Pagi ini mentari bersinar hangat, mengusir kebekuan lereng Gunung Wilis meskipun masih menyisakan hawa dingin. Dari Pagi buta seluruh penghuni Padhepokan sudah disibukkan dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sibuk mengisi tandon air untuk dapur padhepokan, biasanya setiap hari dibuat jadwal secara bergilir untuk murid-murid padhepokan yang bertugas mengisi tandon air. Mereka mengambilnya dari sumber air yang terletak dibagian belakang padhepokan.
Sedangkan tukang masak padhepokan sedang menanak nasi dengan kuali besar yang terbuat dari tanah. Sementara lainnya ada yang mencuci pakaian disungai, ada juga yang sedang berlatih pedang. Semua melakukan tugas masing-masing. Hal ini menjadikan suasana Padhepokan selalu hidup.
Nimas sedang menyiram bunga-bunga kesayangannya di halaman bilik kami, saat aku dan Romo Gandiswara sedang bermain-main dengan Simo Seto. Romo Gandiwara mempunyai penglihatan yang luar biasa, beliau mampu membaca potensi orang hanya dengan beber
(Mulai bab 21 seterusnya akan menggunakan POV 3)POV Author❤️❤️❤️Tok tok tokSuara ketukan pintu terdengar di bilik milik Arya Wisesa. Mereka berdua yang masih berbincang saling pandang, karena tidak biasanya di malam selarut ini ada yang mengetuk pintu, jika bukan karena perkara penting."Biar aku saja, Nimas," ucap Arya.Setelahnya, Arya beringsut dan berjalan menuju pintu, membukanya perlahan, hingga suara derit pintu terdengar. Saat daun pintu terbuka, wajah semringah Rangga Suta terpampang di depan mata."Ada apa, Kangmas?" tanya Nimas Ayu seraya mendekati suaminya."Tadi aku ikut meronda dengan murid-murid Padhepokan. Saat lewat depan bilik kalian, kulihat pelita masih menyala. Akhirnya kuputuskan untuk datang," Jawabnya tanpa dosa.Tampak Arya menghembuskan napas lega, andaikan Rangga Suta tahu, tadi mereka sudah berpikir macam-macam saat mendengar ketukan pintu. Mengira ada kejadian mene
Rangga Suta berjalan paling belakang, Nimas Ayu berjalan di tengah sementara Arya Wisesa berjalan paling depan sebagai penunjuk jalan. Mereka bertiga berjalan menyusuri jalan setapak masuk ke dalam hutan belakang Padhepokan. Sesekali Rangga Suta berkelakar mengundang tawa, membuat suasana riang gembira mewarnai perjalanan mereka."Kanda, lihatlah! burung itu terus mengikuti kita," ucap Nimas riang ketika seekor burung hinggap di dahan pohon tak jauh dari mereka."Itu burung cucak wilis, Nimas," ucap Rangga Suta hanya sepintas menatap burung yang sedang berkicau dengan riangnya."Itu memang burung hutan, biar saja dia terbang bebas di alam liar. Jangan ditangkap!" Arya Wisesa menambahkan.Nimas Ayu mengangguk, bibirnya terus melengkung indah saat matanya menatap burung berjambul kuning itu."Kau boleh mengikuti kami, aku tidak akan menangkapmu," bisiknya lembut.Burung itu berputar-putar mengitari mereka sambil ber
"Dimas tumenggung, ada kabar dari para telik sandi (mata-mata) kita?" tanya Akuwu Sura Wijaya memantau keamanan wilayahnya."Dari laporan yang saya dapatkan, sudah beberapa bulan ini tidak ada aktivitas yang di lakukan para rampok dan begal, Kangmas," jawab tumenggung Hadi Wijaya."Apakah ini kabar baik ataukah buruk, Dimas?" tanyanya lagi."Seharusnya ini menjadi kabar baik, Kangmas, akan tetapi saya merasakan keanehan," balasnya."Aneh?""Ya, Kangmas, kenapa bisa serentak, para begal di seluruh wilayah kita berhenti beraktivitas?""Menurutmu, kemungkinannya seperti apa?" tanya Sura Wijaya sambil mengerutkan dahinya."Aku sulit menebaknya, tapi adakah kemungkinan mereka sedang menyiapkan kekuatan bersama?" jawabnya ragu."Untuk?""Untuk melakukan sesuatu yang besar.""Apa itu, Dimas?" tanya sang Akuwu penasaran."Mereka bekerja sama untuk menyerang kita, misalnya," jawab tumenggung.Sang Akuwu
Pagi yang tenang ini, burung-burung berkicau dengan riang gembira di dahan pohon bambu yang meliuk-liuk diterpa angin.Kriieeettt krrieeettttSuara bambu yang sedang menari-nari menggoyangkan tubuh sesuai dengan irama dedaunan yang saling bergesekan terdengar harmoni dengan desingan angin yang bertiup di gunung wilis.Suasana tenang alam semesta ini pecah dengan suara pekikan Nimas ayu dari balik biliknya, mengagetkan Arya Wisesa yang sedang berlatih kanuragan di halaman.Pria itu spontan lari tunggang langgang masuk ke dalam bilik dan menemukan sang istri sedang duduk bersandar di dinding mengerang kesakitan sambil memegang perutnya. Dengan panik Arya memapahnya menuju pembaringan mereka."Kanda ... sakit ... ahhhh," pekik Nimas sambil meremas jemari Arya Wisesa."Sebelah mana yang sakit, Sayang?" tanya Arya panik. Dia mencoba mengelus-elus bagian perut Nimas yang sudah membesar."Sabar, ya, Sayang," hibur Arya kebingungan harus baga
