Clara langsung berhambur ke pelukan Stevan, langkahnya cepat seperti angin yang berlari ke arah cakrawala. Pelukan itu begitu erat, seolah-olah jika ia melepaskannya, dunia akan runtuh.Harumnya begitu akrab, membangkitkan ribuan kenangan yang tertidur di sudut hatinya selama delapan tahun terakhir.Stevan terkekeh kecil, suara tawanya yang hangat seperti matahari pagi yang membelai dedaunan embun.Ia membiarkan wanita muda itu melingkarkan lengannya di tubuhnya dengan begitu erat, menikmati kehangatan yang selama ini ia rindukan.“Uncle jahat! Delapan tahun tidak pernah pulang sekali pun,” gumam Clara dengan suara bergetar, matanya berkaca-kaca, memukul-mukul dadanya dengan lembut.“Sorry,” balas Stevan, suaranya terdengar penuh penyesalan, namun ada kelembutan di sana.Tangannya bergerak pelan, menyusuri surai rambut Clara yang halus, memberikan sentuhan yang mampu meredakan segala keresahan di hatinya.Clara hanya mempererat pelukannya, mengabaikan tatapan geli dari kedua orang tuan
Rooftop yang sunyi itu diselimuti aroma melankolia, angin malam berembus pelan, membawa serta keharuman samar dari bunga-bunga liar yang tumbuh di tepi atap.Clara meneguk minuman sari melon dari gelas transparan di tangannya, matanya menatap jauh ke dalam kegelapan malam, seolah mencari jawaban yang tak pernah datang."Berapa lama Uncle di sini?" Suaranya lembut, seperti bisikan angin, namun cukup kuat untuk menyentuh hati yang mendengarnya.Stevan menarik napas panjang, matanya menyapu langit yang dihiasi bintang-bintang seperti taburan berlian di kanvas hitam. "Hanya satu minggu, Clara," jawabnya dengan nada datar yang mengandung rasa letih yang sulit dijelaskan.Clara terdiam. Ia menunduk sejenak, lalu kembali menatap ke depan, tempat gedung-gedung tinggi berdiri seperti raksasa tak berjiwa."Ayahmu terlalu memforsilmu, Uncle," ujarnya dengan nada yang mulai mengeras, seperti bara api kecil yang siap berkobar. "Bukankah dia memiliki seorang putra? Kenapa tidak dia saja yang kerja
Satu minggu berlalu dalam kesenyapan yang melekat seperti embun pagi di jendela kaca, dingin dan penuh tanda tanya yang tak terjawab.Di ruang kerjanya yang luas namun terasa sempit oleh bayang-bayang beban, Stevan termenung, tenggelam dalam ketenangan yang justru lebih berisik daripada gemuruh kota.“Bersiaplah, Stevan. Rapat pemegang saham akan segera dimulai.” Suara Lisa—sang ibu—pecah seperti lonceng di udara sunyi.Wanita itu melangkah masuk dengan elegansi seorang ratu, tatapannya tajam seperti pisau yang mencoba menembus kabut pikiran Stevan.Stevan mengalihkan pandangannya perlahan, menatap ibunya dengan ekspresi yang sulit ditebak, lalu menghela napas panjang—napas yang seolah membawa beban dunia.“Apa yang terjadi selama aku di New York selama satu minggu kemarin, Ibu?” tanyanya, suaranya seperti angin yang berbisik di sela dedaunan musim gugur.Lisa menaikkan alis, memberikan pandangan yang tak kalah tajam. “Berjalan seperti biasanya, Stevan. Ayahmu menghandle semua pekerja
"Aku minta maaf, Stevan." Lisa memandang wajah anaknya yang menyiratkan kekecewaan begitu dalam, seolah-olah seluruh dunia telah meruntuhkan tembok-tembok harapan yang ia bangun.Namun, sinar matanya tidak menunjukkan getaran penyesalan. Bibirnya mengucap maaf, tetapi jiwanya tetap dingin seperti angin musim gugur yang menghempaskan daun-daun tanpa ampun."Kau pun tahu jika aku tidak memiliki kuasa atas keputusan Randy," ucap Lisa, suaranya lembut namun kosong, seperti angin yang berbisik di sela pepohonan mati.Stevan berdiri kaku di depannya, tangannya terkepal erat hingga buku-bukunya memutih, menyimpan amarah yang mendidih seperti magma yang siap meletus."Kalian semua penjahat! Tidak punya hati!" Teriaknya, suaranya menggema seperti petir yang memecah langit kelam.Matanya menatap ibunya dengan amarah yang tak mampu ia sembunyikan, meski dalam hatinya terselip rasa pedih yang tak terlukiskan."Aku sudah berusaha keras membangun perusahaan suamimu, dan ini balasan yang kau berikan
