Marvelo mendekat, pria itu sedikit berdeham dan berkata, “Kau belajar memakai buku milikku,” komentar Marvelo dengan nada dinginnya seperti biasa. “Kau tidak memperbolehkannya?” “Tidak juga.” Marvelo melangkah ragu melewati Winter, sekilas dia melihat gadis itu yang sama sekali tidak mengangkat wajahnya dan sibuk membaca, sesekali memberikan tulisan di bukunya. Marvelo pergi ke ruangan pakaian untuk berpakaian. Beberapa menit kemudian Marvelo kembali, dia masih melihat kehadiran Winter yang berada di posisi yang sama, dan masih serius belajar. Sekilas Marvelo melihat ke arah jam di dinding yang sudah menunjukan pukul dua dini hari. Marvelo membungkuk, mengambil bantal. Dia sudah sangat lelah dan ingin tidur. “Kau mau ke mana?” tanya Winter seraya mengangkat wajahnya. “Aku mengantuk dan ingin tidur.” “Tidur saja di sini. Ini kan ranjangmu,” jawabnya seraya menepuk-nepuk sisi ranjang yang lain. Marvelo berdecih, Winter sudah berubah sangat jauh, tidak hanya gigih dan lebih su
“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Jenita terdengar takut. Marius yang berada di sisinya tersenyum samar, pria itu merasakan kerisauan Jenita kepada dirinya. “Aku akan menerima semua yang dia berikan dan melakukan koferensipers juga.” Jenita terbelalak kaget, tangannya yang tengah memegang segelas minuman sedikit gemetar. Rasa takut dan khawatir yang awalnya hanya meraba, kini perlahan mencekiknya. Jenita sangat tahu Marius seperti apa, namun dia tidak tahu isi hati puteranya yang sesuangguhnya seperti apa. Marius sangat membenci Levon, namun Marius dapat mengendalikannya. Akan tetapi itu dulu, dulu sebelum meninggalnya Kimberly. Setelah kepergian Kimberly, kebencian Marius kian nyata kepada Levon dan Sean. Jenita sangat khawatir jika ada suatu rencana buruk di balik keputusan Marius menerima warisan itu karena Marius bukanlah seorang penggila harta dan jabatan. Jenita tidak ingin Marius hidup tenggelam dalam dendam, dia sangat ingin puteranya hidup dalam kebebasan dan
“Untuk apa?” “Saat aku tersadar dan bangun setelah kejadian di atap gedung sekolah. Aku merasa sangat gila dan kacau, aku membutuhkan beberapa dokter untuk memastikan kesehatan mentalku. Sangat berat memikirkan untuk melewati hari esok, aku mengurung diri begitu lama sendirian dan merenung hanya untuk memikirkan bagaimana cara aku bisa menjalani kehidupanku. Aku semakin merasa gila ketika mengetahui bahwa Paula adalah orang yang sangat jahat dan beracun, semakin berat aku rasakan ketika berada di sekolah dan mengetahui jika begitu banyak orang membenciku, menghinaku hanya karena aku gemuk dan bodoh. Ku pikir, tidak ada yang bisa aku percaya. Namun, ketika aku berbicara denganmu, aku menyadari bahwa mungkin kau satu-satunya orang yang tulus kepadaku. Aku menerima penuh apapun yang kau katakan padaku, aku tidak peduli kau memakiku dan berkata menyebalkan, karena aku tahu, kau peduli padaku.” Marvelo tercekat kaget, dengan sesak kesulitan dia menarik napas dalam-dalam melihat Winter ki
