Sepertinya tidak ada gunanya memiliki suatu hubungan dengan atasan, buktinya Riehla tetap mendapat hukuman atas keterlambatannya itu. Seharusnya Riehla berdoa saat terlambat ia tidak bertemu Ellio. Walau kepala Editor-nya tahu Riehla terlambat yang hanya beberapa menit itu pasti akan memaafkan. Tidak seperti Ellio yang tidak ada kata "maaf".
Tidak peduli kesalahan itu besar atau kecil. Berkat Ellio, Riehla lagi-lagi harus lembur. Banyak naskah yang perlu ia revisi yang seharusnya tidak perlu hari ini harus selesai.Wajah yang sudah nampak lelah itu menyandarkan kepala ke sandaran kursi. Meregangkan otot-otot tangan yang mulai sedikit kaku. Menoleh ke arah jam dinding di mana sudah mau jam 1. Entah Riehla akan balik jam berapa. Hufftthhh, Riehla berjalan ke arah meja di pojok sana yang terdapat beberapa gelas, kopi instan, serta gula.Perempuan itu berencana membuat kopi. "Loh, Bu Riehla belum pulang." Riehla menoleh ke arah pintu di mana sudah berdiri Security yang usianya lebih tua beberapa tahun dari Riehla."Iya, Pak. Biasa kerjaan masih banyak. Kalau ditinggal bisa kena marah si Bos.""Iya, ya. Pak Ellio kan kalau lagi marah sangat menyeramkan."Riehla tersenyum tipis, lalu melanjutkan membuat kopi. "Ya sudah, Bu. Saya mau keliling lagi.""Iya." Tanpa menatap Security itu.Ditaruhnya gelas kopi panas itu meja kerja, lalu mendudukkan diri. Nampak kehadiran seseorang dan Riehla langsung berdiri dari duduk. Diperhatikannya Ellio yang nampak sedikit kacau. Dasi sudah tak terpasang dengan baik, jas dipegang, beberapa kancing kemeja sudah terbuka serta lengan kemeja yang tergulung. Bukan hanya itu jalan Ellio pun tidak lurus ke depan. Nih orang kayaknya mabuk!Ellio berhenti tepat di samping Riehla, menghadap ke arah Riehla. "Pak Ellio gakpapa?""Riehla," ucap Ellio."Iya?""Kenapa saya masih saja mengharapkannya? Padahal dia sudah menyakiti saya.""Hah?" Riehla tidak mengerti apa yang tengah Ellio bicarakan. Apa mungkin Bos-nya itu habis putus?"Apa yang harus saya lakukan?""Ya, lupakan." Hanya itu yang bisa Riehla katakan."Lupakan? Melupakan gak semudah itu!" Lalu, Ellio perlahan berjalan mendekati Riehla yang spontan langsung berusaha menghindar dan tanpa memperhatikan jalannya Riehla tersandung dan terjatuh duduk. Ellio masih saja mencoba mendekatinya."Kayaknya aku harus mengubungi Pak Randy," gumam Riehla. Segera ia berdiri dan berjalan ke arah kursi. Mengambil handphone dari dalam tas."Hallo, Pak Randy.""Ada apa kamu menghubungi saya tengah malam seperti ini?""Tolong datang ke Kantor sekarang! Pak Ellio—" sontak ucapannya terpotong lantaran dapat ia rasakan sebuah tangan melingkar di perutnya. Riehla lihat ada tangan kekar yang memeluknya dari belakang."Pak Ellio, kenapa?"Mendadak Riehla tidak bisa bersuara terlebih saat Ellio menaruh kepalanya di bahu Riehla. Ellio benar-benar dalam pengaruh alkohol. Jika lelaki itu setengah saja sadar maka tidak akan melakukan hal itu terlebih pada Riehla. Riehla sangat sadar diri. "Pak Ellio datang ke Kantor dalam keadaan mabuk. Saya harap Pak Randy segera ke sini untuk mengantar Pak Ellio pulang.""Iya. Saya ke sana sekarang."Dengan handphone yang ia pegang pada salah satu tangan, Riehla sedang membiarkan Ellio memeluknya. Apa benar Ellio habis putus? Tapi kan selama ini Ellio seperti terlihat tidak