“Kau… sejak kapan kau bisa memakai sepatu seperti itu?” tanya Paula bingung. “Tidak seperti biasanya kau juga dandan dan memakai korset.”
Alis Winter sedikit bergerak. “Kak Vincent mendandaniku.”
“Kak Vincent pulang?”
“Ya.”
“Senangnya...” senyum Paula terlihat bahagia. “Pasti dia membawa banyak hadiah untukmu.”
Winter menyeringai, Vincent memang membawa banyak hadiah untuk Winter, Namun itu semua tidak terlepas dari makanan yang sangat mengganggunya.
“Winter, mengenai Hendery, aku sudah menemui dia memarahinya, Hendery tampak menyesal atas apa yang telah dia perbuat padamu, Hendery juga sudah mendapatkan hukumannya dari sekolah. Dia berharap bisa berbicara denganmu dan meminta maaf atas kejadian waktu itu.”
“Kau atur saja waktunya.”
“Baiklah.”
Paula dan Winter kembali berjalan, kebersamaan mereka tidak luput dari sorotan banyak orang yang melihat. Mereka sedikit mengolok-olok perbedaaan jauh penampilan Paula dan Winter yang tidak ada bedanya dengan bumi dan langit.
Dulu, seorang Winter Benjamin mungkin boleh saja tertunduk malu dan berjalan dengan gemetar ketika berada di samping Paula yang cantik jelita dan pandai bergaul. Namun Winter yang sekarang tidak lagi seperti itu, Winter akan mengangkat kepalanya dengan percaya diri, karena Winter yang sekarang adalah seorang Kimberly.
Kimberly adalah wanita yang sangat mencintai dirinya sendiri dan menganggap dirinya berharga. Kimberly selalu menganggap dirinya sendiri sangat cantik tanpa menganggap jelek orang lain.
Jika kini jiwa Kimberly memiliki tubuh Winter Benjamin, maka Kimberly juga akan mencintai tubuh Winter dan memperbaikinya dengan cara yang baik.
***
Beberapa orang tampak berbisik melihat Winter dan Paula yang baru keluar dari lift menuju kelas.
“Winter, kau mau aku temani sampai kelasmu?” tanya Paula penuh perhatian.
Kepala Winter terangkat melihat beberapa anak tangga di lorong yang mengarah pada ruangan kelas khusus anak-anak yang mendapatkan fasilitas khusus karena membayar biaya sekolah yang lebih mahal.
“Tidak perlu,” jawab Winter dengan senyuman setulus mungkin.
“Baiklah, sampai jumpa” Paula melambaikan tangannya dan pergi ke sisi lain menuju gedung sekolah lain yang di sambungkan dengan sebuah jembatan.
Begitu Paula pergi, Winter berbalik sambil mengusap bajunya yang sudah di sentuh Paula.
Winter langsung melangkah pergi menuju kelasnya.
Sejenak gadis itu terdiam di depan pintu, tiba-tiba Winter mendengus geli merasa rindu dengan suasana sekolah setelah sekian lama menjalani kehidupan sebagai model.
Begitu pintu kelas di buka, keramaian kelas yang di isi banyak anak-anak yang berinteraksi, kini mendadak langsung diam dan melihat ke arah Winter, semua orang terlihat kaget karena Winter sudah kembali ke sekolah dalam waktu yang cepat.
Sementara Winter yang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian, dia tidak menunjukan rasa malu dan gugup sama sekali. Winter hanya mengedarkan pandangannya menebak-nebak di mana mejanya.
“Permisi, kau menghalangi jalanku.” Suara seseorang yang berada di belakang membuat Winter begeser dan sedikit mendongkak melihat orang yang berbicara padanya.
Winter sedikit terperangah melihat pria berambut cokelat keemasan dan bermata hijau, pria itu terlihat sangat tampan dan memiliki proporsi tubuh seperti atlit. Kakinya yang panjang dan dada yang bidang itu membuat Winter berdecak kagum.
“Kau” panggil Winter pada pria itu.
Pria itu langsung menengok dan menatap Winter terlihat sedikit kaget, reaksi pria itu sama seperti anak-anak yang lainnya.
“Kau tahu di mana tempat dudukku?” tanya Winter dengan nada dinginnya.
