"Itu mah si Mas Gamamu butuh perhatian. Dia itu sebenarnya udah ada rasa sama kamu. Kamunya aja yang nggak peka."Setelah Bunga menceritakan semuanya, barulah Ayu berani menyimpulkan apa penyebab perkelahian pasangan suami-istri itu."Kok kamu bisa mikir kayak gitu?" tanya Bunga heran.Ayu memutar bola matanya malas. "Kamu tanya aja ke orang-orang, pasti mereka bakal jawab hal yang sama seperti apa yang aku ucapin barusan. Nggak percaya? Buktiin aja," tantang Ayu.Bunga kembali terdiam, entah apa yang sedang wanita itu pikirkan."Emangnya kamu itu nggak pernah jatuh cinta ya? Eh bukan, maksudku emangnya kamu itu nggak pernah pacaran? Kok bodoh banget sama hal percintaan?""Apaan sih, Yu," kata Bunga tak terima."Nggak usah baper, aelah. Kamu ini kenapa sih kok sensian banget akhir-akhir ini. Beneran lagi menstruasi? Masa iya? Ini udah ganti bulan kali, Bunga, ya kali nggak kelar-kelar. Bawaannya tersinggung Mulu, heran deh," decak Ayu.Bunga menggaruk hidungnya yang tidak gatal. "Buka
Apa yang dipikirkan mereka berdua ternyata salah. Nyatanya Gama tidak jadi menjemput Bunga karena pria itu beralasan ada urusan mendadak.Akhirnya Bunga pun memutuskan untuk pulang sendiri."Hahaha, ternyata pikiran kamu emang salah ya, lagian dari awal aku udah bilang kalau dia nggak mungkin suka sama aku."Ayu cemberut, moodnya seketika berubah. Buyar sudah uang sepuluh juta untuk tas incarannya.'Ah elah, ngapain pake acara nggak jadi jemput sih,' omel Ayu dalam hati."Ya udah, aku mau pulang dulu ya, takut kesorean," pamit Bunga."Nggak nunggu dia dulu? Tadi katanya disuruh nunggu, kan?"Bunga menggeleng. "Nggaklah, dia itu sekarang pulangnya suka tengah malam. Mana mungkin aku sesabar itu harus nunggu dia. Bye."Ayu mengangguk, dia membiarkan Bunga pergi.Bunga hampir tiba di rumahnya, lebih tepatnya rumah Gama. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Lampu mobil itu menyorot Bunga, membuat mata wanita itu menyipit karena silau.Tak lama
"Ada apa ya, Pak, kenapa ingin berbicara dengan saya secara empat mata? Apa saya punya masalah dengan Anda?" tanya Bunga sungguh-sungguh.Wanita itu agak ngeri karena hanya berdua saja dengan pria di hadapannya ini. Takut terjadi yang tidak-tidak.Bunga tahu kalau pikirannya berlebihan, tapi sebagai antisipasi wajar saja, bukan?"Apa kita saling kenal?" tanya Bunga lagi karena melihat pria paruh baya itu tampak menatapnya cukup tajam.Raut wajah pria itu tampak tak suka, membuat Bunga mengernyit heran.'Kenapa ya? Kok kayaknya ada yang aneh sama orang ini. Kelihatan benci banget sama aku, tapi alasannya apa? Ketemu aja nggak pernah, kenal aja apalagi, baru kali ini malahan aku lihat dia,' gumam Bunga dalam hati."Kita memang nggak saling kenal, tapi aku mengetahui kepribadianmu dengan baik." Senyum sinis tersungging dari bibir pria itu. Setelah terdiam cukup lama, dan membuat Bunga terheran-heran, akhirnya pria itu mau membuka suara juga, walau terdengar sangat ketus.Bunga tampak man
"Kamu bentar lagi gajihan, kan? Adek kamu mau lulus, Ibu minta uang ya buat bayar kelulusan sama buat bayar biaya pendaftaran."Bunga menatap koper di depan lemari dengan senyum miris. Awalnya dia berencana untuk mengundurkan diri. Namun, mendengar keluh kesah ibunya dia jadi ragu apakah keluar dari pekerjaan ini keputusan yang tepat?Ya, Bunga memutuskan untuk berhenti karena melihat kondisinya sudah tidak aman. Majikannya itu sering kali bertengkar, entah apa penyebabnya. Itulah yang membuat Bunga tidak nyaman untuk melanjutkan bekerja di sini, karena menurut Bunga, mentalnya juga ikut-ikutan terganggu karena terlalu sering mendengar teriakan, umpatan kasar, dan juga barang pecah.Bisa-bisa nanti dirinya ikut terkena akibat dari pertengkaran sang majikan."Kok diam? Kamu nggak mau bantu Ibu ya, Bunga?” Ibunya kembali berkata. “Terus kalau bukan kamu siapa lagi yang bakal Ibu andalkan? Ayah kamu baru aja dipecat. Katanya pengurangan karyawan karena bentar lagi proyeknya udah selesai.
