Perlahan sinar matahari dapat di lihat dari arah timur, Winter sudah sangat jauh melangkah. Kini dia berjalan melewati jalanan setapak di pinggiran danau Aldes. Satu persatu orang mulai menunjukan diri, mereka bergerak cepat memulai aktivitas mereka. Perlu lima belas menitan lagi untuk Winter agar bisa sampai ke rumah, namun keringat sudah membasahi sekujur tubuhnya karena sudah banyak berkeliling, kakinya mulai merasakan sakit karena banyak tekanan. Sejenak Winter berdiri bersandar pada pagar tembok, merasakan dinginnya pagi sambil minum sebotol air mineral. Wajah Winter terlihat merah karena kepanasan, bola matanya yang berwarna biru itu bergerak melihat ketenangan air danau yang bersih dan indah. “Winter.” Winter berbalik, gadis itu tersedak oleh minumannya sendiri karena kaget melihat Marius mengenakan jaket hitam, kacamata dan sebuah topi. Namun tetap saja dia dapat di kenali karena duduk di kursi roda. “Kau sedang apa di sini?” Tanya Winter seraya mengusap bibirnya yang
Pagi yang indah dan cerah itu terasa hangat untuk di rasakan. Rumput-rumput masih basah, bunga mulai bermekaran, kicauan suara burungpun mulai terdengar. Marius duduk di depan makam Kimberly, memandangi batu nisannya yang memiliki ukiran indah. Marius menggenggam bucket bunga yang sengaja dia bawa dan dia rangkai sendiri di toko langganannya. Perlahan Marius membungkuk, meletakan bunga itu di atas makam Kimberly. Bibir Marius sedikit terbuka, dia mengambil napasnya dalam-dalam penuh rasa sesak, Marius menatap sendu makam Kimberly. Kilatan matanya menunjukan rasa bersalah sekaligus sedih. Beberapa kali Marius harus mengatur napasnya hanya untuk bisa mengurangi debaran hebat yang bergejolak di hatinya karena setelah sekian lama hatinya dalam kebekuan, kini perlahan meleleh seperti es di bawah sinar matahari. Dinginya hati Marius setelah kepergian Kimberly, kini memudar perlahan setelah bertemu Winter Benjamin. Namun Marius masih meraba, apakaha ini sebuah perasaan tertarik sesaat
Flashback Terik panas matahari terasa menyengat di siang itu, suara musik terdengar mengalun dari radio. Suara kasar dari knalpot mobil tua terdengar. Kimberly tersenyum lebar, bola mata Kimberly terlihat cerah berkialauan melihat hamparan pasir yang di lewatinya, beberapa pohon zaitun terlihat subur dan sudah berbuah tumbuh di beberapa tempat. Wajah cantiknya gadis itu terlihat berseri mencerminkan kesenangan di dalam hatinya. Rambut Kimberly yang tergerai berkilauan itu bergerak tersapu angin, gadis itu mengeluarkan tangannya, merasakan angin yang menerpa bersamaan dengan sengatan terik panas matahari yang kini sudah berada di atas langit. Mobil yang di tumpanginya bergerak sangat cepat di kendarai oleh Marius. Mereka sedikit berbincang kecil membicarakan liburan kecil yang diam-diam mereka lakukan. Kini mereka berada dalam perjalanan menuju pulang setelah satu hari penuh berkeliaran. Marius mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, keterampilannya dalam berkendara sudah c