Marvelo menunjuk bangku paling ujung dan paling belakang dekat loker.
Begitu sudah mengetahui tempat duduknya di mana, Winter segera pergi begitu saja meninggalkan Marvelo yang masih berdiri mematung di tempatnya.
***
Semua orang yang ada di dalam kelas semakin bungkam begitu melihat Winter yang berpenampilan baru tengah berjalan dengan santai dan penuh percaya diri menuju bangkunya.
“Tidak aku sangka, kau memiliki keberanian untuk kembali menunjukan diri.” Sambut gadis berambut kemerahan dengan cat kuku yang sangat cantik, gadis itu duduk bersedekap melihat Winter yang melangkah melewatinya.
Winter yang malas menjawab langsung duduk di mejanya yang kini sedikit berantakan, bahkan komputer miliknya di corat-coret dan mendapatkan pesan makian dari lembaran surat yang di simpan.
Merasa di abaikan, gadis berambut merah yang bernama Selina itu segera bangkit dan melewati orang-orang yang hanya diam dan menonton.
Selina menggebrak meja Winter dengan keras. “Setelah tebal muka dan tidak tahu malu, sekarang kau juga tuli?” tanya Selina dengan tajam.
Kepala Winter terangkat membalas tatapan tajam Selina. “Berhentilah bicara omong kosong. Jalang,” jawab Winter penuh peringatan.
Wajah Selina sedikit memucat kaget, Winter yang selalu tertunduk dan hanya meminta maaf meski di ganggu dengan berlebihan, kini dia membalas tatapannya dengan tajam dan membalas ucapannya dengan makian.
Selina langsung tersenyum meremehkan, “Sejak kapan kau memiliki keberanian? Apa rasa malu menumbuhkan keberanianmu?” tanya Selina dengan sedikit keras. “Pecundang tetaplah pecundang, kau harus tahu itu! Meski kini kau berani bicara dan menatapku, kau tidak akan pernah berubah karena semua orang akan tetap mengingatmu sebagai badut sekolah yang terlalu berhayal untuk menerima cinta dari seorang laki-laki hingga membuatmu menjadi seperti gadis gila tidak tahu malu.”
Hinaan Selina membuat beberapa orang sedikit tertawa teringat keberanian Winter yang menyatakan perasaannya begitu saja di depan umum kepada seorang pria.
Selina sedikit membungkuk dan menatap tajam Winter. “Bukan kesalahan Hendery jika dia menolakmu, Hendery juga pantas malu dan memakimu saat kau menyatakan cinta kepadanya. Siapapun akan merasa tidak nyaman jika mendapatkan pengakuan cinta darimu.” Tambah Selina lagi menggertak mental Winter.
Alih-alih tergertak, Winter hanya berkedip santai. Menghadapi sepuluh sampai seratus orang yang membencinya, itu bukan masalah.
Saat menjadi Kimberly, dia sudah pernah merasakan di benci jutaan orang.
Ini bukan apa-apa.
“Kau sudah selesai bicaranya?” Tanya Winter dengan tenang terlihat tidak tergertak sama sekali dengan apa yang telah di lakukan Selia kepada dirinya. “Kalau masih mau bicara, agak mundurlah sedikit. Aku tidak suka aroma parfume di bajumu.”
Selina mengepalkan tangannya, semua ucapan yang keluar dari mulutnya langsung di patahkan oleh Winter hanya dengan beberapa patah kata murahan.
“Kau benar-benar bersikap menyebalkan” geram Selina marah. “Aku benar-benar muak hanya dengan melihatmu.”
Winter langsung bersedekap dan memakan sebuah permen karet, Winter harus melatih rahangnya agar sedikit berbentuk dengan cara memakan permen karet secara teratur.
Andaikan saja dia sudah dewasa, dia akan melatih rahangnya dengan memaki dan menghardik orang-orang yang menyebalkan.
“Jika muak, pindah kelaslah dan berhenti membullyku.”
Sontak Selina tertawa begitu pula beberapa orang lainnya. Mereka tidak merelai namun mendorong Selina untuk terus semakin jauh mengganggu Winter.
“Seharusnya kau yang pindah, kau tidak pantas berada di level kelas ini!” bentak Selina dengan keras seraya menggebrak meja lagi.
