Bahkan untuk saat ini hanya tangisan air mata saja yang Alea lihat wajahnya di cermin.Ia menatap lehernya yang penuh dengan bekas merah yang dibuat sama Bram.Ia mencengkram kuat ujung bajunya sebelum mulai menghapus ruam merah itu dengan make up miliknya.“Bahkan ... aku nggak bisa menyuarakan apa yang aku nggak suka. Bahkan aku nggak bisa bilang enggak. Bahkan setiap aku nangis, aku selalu di marahin. Bahkan aku udah mulai lelah sama semua ini.”Perempuan itu menunduk.“Semakin memalukan karena aku yang lakuin ini semua hanya demi uang. Hanya demi lima puluh juta yang udah dikirim sama mas Bram.”Perempuan itu duduk di depan meja cermin dan menghubungi orang tuanya. Butuh beberapa waktu untuk bundanya mengangkat panggilan tersebut.“Kenapa nak ... bunda lagi ada urusan? Ini kenapa kamu nelepon terus kayak gini? Ngga
“Saya nggak tahu kalau Tiara bakalan datang kesini. Tapi kamu udah makan kan? Ya ampun, padahal tadi saya udah janji sama kamu buat makan siang bareng. Tapi saya juga nggak mungkin kan tinggalin Tiara gitu aja demi kamu. Yang ada semuanya ketahuan. Jadi saya terpaksa tinggalin kamu dulu. Tapi, kamu nggak marah kan sama saya?”Alea menunjuk kotak bekal yang ada di atas meja dan tersenyum tipis.“Lah? Kotak bekal ini. Bukannya ini tadi yang di bawa Tiara buat saya?” tanya Bram lalu kotak bekal itu ia buka dan benar isinya tinggal sisa, walaupun masih ada beberapa lauk dan nasi. Tetap aja itu bekas dirinya. “Bentar dulu ... ini kamu yang makan?”Alea menegakan duduknya dan menggeleng.“Aku tadi udah minum di bawah, jadi belum terlalu laper. Eh ini malah tiba-tiba di bawain makanan sama istri kamu. Aku juga belum buka sama sekali. Emangnya kenapa?”“Ini makanan sisa mas.”Rahang Alea jatuh ke bawah dan ia menatap nggak suka.“Ini maksudnya apaan sih? Emang benar kan apa yang aku pikirin s
Hati Alea benar-benar dibuat semakin resah saat tahu Bram ini memberi nomornya ke pada orang yang sangat ia takuti. Alea bukan takut kalau Nona Tiara mengetahui ini semua. Dia lebih malas untuk menyelesaikan semua ini dan mendapat pandangan buruk yang membuat ia harus pergi dan memulai semuanya dari awal.Ia malas melakukan itu semua sendiri.“Aku nggak tahu apa yang bakal di lakuin sama nona Tiara. Tapi aku yakin ini semua nggak akan baik-baik aja dan aku harus mulai waspada sama semua ini!”Perempuan itu menghentikan kegiatan joging dan duduk dengan napas memburu. Alea buka headset yang sejak tadi terpasang dan mulai menatap sekitar.“Biasanya pagi weekend kayak gini, yang paling semangat ngajak olahrga tuh ya bang Chris. Soalnya kan mas Bram pasti sama nona Tiara kalau weekend. Tapi sekarang semuanya terasa sepi. Nggak ada lagi yang bisa aku ajak ngobrol. Di kota yang luas ini, nyatanya aku nggak punya teman sama sekali.”Perempuan itu mengeluh dan mulai duduk, meluruskan kakinya y
Sekarang udah jam setengah satu malam tapi orang yang berjanji akan datang belum menampakkan diri sama sekali. Sementara itu, Alea memeluk dirinya sendiri dan menarik napas dalam. Dia sungguh nggak paham kenapa mau aja datang kesini. Dengan keadaan dirinya seorang diri, perempuan dan ada di tempat yang cukup sepi.Alea mengaduk kopi hangat yang ia pesan dan mengusap tubuhnya itu.“Huh ... kemana lagi, dia yang bikin janji. Tapi aku yang harus nunggu.” Perempuan itu hanya bisa diam dan memangku wajahnya dengan salah satu lengannya yang kosong. “Di sini tuh sebenarnya aku penasaran banget deh ... dari kecil kenapa aku selalu nggak di hargain kayak gini sih? Kayak ... setiap orang nggak bisa gitu ngehargain apa yang aku—Teng ...Suara lonceng yang beradu dengan pintu membuat Alea mengalihkan pandangan dan ia langsung tersenyum lega saat melihat Bram yang masuk ke dalam. Laki-laki itu langsung melambaikan tangan ke arah dirinya dan mesan makanan sebelum duduk di hadapannya.“Ada apa?”Ke