Malam itu, Stevan memutuskan kembali ke New York, meninggalkan hiruk-pikuk rapat pemegang saham yang hanya menyisakan rasa muak di dadanya. Perjalanan panjang selama tujuh jam terasa seperti lorong tanpa ujung, membawa pikirannya melayang pada wajah-wajah yang tak pernah benar-benar hilang dari benaknya. Ketika ia tiba di pagi hari, langit masih kelabu, seperti menyimpan rahasia dingin yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang terjaga.Ia berdiri di depan sebuah rumah megah yang menjulang angkuh, rumah milik kakak angkatnya—Mark. Udara pagi yang menusuk kulit seperti menggigit tulang, tetapi Stevan hanya menghela napas panjang, seolah mencoba mengusir beban yang menggantung berat di dadanya.Pintu utama terbuka, dan Samuel muncul dari dalam, wajahnya yang segar bercampur kebingungan. “Uncle Stevan?” panggilnya dengan suara riang sebelum menghampiri dan memeluk pria yang selama ini ia kagumi. Pelukan itu, meski hangat, tak mampu mengusir bayang suram di mata Stevan.“Apa kabar, Sam?
“Keluargamu hanya memanfaatkan prestasi dan kreativitasmu, Stevan. Aku rasa, sebaiknya jangan datang lagi ke sana sebab kau hanya akan dijadikan babu di sana.” Kata-kata Mark meluncur seperti palu yang menghantam permukaan kaca, tegas dan tanpa kompromi. Sorot matanya tajam, penuh dengan keprihatinan yang tersembunyi di balik wajah tenangnya. Ia mendengarkan cerita Stevan dengan cermat, tetapi tak bisa menyembunyikan bara kecil yang membakar dadanya.Stevan hanya menundukkan kepala, jemarinya yang kokoh meremas sandaran kursi di depannya. Wajahnya tertunduk, bayangan lampu mengguratkan kelelahan di bawah matanya yang cekung. “Aku sudah memutuskan, Kak,” ucapnya dengan suara yang hampir berbisik, seolah tak ingin kata-katanya diterbangkan angin. “Aku tidak akan datang lagi ke London kecuali ada pekerjaan di sana.”Ia menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya yang terlihat ringkih meski berdiri tegak. “Sejak awal pun sebenarnya aku sudah malas berada di sana,” lanjutnya, suaranya
“Ayah?” Mark mengerutkan keningnya saat melihat Sean melangkah masuk ke kantornya di pagi yang dingin itu.Langit kelabu di luar jendela besar kantornya seolah mencerminkan suasana hati yang menggantung di antara mereka.“Apa kau sedang sibuk, Mark?” tanya Sean, suaranya serak dengan nada kelelahan yang tak bisa disembunyikan.Usianya yang kini telah menginjak enam puluh delapan tahun tampak dari setiap kerutan di wajahnya, tetapi sorot matanya tetap tajam, menyiratkan pengalaman hidup yang penuh gejolak.“Vicky masih menyiapkan materi untuk meeting nanti. Sekitar dua jam lagi. Ada apa, Ayah?” tanya Mark, penasaran, sembari meletakkan dokumen di tangannya.Tatapannya terfokus, seperti ingin menangkap setiap kata yang akan keluar dari mulut Sean.Sean mengempaskan tubuhnya ke sofa, menghela napas panjang seperti seorang pelaut tua yang baru saja meninggalkan lautan penuh badai.Udara di ruangan itu terasa berat, seakan keheningan ikut menyaksikan percakapan mereka. “Kau sudah tahu soal