“Oh astaga” Winter mulai kesal karena harus adu mulut, gadis itu langsung berdiri dan bertolak pinggang. “Biarkan aku beritahu kau, seorang pembully biasanya suka mengganggu orang lain karena dia iri dan merasa posisinya terancam. Kau dan aku memang tidak satu level karena aku terlalu tinggi. Jika aku ada di bawah levelmu, kau tidak akan menggangguku. Kau menggangguku karena posisiku lebih tinggi darimu.”
Selina bungkam dengan ucapan Winter yang sangat lantang dan percaya diri.
“Satu lagi, orang sepertimu itu adalah pecundang besar, kau tahu kenapa? Kau dan teman-temanmu yang di ada di belakangmu hanya berani merundung satu orang secara beramai-ramai. Kalian menganggap diri kalian keren? Astaga lihat wajah-wajah sampah kalian! Sikap kalian seperti setumpuk pecundang yang tidak memiliki keberanian melawan satu orang manusia sepertiku.” Winter berbicara dengan percaya diri seraya menunjuk satu persatu orang yang sudah menertawakannya.
Semua orang di buat bungkam dengan ucapan pedas yang keluar dari mulut Winter.
“Bicaralah dengan pengacaraku jika merasa tidak nyaman atas keberadaanku. Aku tidak akan mau berbicara dengan kalian karena aku terlalu sempurna,” kata Winter lagi terlihat sangat tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya.
Winter kembali duduk di kursinya dan menyalakan komputernya, sementara Selina yang kehabisan argument segera mundur dan kembali duduk. Selina terlihat sedikit shock dengan perubahan Winter yang sangat tidak dia kenal.
To Be Continue..
Seorang guru yang berdiri di depan kelas segera mengambil laptopnya dan berpamitan pergi usai mendengar suara bel yang berbunyi.Beberapa orang mulai beranjak dari duduk mereka dan pergi keluar menikmati waktu istirahat mereka.Winter sedikit menguap sambil melihat keluar jendela, sudah sangat lama dia tidak pernah belajar, kepalanya terasa sedikit penat dan suntuk begitu kembali harus belajar.Winter segera beranjak dari duduknya dan pergi keluar, sekilas dia melihat pemuda yang berbicara dengannya tadi pagi. Tanpa sengaja mereka saling berpandangan.Pria itu menatapnya dengan lembut, namun ekspresi di wajah tampanya sangat dingin dan tidak tersentuh.Winter langsung memutuskan tatapannya, gadis itu memilih pergi keluar dari kelasnya.Kedatangan Winter keluar dari kelas kembali menjadi pusat perhatian banyak orang seperti tadi pagi, Winter yang sangat percaya diri tetap melangkah dengan tegas melewati orang-orang yang beberapa di anta
“Memangnya kejadian mana yang sudah membuatku jadi naif?” Tanya Winter dengan senyuman misteriusnya berusaha memancing Marvelo bicara dan memberitahu apa yang sebenarnya telah terjadi.Jiwa Kimberly sendiri mengakui betapa naifnya kehidupan Winter Benjamin yang sebelumnya. Winter yang dulu adalah gadis selalu mengalah demi orang lain, tidak pernah marah, dan menuruti apapun yang orang lain katakan kepadanya.Jiwa Kimberly yang kini ada di dalam diri Winter menjadi sangat marah.Winter yang dulu tidak ada bedanya dengan sampah yang bernilai, tidak berguna namun memiliki nilai mahal.Kening Marvelo sedikit mengerut, pria itu menghadap Winter dan menatap tajam gadis itu.“Saat kau bertengkar dengan Paula, kau sangat marah begitu besar meluapakan emosimu, kau bersikap seperti seseorang yang ingin mati dan tidak memiliki harapan apapun lagi setiap mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Paula. Setelah kejadian itu, seharusnya
Winter melongo, bibirnya menekan menahan makian karena jumlah bayaran yang harus dia bayar sangat besar. Dari mana Winter memiliki uang sebesar itu?.Bahkan jika Winter memiliki uang sebesar itu, dia akan lebih memilih pergi ke klinik kecantikan untuk luluran dan spa selama beberapa bulan.“Aku tidak memiliki uang sebesar itu,” jawab Winter.“Winter, Kau lupa? Kartumu tanpa batasan,” Paula mengingatkan.Seketika Winter berekspresi dingin, dia sudah menebak jika Paula ingin di belikan, namun Winter tidak menyangka jika Paula benar-benar setidak tahu malu itu karena jumlah uang yang harus di keluarkan terlampau sangat banyak.Dengan ragu Winter mengambil dompetnya dari dalam tas dan membukanya, ada banyak kartu yang tersedia di sana.Benjamin benar-benar memanjakan Winter dengan uangnya.Winter memberikannya kartunya kepada kasir dan Winter hanya perlu memasukan beberapa pin dan pembayaran itu langsung selesai.