Tetesan air hujan yang jatuh membasahi wajah membuat Marius kembali tersadar dari lamunannya. Kepala Marius terangkat melihat langit yang cerah namun gerimis. Marius membuang napasnya dengan sesak. Hatinya merasa sakit memikirkan betapa indahnya dunianya di kala susah karena masih ada Kimberly di sisinya, namun di kala bergelimang harta, dia terpisah dengan Kimberly karena kekuasan dan keadaan. “Kim,” panggil Marius dengan suara bergetar, sorot mata Marius di penuhi oleh kerinduan yang menyakitkan saat memandangi photo Kimberly yang menghiasi tugu makam. “Aku belum memberikan segalanya untukmu. Apakah pantas jika aku memberikan sedikit saja sesuatu yang ku miliki pada gadis lain meski ku tahu, apa yang aku dapat sekarang adalah hasil dari pengorbananmu?” Tanya Marius dengan suara yang terbata meminta izin Kimberly untuk sedikit memalingkan hatinya pada gadis lain. Suara angin yang berhembus tedengar, tetesan air hujan membasahi telapak tangannya. “Sampai jumpa Kim.” Marius mengge
Paula kembali mengambil ice creamnya dan segera memakannya lagi, memang akhir-akhir Paula merasa cukup kesulitan karena di hadapi banyak keruwetan yang membuat dia merasa tidak berkutik sedikitpun menghadapi banyak kenyataan yang kian berubah dari apa yang dia rencakan selama ini. Winter semakin berubah dan tidak bisa lagi di pergunakan seperti boneka juga mesin uangnya, keuangannya kian menipis karena semua bantuan keluarga Benjamin di hentikan kecuali beasiswa sekolah, yang lebih menyulitkan Paula adalah kedatangan Maxim yang keluar dari penjara. Sepanjang waktu Paula terus di hantui oleh rasa takut meski dia sangat tahu betul sifat ayahnya yang lemah dan terlalu baik. Melihat kegelisahan Paula, akhirnya Lana semakin mendekat dan memutuskan untuk duduk di hadapan puterinya. Tangan Lana bertautan dengan kuat di atas meja, Lana membuang napasnya dengan berat karena merasakan banyak kegelisahan juga. Lana termenung melihat permukaan meja yang terbuat dari kaca, bayangan wajahnya y
Marvelo terduduk di bangkunya sambil menopang dagu dalam kepalan tangan, pria itu tidak mengalihkan pendangannya dari Winter yang kini duduk di sampingnya tengah sibuk belajar sambil menuliskan sesuatu di buku catatannya. Winter terlihat menarik saat bersikap tenang dan menunjukan sisi dirinya yang ambisius. “Sebentar lagi kita akan lulus sekolah, kau sudah memutuskan akan pergi ke univeristas mana?” tanya Winter. Marvelo menggeleng, dia belum memiliki rencana apapun setelah lulus sekolah. Sekolah menengah atas di Neydish hanya berlangsung selama dua tahun, satu tahunnya lagi mereka akan di pisah untuk belajar lebih dalam mengenai jurusan dan mimpi para siswa. Mereka di persiapkan dengan matang agar bisa masuk ke univeristas yang mereka mimpikan, belajar bahasa baru negara yang menjadi tempat tujuan. “Bagaimana denganmu sendiri?” tanya balik Marvelo. “Aku akan membantu kakakku.” Marvelo tersenyum senang mendengarnya. “Mengenai kontes yang akan berlangsung, apa lagi yang kau ing
Winter memasukan kembali kartu-kartunya ke dalam dompet. Sesaat Paula melihat piring-piring di depannya sudah kosong, Paula baru tersadar jika ternyata dia sudah makan lebih dari dua porsi. Entah mengapa sejak beberapa hari ini dia merasa sangat suka makan dan terus merasakan perasaan lapar, biasanya Paula mengalami hal ini setiap kali sedang datang bulan saja. Perhatian Paula teralihkan kepada Winter yang kini semakin kurus, wajahnya kian tirus dan berbentuk, dia semakin cantik dan bersinar meski hanya dengan makeup tipis. Hanya dengan penampilan sederhana dan menurunkan berat badan beberapa puluh kilo saja, kini tidak jarang ada banyak pemuda yang melirik Winter dan terpesona kepadanya. Mendadak kepala Paula memanas, dia tidak suka memikirkan jiwa fisik Winter akan mulai sempurna dari waktu ke waktu. Semua yang dia perjuangkan bertahun-tahun dari mencuci otak Winter dan memonopoli pikirannya agar menjadi gadis yang bodoh tidak berguna, mengalami obesitas, kini semuanya perlahan
