"Hhiiiiyyyyaaaaa ... "
Kami bermaksud untuk memacu kuda kami, tapi terlambat, karena rombongan berkuda itu sudah tiba didepanku.
"Kalian baik-baik saja?" setelah mendekat, ternyata rombongan berkuda itu adalah Paman Tumenggung dan para pengawal.
Aku bernapas lega.
"Kami baik-baik saja, Paman, iya, kan, Dinda?" jawabku. Mungkin kami pergi terlalu lama, sehingga membuat Paman khawatir. Dinda Dyah Ayu memacu kudanya perlahan, kami mengikutinya dari belakang.
"Romo, kenapa menyusul?" tanyanya heran.
"Romo khawatir, kalian sudah terlalu lama diluar istana," jawab paman tumenggung. Bibir gadis itu mengerucut, rupanya dia tengah merajuk pada romonya.
"Aku sudah besar, Romo," ujarnya.
"Iya, tapi masih manja," jawab paman sambil terkekeh.
Di sepanjang jalan, Dyah ayu mengomel pada romonya, karena menganggap dia seperti anak kecil.
Ketika kami sudah tiba kembali di istana, rombongan kami terpisah, mereka l
POV Arya WisesaPagi mulai menyapa, saat aku terbangun di bilik bambuku. Gemerincik air sudah terdengar, suara yang telah kurindukan lebih dari tiga purnama ini. Itulah suara Nimas ketika menyiram bunga-bunga di halaman bilikku. Tanpa sadar bibir ini menyunggingkan senyuman, bisa melihatnya pagi ini. Aku bergegas mengintipnya dari balik jendela yang terbuka sedikit.Nimas Ayu tampak khusyuk menuangkan air sedikit demi sedikit. Sesekali kulihat dia berbicara sendiri, eh, mungkin saja dia sedang menyapa bunga-bunga yang sedang dirawatnya itu. Duh ... betapa bahagianya jika aku menjadi bunga-bunga itu, yang setiap hari disayang olehnya dan diajak bicara.Bahkan kadang dia melantunkan kidung untuk mereka, bunga-bunga itu. Suaranya merdu, menentramkan hatiku, Hmmm ... betapa bahagia ... Nimas, dirimu telah mengalihkan duniaku.Aku mendesah panjang, menyadari kebucinanku yang sudah berada di level akut.Beginilah rasanya jatuh cinta?Ternyat
"Nimas, pelan-pelan. Jalannya licin." ujarku seraya menggenggam tangannya dengan lembut.Aroma bulan madu menguar semerbak mewangi. Seperti Kamajaya dan Kamaratih yang selalu memenuhi kebersamaan mereka dengan cinta, begitupun kami berdua. Aroma cinta dan panasnya api asmara membakar hasrat dalam ikatan suci.Pagi ini kami berdua sedang menyusuri jalan setapak, mencoba untuk mengusir hawa dingin dengan sedikit menggerakkan tubuh. Jalan setapak yang kami lalui adalah jalan menuju ke dalam hutan Gunung Wilis. Tadi malam gadis cantik yang telah menjadi istriku ini berkata, kalau dia ingin menunjukkan sesuatu padaku. Katanya sesuatu yang sangat indah yang tersembunyi di balik hutan dan perbukitan di Gunung Wilis ini. Mengusik rasa penasaran dalam diriku.Sedikit menyebalkan memang, karena wanita cantik ini tidak mau memberitahu dengan jelas, apa yang ingin ditunjukkannya. Dia hanya tersenyum menggoda jika aku memaksanya memberitahu. Duh, membuatku gelisah saja
Simo seto menerjang tubuhku dengan tiba-tiba, membuat tubuh ini terpelanting kehilangan keseimbangan. Secepat kilat aku bangkit dan memasang kuda-kuda. Kini dia memandang dengan sorot tajam tak bersahabat, suara Auman terdengar membuat berdiri bulu kuduk. Sementara aku terus menatapnya penuh kewaspadaan. Sekalipun makhluk di depanku ini saat dia diam terlihat begitu manis, tapi naluri hewan liar tetap melekat pada dirinya. Aku tak boleh lengah sedikitpun."Apakah kau marah padaku? Karena telah mencuri perhatian majikanmu?" tanyaku padanya, sementara Simo Seto masih menggeram dari tempatnya berdiri."Kau salah paham. Kita tidak perlu saling bertengkar merebutkannya, Anak Muda. Karena kita akan saling bahu-membahu untuk melindunginya."Kulihat Simo Seto beranjak pelan memutari tubuhku, sesekali aumannya masih menyisakan rasa miris. Aku masih tetap waspada, siaga jika dia secara tiba-tiba menyerangku."Hey, apakah kau tidak mau bersahabat dengank
