Sisi mendengkus keras seraya mengetuk-ngetuk jarinya di meja. Tak bisa dimungkiri kalau saat ini dirinya begitu gelisah.Tadi malam Satria, kakak Leta menghubunginya, entah pria itu dapat nomornya dari mana, dan Sisi sudah menduga pasti mereka bertemu akan membahas tentang Leta."Bagaimana ini? Aku harus bohong atau jujur kalau ditanya soal Leta? Aish! Sejujurnya aku kasihan sama Leta, tapi aku juga bingung apa aku harus bicara terus terang sama bang Satria?" gumam wanita itu."Maaf karena membuatmu menunggumu terlalu lama. Tadi kejebak macet di jalan," ucap Satria seraya memundurkan kursi lalu setelahnya dia duduk menghadap Sisi.Jantung Sisi semakin jumpalitan ketika ditatap seperti itu oleh Satria."Mau minum nggak, Bang? Siapa tahu haus, biar aku yang pesenin," tawar Sisi untuk mengusir kegugupannya."Jangan dong, aku yang ngajakin kamu ketemu, kok malah kamu yang nawarin aku. Kali ini biar aku yang traktir, kebetulan kemarin habis gajihan, hehehe."'Huft.'Sisi menghela napas leg
"Kok bisa? Terus dia dapat nomor kamu dari siapa?" tanya Leta gusar."Ya mana aku tahu. Makanya aku tanya sama kamu. Kalau nggak dari kamu emangnya dari siapa lagi?" tanya Sisi dari ujung sana."Enggak deh. Aku nggak pernah kasih nomor kamu ke abangku. Lagian dia juga nggak pernah minta deh." Leta kembali mengingat-ingat, siapa tahu dia melupakan sesuatu.Namun, setahunya memang dia tidak pernah memberikan nomor Sisi pada Satria. Toh buat apa juga?"Terus dapat nomorku dari mana dong?""Aku juga nggak tahu. Lagian kamu kenapa mau-mau aja sih diajak ketemuan sama dia?" dengkus Leta.Dia takut kalau Sisi akan membocorkan rahasianya yang selama ini dia tutupi secara rapat-rapat."Aku takut nanti dia malah curiga. Ya udah aku terima aja ajakannya." Sisi menjawab dengan nada santai."Terus abangku tanya apa aja sama kamu?""Apa lagi kalau bukan tentang hubungan kamu sama Langit. Dia itu curiga kalau kalian lagi ada masalah. Kan emang kalian lagi problem toh?""Terus kamu jawab iya gitu?" S
Sudah cukup lama Langit terdiam di sana, duduk sambil menyesap alkohol dan juga sebatang rokok.Asap menguar ke udara dari sela bibirnya, dia ulangi lagi, ulangi terus hingga akhirnya habis.Langit menaruh puntung rokok di asbak dan juga gelas di atas meja. Oke, kali ini dia melirik jam yang ada di tangannya. Dia mendesah pelan karena sudah waktunya pulang.Sejujurnya dia enggan pulang, karena di sana ada Leta. Wanita yang sudah berhasil mengobrak-abrik hatinya."Sialan!" dengkus Langit.Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar. Mau sampai kapan dia harus menghindar seperti ini? Itu rumahnya, lalu kenapa dia yang harus mengalah?"Apa Anda ingin pulang sekarang, Pak?"Langit mengembuskan napasnya dengan kasar. Dia tak menjawab, tapi delikan tajam yang Langit berikan membuat kepala David menunduk."Kalau Anda keberatan pulang ke rumah Anda, Anda bisa pakai apartemen saya untuk istirahat, Pak," tawar David.Langit mendesis. "Buat apa? Di rumah ada mainan yang begitu menyenangkan, untuk ap