Di hari berikutnya, Bunga berusaha bekerja seperti biasanya. Ia sama sekali tidak mempertanyakan kenapa majikan wanitanya, Sofia, keluar dari kamar tidur tamu dan kapan wanita itu pulang semalam.Yang jelas, ia bersyukur Sofia tidak memergokinya keluar dari kamar utama. Mengingat kejadian semalam membuat hati Bunga kembali sakit. Apalagi pagi ini, ibunya kembali menelepon."Ya Tuhan! Aku belum ada uang, Bu. Nanti kalau udah gajian pasti aku bakal kasih uangnya ke Ibu."Bunga terdengar frustrasi karena didesak seperti ini. Seakan masalah ini datang padanya bertubi-tubi.Kemarin ibunya meminta uang tiga juta, yang mana adalah nominal hampir seluruh gajinya. Lalu, saat awal menelepon tadi, nominal uangnya mendadak bertambah menjadi lima juta.Makin lama bicara, nominal yang diminta sang ibu makin tidak masuk akal.Baru kemudian, ibu Bunga jujur kalau dia baru saja mendapatkan tagihan dari aplikasi pinjol dan memerlukan sepuluh juta."Ibu dari tadi diteror terus sama tukang panci itu, Bu
Ucapan Gama mengejutkan Bunga. Mata wanita itu membola tidak percaya.Apakah pemikiran orang kaya memang seperti ini? Tidak bisa diprediksi, egois, dan menyakitkan hati?Bunga tidak langsung menjawab. Ia kembali menunduk, lalu dengan suara pelan berucap, “Mohon maaf, Tuan. Saya harus membersihkan kamar tamu sesuai instruksi Nyonya Sofia tadi. Permisi.”Bohong. Ia sudah melakukan tugas itu tadi. Namun, Bunga memang harus pergi dari hadapan Gama secepatnya sebelum ia menangis di tempat.***"Maaf, bukannya aku nggak mau bantu kamu, tapi kamu tahu sendiri perjanjian sebelum kerja di sini, kan?”Bunga menunduk dalam-dalam saat Sofia berkata demikian. Ia baru saja memberanikan diri dan menyempatkan untuk berbicara dengan Sofia soal pinjaman gaji, lantaran ibunya terus menerus menelepon dan mengiriminya pesan.Oleh karena itu, saat sekiranya suasana hati Sofia tampak cukup baik, Bunga mengutarakan maksudnya.Hanya untuk mendapatkan penolakan. “Aku sudah bilang di awal kalau aku akan menaik
"Mu--mungkin Anda salah paham, Pak.” Bunga buru-buru berkata. Suaranya pelan. “Maksud saya, bukankah waktu itu Anda menawarkan sejumlah uang sebagai bentuk tanggung jawab? Saya mengiakan tentang itu, bukan yang lain." Gama tertawa pelan, membuat Bunga langsung mendongak."Justru kamulah yang salah paham, Bunga.” Pria itu berujar. “Dari awal aku memang menawarkan jadi simpananku. Mungkin kamu sedang banyak pikiran, makanya tidak fokus. Bukan, begitu?"Bunga menggeleng. Tidak. Ia memang sedang banyak pikiran, tapi tidak mungkin Bunga salah paham soal ini."Kalau begitu, saya menolak, Pak.” Bunga berusaha berkata dengan tegas, sekalipun ia terintimidasi oleh majikannya. “Bukannya Anda sudah punya istri? Kenapa harus menawarkan hal gila pada saya? Apa satu perempuan tidak cukup untuk Anda?"Hening. Baru kemudian Bunga menyadari kalau dia kelepasan bicara.Ekspresi Gama tampak gelap saat ia berkata, "Kalau kamu tidak tahu tentang kehidupanku, sebaiknya kamu tutup mulut."Bunga langsung m
