"Langit," lirih wanita itu.Baik Sisi, Satria, dan juga Tika langsung menoleh ke arah sumber suara. Mereka bertiga bergegas mendekati ranjang di mana tempat Leta berbaring."Let.""Leta." "Leta."Mereka bertiga memanggil secara bersamaan. Ada rasa lega yang menyeruak di hati mereka."Kamu udah sadar, Let?" tanya Sisi antusias.Leta mengangguk dengan perlahan, tersenyum ketika melihat raut wajah mereka tampak bahagia.Namun, senyuman itu perlahan sirna karena seseorang yang dia harapkan tidak ada di sana."Langit?" tanya Leta dengan bingung.Sisi dan Satria saling pandang, sementara Tika menghela napas berat. Untuk kali ini dia tidak mau ikut campur urusan Satria, biar pria itu saja yang menjelaskan semuanya."Kamu nggak usah cari dia lagi," ujar Satria dengan suara ketus."Kenapa?" Terdengar nada suara tak terima yang Leta berikan.Meskipun saat ini kondisi Leta masih lemah, suara itu jelas sekali terdengar."Pokoknya nggak usah!"Mulut Sisi rasanya gatal sekali ingin memprotes Satri
"Ikhlas, Nak, ikhlas."Leta semakin meraung ketika mendengar suara ibunya."Kalau memang ini sudah jalan takdirmu, ikhlaskan, Nak. Nggak baik kalau harus bersedih dengan berlarut-larut seperti ini," terang Tika lagi."Kenapa Langit harus bohong sama aku, Bu. Padahal dia janji akan memperbaiki hubungan kami, nyatanya dia ingkar, Bu. Aku nggak terima. Lalu siapa yang bantu urus anak ini, Bu? Aku nggak sanggup kalau harus melakukan semuanya sendiri," ujar wanita itu sambil terisak.Tika tak bisa menjawab, dia hanya bisa memeluk tubuh anaknya dengan erat, sangat begitu erat."Aku harus gimana, Bu?" kata Leta dengan nada frustrasi.Tika memegang pundak Leta, mengusap air mata yang ada di wajah anaknya itu secara perlahan."Nggak ada yang perlu ditakutkan, Nak. Percaya sama yang di atas. Nggak mungkin kehidupan itu selalu sedih, pasti akan datang yang namanya bahagia. Percaya sama Ibu. Tadi kamu bilang terus siapa yang bantu kamu jaga bayi ini? Bukannya ada Ibu dan Abang kamu? Jangan merasa
"Arrgghhhh, sial! Kapan keadaanku bisa membaik? Ini semua gara-gara bocah tengil itu aku jadi seperti ini!" umpat Mahendra.Sudah terhitung satu minggu dia terbaring di ranjangnya, akibat pukulan Langit yang begitu membabi buta. Namun, meskipun seperti itu, Mahendra sama sekali tak menyesali perbuatannya.Putra sudah berusaha mengobati Mahendra, tapi tetap saja tidak ada perubahan. Padahal Putra juga sudah menyarankan untuk pergi ke rumah sakit namun Mahendra selalu saja menolak.Dan Putra pun menebak-nebak alasan Mahendra tidak mau dibawa ke rumah sakit itu karena apa. Kalau karena tidak punya uang, maka Mahendra takut akan bertemu dengan Langit. Ya, pokoknya antara alasan dua itu yang membuat Mahendra enggan untuk datang ke rumah sakit."Bagaimana keadaan anak berandalan itu sekarang?" tanyanya lagi pada Putra."Terpantau hingga saat ini kabarnya masih baik-baik saja, Tuan. Bahkan perusahaannya semakin berkembang pesat," jelas Putra, tanpa keraguan sedikitpun.Mahendra menatap Putra