"Apa aku udah boleh pulang?" tanya Leta dengan napas terengah.Usai mereka bercinta, Leta memberanikan diri bertanya seperti itu. Padahal dia tahu betul kalau saat ini mood Langit sedang tidak baik.Langit diam saja, membuat wanita itu segera menoleh.'Ah, ternyata dia tidur. Apa dia begitu kelelahan?' tanya wanita itu dalam hati."Untuk apa kamu bertanya seperti itu? Baru juga tiga hari di sini, rupanya kamu sudah tidak betah ya?" Leta tersentak, dia kira laki-laki itu tertidur, ternyata belum. Pria itu memang memejamkan matanya, tapi telinganya mampu mendengar pertanyaan yang Leta berikan."Kenapa? Apa kamu sudah tidak sabar ingin bertemu suamimu itu?" tanya pria itu sinis.Leta menggeleng. "Bukan seperti itu, masalahnya kalau aku terlalu lama di sini itu akan membuat ibuku curiga, bukan hanya ibuku tapi abangku juga," lirih wanita itu.Langit terdiam lagi, membuat Leta menghela napas berat.Dia pun memutuskan untuk memejamkan matanya juga, memperbaiki cara tidurnya dengan cara mem
"Nona harus makan, kalau tidak nanti kami akan diamuk oleh Tuan Langit," bujuk pelayan yang bernama Rina.Leta menggeleng lemah, akhir-akhir ini memang nafsu makannya berkurang. Namun, untuk kali ini Leta malah sama sekali tak mau makan."Nanti kalau aku sudah lapar pasti aku akan makan. Tolong jangan paksa aku ya," mohon Leta."Tidak bisa, Nona. Ini adalah perintah dari Tuan Langit. Bekerja sama lah dengan kami, Nona. Kalau Nona tidak mau makan, bagaimana nasib kami? Pasti kami dipecat dari pekerjaan ini. Tolong kasihanilah saya, Nona," mohon pelayan itu.Leta menghela napas berat. "Baiklah, aku akan makan sekarang."Leta langsung menyuapkan nasi itu ke dalam mulutnya. Dia berusaha keras mengunyah makanan itu agar bisa segera menelannya.Sudah tiga suap Leta menyuapkan nasi, akhirnya dia tidak kuat. Wajahnya tampak tegang karena sepertinya dia merasakan sesuatu yang akan keluar dari kerongkongannya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah agar makanan yang tadi dia telan tidak keluar
Langit mengernyit heran ketika mendapat pesan dari Leta.Pria itu mengetuk-ngetuk jarinya di meja seraya berpikir lama. Bertanya-tanya untuk apa wanita itu meminta izin untuk pergi apotek."David," panggil Langit dengan tegas."Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?""Menurutmu seseorang ke apotek untuk membeli apa?" tanya pria itu dengan sorot mata tajam.David yang mulanya menundukkan kepalanya kini mendongak, memberanikan diri menatap wajah bosnya."Apotek itu tempat berbagai jenis obat, Pak. Jadi ya seseorang itu tidak jauh-jauh untuk membeli obat," jelas David.Langit mendengkus keras. "Kamu pikir aku nggak tahu apotek itu tempat apa, hah?! Aku cuma tanya kenapa seseorang itu tiba-tiba pergi ke apotek padahal selama ini kondisinya baik-baik aja! Bukankah itu terdengar aneh?"David menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.'Ya mana saya tahu, Pak. Memangnya saya ini peramal yang serba tahu isi hati seseorang?' gerutu David dalam hati."Yang pasti terjadi sesuatu dengan tubuhnya sehingga
"Kalau sampai kamu membohongiku, awas saja. Aku tidak akan memberikanmu ampun!" ancam Langit. Pria itu memegang stir mobil itu dengan sangat erat. Kentara sekali kalau sedang menahan emosi.Leta langsung membuang pandangannya ke sebelah jendela. Takut, itulah yang ia rasakan. Bukan karena takut karena dia beralasan sakit kepala, tapi dia takut kalau apa yang dia pikirkan benar terjadi.Tak berselang lama mereka pun tiba di rumah sakit. Leta menggigit bibir bawahnya, rasa gugupnya semakin menguat ketika melihat Langit melepas sabuk pengamannya."Turun!" kata pria itu dingin.Leta menghela napas pelan, mau tak mau dia pun ikut turun dari mobil itu.Leta memandang bangunan rumah sakit itu seraya menelan salivanya dengan susah payah. Tanpa sadar kedua tangannya meremas ujung bajunya.Langit tersenyum licik ketika melihat kegugupan Leta. Dia tahu kalau saat ini Leta tengah berbohong padanya."Kalau sampai benar kamu membohongiku, habis kamu, Aleta!" ancam Langit.Lagi dan lagi Langit mempe