Suara ledakan terdengar dari arah bar. Winter kembali berlari untuk semakin dekat dengan gedung Pentagon berada. Winter melihat beberapa mobil stasiun berita yang berdatangan, beberapa orang sedang melaporkan berita meski di belakang mereka sudah ada garis polisi yang membentang. Cukup banyak orang yang melihat kebakaran itu hingga membuat Winter kesulitan untuk mendekat karena harus melewati satu persatu orang yang berdiri. Panas dari kobaran api yang besar langsung di rasakan Winter begitu dia berhasil sampai ke sebrang jalan dan melihat bar Pentagon yang mewah dan besar kini di lalap api. Suara ledakan kembali terdengar lebih besar di dalam bar, beberapa pemadam kebakaran yang berada di dalam berlari keluar. Kebakaran yang sangat besar itu tampaknya sangat sulit untuk di hentikan meski ada banyak petugas pemadam kebakaran yang di kerahkan. “Tidak, tidak mungkin!” teriakan suara Aurin terdengar di samping Winter. Aurin menangis keras begitu dia sampai di tempat dan di suguhka
Perlahan sinar matahari dapat di lihat dari arah timur, Winter sudah sangat jauh melangkah. Kini dia berjalan melewati jalanan setapak di pinggiran danau Aldes. Satu persatu orang mulai menunjukan diri, mereka bergerak cepat memulai aktivitas mereka. Perlu lima belas menitan lagi untuk Winter agar bisa sampai ke rumah, namun keringat sudah membasahi sekujur tubuhnya karena sudah banyak berkeliling, kakinya mulai merasakan sakit karena banyak tekanan. Sejenak Winter berdiri bersandar pada pagar tembok, merasakan dinginnya pagi sambil minum sebotol air mineral. Wajah Winter terlihat merah karena kepanasan, bola matanya yang berwarna biru itu bergerak melihat ketenangan air danau yang bersih dan indah. “Winter.” Winter berbalik, gadis itu tersedak oleh minumannya sendiri karena kaget melihat Marius mengenakan jaket hitam, kacamata dan sebuah topi. Namun tetap saja dia dapat di kenali karena duduk di kursi roda. “Kau sedang apa di sini?” Tanya Winter seraya mengusap bibirnya yang
Pagi yang indah dan cerah itu terasa hangat untuk di rasakan. Rumput-rumput masih basah, bunga mulai bermekaran, kicauan suara burungpun mulai terdengar. Marius duduk di depan makam Kimberly, memandangi batu nisannya yang memiliki ukiran indah. Marius menggenggam bucket bunga yang sengaja dia bawa dan dia rangkai sendiri di toko langganannya. Perlahan Marius membungkuk, meletakan bunga itu di atas makam Kimberly. Bibir Marius sedikit terbuka, dia mengambil napasnya dalam-dalam penuh rasa sesak, Marius menatap sendu makam Kimberly. Kilatan matanya menunjukan rasa bersalah sekaligus sedih. Beberapa kali Marius harus mengatur napasnya hanya untuk bisa mengurangi debaran hebat yang bergejolak di hatinya karena setelah sekian lama hatinya dalam kebekuan, kini perlahan meleleh seperti es di bawah sinar matahari. Dinginya hati Marius setelah kepergian Kimberly, kini memudar perlahan setelah bertemu Winter Benjamin. Namun Marius masih meraba, apakaha ini sebuah perasaan tertarik sesaat
Flashback Terik panas matahari terasa menyengat di siang itu, suara musik terdengar mengalun dari radio. Suara kasar dari knalpot mobil tua terdengar. Kimberly tersenyum lebar, bola mata Kimberly terlihat cerah berkialauan melihat hamparan pasir yang di lewatinya, beberapa pohon zaitun terlihat subur dan sudah berbuah tumbuh di beberapa tempat. Wajah cantiknya gadis itu terlihat berseri mencerminkan kesenangan di dalam hatinya. Rambut Kimberly yang tergerai berkilauan itu bergerak tersapu angin, gadis itu mengeluarkan tangannya, merasakan angin yang menerpa bersamaan dengan sengatan terik panas matahari yang kini sudah berada di atas langit. Mobil yang di tumpanginya bergerak sangat cepat di kendarai oleh Marius. Mereka sedikit berbincang kecil membicarakan liburan kecil yang diam-diam mereka lakukan. Kini mereka berada dalam perjalanan menuju pulang setelah satu hari penuh berkeliaran. Marius mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, keterampilannya dalam berkendara sudah c