Semakin hari, hidup Alea hanya terus mikirin omongan Tiara saja. Pada awalnya Alea memilih untuk nggak cerita sama Bram karena dia rasa, dirinya bisa melewati ini sendirian. Tapi semakin di pikirin sendiri, yang Alea dapatkan hanyalah kepusingan sendiri aja. Dan kini dia nggak tahu harus melakukan apa lagi.Ia menyerah ...Alea mengeluarkan ponselnya dan memilih menghubungi Bram. Dia butuh Bram di saat seperti ini. Tapi akhir-akhir ini Bram sulit sekali untuk di hubungi. Bahkan laki-laki itu nggak sempat untuk sekedar datang ke apartemen.“Ck ... kemana sih?”Alea terus menggerutu. Beberapa panggilan yang masuk. Nggak ada yang di angkat sama sekali. Ia menoleh dan melihat jam nunjuk pukul tujuh malam dan seharusnya Bram itu udah ada di rumahnya.“Kalau memang dia udah fokus sama istrinya itu dan nggak butuh aku. Aku bisa pergi. Walaupun aku belum siap kehilangan kebahagiaan ini. Tetap aja kalau Mas Bram sendiri yang minta. Aku beneran bakalan pergi karena jarang sekali mas Bram yang b
Alea speechless. Bahkan ia nggak tahu harus menjawab apa. Semuanya terlalu tiba-tiba dan satu pertanyaan yang hinggap di benak dia. Kenapa di antara banyaknya perempuan harus dia? Diantara banyaknya orang yang ada di sekeliling Bram, terus harus dia yang di pinta seperti ini?Kenapa ...“Alea?” panggil Tiara sambil mengguncang tubuh Alea hingga perempuan itu tersadar dari lamunannya. “Kamu melamun? Kamu nggak dengar cerita saya dari tadi?”Alea langsung menggeleng.“Saya turut sedih sama apa yang di alamin sama nona,” ucap Alea yang kembali formal merasa perbincangan mereka cukup serius. “Saya nggak mengira kalau tuan yang segitu bucinnya sama nona ternyata bisa selingkuh. Tapi di sini saya masih nggak paham kenapa nona meminta bantuan saya di saat saya itu pegawai tuan yang berarti saya fokusnya sama pekerjaan bukannya sama tingkah laku tuan Bram.”“Kamu kan sekretarisnya.”“Lalu?”Tiara menghela napas dalam dan menatap serius ke arah Alea.“Gini deh ... di antara seluruh pegawai mas
Makan malam berjalan lancar. Mungkin itu bagi Tiara sama Bram. Karena tanpa mereka sadari ada yang menahan rasa sakit hatinya sejak tadi karena ucapan Tiara yang terus tak terkontrol dan entah kenapa karena semua itu. Alea makin yakin kalau Tiara tau sesuatu dan sengaja mengundang dirinya hanya untuk membuat dia jadi sakit hati saja.“Ini udah jam sembilan malam, kamu masih mau Alea di sini atau suruh supir siap-siap biar antar dia pulang?”“Kayaknya ... aku mau Alea nginap di sini aja deh, mas!” seru Tiara dengan cepat sambil meluk lengan suaminya. “Boleh ya mas ... aku beneran seneng banget, akhirnya ada teman di sini. Setelah yang kamu tau aku ini selalu cari teman selama ini. Tapi pada akhirnya aku bisa ada di titik ini. Boleh ya .. aku beneran nyaman banget sama bawahan kamu ini.”Alea terdiam hanya bisa menatap mereka tanpa mengatakan apa-apa. Ia hanya ingin pulang tapi apa daya kalau Tiara malah mengatakan seperti itu? Membuat dirinya semakin susah pergi dari sini dan terjebak
Alea mendongak dan di depannya sudah ada rumah yang benar-benar besar. Mungkin bukan rumah? Tapi lebih ke mansion. Tapi apa pun itu, Alea dibuat minder saat dirinya mulai melangkah masuk dan disapa oleh beberapa pelayan yang berdiri di depan pintu rumah.Ia meneguk saliva dan tersenyum canggung menyapa mereka semua, lalu dia digiring masuk sampai seruan yang sangat ia kenal membuat Alea mendongak.“Alea! Akhirnya kamu datang. Ya ampun ... aku kira kamu nggak mau datang. Udah pesimis banget nih. Eh ternyata kamu datang juga. Seneng banget.”“Aku-kamu?”Tiara mengangguk dan mereka cium pipi kanan dan kiri sebelum Tiara tertawa kecil.“Aku tuh nggak punya teman yang dekat gitu. Kalaupun ada, biasanya cuman karena harta doang. Duh, kesel deh sama orang yang kayak gitu. Tapi setelah aku perhatiin. Kamu tuh salah satu orang yang nggak peduli sama keuangan gitu ya? Lihat aja ... kamu pasti banyak gitu penghasilan. Tapi aku nggak pernah lihat kamu bawa barang atau pakai baju yang branded. Jad
