Flashback Terik panas matahari terasa menyengat di siang itu, suara musik terdengar mengalun dari radio. Suara kasar dari knalpot mobil tua terdengar. Kimberly tersenyum lebar, bola mata Kimberly terlihat cerah berkialauan melihat hamparan pasir yang di lewatinya, beberapa pohon zaitun terlihat subur dan sudah berbuah tumbuh di beberapa tempat. Wajah cantiknya gadis itu terlihat berseri mencerminkan kesenangan di dalam hatinya. Rambut Kimberly yang tergerai berkilauan itu bergerak tersapu angin, gadis itu mengeluarkan tangannya, merasakan angin yang menerpa bersamaan dengan sengatan terik panas matahari yang kini sudah berada di atas langit. Mobil yang di tumpanginya bergerak sangat cepat di kendarai oleh Marius. Mereka sedikit berbincang kecil membicarakan liburan kecil yang diam-diam mereka lakukan. Kini mereka berada dalam perjalanan menuju pulang setelah satu hari penuh berkeliaran. Marius mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, keterampilannya dalam berkendara sudah c
Tetesan air hujan yang jatuh membasahi wajah membuat Marius kembali tersadar dari lamunannya. Kepala Marius terangkat melihat langit yang cerah namun gerimis. Marius membuang napasnya dengan sesak. Hatinya merasa sakit memikirkan betapa indahnya dunianya di kala susah karena masih ada Kimberly di sisinya, namun di kala bergelimang harta, dia terpisah dengan Kimberly karena kekuasan dan keadaan. “Kim,” panggil Marius dengan suara bergetar, sorot mata Marius di penuhi oleh kerinduan yang menyakitkan saat memandangi photo Kimberly yang menghiasi tugu makam. “Aku belum memberikan segalanya untukmu. Apakah pantas jika aku memberikan sedikit saja sesuatu yang ku miliki pada gadis lain meski ku tahu, apa yang aku dapat sekarang adalah hasil dari pengorbananmu?” Tanya Marius dengan suara yang terbata meminta izin Kimberly untuk sedikit memalingkan hatinya pada gadis lain. Suara angin yang berhembus tedengar, tetesan air hujan membasahi telapak tangannya. “Sampai jumpa Kim.” Marius mengge
Paula kembali mengambil ice creamnya dan segera memakannya lagi, memang akhir-akhir Paula merasa cukup kesulitan karena di hadapi banyak keruwetan yang membuat dia merasa tidak berkutik sedikitpun menghadapi banyak kenyataan yang kian berubah dari apa yang dia rencakan selama ini. Winter semakin berubah dan tidak bisa lagi di pergunakan seperti boneka juga mesin uangnya, keuangannya kian menipis karena semua bantuan keluarga Benjamin di hentikan kecuali beasiswa sekolah, yang lebih menyulitkan Paula adalah kedatangan Maxim yang keluar dari penjara. Sepanjang waktu Paula terus di hantui oleh rasa takut meski dia sangat tahu betul sifat ayahnya yang lemah dan terlalu baik. Melihat kegelisahan Paula, akhirnya Lana semakin mendekat dan memutuskan untuk duduk di hadapan puterinya. Tangan Lana bertautan dengan kuat di atas meja, Lana membuang napasnya dengan berat karena merasakan banyak kegelisahan juga. Lana termenung melihat permukaan meja yang terbuat dari kaca, bayangan wajahnya y
Marvelo terduduk di bangkunya sambil menopang dagu dalam kepalan tangan, pria itu tidak mengalihkan pendangannya dari Winter yang kini duduk di sampingnya tengah sibuk belajar sambil menuliskan sesuatu di buku catatannya. Winter terlihat menarik saat bersikap tenang dan menunjukan sisi dirinya yang ambisius. “Sebentar lagi kita akan lulus sekolah, kau sudah memutuskan akan pergi ke univeristas mana?” tanya Winter. Marvelo menggeleng, dia belum memiliki rencana apapun setelah lulus sekolah. Sekolah menengah atas di Neydish hanya berlangsung selama dua tahun, satu tahunnya lagi mereka akan di pisah untuk belajar lebih dalam mengenai jurusan dan mimpi para siswa. Mereka di persiapkan dengan matang agar bisa masuk ke univeristas yang mereka mimpikan, belajar bahasa baru negara yang menjadi tempat tujuan. “Bagaimana denganmu sendiri?” tanya balik Marvelo. “Aku akan membantu kakakku.” Marvelo tersenyum senang mendengarnya. “Mengenai kontes yang akan berlangsung, apa lagi yang kau ing