"Masih belum ikhlas, Let?"Leta menghela napas berat. "Ikhlas nggak ikhlas, Si. Dia yang minta semua ini agar berakhir. Lalu aku harus berbuat apa selain mengiyakan. Nggak mungkin, kan, kalau tetap ngemis-ngemis cinta dia? Aku malu sama abang dan juga ibu aku, Si," jelas wanita itu.Sisi manggut-manggut. Dia menepuk pundak Leta secara perlahan."Kalau dia emang sayang sama kamu dan anak yang ada di dalam perut kamu, pasti dia akan perjuangin kalian berdua, Let. Kamu tenang aja ya," ucap wanita itu memberi semangat.Leta tertawa getir."Kamu ngomong apa sih, Si? Bukannya dia sendiri yang bilang ke bang Satria kalau dia udah nggak butuh aku lagi? Ya otomatis dia udah nggak sayang lagi sama aku, kan? Apanya coba yang perlu di perjuangin?" sinis Leta.Sisi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hampir saja dia keceplosan, ingin mengatakan yang sejujurnya.'Astaga! Ini mulut kenapa gatal banget ya pengen ungkapin sesuatu. Sumpah! Nggak enak banget kalau pendam sesuatu sendiri. Apalagi aku u
"Aku yakin banget sih bakal kangen berat sama kamu. Jadi kamu memutuskan untuk nggak pernah datang ke sini lagi? Tega banget kamu, Let," rajuk Sisi.Leta yang mendengarnya tertawa pelan."Move on itu jangan tanggung-tanggung, kan?""Ya tapi masa nggak pernah datang nemuin aku sih. Jadi selain mau move on total, kamu berniat ingin cut off teman sendiri gitu?" tanya Sisi dengan sinis."Ya nggak kayak gitu juga. Nanti kalau kamu nikah pasti aku bakal datang ke sini lagi kok. Percaya deh sama aku.""Idih, cuma nikah aja datangnya? Nggak setia kawan banget kamu tuh."Leta menggeleng seraya berdecak pelan. "Kamu tahu sendiri, 'kan kalau aku ini lagi hamil? Kenapa nggak kamu aja yang datangin aku ke sana nanti?" tawar Leta.Sisi menghela napas berat. Dia memanyunkan bibirnya, kentara sekali kalau tengah kesal."Ya, ya, ya, terserah kamu aja deh. Aku ngikut aja.""Kok ngambek?""Nggak ngambek aku tuh," sahut Sisi malas."Terus kenapa?""Ngamuk aja.""Ya udah, ngamuk aja deh.""Aish! Kamu itu
Leta memandang taman itu dengan senyum hampa. Beberapa kali dia menghela napas berat, kentara sekali kalau wanita itu sangat tidak nyaman."Kalau mau nangis, nangis aja, Let. Nggak usah ditahan gitu, nggak enak kalau ditahan, rasanya ganjal banget di ulu hati. Nangis aja biar terasa plong," celetuk Sisi.Leta menoleh ke samping, dilihatnya Sisi sedang asyik bermain dengan ponselnya."Tahu dari mana kalau aku mau nangis? Emangnya kamu lihat? Dari tadi kamu cuma fokus sama ponsel kamu kok," sahut Leta santai."Meskipun aku nggak ngelihat, tapi aku tahu dari tarikan napasmu yang terasa berat. Gini-gini juga aku ahli pakar loh, jangan remehin kemampuan aku loh ya," ledek Sisi."Idih, apaan? Sayangnya tebakan kamu sepenuhnya salah. Napaski terasa berat ya karena emang lagi capek aja," elak wanita itu."Capek mikirin hidup, 'kan? Udahlah, nggak usah ditutup-tutupin kayak gitu. Kita udah temenan berapa lama sih? Aku udah kenal semuanya dari kamu, dari segi apapun aku udah tahu kamu itu giman
"Bagaimana keadaan Leta saat ini?" tanya Mahendra."Saya pernah melihat dia, saya rasa keadaannya baik-baik saja," jawab Putra.Mahendra tampak manggut-manggut."Hah! Aku kira dia sekarat. Kalau sehat pasti hidup Langit tidak akan hancur. Bagaimana bisa aku membuat hidup dia tampak berantakan?" gerutu pria itu.Putra tak menyahut, dia tampak kesulitan untuk menjawabnya."Saya tidak tahu, Tuan. Tapi yang saya tahu Pak Langit sangat susah untuk dikalahkan."Mahendra melempar puntung rokok ke arah Putra, beruntungnya Putra langsung cepat menghindar."Apa maksudmu bicara seperti itu, huh? Kamu pikir dia itu lebih hebat dari segalanya?!" bentak Mahendra. 'Nyatanya memang seperti itu. Pak Langit lebih hebat dari Anda,' cibir Putra dalam hati."Maaf, Tuan." Putra menundukkan kepalanya."Awas aja kalau kamu sampai bicara seperti itu lagi di depanku. Aku sumpal mulutmu supaya tidak bisa bicara lagi," ancam Mahendra."Maaf, Tuan." Putra kembali mengulang pengucapannya."Hah! Kamu membuatku jen