“Kamu dapat dari mana?”Anak kecil itu menutup mulutnya dengan polos dan menggeleng. “Nggak boleh ... aku nggak di bolehin buat bilang ke kakak. Aku cuman dipinta buat kasih ini aja ke kakak dan kasih tau ke kakak, kalau kakak nggak usah sedih. Karena bakalan banyak orang yang sedih lihat kakak itu sedih kayak gini.”Alea tertawa renyah dan memeluk anak itu lagi. Keduanya terlibat perbincangan yang seru sampai seorang laki-laki yang sejak tadi melihat mereka dari balik pohon.Laki-laki itu tersenyum tipis.“Nah ... lebih cantik tersenyum kayak gitu di banding nangis kan?”***Alea sudah kembali dari kegiatan larinya. Dia memasuki unit apartemen dan langsung saja bersih-bersih tanpa pikir panjang. Kemudian dia memilih beristirahat karena hari ini dirinya benar-benar bebas dari semua orang.“Nggak akan ada lagi yang mengganggu hari ini, karena beberapa hari terakhir nona Tiara selalu ada di rumah membuat mas Bram jadi nggak bisa kesini.”Perempuan itu terkikik sambil memotong timun yang
Hati Alea benar-benar dibuat semakin resah saat tahu Bram ini memberi nomornya ke pada orang yang sangat ia takuti. Alea bukan takut kalau Nona Tiara mengetahui ini semua. Dia lebih malas untuk menyelesaikan semua ini dan mendapat pandangan buruk yang membuat ia harus pergi dan memulai semuanya dari awal.Ia malas melakukan itu semua sendiri.“Aku nggak tahu apa yang bakal di lakuin sama nona Tiara. Tapi aku yakin ini semua nggak akan baik-baik aja dan aku harus mulai waspada sama semua ini!”Perempuan itu menghentikan kegiatan joging dan duduk dengan napas memburu. Alea buka headset yang sejak tadi terpasang dan mulai menatap sekitar.“Biasanya pagi weekend kayak gini, yang paling semangat ngajak olahrga tuh ya bang Chris. Soalnya kan mas Bram pasti sama nona Tiara kalau weekend. Tapi sekarang semuanya terasa sepi. Nggak ada lagi yang bisa aku ajak ngobrol. Di kota yang luas ini, nyatanya aku nggak punya teman sama sekali.”Perempuan itu mengeluh dan mulai duduk, meluruskan kakinya y
“Saya nggak tahu kalau Tiara bakalan datang kesini. Tapi kamu udah makan kan? Ya ampun, padahal tadi saya udah janji sama kamu buat makan siang bareng. Tapi saya juga nggak mungkin kan tinggalin Tiara gitu aja demi kamu. Yang ada semuanya ketahuan. Jadi saya terpaksa tinggalin kamu dulu. Tapi, kamu nggak marah kan sama saya?”Alea menunjuk kotak bekal yang ada di atas meja dan tersenyum tipis.“Lah? Kotak bekal ini. Bukannya ini tadi yang di bawa Tiara buat saya?” tanya Bram lalu kotak bekal itu ia buka dan benar isinya tinggal sisa, walaupun masih ada beberapa lauk dan nasi. Tetap aja itu bekas dirinya. “Bentar dulu ... ini kamu yang makan?”Alea menegakan duduknya dan menggeleng.“Aku tadi udah minum di bawah, jadi belum terlalu laper. Eh ini malah tiba-tiba di bawain makanan sama istri kamu. Aku juga belum buka sama sekali. Emangnya kenapa?”“Ini makanan sisa mas.”Rahang Alea jatuh ke bawah dan ia menatap nggak suka.“Ini maksudnya apaan sih? Emang benar kan apa yang aku pikirin s
Bisa nggak sih Alea menertawakan kencang-kencang dirinya? Bisa nggak sih dia bilang sama dirinya di masa lalu, kalau dia udah jadi perempuan yang benar-benar memalukan. Bahkan untuk saat ini hanya tangisan air mata saja yang Alea lihat wajahnya di cermin.Ia menatap lehernya yang penuh dengan bekas merah yang dibuat sama Bram.Ia mencengkram kuat ujung bajunya sebelum mulai menghapus ruam merah itu dengan make up miliknya.“Bahkan ... aku nggak bisa menyuarakan apa yang aku nggak suka. Bahkan aku nggak bisa bilang enggak. Bahkan setiap aku nangis, aku selalu di marahin. Bahkan aku udah mulai lelah sama semua ini.”Perempuan itu menunduk.“Semakin memalukan karena aku yang lakuin ini semua hanya demi uang. Hanya demi lima puluh juta yang udah dikirim sama mas Bram.”Perempuan itu duduk di depan meja cermin dan menghubungi orang tuanya. Butuh beberapa waktu untuk bundanya mengangkat panggilan tersebut.“Kenapa nak ... bunda lagi ada urusan? Ini kenapa kamu nelepon terus kayak gini? Ngga