"Kenapa wajahmu tampak pucat begitu, Bunga? Apa terjadi sesuatu?" tanya Sofia penasaran."E--enggak kok, Bu. Enggak ada.""Memangnya pesan dari siapa?"Baru kali ini Sofia kepo dengan permasalahan orang lain. Biasanya dia tampak cuek. Terlalu malas ikut campur kehidupan orang. Namun, untuk kali ini berbeda, apalagi melihat wajah Bunga yang tampak syok. Jiwa penasaran Sofia meronta-ronta.'Dari suami Anda yang gila itu.' Bunga hanya berani menjawab dalam hati."Biasa, Bu. Pesan dari Ibu saya."Sofia tampak manggut-manggut. "Dia minta uang lagi ke kamu?"Bunga terkejut, mengapa Sofia bisa tahu kalau akhir-akhir ini dirinya selalu didesak perihal uang?"Aku tahu, kemarin kamu nekat pinjam uang juga pasti karena ibumu, kan?"Bunga tanpa sadar mengangguk. "Benar, Bu."Sofia menghela napas berat. "Jadi ini yang membuatmu berdiri di depan kamarku? Kamu ingin membahas ini lagi?"Bunga menggigit bibir bawahnya, bingung harus menjawab apa. Kalau tadi dia begitu menggebu-gebu ingin mengatakan ya
"Ada apa ya, Pak, kenapa ingin berbicara dengan saya secara empat mata? Apa saya punya masalah dengan Anda?" tanya Bunga sungguh-sungguh.Wanita itu agak ngeri karena hanya berdua saja dengan pria di hadapannya ini. Takut terjadi yang tidak-tidak.Bunga tahu kalau pikirannya berlebihan, tapi sebagai antisipasi wajar saja, bukan?"Apa kita saling kenal?" tanya Bunga lagi karena melihat pria paruh baya itu tampak menatapnya cukup tajam.Raut wajah pria itu tampak tak suka, membuat Bunga mengernyit heran.'Kenapa ya? Kok kayaknya ada yang aneh sama orang ini. Kelihatan benci banget sama aku, tapi alasannya apa? Ketemu aja nggak pernah, kenal aja apalagi, baru kali ini malahan aku lihat dia,' gumam Bunga dalam hati."Kita memang nggak saling kenal, tapi aku mengetahui kepribadianmu dengan baik." Senyum sinis tersungging dari bibir pria itu. Setelah terdiam cukup lama, dan membuat Bunga terheran-heran, akhirnya pria itu mau membuka suara juga, walau terdengar sangat ketus.Bunga tampak man
Apa yang dipikirkan mereka berdua ternyata salah. Nyatanya Gama tidak jadi menjemput Bunga karena pria itu beralasan ada urusan mendadak.Akhirnya Bunga pun memutuskan untuk pulang sendiri."Hahaha, ternyata pikiran kamu emang salah ya, lagian dari awal aku udah bilang kalau dia nggak mungkin suka sama aku."Ayu cemberut, moodnya seketika berubah. Buyar sudah uang sepuluh juta untuk tas incarannya.'Ah elah, ngapain pake acara nggak jadi jemput sih,' omel Ayu dalam hati."Ya udah, aku mau pulang dulu ya, takut kesorean," pamit Bunga."Nggak nunggu dia dulu? Tadi katanya disuruh nunggu, kan?"Bunga menggeleng. "Nggaklah, dia itu sekarang pulangnya suka tengah malam. Mana mungkin aku sesabar itu harus nunggu dia. Bye."Ayu mengangguk, dia membiarkan Bunga pergi.Bunga hampir tiba di rumahnya, lebih tepatnya rumah Gama. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Lampu mobil itu menyorot Bunga, membuat mata wanita itu menyipit karena silau.Tak lama
"Itu mah si Mas Gamamu butuh perhatian. Dia itu sebenarnya udah ada rasa sama kamu. Kamunya aja yang nggak peka."Setelah Bunga menceritakan semuanya, barulah Ayu berani menyimpulkan apa penyebab perkelahian pasangan suami-istri itu."Kok kamu bisa mikir kayak gitu?" tanya Bunga heran.Ayu memutar bola matanya malas. "Kamu tanya aja ke orang-orang, pasti mereka bakal jawab hal yang sama seperti apa yang aku ucapin barusan. Nggak percaya? Buktiin aja," tantang Ayu.Bunga kembali terdiam, entah apa yang sedang wanita itu pikirkan."Emangnya kamu itu nggak pernah jatuh cinta ya? Eh bukan, maksudku emangnya kamu itu nggak pernah pacaran? Kok bodoh banget sama hal percintaan?""Apaan sih, Yu," kata Bunga tak terima."Nggak usah baper, aelah. Kamu ini kenapa sih kok sensian banget akhir-akhir ini. Beneran lagi menstruasi? Masa iya? Ini udah ganti bulan kali, Bunga, ya kali nggak kelar-kelar. Bawaannya tersinggung Mulu, heran deh," decak Ayu.Bunga menggaruk hidungnya yang tidak gatal. "Buka