Tetesan air hujan yang jatuh membasahi wajah membuat Marius kembali tersadar dari lamunannya. Kepala Marius terangkat melihat langit yang cerah namun gerimis. Marius membuang napasnya dengan sesak. Hatinya merasa sakit memikirkan betapa indahnya dunianya di kala susah karena masih ada Kimberly di sisinya, namun di kala bergelimang harta, dia terpisah dengan Kimberly karena kekuasan dan keadaan. “Kim,” panggil Marius dengan suara bergetar, sorot mata Marius di penuhi oleh kerinduan yang menyakitkan saat memandangi photo Kimberly yang menghiasi tugu makam. “Aku belum memberikan segalanya untukmu. Apakah pantas jika aku memberikan sedikit saja sesuatu yang ku miliki pada gadis lain meski ku tahu, apa yang aku dapat sekarang adalah hasil dari pengorbananmu?” Tanya Marius dengan suara yang terbata meminta izin Kimberly untuk sedikit memalingkan hatinya pada gadis lain. Suara angin yang berhembus tedengar, tetesan air hujan membasahi telapak tangannya. “Sampai jumpa Kim.” Marius mengge
Dua tahun kemudian.. Kota Den Haag Sebuah gedung hotel tampak sibuk dan ramai malam ini karena ada pesta besar yang sedang merayakan ulang tahun hotel Lessy yang berpusat di kota Neydish. Di dalam sebuah ruangan besar orang-orang berkumpul, mereka terlihat anggun dan tenang, saling berbicara satu sama lainnya menikmati pesta yang sedang berlangsung. Seorang wanita bergaun putih memainkan cello opera di tengah pesta, wanita itu memainkan musik Romeo & Julliet Love Theme. Para tamu undangan yang berdiri dan sibuk bicara di buat terkesima mendengarkan alunan musik yang begitu dalam menghiasi malam pesta. Mereka berbalik melihat sepenuhnya ke arah orang-orang yang bermain musik dan sejenak menghentikan pembicaraan mereka. Di antara banyak orang yang melihat musik, seorang pria berdiri di depan jendela, pria itu sibuk dengan kesendiriannya, memandangi langit malam yang begitu gelap. Alunan musik dalam pendengarannya membawa dia dalam sebuah ingatan indah ketika dia belajar menari di
Sebuah photo terbingkai di pajangkan di atas meja belajar, Winter menopang dagunya melihat photo dirinya saat pelulusan sekolah di hadiri Benjamin dan Vincent. Tidak terasa, tiga bulan telah berlalu sejak kematian Marius dan kepergian Marvelo, kini Winter bisa duduk santai di meja belajarnya, tidak tahu apa yan harus dia lakukan karena semua tujuan hidupnya yang dia cari sudah berada dalam genggaman, yaitu kebahagiaan dan balas dendamnya yang sudah di tuntaskan. Setiap akhir pekan Winter akan mengunjungi makam Kimberly dan Marius, sudah dua kali juga Winter bertemu Jenita akhir-akhir ini. Keadaan Jenita terlihat lebih baik dari sebelumnya, Jenita bersama Levon membangun lebih luas panti asuhan tempat tumbuhnya Kimberly. Keduanya tampak mulai menikmati masa-masa tua mereka, Felix menjaga mereka dengan baik sebagaimana keinginan Marius. Sejak hukuman Paula di tetapkan, kini Winter tidak lagi bertemu dengannya. Untuk Marvelo, sejak kepergiannya ke Belanda, dia tidak memberikan kabar