"Langit," panggil Leta pelan."Hemm." Pria itu menjawab dengan gumaman saja, sepertinya enggan berbicara dengan Leta."Kamu ini kenapa sih? Kok terkesan menjauh gitu dari aku, aku mau ngomong loh sama kamu, Langit. Ini penting!" desak Leta."Nggak ada, besok aja ngomongnya. Aku capek. Emangnya nggak ada waktu buat besok ya?" sinis pria itu.Ada, tentu saja ada. Masih ada hari esok, esoknya lagi dan juga seterusnya. Pertanyaannya apakah Langit sengaja membiarkan hubungan ini semakin berlarut-larut? Tidak, Leta sama sekali tak menginginkannya.Sudah tiga hari ini, sepulang dari rumah sakit dan ketika Leta dinyatakan hamil, sikap Langit jauh sangat berubah. Kalau kemarin-kemarin pria itu bersikap dingin, kasar, dan selalu bertindak sesukanya, saat ini pria itu seolah-olah tengah menghindar darinya. Leta tak tahu juga penyebabnya apa.Harusnya dia senang dengan hal itu, otomatis pasti Langit juga akan segera pergi meninggalkannya, kan? Namun, sayangnya sampai detik ini pria itu masih belu
"Apa yang kamu lakukan?!"Langit menatap David berang, lalu pandangannya beralih ke arah Mahendra dan Leta.Dia bernapas lega karena melihat Leta tampak baik-baik saja, meskipun menggigil ketakutan. Dengan cepat Langit mendekati Leta, mendekap tubuh wanita itu dengan erat serta menghujani beberapa kecupan, lalu tali yang mengikat tangan wanita itu dilepas serta benda yang ada di mulut juga dilepas."Kamu nggak apa-apa?" tanya Langit khawatir.Leta menggeleng. Kenyataannya keadaannya memang tidak baik-baik saja. Langit pun menuntun Leta ke sofa untuk duduk."Astaga! Dia sudah mati. Kenapa kamu melakukan hal sekeji ini?!" pekik Axel. Dia yang lebih dulu menghampiri Mahendra usai tumbang.Pekikan Axel jelas saja membuat Langit dan Leta tersentak, kecuali David.Ya, ternyata sebelum Mahendra berniat menembak Leta, David yang lebih dulu memulainya. Entah dari mana pria itu datang, yang pasti salah satu dari mereka tidak ada yang menyadari kedatangan David."Orang seperti itu memang harus d
"Saya akan segera menyusul Anda, saat ini saya sedang dalam perjalanan," ujar David yang panggilannya langsung diangkat oleh Langit."Sebenarnya apa yang sedang kamu rencanakan, David? Apa yang kamu sembunyikan dariku?" tanya Langit to the poin."Saya tidak menyembunyikan apapun dari Anda, Pak. Saya berani bersumpah. Kalau perlakuan saya tadi membuat Anda curiga, saya mohon maaf. Tadi sebenarnya saya ingin menghubungi pihak polisi, saya menyuruh Anda pergi duluan agar mereka terkecoh, Pak. Maaf kalau sudah membuat salah paham," jelas David panjang lebar."Kau sedang tidak membohongiku, kan?""Tidak, Pak. Saya berani bersumpah. Bahkan saya selalu mengingat kata-kata saya untuk Anda, saya akan selalu mengabdikan seluruh kehidupan saya pada Anda."Langit mendengkus keras. "Aku tidak suka omong kosong. Nggak usah bicara seperti itu, kamu berhak menentukan hidupmu sendiri. Aku sudah sampai, aku akhiri dulu panggilannya.""Pak, tunggu. Saya harap Anda harus hati-hati, mereka itu licik. Saya