Winter kembali keluar dari dari toilet kembali dan menemui Paula yang kini duduk sendirian. Tidak berapa lama seorang pria berpakain hitam dan terlihat muda, juga menarik datang menghampiri mereka.Paula tersenyum lebar segera berdiri menyambut kedatangan Hendery yang datang sendirian. Pria itu tidak memakai seragam sekolahnya karena masih di skors atas tindakannya kepada Winter yang menyebar luas di forum sekolah.Winter yang duduk dan bersedekap sedikit mengangkat pandangannya dan membalas tatapan Hendery yang meliriknya saat berbicara dengan Paula.Kening Winter sedikit mengerut dan sedikit berdecih. Wajah dan fisik Hendery benar-benar tidak masuk ke dalam kualifikasi sempurna pria idaman seorang Kimberly.Jiwa Kimberly sedikit tertawa, menertawakan selera Winter yang sangat benar-benar tidak ada levelnya bagi seorang Kimberly.“Hendery, akhirnya kau datang.” Sambut Paula yang langsung memeluk Hendery dengan akrab.Hende
“Nona, ini dompet Anda” Nai menyerahkan dompet Winter yang sempat di buang.Nai memasang ekspresi dingin di balik kacamata hitam yang dia kenakan. Wajahnya yang sudah menua terlihat masih tampan dan gagah, namun belakang kepalanya terlihat berkilau karena rambutnya yang rontok.“Terima kasih.” Winter tersenyum puas melihat dompetnya masih mulus.Nai mengangguk singkat dan segera menutup pintu mobil, pria itu segera pergi mengitari mobil dan menyusul masuk.Nai duduk di kursi depan dan meminta sopir melajukan mobilnya. Nai segera membuka tabletnya untuk membuka catatan kegiatan Winter hari.“Anda mau langsung terapi?” tanya Nai.“Ya, antar aku ke sana.”Nai mengangguk dan langsung bicara kepada sopir yang duduk di sampingnya untuk segera berangkat.Winter menjatuhkan kepalanya ke sandaran kursi untuk meredakan rasa lelahnya. Fisik Winter yang besar membuat dia menjadi cepat merasa lelah dan kesulitan bernapas. Beruntung sekarang musim salju, Winter akan lebih banyak kedinginan di ban
“Persetan dengan kata professional” sela Kimberly dengan tajam. “Jika kalian menuntut model professional, kalian juga harus menyiapkan panggung yang lebih professional agar keselamatan para model terjamin. Panggung itu setinggi dua meter, tulang model akan patah jika terjatuh dan terpeleset. Jika tidak bisa memberikan panggung yang aman, pikirkanlah rencana lain tanpa membuat model berisiko celaka dan acara tetap berjalan dengan lancar.” “Diamlah Kimberly! Kami tidak keberatan dengan panggung yang basah” sela Lexy, wanita yang bergaun putih seperti salju di pagi hari. “Bilang saja kau takut karena ini untuk pertama kalinya kau memakai gaun, kau kan hanya terbiasa memakai pakaian dalam saja. Kau khawatirkan kan? Kau tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhmu karena gaun terbaik malam ini di pakai olehmu.” Kimberly tersenyum smirk. “Tutup mulut sialanmu itu. Aku bicara karena aku kasihan kepada kalian.” “Diamlah! Berhenti bertengkar! Bersiaplah dan lakukan yang terbaik malam ini!.” Relai
Winter membuang napasnya dengan berat, gadis itu tidak dapat menutupi rasa sedih di hatinya saat melihat bayangan tubuh barunya di kaca dan melihat tugu patung Kimberly yang berdiri di depannya secara bergantian.Betapa berbedanya mereka..Tiba-tiba perhatian Winter berpindah pada sudut lain.Kening Winter mengerut samar melihat seseorang yang keluar dari gedung hotel, orang itu cukup familiar di dalam ingatannya meski kini terlihat berbeda.“Apa aku tidak salah lihat?” tanya Winter bertanya kepada dirinya sendiri. Winter semakin meneliti dengan seksama takut penilaiannya salah. “Itu benar! Astaga” bisiknya dengan ekspresi kagetnya.Winter menutup mulutnya dan terlihat sedikit panik melihat ke sekitar.Sangat luar biasa mengejutkan. Winter melihat Marvelo, teman sekelasnya keluar dari gedung hotel kini mengenakan sebuah coat hitam, rok selutut, mengenakan sepatu perempuan, lalu mengenakan syal yang membelit lehernya untuk menutupi jakunnya.Hal yang paling mengejutkan adalah, wajah ta