Malam mulai menyapa, menggelayut di gunung wilis, bintang-bintang yang bertaburan di langit seolah menjadi lambang ucapan suka cita semesta untuk kelahiran Husein, putra dari Arya Wisesa dan Nimas Ayu Larasati.Suara binatang malam bersahut-sahutan meramaikan suasana, serupa irama gendhing tembang mijil yang terlantun indah untuk mengungkap kebahagiaan atas lahirnya seorang putra, yang kelak diharapkan akan bisa semakin menambah berat timbangan kesalehan untuk orang tuanya.Di hari ke-7 kelahiran Husein, Arya Wisesa menyembelih dua ekor domba atas saran dari Ki Ageng Wilis sebagai rasa syukur atas kelahiran putra pertamanya itu.Aroma kebahagiaan masih terus tercium, dengan berbagai masakan yang telah disiapkan oleh anggota Padhepokan untuk di bagikan pada seluruh warga kampung terdekat dengan padhepokan.Biyung menemani Nimas di dalam bilik, saat para pria mengurus untuk membagikan berkat yang berisi makanan yang telah dimasak oleh para emban di ta
"Nimas, aku mencintaimu," ucapnya seraya menciumi istrinya terus menerus dan memeluknya erat. Seolah ini adalah kesempatan terakhirnya untuk melakukannya.Airmata tak berhenti menetes, hari ini Arya merasakan ganjalan teramat berat untuk meninggalkannya pergi ke istana. Entah kenapa ...Seolah kepergiannya kali ini bukan sekedar pergi ke istana, akan tetapi pergi ke sebuah lorong waktu yang akan membawanya kembali ratusan abad ke masa depan. Melemparkan dirinya kembali ke dunia asalnya."Nimas, jadilah masa depanku, kumohon," bisiknya kelu, seolah suaranya tercekat di tenggorokan."Akulah masa depanmu, Kanda, bukan hanya aku, tapi juga Husein Ibadurrahman, akan menjadi masa depanmu," jawab Nimas seraya menyunggingkan senyumnya yang memabukkan.Arya menghela napas panjang, dia berusaha memenuhi paru-parunya dengan udara sebanyak yang dia bisa, untuk mengusir sesak. Bukan karena saturasi oksigennya di bawah normal, tapi sesak karena rasa takut kehila
Sementara itu di hutan pinggiran desa komplotan pasukan Mahasura dari berbagai penjuru telah sampai. Pasukan berjumlah sekitar seribu orang, mereka terdiri dari para rampok dan begal yang telah berhasil di rekrut oleh Mahasura untuk menyerang istana Akuwu Sura Wijaya.Mereka telah dilatih selama 12 purnama untuk mempersiapkan pertempuran hari ini. Jadi meskipun mereka bukan tentara resmi kerajaan tapi sudah mendapatkan latihan yang setara dengan para tentara reguler istana."Dengar!" pekik Mahasura.Suara bising-bising yang tadi berdengung seperti suara lebah karena banyaknya manusia yang berbicara, tiba-tiba menghilang."Malam ini, kemungkinan rombongan pasukan dari gunung wilis akan tiba di sini, jadi mari kita siapkan jebakan," papar Mahasura."Kita akan menyergap mereka, hanya satu tujuanku, yaitu membunuh Arya Wisesa, kalian paham?""Paham," jawab semua serentak."Bagus, jauhkan dia dari gurunya dan siapapun, aku akan membunuhnya
Suasana kembali senyap, tak ada lagi suara anak panah yang berdesing. Mata setajam elang masing-masing dari mereka mencoba menangkap siapa musuh yang datang.Di sisi lain Arya Wisesa dan pasukannya bisa bernapas lega mendapatkan bala bantuan, hal itu memang sudah dipertimbangkan oleh Arya sebelumnya. Menurutnya paman Tumenggung Hadi Wijaya pasti punya pemikiran yang sama dengannya."Alhamdulillah ... Paman Hadi Wijaya pasti telah datang," ujar Arya.Tidak ada yang berani bergerak, mereka semua bahkan menahan napas, seolah suara napas itu bisa membahayakan nyawa bagi mereka yang masih bersembunyi dalam kegelapan.Meski suasana sudah terang benderang di berbagai sisi, cahaya obor yang telah di siapkan oleh mahasura untuk perayaan kemenangannya malam ini, terpaksa dinyalakan lebih awal untuk mengenali musuh yang baru saja menyerang mereka.Hingga tiba di satu titik dua pasukan itu saling serang, aroma pertempuran kembali menguar dari kesunyian h