"Hai, Langit."Langit tersentak ketika mendengar suara laki-laki. Dia kembali melihat ke layar ponselnya untuk memastikan jika tadi dia tidak salah melihat. Setahunya nomor Leta yang menghubunginya."Siapa kau? Kenapa bisa ponsel istriku ada di kamu? Jangan macam-macam!""Hahaha, bagaimana kalau satu macam? Istrimu sangat cantik, rugi rasanya kalau tidak macam-macam.""Berengsek! Siapa kau sebenarnya?!" umpat Langit. "Berikan ponselnya pada istriku, cepat!""Hahaha, kenapa kamu tampak begitu ketakutan, Langit? Di mana sifat angkuhmu seperti biasanya itu?""Jangan main-main denganku kalau kamu nggak mau terjadi sesuatu di kehidupanmu, sialan! Cepat berikan ponselnya pada istriku!""Nggak! Aku mau nunggu kamu sengsara dulu baru aku bakal balikin, bahkan istrimu juga bakal aku balikin sekalian ke kamu. Tapi tunggu aku puas dulu ya, hahaha. Sampai jumpa, Langit. Ingat, jangan macam-macam kalau ingin istri kamu selamat!" ancam pria itu, tak lama kemudian panggilan itu terputus."Sialan! Ap
"Jadi di sini tempat tinggal Langit sekarang?""Rumahnya banyak. Tapi aku yakin dia bakal tinggal di sini, karena ini adalah rumah utamanya."Axel manggut-manggut ketika mendengar penjelasan Mahendra."Dengar-dengar dia udah nikah. Nggak tahu sama wanita yang kamu maksud atau bukan," ucap Axel seraya mengembuskan asap rokok dari bibirnya."Oh ya?" Mahendra tersenyum sinis. "Jelas saja dengan wanita yang sama, karena dia sangat cinta mati dengan wanita itu."Axel tak menyahut, dia hanya mengedikkan bahunya acuh."Aku beritahu kamu sesuatu, sebenarnya wanita yang saat ini menjadi istrinya Langit pernah menjadi istriku."Mulut Axel menganga lebar. "Maksudnya dia jatuh cinta dengan mama tirinya begitu? Wah, ini benar-benar skandal luar biasa."Axel berdecak berkali-kali, sungguh heran dengan sebuah fakta yang baru dia ketahui."Bukan. Mereka sebenarnya sudah saling jatuh cinta dari dulu. Mereka dulu sepasang kekasih namun secara paksa aku renggut kebahagiaan mereka dengan menikahi wanita
"Bagaimana bisa?" Sentak Langit."Saya juga tidak tahu, Pak. Saya yakin ini ada campur tangan orang-orang yang tidak menyukai Anda."Langit menghela napas gusar. Mendengar kabar bahwa Mahendra sudah keluar dari penjara satu bulan lalu jelas membuatnya terkejut. Masalahnya yang jadi pertanyaan siapa yang menjamin pria itu? "Sudah kamu telusuri?"Langit yakin sebelum David menceritakan semuanya pasti pria itu akan menelusuri sampai ke akar-akarnya."Ini baru dugaan, ada pria bernama Axel yang membantunya. Setahu saya Axel ini pernah menawarkan Anda kerjasama, akan tetapi Anda menolaknya karena menurut Anda kurang menguntungkan, meskipun Anda waktu itu menolaknya secara halus tetap saja mungkin dia merasa tersinggung."Langit kembali menghela napas. "Axel? Kamu tahu sendiri kenapa alasan aku menolak tawaran pria itu. Dia kerja asal saja, tidak mementingkan keselamatan konsumen, itu yang membuatku menolaknya. Kalau memang dia yang menyelamatkan tua bangka itu biarkan saja. Aku ingin lih
"Jaga Leta ya, Langit."Langit mengangguk. "Ibu tenang saja, pasti aku akan selalu jaga Leta. Saat ini dia adalah prioritas utamaku.""Cuma saat ini aja?" tanya Satria dengan pandangan menyipit. "Atau sampai Leta melahirkan baru kamu kembali mengacuhkannya?""Selamanya." Langit melirik pria itu dengan sinis, ada saja tingkahnya yang membuatnya jengkel."Oh, siapa tahu, kan? Bisa aja--""Bang!" tegur Leta. "Apaan sih, nggak usah sinis gitu kenapa sama suami aku. Nanti kalau Abang punya istri, aku sinisin balik emangnya Abang terima?" Satria tersenyum kecut. "Bercanda aja kok, gitu aja--""Bercanda boleh aja, tapi lihat kondisi juga. Nggak mungkin, kan, Abang nggak bisa bedain yang mana waktunya serius sama yang mana waktunya bercanda?" Leta kembali menyela ucapan Satria."Iya, iya." Satria pasrah saja.Pria itu harus bisa menjaga perasaan adiknya karena selama Leta hamil, dia itu gampang sensitif."Udah, udah. Kalian ini kenapa sih ribut terus, nggak enak kalau didengar sama tetangga,