Beberapa tahun yang lalu."Kamu harus tanggung jawab!"Leta mengernyit heran.'Tanggung jawab? Emangnya aku habis ngapain?' pikir wanita itu dalam hati.Dia melihat pria itu dari atas sampai bawah, seperti tengah mengingat sesuatu. Sayangnya memang pikirannya itu sangat dangkal, karena dia memang tidak mengenali siapa pria itu, yang baru saja mengajaknya berbicara, lebih parahnya lagi memintanya untuk bertanggung jawab?"Maaf ya, Mas. Emangnya kita saling kenal ya? Kalau memang iya, tapi kok saya nggak ingat ya sama Mas?" tanya Leta heran.Pria itu berdecak kesal seraya berkacak pinggang."Kamu ini benar-benar ya!" sentaknya kemudian.'Dia aneh sekali, datang marah-marah nggak jelas, terus minta tanggung jawab lagi. Dia pikir aku ini apaan? Kalau dilihat-lihat juga dia itu penampilannya seperti orang kaya. Lalu minta tanggung jawabnya di mana?' batin Leta, bertanya-tanya."Justru itu kalau nggak kenal nggak usah main nyosor-nyosor sama pria asing! Atau memang itu kebiasaan kamu ya?" t
"Apa yang kamu lakukan?!"Langit menatap David berang, lalu pandangannya beralih ke arah Mahendra dan Leta.Dia bernapas lega karena melihat Leta tampak baik-baik saja, meskipun menggigil ketakutan. Dengan cepat Langit mendekati Leta, mendekap tubuh wanita itu dengan erat serta menghujani beberapa kecupan, lalu tali yang mengikat tangan wanita itu dilepas serta benda yang ada di mulut juga dilepas."Kamu nggak apa-apa?" tanya Langit khawatir.Leta menggeleng. Kenyataannya keadaannya memang tidak baik-baik saja. Langit pun menuntun Leta ke sofa untuk duduk."Astaga! Dia sudah mati. Kenapa kamu melakukan hal sekeji ini?!" pekik Axel. Dia yang lebih dulu menghampiri Mahendra usai tumbang.Pekikan Axel jelas saja membuat Langit dan Leta tersentak, kecuali David.Ya, ternyata sebelum Mahendra berniat menembak Leta, David yang lebih dulu memulainya. Entah dari mana pria itu datang, yang pasti salah satu dari mereka tidak ada yang menyadari kedatangan David."Orang seperti itu memang harus d
"Saya akan segera menyusul Anda, saat ini saya sedang dalam perjalanan," ujar David yang panggilannya langsung diangkat oleh Langit."Sebenarnya apa yang sedang kamu rencanakan, David? Apa yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Langit to the poin."Saya tidak menyembunyikan apapun dari Anda, Pak. Saya berani bersumpah. Kalau perlakuan saya tadi membuat Anda curiga, saya mohon maaf. Tadi sebenarnya saya ingin menghubungi pihak polisi, saya menyuruh Anda pergi duluan agar mereka terkecoh, Pak. Maaf kalau sudah membuat salah paham," jelas David panjang lebar."Kau sedang tidak membohongiku, kan?""Tidak, Pak. Saya berani bersumpah. Bahkan saya selalu mengingat kata-kata saya untuk Anda, saya akan selalu mengabdikan seluruh kehidupan saya pada Anda."Langit mendengkus keras. "Aku tidak suka omong kosong. Nggak usah bicara seperti itu, kamu berhak menentukan hidupmu sendiri. Aku sudah sampai, aku akhiri dulu panggilannya.""Pak, tunggu. Saya harap Anda harus hati-hati, mereka itu licik. Saya