memiliki kekasih. Lalu, kalau seperti itu apa yang terjadi? Siapa yang berani menyakiti CEO menyebalkannya itu?Sekitar beberapa menit kemudian, Riehla lepas pelukan Ellio. Riehla membalikan tubuhnya ke arah belakang di mana Ellio masih tersadar. Riehla tarik Ellio untuk duduk di kursi. Riehla tatap Ellio yang menatapnya dengan mata yang sepertinya akan segera tertutup. "Saya gak tahu apa yang sedang Bapak rasakan. Saya cuma bisa bilang carilah kebahagiaan yang sesungguhnya. Kalau seseorang yang pernah menyakiti kita nyatanya masih bisa membuat kita bahagia, gak ada salahnya mencoba. Gak ada yang salah dengan memberi kesempatan kedua." Dengan sorot mata dan nada bicara yang tulus. Walau Ellio menyebalkan bukan berarti Riehla tidak memiliki perasaan tulus padanya.Riehla hanya beberapa kali tidak suka dengan sikap Ellio, bukannya membencinya. Datang Randy yang langsung membawa pergi Ellio.Beberapa jam kemudian...Hari sudah pagi, Ellio yang tertidur dengan pakaian kerjanya itu terbangun. Menatap langit-langit Kamar dengan kepala yang dirasa sedikit sakit. Mencoba mendudukkan diri beriringan dengan terbukanya pintu. Masuk Randy. "Sudah bangun," kata Randy."Apa semalam saya telepon kamu buat datang ke Klub?""Riehla yang menelepon saya. Bapak gak ingat kalau datang ke Kantor?""Saya ke Kantor?" Ellio mencoba mengembalikan ingatannya yang tidak ia ingat."Saya akan siapkan sarapan," ucap Randy yang berlalu dari hadapan Ellio. Ellio terus mencoba mengingat sampai ia mengingat apa yang ia lakukan di Kantor. Bahkan saran dari Riehla ia ingat. Saran yang terlihat tulus. Ellio tidak tahu jika Riehla bisa terlihat setulus itu.Beberapa saat kemudian...Karena takut telat lagi jika harus kembali ke Rumah dahulu, Riehla pun tertidur di Kantor. Tidur di kursi kerja dengan sedikit tidak nyaman. Sudah terbangun sekitar 15 menit yang lalu di saat satu persatu karyawan-karyawati datang, Riehla yang terlihat lumayan kacau itu berencana ke Toilet. Saat baru melangkah keluar dari ruangan, bertemu Ellio. Kedua manusia beda jenis itu masing-masing langsung setiap adegan semalam."Melihat pakaian kamu, kamu tidak pulang?" tanya Ellio."Kalau saya gak menyelesaikannya nanti dibilang gak bertanggung jawab!" Ya, perkataan itu ia tujukan untuk Ellio."Maaf," ujar Ellio.Riehla mengernyit. "Saya gak salah dengarkan? Pak Ellio minta maaf buat apa?" Lebih tepatnya seperti ini kalimatnya Pak Ellio bisa minta maaf juga?"Gak seharusnya saya memeluk kamu." Sedingin dan menyebalkannya Ellio sesungguhnya ia masih punya hati. Ia tahu tentang setiap kesalahannya walau kerap kali mencoba untuk terlihat tidak bersalah. Namun, terkadang juga ia merasa bahwa ia tidak salah."Saya sudah melupakannya. Lagi pula Pak Ellio kan di bawah pengaruh alkohol. Kalau gitu, saya permisi." Riehla berlalu dari hadapan Ellio. Ellio menoleh ke arah belakang.