Wajah Winter memucat kaget namun mempertahankan senyumannya, “Ayah kandungnya?” Maxim mengangguk sambil melepaskan genggaman tangannya, Maxim terlihat malu dan takut jika Winter akan mengejeknya karena dia ayahnya Paula. Paula yang anaknya saja malu jika orang-orang tahu bahwa dia ayahnya, mungkin saja orang lain juga akan bersikap sama, mengejek Maxim yang begitu berbeda dengan Paula apalagi Maxim mantan narapidana. “Ya Tuhan,” Winter menutup mulutnya dengan tangan, gadis itu berpura-pura kaget dan membuat Maxim mengangkat wajahnya, melihat Winter. Alis Maxim sedikit menurun, kesedihan kian nyata terlukis di matanya karena apa yang dia takutkan benar terjadi. Teman Paula kini bereaksi kaget begitu Maxim sudah memberitahu bahwa dia adalah ayahnya Paula. “Apa Anda sungguh-sungguh ayahnya?” Tanya Winter lagi tidak menunjukan kepercayaan. “Benar, memangnya kenapa?” tanya Maxim dengan hati-hati. “Maaf reaksi saya berlebihan, saya terlalu kaget. Selama ini Paula mengatakan jika ayah
Dua tahun kemudian.. Kota Den Haag Sebuah gedung hotel tampak sibuk dan ramai malam ini karena ada pesta besar yang sedang merayakan ulang tahun hotel Lessy yang berpusat di kota Neydish. Di dalam sebuah ruangan besar orang-orang berkumpul, mereka terlihat anggun dan tenang, saling berbicara satu sama lainnya menikmati pesta yang sedang berlangsung. Seorang wanita bergaun putih memainkan cello opera di tengah pesta, wanita itu memainkan musik Romeo & Julliet Love Theme. Para tamu undangan yang berdiri dan sibuk bicara di buat terkesima mendengarkan alunan musik yang begitu dalam menghiasi malam pesta. Mereka berbalik melihat sepenuhnya ke arah orang-orang yang bermain musik dan sejenak menghentikan pembicaraan mereka. Di antara banyak orang yang melihat musik, seorang pria berdiri di depan jendela, pria itu sibuk dengan kesendiriannya, memandangi langit malam yang begitu gelap. Alunan musik dalam pendengarannya membawa dia dalam sebuah ingatan indah ketika dia belajar menari di
Sebuah photo terbingkai di pajangkan di atas meja belajar, Winter menopang dagunya melihat photo dirinya saat pelulusan sekolah di hadiri Benjamin dan Vincent. Tidak terasa, tiga bulan telah berlalu sejak kematian Marius dan kepergian Marvelo, kini Winter bisa duduk santai di meja belajarnya, tidak tahu apa yan harus dia lakukan karena semua tujuan hidupnya yang dia cari sudah berada dalam genggaman, yaitu kebahagiaan dan balas dendamnya yang sudah di tuntaskan. Setiap akhir pekan Winter akan mengunjungi makam Kimberly dan Marius, sudah dua kali juga Winter bertemu Jenita akhir-akhir ini. Keadaan Jenita terlihat lebih baik dari sebelumnya, Jenita bersama Levon membangun lebih luas panti asuhan tempat tumbuhnya Kimberly. Keduanya tampak mulai menikmati masa-masa tua mereka, Felix menjaga mereka dengan baik sebagaimana keinginan Marius. Sejak hukuman Paula di tetapkan, kini Winter tidak lagi bertemu dengannya. Untuk Marvelo, sejak kepergiannya ke Belanda, dia tidak memberikan kabar