"Baru pulang, Mas?" tanya Bunga ketika membukakan pintu untuk Gama."Hmm." Gama berdeham pelan.Bunga menyalami tangan Gama, tapi baru di udara dia langsung mengernyit heran."Tanganmu berdarah, Mas. Mas habis ngapain kok tangannya sampai terluka kayak gini?" Gama tak menyahut, dia melepaskan tangannya dari Bunga, lalu segera masuk ke dalam rumah dan Bunga mengikuti dari belakang."Aku obatin dulu tangannya.""Kamu nggak nanya kenapa aku pulang selarut ini?" Gama malah bertanya ke hal lain.'Aku pengen tanya, tapi takut bikin kamu nggak nyaman, Mas.'"Pasti banyak kerjaan makanya Mas baru pulang." Bunga tersenyum tipis."Kalau salah? Kalau ternyata bukan karena kerjaan, apa kamu bakal marah?"Bunga kembali tersenyum, tapi kali ini bukan jenis senyum tulus, melainkan dibuat-buat."Itu urusanmu, Mas. Kenapa jadi tanya gitu ke aku? Aku nggak berhak tahu semua tentangmu, kan?""Kenapa nggak berhak? Jelas kamu berhak, bukannya kamu istriku?" Tanpa sadar Gama meninggikan suara."Aku cuma i
Kalimat Gama waktu itu terdengar begitu ambigu, membuat Bunga selalu berpikir macam-macam.Mungkinkah Gama jatuh hati padanya, seperti dia yang jatuh cinta pada pria itu?Bunga menyadari kalau dirinya salah. Namun, siapa yang mau mempunyai perasaan seperti ini? Dari awal memang hubungan mereka karena kesepakatan, bukan murni karena saling jatuh cinta. Bunga butuh uang, dan Gama ingin membalaskan dendam pada Sofia. Impas! Ya, menurut wanita itu impas. Akan tetapi, siapa sangka kalau akhirnya menjadi seperti ini?Mengapa Bunga malah mencintai pria yang tidak mencintainya?"Ish! Mikir apa sih aku ini, mana mungkin dia juga cinta sama aku. Aku yakin dia bilang kayak gitu karena masih butuh pertolonganku, besok kalau udah nggak butuh juga pasti bakal dibuang. Aku harus menghubungi Bu Sofia, ya, aku harus menjelaskan semuanya. Meskipun nanti dia maki-maki aku, aku nggak peduli. Udah resikonya seperti itu, tapi ... gimana caranya aku dapat nomor Bu Sofia?"Pikiran Bunga tiba-tiba ada di pons
"Dari awal aku bilang juga apa, kamu harus hati-hati sama pembantu itu. Kelihatan polos, tapi aslinya berbisa. Tapi kamu malah jawab kalau dia itu beda dari pembantumu yang dulu-dulu, dia orangnya nggak neko-neko, see kenyataannya sekarang gimana?" cibir Sasya."Betul, biasanya laki-laki itu sukanya yang polos-polos gimana gitu, laki-laki itu nggak suka sama perempuan centil. Ya mungkin menurut laki-laki kalau perempuan polos itu perempuan baik-baik, kan? Itu aku cerita dari sudut pandang laki-laki loh ya," timpal Dona."Ish! Apaan, kalau namanya perempuan gatal ya udah sih, tetap aja gatal. Ngapain juga dibela-bela," sungut Sasya lagi."Siapa juga yang bela itu perempuan. Awalnya juga aku bilang harus hati-hati juga, kan? Si Sofia aja yang ngeyel."Sofia menggebrak meja dengan kencang, membuat kedua temannya terbelalak kaget."Aku lagi pusing, tapi malah kalian lebih bikin aku pusing sama perdebatan kalian berdua. Argghhh! Setres aku lama-lama kalau di sini.""Pulang dah sana, biar n