Aku melesat keatas pohon, karena lebih leluasa untuk mengawasi pergerakan di bawah. Kupindai sekeliling, mencari hal-hal yang mencurigakan. Dan ketika mataku menangkap sesosok tubuh yang sedang bersimpuh di atas batu hitam, aku terpana.Siapa pria itu?Apa yang sedang dilakukannya?Segudang tanda tanya semua berkumpul dan berputar di dalam benak.Aku terus memperhatikannya dari atas sini, setiap gerakan yang dia lakukan tidak luput dari perhatianku. Fokus yang dia hadirkan dalam setiap gerakannya, begitu tenang tanpa ada rasa takut pada sesuatu yang membahayakan jiwanya. Seolah-olah dia sedang menyatu dengan alam. Khusyuk.Apakah dia sedang sholat?Apakah dijaman ini sudah ada orang muslim?Diriku sebagai Panji memang bukanlah orang yang paham agama, bahkan aku tidak tahu agamaku sendiri. Apalagi tentang tatacara beribadah, gerakan dan bacaan sholat aku tidak tahu sama sekali.Selama ini aku
Pagi ini mentari bersinar hangat, mengusir kebekuan lereng Gunung Wilis meskipun masih menyisakan hawa dingin. Dari Pagi buta seluruh penghuni Padhepokan sudah disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sibuk mengisi tandon air untuk dapur padhepokan, biasanya setiap hari dibuat jadwal secara bergilir untuk murid-murid padhepokan yang bertugas mengisi tandon air. Mereka mengambilnya dari sumber air yang terletak dibagian belakang padhepokan.Sedangkan tukang masak padhepokan sedang menanak nasi dengan kuali besar yang terbuat dari tanah. Sementara lainnya ada yang mencuci pakaian disungai, ada juga yang sedang berlatih pedang. Semua melakukan tugas masing-masing. Hal ini menjadikan suasana Padhepokan selalu hidup.Nimas sedang menyiram bunga-bunga kesayangannya di halaman bilik kami, saat aku dan Romo Gandiswara sedang bermain-main dengan Simo Seto. Romo Gandiwara mempunyai penglihatan yang luar biasa, beliau mampu membaca potensi orang hanya dengan beber
(Mulai bab 21 seterusnya akan menggunakan POV 3)POV Author❤️❤️❤️Tok tok tokSuara ketukan pintu terdengar di bilik milik Arya Wisesa. Mereka berdua yang masih berbincang saling pandang, karena tidak biasanya di malam selarut ini ada yang mengetuk pintu, jika bukan karena perkara penting."Biar aku saja, Nimas," ucap Arya.Setelahnya, Arya beringsut dan berjalan menuju pintu, membukanya perlahan, hingga suara derit pintu terdengar. Saat daun pintu terbuka, wajah semringah Rangga Suta terpampang di depan mata."Ada apa, Kangmas?" tanya Nimas Ayu seraya mendekati suaminya."Tadi aku ikut meronda dengan murid-murid Padhepokan. Saat lewat depan bilik kalian, kulihat pelita masih menyala. Akhirnya kuputuskan untuk datang," Jawabnya tanpa dosa.Tampak Arya menghembuskan napas lega, andaikan Rangga Suta tahu, tadi mereka sudah berpikir macam-macam saat mendengar ketukan pintu. Mengira ada kejadian mene