Winter tertawa terbahak hingga matanya berair melihat banyak photo yang dia hasilkan. Winter cukup kaget, pria yang suka bicara pedas, begitu sangat jantan, berkarisma, tampan dan di idolakan banyak wanita itu ternyata memiliki kepribadian yang aneh.“Arrght” tawa Winter terhenti karena rasa perih di kakinya yang tengah di obati oleh seorang pelayan.“Nona, tuan Benjamin akan marah besar jika Anda terluka seperti ini. Nai dan yang lainnya pasti akan di pecat karena tidak dapat menjaga Anda. Harusnya Anda bicara jika berada dalam kesulitan, saya sangat khawatir” nasihat Meta sambil mengobati kaki Winter.“Kau khawatir padaku?”“Tentu saja saya khawatir, saya kesal dan sedih karena orang sebaik Anda selalu saja terluka setiap kali keluar rumah,” jawab Meta dengan nada suara yang gemetar menahan tangisan, dengan cepat Meta menghapus air matanya yang sempat terjatuh dan melanjutkan kembali aktivitasnya mengobati kaki Winter.Bibir Winter membentuk senyuman miring melihat Meta yang masih
Dua tahun kemudian.. Kota Den Haag Sebuah gedung hotel tampak sibuk dan ramai malam ini karena ada pesta besar yang sedang merayakan ulang tahun hotel Lessy yang berpusat di kota Neydish. Di dalam sebuah ruangan besar orang-orang berkumpul, mereka terlihat anggun dan tenang, saling berbicara satu sama lainnya menikmati pesta yang sedang berlangsung. Seorang wanita bergaun putih memainkan cello opera di tengah pesta, wanita itu memainkan musik Romeo & Julliet Love Theme. Para tamu undangan yang berdiri dan sibuk bicara di buat terkesima mendengarkan alunan musik yang begitu dalam menghiasi malam pesta. Mereka berbalik melihat sepenuhnya ke arah orang-orang yang bermain musik dan sejenak menghentikan pembicaraan mereka. Di antara banyak orang yang melihat musik, seorang pria berdiri di depan jendela, pria itu sibuk dengan kesendiriannya, memandangi langit malam yang begitu gelap. Alunan musik dalam pendengarannya membawa dia dalam sebuah ingatan indah ketika dia belajar menari di
Sebuah photo terbingkai di pajangkan di atas meja belajar, Winter menopang dagunya melihat photo dirinya saat pelulusan sekolah di hadiri Benjamin dan Vincent. Tidak terasa, tiga bulan telah berlalu sejak kematian Marius dan kepergian Marvelo, kini Winter bisa duduk santai di meja belajarnya, tidak tahu apa yan harus dia lakukan karena semua tujuan hidupnya yang dia cari sudah berada dalam genggaman, yaitu kebahagiaan dan balas dendamnya yang sudah di tuntaskan. Setiap akhir pekan Winter akan mengunjungi makam Kimberly dan Marius, sudah dua kali juga Winter bertemu Jenita akhir-akhir ini. Keadaan Jenita terlihat lebih baik dari sebelumnya, Jenita bersama Levon membangun lebih luas panti asuhan tempat tumbuhnya Kimberly. Keduanya tampak mulai menikmati masa-masa tua mereka, Felix menjaga mereka dengan baik sebagaimana keinginan Marius. Sejak hukuman Paula di tetapkan, kini Winter tidak lagi bertemu dengannya. Untuk Marvelo, sejak kepergiannya ke Belanda, dia tidak memberikan kabar