Entah bagaimana caranya, Sofia bisa masuk gerbang yang megah itu, dia berjalan mendekat ke arah mereka, yang tampak asik berpelukan.Sofia bertepuk tangan seraya tertawa kencang, membuat Bunga maupun Gama langsung menoleh ke sumber suara.Bunga kelabakan, sementara Gama terlampau santai, seolah dia sudah memprediksi apa yang akan terjadi."Wow, wow, wow. Jadi selama ini kamu selingkuh dengan dia, Mas? Dan, Bunga? Apa yang kamu lakukan? Kamu mengkhianati majikanmu sendiri? Luar biasa, dasar perempuan gatal kamu, aku kira kamu beda dari perempuan-perempuan lain, nyatanya aku malah bawa masuk ke rumah dengan membawa ular?"Bunga tak berani berucap, bahkan mengangkat wajahnya saja dia tak mempunyai keberanian."Untuk apa kamu datang ke sini?" Kali ini Gama yang bertanya, dengan nada ogah-ogahan."Untuk apa? Nggak tahu kenapa aku punya firasat buruk makanya aku mengikutimu, dan ternyata firasatku benar, kan? Kamu selingkuh dengan pembantu kita, Mas? What? Aku nggak mimpi, kan?" Sofia terta
"Aku akan membunuhnya.""Brengsek!"Ucapan itu terus terngiang-ngiang di kepala Gama, membuat pria itu tampak gelisah.'Apa aku harus menyuruhnya pergi? Tidak, tidak, sepertinya aku sudah mulai terbiasa berada di dekatnya. Sial, bagaimana aku harus menghadapi lelaki tua itu. Benar-benar sialan! Kenapa orang tua itu kalau mengambil kesimpulan seenaknya. Argghhh! Aku benci hidupku yang selalu didikte oleh orang tua itu! Berpikir, Gama, berpikir!' decak pria itu dalam hati."Mas.""Hemm," sahut Gama dengan mata terpejam."Nggak makan malam dulu? Aku udah masakin kesukaan Mas loh."Gama tersenyum tipis, ini yang dia suka dari Bunga. Meskipun dia selalu acuh, tapi perhatian yang Bunga berikan padanya tidaklah palsu. Wanita itu tampak tulus, sangat, itulah yang membuat hati Gama luluh."Iya nanti dulu.""Lagi ada masalah soal pekerjaan ya? Maaf kalau aku terlalu ikut campur, tapi kita bisa berpikir jernih kalau perut kita sudah terisi, kita makan dulu yuk, Mas, habis itu nanti bisa dilanjut
"Kamu nggak apa-apa, kan?"Gama melihat pria itu melangkah dengan cepat, dia langsung merogoh saku untuk mengambil ponsel, lalu menghubungi orang suruhannya."Cari tahu siapa orangnya.""Baik, Bos."Klik, sambungan terputus."Kamu nggak apa-apa?" ulang Gama lagi.Bunga menggeleng seraya mengerjap, dia bingung dengan Gama yang tiba-tiba saja meneriakinya, tak hanya itu, raut wajahnya pun begitu panik.'Emangnya aku kenapa?' batin Bunga bertanya-tanya.Gama mengusap wajahnya kasar. "Kamu nggak lihat tadi ada orang di belakangmu? Dia hampir aja ...." Gama menggeleng, sebaiknya tak usah ceritakan hal yang sebenarnya pada wanita itu, takutnya nanti malah membuat istrinya cemas."Hampir aja kenapa?" tanya Bunga penasaran."Lupakan, sebaiknya kita pulang sekarang."Bunga mengangguk. "Iya, kelihatannya Mas juga capek banget, kayak banyak pikiran juga. Ya udah ayo kita pulang."**"Sebenarnya tadi ada apa ya? Kok aku ngerasa ada sesuatu terjadi tadi, tapi apa?" gumam Bunga seraya memandangi Ga