Menikah dengan Langit entah mengapa banyak keraguan yang menyusup di hati Leta.Wanita itu juga bingung dengan hatinya. Mungkin karena meragukan perasaan pria itu, atau dia kecewa karena mengetahui sebuah fakta bahwa suaminya terjerat kasus tabrak lari yang menimpa Mahendra, meskipun sebenarnya dia bersyukur karena ulah Langit, Mahendra belum sempat melakukan apapun padanya. Namun, di sisi lain dia merasa kurang suka dengan tindakan Langit. Intinya saat ini hati Leta benar-benar begitu bingung.Menurut Leta, Langit adalah pria yang sangat baik, lebih malahan. Selama menjadi istri pria itu, Langit tak pernah berbicara kasar, tidak memperlakukannya dengan tindakan semena-mena, yang ada malah Langit sangat tulus padanya. Lalu, mengapa Leta masih meragukan pria itu?Wanita itu menghela napas berat."Astaga! Apa yang aku pikirkan," gumam wanita itu seraya menggeleng pelan. Tak lama setelah itu ponsel Leta berdering, dia langsung mengambil ponselnya yang tak jauh darinya.Tanpa sadar bibir
"Kamu beneran ingin niat serius dengan adikku?" tanya Satria memastikan."Menurutmu? Apa mengajak seorang wanita menikah adalah sesuatu lelucon?" tanya Langit balik."Aku serius bertanya padamu!" geram Satria."Aku pun demikian. Meskipun kamu menentang kami, aku tidak akan menyerah. Selama ini aku membiarkanmu membawa Leta ke mana pun kamu pergi, tapi sayangnya kamu menyia-nyiakan kesempatan itu. Kamu selalu bilang kalau Leta tidak butuh aku, dan anak yang dikandung Leta tidak membutuhkan peran ayahnya. Nyatanya apa, bahkan kamu sendiri pun tidak mampu untuk membiayainya." Langit tersenyum sinis.Sedangkan Satria, pria itu tak terima dengan ucapan Langit. Dia mengepalkan tangannya."Atas dasar apa kamu bicara seperti itu, huh?!""Kenapa? Nggak terima? Memang kenyataannya seperti itu, kan? Apa selama ini kamu peduli dengan Leta? Kalau aku nggak ada di tempat yang sama dengan Leta waktu itu, aku pun nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dia. Asal kamu tahu, beberapa kali bidan men
"Semua sudah saya telusuri, tapi memang tidak ada tanda bukti-bukti jejak kejahatan mereka, Tuan."Mahendra mendesah berat. Kecewa karena sampai detik ini Putra belum juga mendapatkan bukti bahwa Langitlah yang membuatnya kecelakaan."Kamu yakin?" tanya pria itu memastikan."Iya, Tuan. Cctv pun sudah saya cek, tapi memang tidak ada yang mencurigakan. Saya rasa kecelakaan Tuan itu memang murni kecelakaan, bukan campur tangan orang lain."Mahendra menggeleng tegas, jelas saja dia tidak terima dengan ucapan Putra."Nggak! Aku yakin banget kalau dia dalang dari semua ini!" sentaknya."Kalau memang Tuan Langit pelakunya, pasti akan meninggalkan jejak, Tuan. Tapi bukankah malah sebenarnya Tuan sendiri yang ingin menghabisi nyawa Tuan Langit? Atau mungkin itu karma untuk Tuan karena ... sudah berniat--""Tutup mulutmu, sialan! Aku nggak butuh ucapanmu yang nggak bermutu itu!" Suara Mahendra tampak menggelegar."Saya minta maaf, Tuan.""Kalau begitu kamu kembali cari-cari bukti bahwa Langit m