Satu bulan setelah kepergian Marius, kini Winter kembali harus melanjutkan kehidupannya seperti biasa, sedikit demi sedikit gadis itu berusaha menyembuhkan hatinya dan kembali menemukan kekuatannya lagi. Winter harus berjuang lebih kuat karena Marvelo juga sudah menghilang dari sisinya, tidak ada lagi seseorang yang bisa menjadi teman penghapus kesedihannya. Jiwa Kimberly sempat berpikir, melepaskan Marvelo akan membuat perasaan dia lebih baik karena tidak lagi membuat Marvelo tersiksa karena memendam perasaannya. Rupanya tidak semudah itu, karena jiwa Kimberly merasakan kekosongan besar di dalam hatinya. Ternyata, Marvelo memiliki tempat yang begitu spesial dia dalam hati Winter Benjamin. Meski kini mereka berpisah jauh, kini Winter hanya bisa mendo’akan yang terbaik untuk Marvelo. Hari ini adalah hari persidangan pertama Paula, persidangan akan di adakan secara terbuka sehingga siapapun dapat menyaksikannya. Winter sudah siap untuk menghadirinya. Winter berdiri di depan jende
Marvelo menarik kopernya melewati beberapa orang yang ada di depannya, sekilas pria itu melihat ke belakang, Marvelo tersenyum hangat melihat Charlie dan Lessy melambaikan tangan mereka mengantar kepergian Marvelo. Marvelo kembali melangkah, pria itu tetap tersenyum menyembunyikan suatu perasaan yang mengganjal di hatinya. Kepergian Marvelo terasa tidak begitu menyenangkan karena dia meninggalkan Winter dalam keadaan sedang terluka. Tidak ada maksud untuk dia meninggalkan Winter sendirian, namun keadaan yang memaksa Marvelo harus mengambil keputusan ini. Meski Marvelo ingin menemaninya dan membantu gadis itu bangkit dari kesedihannya, namun Marvelo juga tidak berani terus mendekat karena dia harus segera melenyapkan perasaannya. Marvelo tidak ingin menjadi pria lemah yang hidup tanpa tujuan dan tidak berani mengambil keputusan karena sebuah keraguan. Marvelo harus melangkah ke depan. Andaipun suatu hari nanti dia masih tidak bisa melupakan Winter dan masih memiliki kesempatan un
Payung yang meneduhi Winter menghilang, Nai pergi ke belakang dan berdiri dengan para pengawal lainnya. Sementara Winter, gadis itu masih tetap berdiri di tempatnya melihat makam dirinya dan Marius yang berdampingan berada di tempat yang jauh dari pemakaman yang lainnya. “Aku akan merindukanmu Marius, sama seperti saat kau merindukanku ketika aku hilang. Namun aku juga akan bangkit Marius, seperti apa yang kau inginkan, aku akan bahagia dan menjalani kehidupanku dengan baik. Terima kasih telah menjadikanku cinta pertama dan terakhirmu, aku merasa begitu terhormat.” Winter membungkuk,meletakan bunga yang sejak tadi tidak lepas dari pelukannya. “Aku tidak akan melupakanmu Marius, aku mencintaimu.” Matahari yang turun mulai kehilangan cahayanya, pohon-pohon besar yang berdiri menjulang mengelilingi area pemakaman mulai menghalangi sore terakhir hari ini. Angin berhembus lebih kuat menggerakan rumput-rumput dan bunga liar di sekitarnya. Winter tercekat kaget, samar dia melihat bayang
Marvelo terduduk di kursinya melihat keluar jendela, memperhatikan Irina yang kini tengah makan siang bersama Lessy dan juga Charlie. Marvelo menghela napasnya dengan berat, dua hari ini terakhir ini dia sempat di buat galau karena mendengar pengakuan Winter, rupanya gadis itu sudah tahu mengenai perasaannya, sayangnya Winter tidak ingin mendengarkan pengakuan cinta Marvelo. Marvelo sedikit marah dan kecewa, jika saja Winter tidak terlalu menggodanya dan menunjukan sikap seperti seseorang yang suka kepadanya, mungkin Marvelo tidak akan menaruh harapan yang banyak dan berpikir bahwa gadis itu memiliki perasaan juga kepadanya. Marvelo malu karena ternyata dia terlalu terbawa perasaan dengan kebaikan yang Winter berikan kepadanya. Ini sangat menyakitkan, mengecewakan dan membuat Marvelo beberapa kali harus duduk termenung memikirkan bagaimana cara mengatasi patah hatinya. Kini, tidak ada lagi alasan yang bisa menahan Marvelo berlama-lama di Neydish, Marvelo akan segera pergi. Di am