Rangga Suta berjalan paling belakang, Nimas Ayu berjalan di tengah sementara Arya Wisesa berjalan paling depan sebagai penunjuk jalan. Mereka bertiga berjalan menyusuri jalan setapak masuk ke dalam hutan belakang Padhepokan. Sesekali Rangga Suta berkelakar mengundang tawa, membuat suasana riang gembira mewarnai perjalanan mereka."Kanda, lihatlah! burung itu terus mengikuti kita," ucap Nimas riang ketika seekor burung hinggap di dahan pohon tak jauh dari mereka."Itu burung cucak wilis, Nimas," ucap Rangga Suta hanya sepintas menatap burung yang sedang berkicau dengan riangnya."Itu memang burung hutan, biar saja dia terbang bebas di alam liar. Jangan ditangkap!" Arya Wisesa menambahkan.Nimas Ayu mengangguk, bibirnya terus melengkung indah saat matanya menatap burung berjambul kuning itu."Kau boleh mengikuti kami, aku tidak akan menangkapmu," bisiknya lembut.Burung itu berputar-putar mengitari mereka sambil ber
"Dimas tumenggung, ada kabar dari para telik sandi (mata-mata) kita?" tanya Akuwu Sura Wijaya memantau keamanan wilayahnya."Dari laporan yang saya dapatkan, sudah beberapa bulan ini tidak ada aktivitas yang di lakukan para rampok dan begal, Kangmas," jawab tumenggung Hadi Wijaya."Apakah ini kabar baik ataukah buruk, Dimas?" tanyanya lagi."Seharusnya ini menjadi kabar baik, Kangmas, akan tetapi saya merasakan keanehan," balasnya."Aneh?""Ya, Kangmas, kenapa bisa serentak, para begal di seluruh wilayah kita berhenti beraktivitas?""Menurutmu, kemungkinannya seperti apa?" tanya Sura Wijaya sambil mengerutkan dahinya."Aku sulit menebaknya, tapi adakah kemungkinan mereka sedang menyiapkan kekuatan bersama?" jawabnya ragu."Untuk?""Untuk melakukan sesuatu yang besar.""Apa itu, Dimas?" tanya sang Akuwu penasaran."Mereka bekerja sama untuk menyerang kita, misalnya," jawab tumenggung.Sang Akuwu
Enrico keluar dari ruang perawatan Panji tanpa pamit, dari wajahnya terlihat dia sangat gusar dengan permintaan Panji untuk resign dari sindikat mafia miliknya.Reno masih duduk termangu di sofa, tampak menyesalkan kenapa Panji harus secepat itu menyampaikan keinginannya untuk resign pada Enrico. Harusnya Panji memilih waktu yang tepat. Tapi semua sudah terlambat, Panji bahkan tidak terlihat menyesali ucapannya sama sekali.Reno mendengus pelan.Di sudut lain, Panji tampak menghela napas panjang. Dia memaklumi jika Enrico marah padanya. Setelah semua hal yang telah Enrico diberikan pada Panji untuk menyelamatkan nyawanya. Panji justru meminta padanya sebuah permintaan konyol sebagai balasannya, tentu Enrico gusar.Dalam keadaan kritis kemarin Enrico bisa saja mengabaikannya, toh dirinya bukan siapa-siapa, tapi Bos besarnya itu malah memberikan semua fasilitas perawatan yang terbaik untuk mengupayakan dia bisa kembali sadar. Tapi bukannya membalas ke
"Elo sholat, Nji?" pekik Reno saat masuk di ruangannya siang itu. Pagi tadi Reno mengirim chat tidak bisa datang membesuk karena harus menuntaskan tugas yang diberikan oleh Enrico padanya.Wajah pria itu terlihat bingung dan gusar, sorot matanya tajam seperti sedang menguliti Panji hidup-hidup.Ketika Reno datang, Panji sedang menjalankan sholat dhuhur 4 rakaat dengan khusyuk. Beberapa menit dia mematung di ambang pintu, sempat mengira salah masuk kamar pasien. Dia mengerjapkan kedua matanya seolah ingin meyakinkan diri. Dan dia memekik suara dengan keras setelah melihat sahabatnya sejak kecil ini selesai sholat."Nji, ini beneran elo?" tanya Reno ragu.Reno tahu betul, mereka tidak pernah belajar sholat. Tak heran jika dia sangat kaget melihat Panji begitu khusyuk sholat dan berdzikir. Selama ini mereka selalu berdua kemanapun.Darimana Panji belajar dan sejak kapan?"Yaelah, lebay banget sih Lo, sampai teriak gitu,"