***Riehla sedang stress saat ini, karena sudah setengah jam mencari naskah yang sudah selesai ia revisi yang akan dibawa rapat nanti sekitar 15 menit lagi, belum juga ketemu. Padahal naskah itu adalah cerita yang sudah selesai seleksi, tinggal dicetak. Sebelum proses cetak perlu beberapa perbaikan dan Riehla menghilangkannya."Coba kamu ingat-ingat lagi, lupa taruh di mana.""Seingat saya di meja, saya gak menaruhnya di tempat lain."Kepala Editor yang seorang perempuan itu juga pun ikut sedikit stress. Jika tidak juga ditemukan, Ellio pasti akan marah. Karena naskah itu akan diperiksa Ellio saat rapat. Bagaimana nasib Riehla? Apakah semua akan baik-baik saja?Riehla mendudukkan diri di kursi kerja-nya dengan wajah terlihat sangat bingung. Mencoba berpikir apa ia lupa menaruhnya. Tetap saja pemikirannya itu berakhir bahwa ia tidak salah menaruh. "Saya yakin seratus persen Bu kalau saya menaruhnya di meja.""Terus, ke mana perginya?" Lalu, melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya disusul dengan Riehla yang melihat jam dinding di mana sudah waktunya ketua Editor masuk Ruang Meeting."Gimana ini, Bu?" Dengan wajah cemas. Karir-nya mungkin akan dipertaruhkan."Saya coba bicarakan sama Pak Ellio. Kamu coba cari-cari lagi." Berlalu dari hadapan Riehla.Beberapa saat kemudian...Terus mencari tanpa hasil. Riehla sudah pada tahap menyerah jika mungkin ia akan kena marah besar Ellio. Menoleh ke arah handphone yang tengah bergetar di atas meja. Diambilnya handphone, menerima panggilan masuk dari kepala Editor. Apakah Tuhan akan memberikannya ujian hari ini?"Hallo, Bu.""Ke Ruang Rapat sekarang!""Baik, Bu." Langkahnya memang pasti melangk
Mumpung hari libur dan setelah beberapa hari tidak memiliki kesempatan menjenguk sang Ayah, hari ini Riehla menemani Ayah-nya. Ayah dan anak satu-satunya itu sedang jalan-jalan santai, keliling Rumah Sakit. Riehla yang mendorong kursi roda tempat Ayah-nya bersantai, langkahnya melamban. Di depan sana manik matanya bertemu dengan manik mata seorang perempuan yang menatapnya cukup tajam. Kania berhenti tepat di hadapan Ayah-nya Riehla sehingga mau tidak mau Riehla pun berhenti. "Siapa sangka kalau kita akan bertemu di sini," ucap Kania dengan nada tajam."Saya rasa gak ada yang perlu dibicarakan." Saat Riehla hendak kembali mendorong kursi roda, salah satu tangannya disentuh Kania."Kita sama-sama perempuan, seharusnya kamu mengerti perasaan saya! Saya rasa Ellio lebih dulu kenal sama saya dari pada kamu. Gak seharusnya kamu merebut lelaki yang saya cinta!" Lalu, menurunkan tangannya."Kamu merebut kekasih orang?" tanya pria paruh baya pada sang putri."Gak kayak gitu, yah.""Gak sehar
Hidup kerap kali membawa kita pada adegan buruk. Namun, inilah hidup di mana kita harus menerima apa saja yang kita alami. Seperti apa yang tengah dirasakan salah satu Editor kita. Riehla baru saja mendapat sebuah tamparan yang cukup membuat pipinya merasa panas dan sedikit perih."Saya ini sudah bertahun-tahun menjadi Penulis di sini! Kamu kira saya baru bergabung di sini?!" ucap seorang wanita berambut biru tua lurus sedada yang saat itu dibiarkan terurai."Tapi, Mbak juga gak bisa seenaknya! Baru tiga hari yang lalu buku Mbak-nya terbit.""Saya bilang saya akan bayar kerugian yang kalian alami!"Walau selama ini tidak pernah memiliki masalah dengan Penulis, Riehla sudah menduga bahwa suatu hari hal seperti hari ini akan terjadi. Hidup ini penuh misteri."Saya tahu Mbak punya uang banyak, tapi ini bukan soal uang." Riehla masih belum menyerah untuk memenangkan perdebatan sengit itu."Biarkan saja," ujar Ellio yang baru saja tiba bersama Randy. Randy memberikan sebuah amplop pada Pen