Satu bulan setelah kepergian Marius, kini Winter kembali harus melanjutkan kehidupannya seperti biasa, sedikit demi sedikit gadis itu berusaha menyembuhkan hatinya dan kembali menemukan kekuatannya lagi. Winter harus berjuang lebih kuat karena Marvelo juga sudah menghilang dari sisinya, tidak ada lagi seseorang yang bisa menjadi teman penghapus kesedihannya. Jiwa Kimberly sempat berpikir, melepaskan Marvelo akan membuat perasaan dia lebih baik karena tidak lagi membuat Marvelo tersiksa karena memendam perasaannya. Rupanya tidak semudah itu, karena jiwa Kimberly merasakan kekosongan besar di dalam hatinya. Ternyata, Marvelo memiliki tempat yang begitu spesial dia dalam hati Winter Benjamin. Meski kini mereka berpisah jauh, kini Winter hanya bisa mendo’akan yang terbaik untuk Marvelo. Hari ini adalah hari persidangan pertama Paula, persidangan akan di adakan secara terbuka sehingga siapapun dapat menyaksikannya. Winter sudah siap untuk menghadirinya. Winter berdiri di depan jende
Marvelo menarik kopernya melewati beberapa orang yang ada di depannya, sekilas pria itu melihat ke belakang, Marvelo tersenyum hangat melihat Charlie dan Lessy melambaikan tangan mereka mengantar kepergian Marvelo. Marvelo kembali melangkah, pria itu tetap tersenyum menyembunyikan suatu perasaan yang mengganjal di hatinya. Kepergian Marvelo terasa tidak begitu menyenangkan karena dia meninggalkan Winter dalam keadaan sedang terluka. Tidak ada maksud untuk dia meninggalkan Winter sendirian, namun keadaan yang memaksa Marvelo harus mengambil keputusan ini. Meski Marvelo ingin menemaninya dan membantu gadis itu bangkit dari kesedihannya, namun Marvelo juga tidak berani terus mendekat karena dia harus segera melenyapkan perasaannya. Marvelo tidak ingin menjadi pria lemah yang hidup tanpa tujuan dan tidak berani mengambil keputusan karena sebuah keraguan. Marvelo harus melangkah ke depan. Andaipun suatu hari nanti dia masih tidak bisa melupakan Winter dan masih memiliki kesempatan un
Payung yang meneduhi Winter menghilang, Nai pergi ke belakang dan berdiri dengan para pengawal lainnya. Sementara Winter, gadis itu masih tetap berdiri di tempatnya melihat makam dirinya dan Marius yang berdampingan berada di tempat yang jauh dari pemakaman yang lainnya. “Aku akan merindukanmu Marius, sama seperti saat kau merindukanku ketika aku hilang. Namun aku juga akan bangkit Marius, seperti apa yang kau inginkan, aku akan bahagia dan menjalani kehidupanku dengan baik. Terima kasih telah menjadikanku cinta pertama dan terakhirmu, aku merasa begitu terhormat.” Winter membungkuk,meletakan bunga yang sejak tadi tidak lepas dari pelukannya. “Aku tidak akan melupakanmu Marius, aku mencintaimu.” Matahari yang turun mulai kehilangan cahayanya, pohon-pohon besar yang berdiri menjulang mengelilingi area pemakaman mulai menghalangi sore terakhir hari ini. Angin berhembus lebih kuat menggerakan rumput-rumput dan bunga liar di sekitarnya. Winter tercekat kaget, samar dia melihat bayang
Marvelo terduduk di kursinya melihat keluar jendela, memperhatikan Irina yang kini tengah makan siang bersama Lessy dan juga Charlie. Marvelo menghela napasnya dengan berat, dua hari ini terakhir ini dia sempat di buat galau karena mendengar pengakuan Winter, rupanya gadis itu sudah tahu mengenai perasaannya, sayangnya Winter tidak ingin mendengarkan pengakuan cinta Marvelo. Marvelo sedikit marah dan kecewa, jika saja Winter tidak terlalu menggodanya dan menunjukan sikap seperti seseorang yang suka kepadanya, mungkin Marvelo tidak akan menaruh harapan yang banyak dan berpikir bahwa gadis itu memiliki perasaan juga kepadanya. Marvelo malu karena ternyata dia terlalu terbawa perasaan dengan kebaikan yang Winter berikan kepadanya. Ini sangat menyakitkan, mengecewakan dan membuat Marvelo beberapa kali harus duduk termenung memikirkan bagaimana cara mengatasi patah hatinya. Kini, tidak ada lagi alasan yang bisa menahan Marvelo berlama-lama di Neydish, Marvelo akan segera pergi. Di am