Panji minta ijin suster untuk duduk di taman rumah sakit. Setelah seharian berbaring, dia butuh menghirup udara segar. Sebelumnya, tubuhnya bahkan sudah lebih dari sebulan terkapar di atas ranjang rumah sakit.Selepas sholat isya' seorang suster mengantarnya menuju taman. Dia harus melatih kedua kakinya untuk berjalan, karena sudah terlalu lama tidak di fungsikan, kedua kakinya terasa kaku untuk di gerakkan.Ketika koma Panji merasakan perjalanan spiritual, ada banyak kejadian yang telah dia temui di sana. Bertemu dengan orang baru, gurunya Mpu Gandiswara, Nimas Ayu Larasati, Rangga Suta dan yang lainnya. Dia tahu itu hanya sesuatu yang tidak nyata. Entah disebut halusinasi atau apa, yang jelas tubuhnya tengah terlelap di ruang intensive care unit. Tapi anehnya, kenapa pengaruhnya terasa begitu nyata?Seperti kebiasaan yang beribadah misalnya, sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh seorang Panji satu kalipun dalam kehidupannya. Kini dia bahkan bisa melak
Hari ini Panji sudah diperbolehkan pindah di ruang perawatan, karena kondisinya semakin stabil. Secara fisik, dia sudah bisa dibilang sehat. Hanya saja pikirannya hampir tidak bisa menghilangkan bayangan kehidupannya bersama Nimas dan baby Husein. Bayangan mereka terus mengganggunya, apalagi terakhir dia harus pergi meninggalkan Nimas saat usia Husein masih 7 hari."Ya Allah, apakah mereka akan baik-baik saja tanpa gue?" gumamnya."Benarkah semua ini halusinasi, Nimas?" desisnya pelan."Hey, gue belum sholat sejak kemarin?" Panji panik.Tadi malam tidak ada yang menungguinya, karena Reno sedang menjalankan tugas dari Enrico untuk melacak keberadaan penyusup dalam organisasi mafia mereka.Waktu subuh masih tersisa, Panji mencoba bersusah payah untuk berjalan ke kamar mandi, karena kakinya sudah terlalu lama tidak difungsikan selama dia koma, tentu saja terasa kaku.Menjalankan dua raka'at sholat subuh dan berdzikir, membuat hatiny
Hari ini tepat 30 hari Panji dirawat di ICU RS Premier Surabaya. Setelah kecelakaan yang dialaminya sebulan yang lalu dia tidak sadarkan diri. Pria ini mengalami cedera Axonal Diffuse, cedera otak berat sehingga membutuhkan perawatan khusus di Intensive Care Unit. Enrico telah memberikan fasilitas VIP untuk merawat panji. Akan tetapi meskipun demikian banyak alat-alat canggih itu menempel di tubuhnya seperti ventilator, hingga mesin EKG/EEG, belum ada kemajuan yang berarti.Enrico bersikeras untuk terus melakukannya, karena mengingat mereka telah tumbuh bersama sejak kecil. Ya, semenjak papanya mengadopsi Panji, mereka telah menjadi saudara angkat. menurutnya jika tubuh Panji masih menunjukkan tanda kehidupan, masih ada harapan untuk sembuh. Jadi dia memutuskan untuk terus memberi fasilitas terbaik padanya.Status Enrico saat ini adalah bos besar mafia tempat Panji bekerja. Karena ada latar belakang saudara angkat inilah dia mengistimewakannya. Lagipula sel