Satu bulan setelah kepergian Marius, kini Winter kembali harus melanjutkan kehidupannya seperti biasa, sedikit demi sedikit gadis itu berusaha menyembuhkan hatinya dan kembali menemukan kekuatannya lagi. Winter harus berjuang lebih kuat karena Marvelo juga sudah menghilang dari sisinya, tidak ada lagi seseorang yang bisa menjadi teman penghapus kesedihannya. Jiwa Kimberly sempat berpikir, melepaskan Marvelo akan membuat perasaan dia lebih baik karena tidak lagi membuat Marvelo tersiksa karena memendam perasaannya. Rupanya tidak semudah itu, karena jiwa Kimberly merasakan kekosongan besar di dalam hatinya. Ternyata, Marvelo memiliki tempat yang begitu spesial dia dalam hati Winter Benjamin. Meski kini mereka berpisah jauh, kini Winter hanya bisa mendo’akan yang terbaik untuk Marvelo. Hari ini adalah hari persidangan pertama Paula, persidangan akan di adakan secara terbuka sehingga siapapun dapat menyaksikannya. Winter sudah siap untuk menghadirinya. Winter berdiri di depan jende
Marvelo menarik kopernya melewati beberapa orang yang ada di depannya, sekilas pria itu melihat ke belakang, Marvelo tersenyum hangat melihat Charlie dan Lessy melambaikan tangan mereka mengantar kepergian Marvelo. Marvelo kembali melangkah, pria itu tetap tersenyum menyembunyikan suatu perasaan yang mengganjal di hatinya. Kepergian Marvelo terasa tidak begitu menyenangkan karena dia meninggalkan Winter dalam keadaan sedang terluka. Tidak ada maksud untuk dia meninggalkan Winter sendirian, namun keadaan yang memaksa Marvelo harus mengambil keputusan ini. Meski Marvelo ingin menemaninya dan membantu gadis itu bangkit dari kesedihannya, namun Marvelo juga tidak berani terus mendekat karena dia harus segera melenyapkan perasaannya. Marvelo tidak ingin menjadi pria lemah yang hidup tanpa tujuan dan tidak berani mengambil keputusan karena sebuah keraguan. Marvelo harus melangkah ke depan. Andaipun suatu hari nanti dia masih tidak bisa melupakan Winter dan masih memiliki kesempatan un
Payung yang meneduhi Winter menghilang, Nai pergi ke belakang dan berdiri dengan para pengawal lainnya. Sementara Winter, gadis itu masih tetap berdiri di tempatnya melihat makam dirinya dan Marius yang berdampingan berada di tempat yang jauh dari pemakaman yang lainnya. “Aku akan merindukanmu Marius, sama seperti saat kau merindukanku ketika aku hilang. Namun aku juga akan bangkit Marius, seperti apa yang kau inginkan, aku akan bahagia dan menjalani kehidupanku dengan baik. Terima kasih telah menjadikanku cinta pertama dan terakhirmu, aku merasa begitu terhormat.” Winter membungkuk,meletakan bunga yang sejak tadi tidak lepas dari pelukannya. “Aku tidak akan melupakanmu Marius, aku mencintaimu.” Matahari yang turun mulai kehilangan cahayanya, pohon-pohon besar yang berdiri menjulang mengelilingi area pemakaman mulai menghalangi sore terakhir hari ini. Angin berhembus lebih kuat menggerakan rumput-rumput dan bunga liar di sekitarnya. Winter tercekat kaget, samar dia melihat bayang
Marvelo terduduk di kursinya melihat keluar jendela, memperhatikan Irina yang kini tengah makan siang bersama Lessy dan juga Charlie. Marvelo menghela napasnya dengan berat, dua hari ini terakhir ini dia sempat di buat galau karena mendengar pengakuan Winter, rupanya gadis itu sudah tahu mengenai perasaannya, sayangnya Winter tidak ingin mendengarkan pengakuan cinta Marvelo. Marvelo sedikit marah dan kecewa, jika saja Winter tidak terlalu menggodanya dan menunjukan sikap seperti seseorang yang suka kepadanya, mungkin Marvelo tidak akan menaruh harapan yang banyak dan berpikir bahwa gadis itu memiliki perasaan juga kepadanya. Marvelo malu karena ternyata dia terlalu terbawa perasaan dengan kebaikan yang Winter berikan kepadanya. Ini sangat menyakitkan, mengecewakan dan membuat Marvelo beberapa kali harus duduk termenung memikirkan bagaimana cara mengatasi patah hatinya. Kini, tidak ada lagi alasan yang bisa menahan Marvelo berlama-lama di Neydish, Marvelo akan segera pergi. Di am