Winter memasukan kembali kartu-kartunya ke dalam dompet. Sesaat Paula melihat piring-piring di depannya sudah kosong, Paula baru tersadar jika ternyata dia sudah makan lebih dari dua porsi. Entah mengapa sejak beberapa hari ini dia merasa sangat suka makan dan terus merasakan perasaan lapar, biasanya Paula mengalami hal ini setiap kali sedang datang bulan saja. Perhatian Paula teralihkan kepada Winter yang kini semakin kurus, wajahnya kian tirus dan berbentuk, dia semakin cantik dan bersinar meski hanya dengan makeup tipis. Hanya dengan penampilan sederhana dan menurunkan berat badan beberapa puluh kilo saja, kini tidak jarang ada banyak pemuda yang melirik Winter dan terpesona kepadanya. Mendadak kepala Paula memanas, dia tidak suka memikirkan jiwa fisik Winter akan mulai sempurna dari waktu ke waktu. Semua yang dia perjuangkan bertahun-tahun dari mencuci otak Winter dan memonopoli pikirannya agar menjadi gadis yang bodoh tidak berguna, mengalami obesitas, kini semuanya perlahan
Wajah Winter memucat kaget namun mempertahankan senyumannya, “Ayah kandungnya?” Maxim mengangguk sambil melepaskan genggaman tangannya, Maxim terlihat malu dan takut jika Winter akan mengejeknya karena dia ayahnya Paula. Paula yang anaknya saja malu jika orang-orang tahu bahwa dia ayahnya, mungkin saja orang lain juga akan bersikap sama, mengejek Maxim yang begitu berbeda dengan Paula apalagi Maxim mantan narapidana. “Ya Tuhan,” Winter menutup mulutnya dengan tangan, gadis itu berpura-pura kaget dan membuat Maxim mengangkat wajahnya, melihat Winter. Alis Maxim sedikit menurun, kesedihan kian nyata terlukis di matanya karena apa yang dia takutkan benar terjadi. Teman Paula kini bereaksi kaget begitu Maxim sudah memberitahu bahwa dia adalah ayahnya Paula. “Apa Anda sungguh-sungguh ayahnya?” Tanya Winter lagi tidak menunjukan kepercayaan. “Benar, memangnya kenapa?” tanya Maxim dengan hati-hati. “Maaf reaksi saya berlebihan, saya terlalu kaget. Selama ini Paula mengatakan jika ayah
Sebuah baju seragam sekolah tergeletak di atas ranjang, kamar Paula yang kecil. Kamar itu sempat sesak di penuhi oleh banyak barang-barang, kini satu persatu barang sudah hilang, semua barang mewah dari perhiasan hingga pakaian terkenal itu terlepas dari tangannya untuk di jual agar bisa menutupi gaya hidupnya yang masih tinggi. Paula berdiri di depan cermin, gadis itu menatap ngeri tubuh telanjangnya yang kini terpantul di cermin. Kaki jenjangnya kini membesar, pinggang kecil, perut rampingnya kini di hiasi sedikit lipatan lemak dan tidak memiliki lekukan lagi, tangannya bergelambir saat di angkat ke atas, dan dagu Paula menjadi berlapis-lapis. Wajah Paula memucat, degup jantung memacu dengan cepat. Paula teramat kaget karena hal yang selama ini dia biarkan dan tidak dia perhatikan berubah menjadi bencana. Nafsu makan Paula yang kian meningkat dan tidak dia sadari membuat Paula kebablasan meski beberapa kali Lana menasihatinya. Tetap saja Paula makan sebanyak nafsunya yang terus
“Lari Aurin!” Nathan berteriak, dia menarik tangan Aurin dan membawanya berlari keluar menuju pintu. Namun begitu pintu terbuka, dua orang berpakaian seragam polisi menodongkan sebuah pistol tepat di hadapadan mereka. Dengan gemetar Nathan mundur dan menutup pintu kembali bersama Aurin. “Kenapa ada polisi di luar? Jika mereka ingin menangkap kita, mereka harus menunjukan surat izin penangkapan, bukan menodongkan pistol,” kata Aurin dengan panik. “Mereka bukan polisi, mereka penjahat,” jawab Nathan dengan wajah yang sudah pucat pasi. Sekelebat bayangan orang yang berada di luar balkon kini akhirnya menunjukan diri, mereka adalah Mante dan Jach, orang yang Winter bayar untuk memberi pelajaran kepada Nathan dan Aurin. Mante melangkah dengan tenang tidak menunjukan ekspresi apapun, pria itu langsung duduk di kursi dan membiarkan Jach yang pergi untuk mengurus keduanya. “Hay, selamat malam” sapa Jach tersenyum lebar penuh keceriaan memamerkan senyuman menawannya. Nathan menelan sali