“Wow! My Dad is amazing!” seru Clara dengan nada ceria yang begitu khasnya, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah impian.Ia menggeleng-gelengkan kepala sembari bertepuk tangan, seolah ingin menyambut kabar dari Mark dengan sorak kemenangan.Aura antusiasnya memenuhi ruang itu, melengkapi suasana penuh rencana yang menggantung di udara.“Stevan sudah tahu soal ini, Mark?” tanya Dania, suaranya lembut namun sarat perhatian, sembari menyuapkan anggur hijau ke bibirnya yang merah alami.Matanya menatap Mark penuh rasa ingin tahu, seolah mencari tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh suaminya itu.Mark menggeleng pelan, bibirnya tersungging dengan senyuman kecil yang penuh rahasia. “Belum,” jawabnya santai, sembari melipat kedua tangannya di atas meja.“Aku akan mengumpulkan jajaran terlebih dahulu untuk memberitahu bahwa Kv’s Group akan dipimpin oleh Stevan. Ini akan menjadi kejutan untuknya.”“Well, Dad,” sela Samuel, suara beratnya memotong percakapan s
Satu tahun kemudian ….Clara berdiri di depan jendela apartemen milik Stevan. Lalu pria itu menghampirinya dan memeluk wanita itu dari belakang dan mencium pipinya dengan lembut.“Hi, Stev.”“Hm. Kau tahu? Apa yang sudah ayahmu bicarakan tadi di ruang meeting?” ucap Stevan dengan suara beratnya.“Apa?” tanyanya ingin tahu.Stevan menghela napasnya dengan panjang. “Dia menagih cucu padaku.”Clara yang mendengarnya sontak tertawa. Ia kemudian membalikan badanya dan menatap Stevan.“Lalu, apa jawabanmu?” tanyanya kemudian.Stevan mengendikan bahunya. Ia lalu mengambil sesuatu di dalam saku celananya dan membukanya.Sontak Clara menutup mulutnya dengan mata membola melihatnya. “Stevan ….”“Clara. Kita sudah melewati perjalanan yang cukup panjang. Aku telah mencintaimu sejak kau masih remaja, aku telah menyayangimu sejak kau lahir ke dunia. Aku tahu, kau adalah takdir yang telah Tuhan tentukan untukku.“Meski us
Tiba-tiba, suara dentingan terdengar. Begitu cepat. Tanpa Emma sadari. Mike menendang meja. Meja menjadi miring lalu membuat pisau di tangan Emma terpental.Tring! Pisau menjauh dari Emma. Stevan bergerak dalam hitungan detik.Ia meraih lengan Emma, memelintirnya ke belakang, membuat wanita itu berteriak kesakitan.Clara tersungkur ke lantai saat Stevan berhasil menjatuhkan Emma.Napasnya memburu. "Mmmh ..." mulut itu terikat. Clara tak bisa bicara apapun.“Permainanmu selesai,” desisnya.Emma menatapnya, matanya dipenuhi amarah dan kepedihan.“Tapi aku mencintaimu …”Stevan memejamkan mata sejenak, lalu menarik napas dalam-dalam.“Tidak, Emma.” Ia menatapnya tajam. “Ini bukan cinta, tapi obsesi. Aku tidak pernah mencintaimu dan kau salah mengartikan semuanya. Bahkan kau pun tahu sejak dulu pun aku hanya mencintai Clara.”“Sekali lagi kutegas
Emma menyimpan pisaunya kembali, tetapi sorot matanya tetap menakutkan. Clara menelan ludah dengan susah payah, merasakan jantungnya berdegup begitu keras seakan ingin menerobos keluar dari dadanya.Keringat dingin mengalir di pelipisnya, membasahi kulitnya yang sudah pucat.Emma berjalan ke pintu dengan langkah santai, seolah semua ini hanya permainan baginya. Namun, sebelum keluar, ia berhenti dan berbalik."Oh, dan satu hal lagi, Clara …"Clara menahan napas, tubuhnya menegang. Tenggorokannya terasa kering, seolah ada simpul yang mengikatnya erat dari dalam."Aku ingin dia melihatmu dalam keadaan paling menyedihkan sebelum akhirnya aku menghilangkanmu dari dunia ini."Senyuman Emma penuh kepuasan, seperti seorang seniman yang baru saja menyempurnakan mahakaryanya yang keji.Kemudian, dengan gerakan lambat yang disengaja, ia mendorong pintu gudang hingga tertutup dengan suara berderak, menggema di ruang kosong yang dingin.