Winter tertunduk mengenggam tangan Marius, gadis itu bernapas dengan tersenggal tidak mampu menutupi apapun lagi yang selama ini dia rahasiakan. Winter meletakan bunga itu tangan Marius agar pria itu menggenggamnya. Rahasia yang begitu sulit untuk Winter beritahu mengenai siapa dia sebenarnya kini akhirnya meledak mendorong Winter lebih berani berkata jujur. “Dulu, saat masih kecil, tepat di hari kasih sayang, kita menjual bunga mawar di jalanan hingga malam hari agar aku kita bisa membeli sepatu baru karena sepatu lamaku harus di pakai adik-adikku. Aku masih ingat, saat itu tiba-tiba saja kau berlari pergi mengambil sebuah simpul kain berwarna biru yang mengikat beberapa cangkang kado, kau menutup mataku dan memaksaku untuk pergi dari tempat itu. Kau bilang kau akan memberiku kejutan. Sebenarnya aku tahu, alasan kenapa saat itu kau terburu-buru membawaku. Di dekat toko kita berjualan, ada ayahku yang tengah makan malam bersama isteri dan anaknya, mereka terlihat bahagia, kau membaw
Levon dan Jenita yang tertidur di sofa langsung di buat terbangun begitu merasakan pergerakan orang yang lewat. Mereka melihat ke penjuru ruangan, memperhatikan kedatangan dua dokter dan satu perawat memasuki ruangan tempat Marius berada, para ahli medis itu mereka langsung menuju ranjang dan melakukan suatu tindakan yang terlihat darurat karena Marius semakin kesulitan bernapas. Perlahan Levon bangkit, dari balik kaca Levon melihat para pekerja medis yang terlihat sangat berusaha membantu Marius agar kembali stabil. Wajah Levon tampak pucat di penuhi oleh kekhawatiran, padahal dua jam yang lalu keadaan Marius terlihat membaik bahkan Marius sempat berbicara dengan akrab bersamanya dan juga Jenita, namun ternyata kini keadaan dia kembali memburuk. Jenita meminta Levon terduduk lemah, rapalan do’a dan harapan tidak pernah putus, namun suara kesakitan Marius yang teramat dalam begitu menyiksa pendengaran Jenita dan Levon. “Masa depanku sudah gelap semenjak melihat Marius kembali ter
Levon duduk dengan tegak di samping Marius, pria itu kembali datang dengan cepat dan memilih mengesampingkan semua pekerjaannya yang selama ini selalu menjadi prioritasnya. Sejak Marius terbangun kembali, tidak ada pembicaraan yang berarti terjadi di antara mereka. Levon sendiri sadar, terlalu banyak kesalahan yang telah dia buat hingga tidak dapat lagi di jabarkan dengan kata-kata. Kini Levon sedang berusaha membuka kasus di balik penyerangan yang di alami puteranya, namun yang menjadi masalahnya adalah Shanom dan Sean tiba-tiba menghilang sejak beberapa hari yang lalu. Perginya mereka secara bersamaan semakin menguatkan kecurigaan Levon jika keduanya memang dalang dari semua masalah yang terjadi. Jika Marius semakin tidak berdaya dengan keadaan tubuhnya, hal ini akan menciptakan guncangan hebat untuk perusahaan dan Sean akan terpilih sebagai peminpin selanjutkan ketika Levon pensiun di karenakan Sean lebih berpengalaman. Hak Marius tidak mungkin juga di ambil Jenita begitu saja