Winter tertunduk mengenggam tangan Marius, gadis itu bernapas dengan tersenggal tidak mampu menutupi apapun lagi yang selama ini dia rahasiakan. Winter meletakan bunga itu tangan Marius agar pria itu menggenggamnya. Rahasia yang begitu sulit untuk Winter beritahu mengenai siapa dia sebenarnya kini akhirnya meledak mendorong Winter lebih berani berkata jujur. “Dulu, saat masih kecil, tepat di hari kasih sayang, kita menjual bunga mawar di jalanan hingga malam hari agar aku kita bisa membeli sepatu baru karena sepatu lamaku harus di pakai adik-adikku. Aku masih ingat, saat itu tiba-tiba saja kau berlari pergi mengambil sebuah simpul kain berwarna biru yang mengikat beberapa cangkang kado, kau menutup mataku dan memaksaku untuk pergi dari tempat itu. Kau bilang kau akan memberiku kejutan. Sebenarnya aku tahu, alasan kenapa saat itu kau terburu-buru membawaku. Di dekat toko kita berjualan, ada ayahku yang tengah makan malam bersama isteri dan anaknya, mereka terlihat bahagia, kau membaw
Levon dan Jenita yang tertidur di sofa langsung di buat terbangun begitu merasakan pergerakan orang yang lewat. Mereka melihat ke penjuru ruangan, memperhatikan kedatangan dua dokter dan satu perawat memasuki ruangan tempat Marius berada, para ahli medis itu mereka langsung menuju ranjang dan melakukan suatu tindakan yang terlihat darurat karena Marius semakin kesulitan bernapas. Perlahan Levon bangkit, dari balik kaca Levon melihat para pekerja medis yang terlihat sangat berusaha membantu Marius agar kembali stabil. Wajah Levon tampak pucat di penuhi oleh kekhawatiran, padahal dua jam yang lalu keadaan Marius terlihat membaik bahkan Marius sempat berbicara dengan akrab bersamanya dan juga Jenita, namun ternyata kini keadaan dia kembali memburuk. Jenita meminta Levon terduduk lemah, rapalan do’a dan harapan tidak pernah putus, namun suara kesakitan Marius yang teramat dalam begitu menyiksa pendengaran Jenita dan Levon. “Masa depanku sudah gelap semenjak melihat Marius kembali ter
Levon duduk dengan tegak di samping Marius, pria itu kembali datang dengan cepat dan memilih mengesampingkan semua pekerjaannya yang selama ini selalu menjadi prioritasnya. Sejak Marius terbangun kembali, tidak ada pembicaraan yang berarti terjadi di antara mereka. Levon sendiri sadar, terlalu banyak kesalahan yang telah dia buat hingga tidak dapat lagi di jabarkan dengan kata-kata. Kini Levon sedang berusaha membuka kasus di balik penyerangan yang di alami puteranya, namun yang menjadi masalahnya adalah Shanom dan Sean tiba-tiba menghilang sejak beberapa hari yang lalu. Perginya mereka secara bersamaan semakin menguatkan kecurigaan Levon jika keduanya memang dalang dari semua masalah yang terjadi. Jika Marius semakin tidak berdaya dengan keadaan tubuhnya, hal ini akan menciptakan guncangan hebat untuk perusahaan dan Sean akan terpilih sebagai peminpin selanjutkan ketika Levon pensiun di karenakan Sean lebih berpengalaman. Hak Marius tidak mungkin juga di ambil Jenita begitu saja