Winter tertunduk mengenggam tangan Marius, gadis itu bernapas dengan tersenggal tidak mampu menutupi apapun lagi yang selama ini dia rahasiakan. Winter meletakan bunga itu tangan Marius agar pria itu menggenggamnya. Rahasia yang begitu sulit untuk Winter beritahu mengenai siapa dia sebenarnya kini akhirnya meledak mendorong Winter lebih berani berkata jujur. “Dulu, saat masih kecil, tepat di hari kasih sayang, kita menjual bunga mawar di jalanan hingga malam hari agar aku kita bisa membeli sepatu baru karena sepatu lamaku harus di pakai adik-adikku. Aku masih ingat, saat itu tiba-tiba saja kau berlari pergi mengambil sebuah simpul kain berwarna biru yang mengikat beberapa cangkang kado, kau menutup mataku dan memaksaku untuk pergi dari tempat itu. Kau bilang kau akan memberiku kejutan. Sebenarnya aku tahu, alasan kenapa saat itu kau terburu-buru membawaku. Di dekat toko kita berjualan, ada ayahku yang tengah makan malam bersama isteri dan anaknya, mereka terlihat bahagia, kau membaw
Levon dan Jenita yang tertidur di sofa langsung di buat terbangun begitu merasakan pergerakan orang yang lewat. Mereka melihat ke penjuru ruangan, memperhatikan kedatangan dua dokter dan satu perawat memasuki ruangan tempat Marius berada, para ahli medis itu mereka langsung menuju ranjang dan melakukan suatu tindakan yang terlihat darurat karena Marius semakin kesulitan bernapas. Perlahan Levon bangkit, dari balik kaca Levon melihat para pekerja medis yang terlihat sangat berusaha membantu Marius agar kembali stabil. Wajah Levon tampak pucat di penuhi oleh kekhawatiran, padahal dua jam yang lalu keadaan Marius terlihat membaik bahkan Marius sempat berbicara dengan akrab bersamanya dan juga Jenita, namun ternyata kini keadaan dia kembali memburuk. Jenita meminta Levon terduduk lemah, rapalan do’a dan harapan tidak pernah putus, namun suara kesakitan Marius yang teramat dalam begitu menyiksa pendengaran Jenita dan Levon. “Masa depanku sudah gelap semenjak melihat Marius kembali ter
Levon duduk dengan tegak di samping Marius, pria itu kembali datang dengan cepat dan memilih mengesampingkan semua pekerjaannya yang selama ini selalu menjadi prioritasnya. Sejak Marius terbangun kembali, tidak ada pembicaraan yang berarti terjadi di antara mereka. Levon sendiri sadar, terlalu banyak kesalahan yang telah dia buat hingga tidak dapat lagi di jabarkan dengan kata-kata. Kini Levon sedang berusaha membuka kasus di balik penyerangan yang di alami puteranya, namun yang menjadi masalahnya adalah Shanom dan Sean tiba-tiba menghilang sejak beberapa hari yang lalu. Perginya mereka secara bersamaan semakin menguatkan kecurigaan Levon jika keduanya memang dalang dari semua masalah yang terjadi. Jika Marius semakin tidak berdaya dengan keadaan tubuhnya, hal ini akan menciptakan guncangan hebat untuk perusahaan dan Sean akan terpilih sebagai peminpin selanjutkan ketika Levon pensiun di karenakan Sean lebih berpengalaman. Hak Marius tidak mungkin juga di ambil Jenita begitu saja