"Baiklah, Botak. Aku akan berhati-hati," balasnya segera melesat terbang, melompat di atas genting dengan sangat ringan. Kemudian melesat dari satu bangunan ke bangunan lainnya, dan berhenti di wuwungan (atap bangunan) seolah menemukan keberadaan ruang Dyah Ayu Nareswari.❤️❤️❤️Sesosok tubuh tampak bersalto dari atap. Tubuh itu dibalut dengan pakaian serba hitam, melangkah mengendap-endap memasuki kaputren (istana para wanita, istri dan anak raja atau pejabat) dalem katumenggungan. Di tempat inilah Dyah Ayu Nareswari menghabiskan waktu dalam istana ini. Pria itu melangkah tanpa meninggalkan suara, sepertinya ilmu peringan tubuhnya sudah tinggi.Bahkan prajurit penjaga yang mondar mandir berjaga di kaputren tidak menyadari ada bayangan hitam melesat di dekat mereka.Bayangan hitam itu menembus masuk ke dalam kaputren, tapi begitu masuk ke dalam suasana tampak lengang. Bukankah biasanya kaputren berisi para wanita, kenapa sangat sepi? Brewok bertanya dalam
Suasana kembali senyap, tak ada lagi suara anak panah yang berdesing. Mata setajam elang masing-masing dari mereka mencoba menangkap siapa musuh yang datang.Di sisi lain Arya Wisesa dan pasukannya bisa bernapas lega mendapatkan bala bantuan, hal itu memang sudah dipertimbangkan oleh Arya sebelumnya. Menurutnya paman Tumenggung Hadi Wijaya pasti punya pemikiran yang sama dengannya."Alhamdulillah ... Paman Hadi Wijaya pasti telah datang," ujar Arya.Tidak ada yang berani bergerak, mereka semua bahkan menahan napas, seolah suara napas itu bisa membahayakan nyawa bagi mereka yang masih bersembunyi dalam kegelapan.Meski suasana sudah terang benderang di berbagai sisi, cahaya obor yang telah di siapkan oleh mahasura untuk perayaan kemenangannya malam ini, terpaksa dinyalakan lebih awal untuk mengenali musuh yang baru saja menyerang mereka.Hingga tiba di satu titik dua pasukan itu saling serang, aroma pertempuran kembali menguar dari kesunyian h
Sementara itu di hutan pinggiran desa komplotan pasukan Mahasura dari berbagai penjuru telah sampai. Pasukan berjumlah sekitar seribu orang, mereka terdiri dari para rampok dan begal yang telah berhasil di rekrut oleh Mahasura untuk menyerang istana Akuwu Sura Wijaya.Mereka telah dilatih selama 12 purnama untuk mempersiapkan pertempuran hari ini. Jadi meskipun mereka bukan tentara resmi kerajaan tapi sudah mendapatkan latihan yang setara dengan para tentara reguler istana."Dengar!" pekik Mahasura.Suara bising-bising yang tadi berdengung seperti suara lebah karena banyaknya manusia yang berbicara, tiba-tiba menghilang."Malam ini, kemungkinan rombongan pasukan dari gunung wilis akan tiba di sini, jadi mari kita siapkan jebakan," papar Mahasura."Kita akan menyergap mereka, hanya satu tujuanku, yaitu membunuh Arya Wisesa, kalian paham?""Paham," jawab semua serentak."Bagus, jauhkan dia dari gurunya dan siapapun, aku akan membunuhnya
"Nimas, aku mencintaimu," ucapnya seraya menciumi istrinya terus menerus dan memeluknya erat. Seolah ini adalah kesempatan terakhirnya untuk melakukannya.Airmata tak berhenti menetes, hari ini Arya merasakan ganjalan teramat berat untuk meninggalkannya pergi ke istana. Entah kenapa ...Seolah kepergiannya kali ini bukan sekedar pergi ke istana, akan tetapi pergi ke sebuah lorong waktu yang akan membawanya kembali ratusan abad ke masa depan. Melemparkan dirinya kembali ke dunia asalnya."Nimas, jadilah masa depanku, kumohon," bisiknya kelu, seolah suaranya tercekat di tenggorokan."Akulah masa depanmu, Kanda, bukan hanya aku, tapi juga Husein Ibadurrahman, akan menjadi masa depanmu," jawab Nimas seraya menyunggingkan senyumnya yang memabukkan.Arya menghela napas panjang, dia berusaha memenuhi paru-parunya dengan udara sebanyak yang dia bisa, untuk mengusir sesak. Bukan karena saturasi oksigennya di bawah normal, tapi sesak karena rasa takut kehila