"Hai, Langit."Langit tersentak ketika mendengar suara laki-laki. Dia kembali melihat ke layar ponselnya untuk memastikan jika tadi dia tidak salah melihat. Setahunya nomor Leta yang menghubunginya."Siapa kau? Kenapa bisa ponsel istriku ada di kamu? Jangan macam-macam!""Hahaha, bagaimana kalau satu macam? Istrimu sangat cantik, rugi rasanya kalau tidak macam-macam.""Berengsek! Siapa kau sebenarnya?!" umpat Langit. "Berikan ponselnya pada istriku, cepat!""Hahaha, kenapa kamu tampak begitu ketakutan, Langit? Di mana sifat angkuhmu seperti biasanya itu?""Jangan main-main denganku kalau kamu nggak mau terjadi sesuatu di kehidupanmu, sialan! Cepat berikan ponselnya pada istriku!""Nggak! Aku mau nunggu kamu sengsara dulu baru aku bakal balikin, bahkan istrimu juga bakal aku balikin sekalian ke kamu. Tapi tunggu aku puas dulu ya, hahaha. Sampai jumpa, Langit. Ingat, jangan macam-macam kalau ingin istri kamu selamat!" ancam pria itu, tak lama kemudian panggilan itu terputus."Sialan! Ap
"Jadi di sini tempat tinggal Langit sekarang?""Rumahnya banyak. Tapi aku yakin dia bakal tinggal di sini, karena ini adalah rumah utamanya."Axel manggut-manggut ketika mendengar penjelasan Mahendra."Dengar-dengar dia udah nikah. Nggak tahu sama wanita yang kamu maksud atau bukan," ucap Axel seraya mengembuskan asap rokok dari bibirnya."Oh ya?" Mahendra tersenyum sinis. "Jelas saja dengan wanita yang sama, karena dia sangat cinta mati dengan wanita itu."Axel tak menyahut, dia hanya mengedikkan bahunya acuh."Aku beritahu kamu sesuatu, sebenarnya wanita yang saat ini menjadi istrinya Langit pernah menjadi istriku."Mulut Axel menganga lebar. "Maksudnya dia jatuh cinta dengan mama tirinya begitu? Wah, ini benar-benar skandal luar biasa."Axel berdecak berkali-kali, sungguh heran dengan sebuah fakta yang baru dia ketahui."Bukan. Mereka sebenarnya sudah saling jatuh cinta dari dulu. Mereka dulu sepasang kekasih namun secara paksa aku renggut kebahagiaan mereka dengan menikahi wanita
"Bagaimana bisa?" Sentak Langit."Saya juga tidak tahu, Pak. Saya yakin ini ada campur tangan orang-orang yang tidak menyukai Anda."Langit menghela napas gusar. Mendengar kabar bahwa Mahendra sudah keluar dari penjara satu bulan lalu jelas membuatnya terkejut. Masalahnya yang jadi pertanyaan siapa yang menjamin pria itu? "Sudah kamu telusuri?"Langit yakin sebelum David menceritakan semuanya pasti pria itu akan menelusuri sampai ke akar-akarnya."Ini baru dugaan, ada pria bernama Axel yang membantunya. Setahu saya Axel ini pernah menawarkan Anda kerjasama, akan tetapi Anda menolaknya karena menurut Anda kurang menguntungkan, meskipun Anda waktu itu menolaknya secara halus tetap saja mungkin dia merasa tersinggung."Langit kembali menghela napas. "Axel? Kamu tahu sendiri kenapa alasan aku menolak tawaran pria itu. Dia kerja asal saja, tidak mementingkan keselamatan konsumen, itu yang membuatku menolaknya. Kalau memang dia yang menyelamatkan tua bangka itu biarkan saja. Aku ingin lih
"Jaga Leta ya, Langit."Langit mengangguk. "Ibu tenang saja, pasti aku akan selalu jaga Leta. Saat ini dia adalah prioritas utamaku.""Cuma saat ini aja?" tanya Satria dengan pandangan menyipit. "Atau sampai Leta melahirkan baru kamu kembali mengacuhkannya?""Selamanya." Langit melirik pria itu dengan sinis, ada saja tingkahnya yang membuatnya jengkel."Oh, siapa tahu, kan? Bisa aja--""Bang!" tegur Leta. "Apaan sih, nggak usah sinis gitu kenapa sama suami aku. Nanti kalau Abang punya istri, aku sinisin balik emangnya Abang terima?" Satria tersenyum kecut. "Bercanda aja kok, gitu aja--""Bercanda boleh aja, tapi lihat kondisi juga. Nggak mungkin, kan, Abang nggak bisa bedain yang mana waktunya serius sama yang mana waktunya bercanda?" Leta kembali menyela ucapan Satria."Iya, iya." Satria pasrah saja.Pria itu harus bisa menjaga perasaan adiknya karena selama Leta hamil, dia itu gampang sensitif."Udah, udah. Kalian ini kenapa sih ribut terus, nggak enak kalau didengar sama tetangga,