"Hahaha, lelaki lemah. Kau mau apa? Menangisi wanitamu? Kau memang pantas ku buang sebagai rekanku. Aku tidak suka lelaki lemah sepertimu." Emma merasa menang. Desain tawanya begitu liar."Clara? Ini berbahaya, Emma. Kendalikan dirimu!""Mike, aku ... Aku hanya mengajaknya bermain. Kau tahu, dia selalu menghalangi jalanku. Aku hanya ingin memberinya pelajaran." Suara Emma santai tanpa rasa bersalah sama sekali."Emma, jangan lakukan ini!" suara Mike meninggi, tangannya mengepal. "Kau sudah cukup membuat kekacauan!""Oh, Mike, kau selalu terlalu baik l… atau terlalu bodoh? Aku ingin melihat sampai sejauh mana kau dan Stevan bisa melindungi wanita ini. Sekarang dia ada di tanganku. Jika kau ingin menolongnya, ajak Stevan dan temui aku."“Apa yang kau lakukan pada Clara?” Mike menggertakkan giginya.Tawa Emma terdengar lebih keras. "Ah, kau akan melihatnya sendiri. Aku akan mengirim lokasi. Tapi jangan terlambat… atau
Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar."Seperti yang kau minta. Semuanya akan berjalan lancar."Emma tersenyum puas. Ia meletakkan ponsel itu kembali dan merapikan rambutnya di depan cermin."Malam ini akan menjadi malam yang panjang," bisiknya.Ia meraih mantel, mengenakannya dengan gerakan anggun, lalu mengambil kunci mobilnya dari meja. Satu tarikan napas panjang, satu langkah menuju pintu.Ia keluar dari kamar, menutup pintu dengan tenang.Ponselnya ia tekan. Bukan ponsel yang biasa ia gunakan. Ponsel lain dan nomor ponsel yang baru, telah ia siapkan kemarin."Nona Clara. Apa anda putri dari Tuan Mark? Papa Anda mengalami kecelakaan lalu lintas, saya menolongnya dan tuan Mark sekarang ada di Alvarado hospital medicare center. Tolong datang segera, karena saya harus mengejar jadwal penerbangan saya.""APAA?! ba-baiklah saya segera datang. Terima kasih Nona telah menolong Daddy." Hiks."Apakah Daddy baik-baik saj
Ia memiringkan kepala, tatapannya terpaku pada sosok Stevan di kejauhan. Mata hitamnya membesar, membulat seakan ia baru saja melihat sesuatu yang indah.Jantungnya berdetak lebih cepat. Pipinya merona."Ah, Stevan …" gumamnya, suaranya terdengar seperti seorang gadis jatuh cinta. "Kau masih tampan sekali. Bahkan dari kejauhan sekalipun!"Ia menempelkan telapak tangan ke pipinya sendiri, memejamkan mata, membayangkan sesuatu.Pernikahan mereka. Stevan di altar, mengenakan jas putih. Ia di sisinya, mengenakan gaun yang memesona. Semua orang tersenyum bahagia.Ya … itulah yang seharusnya terjadi setelah ini.Emma membuka matanya, ekspresinya berubah. Rahangnya mengeras, napasnya semakin cepat."Tapi sebelum aku menjemputmu, sayang …"Tangannya menyelip masuk ke dalam tas kecilnya. Jemarinya bergerak lincah, mencari sesuatu.Lalu, sesuatu berkilau di bawah lampu. Pisau kecil dengan ukiran indah di gagan
Bodyguard pertama yang mencoba melawan. Namun, Randy dengan cepat menghindar dan menghantamkan pukulan yang kuat.Pria itu jatuh ke lantai mengerang. Tidak bisa bergerak. Bodyguard kedua mencoba menahan Randy. Tapi tidak berhasil.Seperti seorang pria yang sedang berjuang untuk menyelamatkan nyawa anaknya, Randy mengamuk, membabi buta, tidak memberi ampun.Mike tergeletak di tanah. Wajahnya penuh dengan cairan merah pekat. Dan tubuhnya semakin tak berdaya.Di sebelahnya, Randy berjongkok, memeriksa keadaan anaknya. Mike masih bernapas, meskipun dengan susah payah."Mike bertahanlah." Randy berteriak, mengguncang bahu.Mike berharap ada reaksi. Tetapi Mike tidak bergerak. Cairan merah pekat itu mengalir deras dari luka-lukanya. Dan tubuhnya terasa dingin.Emma yang masih berdiri di kejauhan, karena perkelahian bodyguardnya, menyaksikan semua amukan Randy dengan tatapan penuh kebencian."Kau akan mati, Mike. Tidak ada yang bisa m
Sementara itu, di dalam mobil, Emma duduk dengan gelisah. Matanya menatap tajam ke depan, namun pikirannya jauh melayang.Botol wine di tangan kanannya hampir kosong, dan dagunya basah oleh sisa-sisa cairan yang tumpah.Ia tampak marah, kecewa, dan sangat kesal. Rasa sakit yang menggerogoti dirinya akibat kehadiran Clara begitu menyakitkan."Stevan…!" gumamnya dengan geram, suara hatinya penuh kebencian. "Kenapa dia harus ada di sana? Apa dia pikir aku tidak tahu apa yang sedang terjadi?"Emma meneguk wine lagi, tanpa peduli dengan keadaan dirinya yang semakin kacau. Ia merasakan ketidakmampuan untuk mengendalikan situasi ini."Kau pikir bisa menghindar, Stevan? Tidak. Aku akan pastikan Clara tahu siapa yang sebenarnya dia hadapi. Tidak ada yang akan bisa menghalangi rencanaku!"Tangannya yang gemetar memegang kemudi, namun di dalam dirinya, ada dorongan tak terhentikan untuk melanjutkan permainan berbahaya ini.Ia tahu bahwa j
Clara merapatkan mantelnya ketika angin malam menyelinap melalui serat kainnya. Ia baru saja keluar dari perpustakaan kampus setelah menyelesaikan tugas yang tertunda.Tatapan itu. Perasaan diawasi kembali lagi. Bahkan kali ini orang itu mengikutinya.Awalnya, ia mengira hanya kebetulan. Mungkin efek dari kurang tidur, atau mungkin hanya pikirannya yang terlalu waspada sejak Stevan memperingatkannya soal Mike.Tapi semakin hari, semakin sering ia merasakan kehadiran tak kasat mata yang seolah mengikuti setiap gerakannya.Ia menoleh ke belakang.Jalanan kampus hampir sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang berjalan jauh di depannya.Lampu jalan menerangi trotoar dengan temaram, menciptakan bayangan panjang yang bergerak setiap kali angin menggoyangkan dahan pepohonan.Tidak ada siapa pun di sana.Clara meneguk ludah, mencoba menenangkan dirinya.“Hanya perasaanmu saja,” gumamnya pelan.Namun, saat ia kembali melangkah, bulu kuduknya meremang. Ada suara langkah kaki di belakangnya—terde