Menikah dengan Langit entah mengapa banyak keraguan yang menyusup di hati Leta.Wanita itu juga bingung dengan hatinya. Mungkin karena meragukan perasaan pria itu, atau dia kecewa karena mengetahui sebuah fakta bahwa suaminya terjerat kasus tabrak lari yang menimpa Mahendra, meskipun sebenarnya dia bersyukur karena ulah Langit, Mahendra belum sempat melakukan apapun padanya. Namun, di sisi lain dia merasa kurang suka dengan tindakan Langit. Intinya saat ini hati Leta benar-benar begitu bingung.Menurut Leta, Langit adalah pria yang sangat baik, lebih malahan. Selama menjadi istri pria itu, Langit tak pernah berbicara kasar, tidak memperlakukannya dengan tindakan semena-mena, yang ada malah Langit sangat tulus padanya. Lalu, mengapa Leta masih meragukan pria itu?Wanita itu menghela napas berat."Astaga! Apa yang aku pikirkan," gumam wanita itu seraya menggeleng pelan. Tak lama setelah itu ponsel Leta berdering, dia langsung mengambil ponselnya yang tak jauh darinya.Tanpa sadar bibir
"Kamu beneran ingin niat serius dengan adikku?" tanya Satria memastikan."Menurutmu? Apa mengajak seorang wanita menikah adalah sesuatu lelucon?" tanya Langit balik."Aku serius bertanya padamu!" geram Satria."Aku pun demikian. Meskipun kamu menentang kami, aku tidak akan menyerah. Selama ini aku membiarkanmu membawa Leta ke mana pun kamu pergi, tapi sayangnya kamu menyia-nyiakan kesempatan itu. Kamu selalu bilang kalau Leta tidak butuh aku, dan anak yang dikandung Leta tidak membutuhkan peran ayahnya. Nyatanya apa, bahkan kamu sendiri pun tidak mampu untuk membiayainya." Langit tersenyum sinis.Sedangkan Satria, pria itu tak terima dengan ucapan Langit. Dia mengepalkan tangannya."Atas dasar apa kamu bicara seperti itu, huh?!""Kenapa? Nggak terima? Memang kenyataannya seperti itu, kan? Apa selama ini kamu peduli dengan Leta? Kalau aku nggak ada di tempat yang sama dengan Leta waktu itu, aku pun nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dia. Asal kamu tahu, beberapa kali bidan men
"Semua sudah saya telusuri, tapi memang tidak ada tanda bukti-bukti jejak kejahatan mereka, Tuan."Mahendra mendesah berat. Kecewa karena sampai detik ini Putra belum juga mendapatkan bukti bahwa Langitlah yang membuatnya kecelakaan."Kamu yakin?" tanya pria itu memastikan."Iya, Tuan. Cctv pun sudah saya cek, tapi memang tidak ada yang mencurigakan. Saya rasa kecelakaan Tuan itu memang murni kecelakaan, bukan campur tangan orang lain."Mahendra menggeleng tegas, jelas saja dia tidak terima dengan ucapan Putra."Nggak! Aku yakin banget kalau dia dalang dari semua ini!" sentaknya."Kalau memang Tuan Langit pelakunya, pasti akan meninggalkan jejak, Tuan. Tapi bukankah malah sebenarnya Tuan sendiri yang ingin menghabisi nyawa Tuan Langit? Atau mungkin itu karma untuk Tuan karena ... sudah berniat--""Tutup mulutmu, sialan! Aku nggak butuh ucapanmu yang nggak bermutu itu!" Suara Mahendra tampak menggelegar."Saya minta maaf, Tuan.""Kalau begitu kamu kembali cari-cari bukti bahwa Langit m