"Masalah besar!" kata salah satu Editor perempuan yang baru saja masuk dengan wajah terlihat serius."Masalah besar apa?" tanya Riehla sembari duduk di kursi kerja-nya."Salah satu penulis terbaik yang masuk daftar 10 besar, ternyata suka sama Pak Ellio.""Terus, apa masalahnya?" tanya Riehla lagi dengan wajah bingung.Semua orang nampak menanti ucapan perempuan berambut hitam panjang sedikit keriting yang saat itu diikat satu. "Sekarang Penulis itu ada di Lobi, sedang menunggu Pak Ellio yang sedang dibujuk buat mau makan siang bareng. Bisa-bisanya Pak Ellio menolak perempuan secantik itu.""Kalian tahu sendiri gimana Pak Ellio. Dia gak pernah terlihat makan bersama orang lain selain dengan Pak Randy. Makan siang bareng klien saja ada Pak Randy yang menemani," ujar Kepala Editor yang duduk di kursi-nya."Menurut saya keterlaluan, Bu. Gimana kalau kali ini kita juga kehilangannya? Betapa hebatnya perusahaan ini kehilangan tiga Penulis terbaiknya dalam waktu yang cukup singkat.""Sebaik
Dapat Ellio rasakan sesuatu yang bergerak pada salah satu bahu. Alih-alih terbangun, Riehla hanya membenarkan letak kepalanya. Mencari kedamaian. Datang seorang Pramugari yang membawakan minuman Ellio. Saat Ellio sedang meminumnya, mata yang sebelumnya terus tertutup perlahan terbuka. Terlonjak kaget saat mengetahui apa yang tengah terjadi. "Maaf, Pak. Saya gak sengaja tidur di bahu Bapak." Dengan wajah takut dan merasa bersalah.Ellio menoleh ke arah Riehla. Hanya sekedar menatap sebelum pria itu berlalu dari hadapan Riehla. Riela beberapa kali memukul pelan kepalanya, merutuki kebodohan yang tidak disengaja. Riehla pikir Ellio pasti sangat terganggu. Bagaimana mungkin baik-baik saja.Beberapa saat kemudian...Mengetahui posisinya, seperti biasanya Riehla memilih berjalan di belakang Ellio. Tentu ia merasa tidak pantas berjalan di samping Ellio. Walau mungkin di mata Tuhan mereka setara, tapi inilah hidup. Pasti akan ada rasa dimana tidak pantas dan sebagainya.Masuk ke dalam taksi.
Setelah apa yang terjadi, membuat jangungnya berdegup dua kali lipat serta hati yang sedikit pun tidak tenang, Riehla membiarkan dirinya tertidur di sofa dengan posisi duduk. Tiba-tiba saja ia merasa ngantuk. Perlahan mata Riehla terbuka. Hal pertama yang ia perhatikan adalah mengecek keadaan Ellio. Apakah Bos-nya itu sudah sadarkan diri.Berjalan ke arah Ellio yang kedua matanya masih menutup. "Aku benar-benar gak tahu kalau Pak Ellio punya alergi," gumam Riehla dengan nada pelan. Walau itu semua bukan salahnya, lebih tepatnya tidak ada yang salah sama sekali di sana, Riehla tetap merasa bersalah. Ada perasaan bahwa ia perlu bertanggung jawab.Perlahan mata itu terlihat terbuka. Manik mata mereka bertemu. "Saya kira saya sudah meninggalkan bumi," ujar Ellio dengan suara pelan."Bapak gak boleh ngomong gitu!" Jika yang dipikirkan Ellio terjadi, maka orang pertama yang akan menyalahkan dirinya sendiri adalah Riehla."Kamu gak perlu merasa bersalah. Bukan salah kamu. Kamu bahkan gak tah
Berjalan ke arah Riehla sembari membuka jas yang sedari tadi ia pakai. Bukannya menaruh di sofa, pria itu memakaikannya pada Riehla yang padahal sudah sedikit hangat dengan hoodie yang dikenakannya. Memperhatikan perempuan yang usianya 1 tahun di bawahnya. Alih-alih duduk di samping Riehla yang masih cukup lega, Ellio kembali duduk di kursi.***Pagi telah datang menyapa Riehla yang terbangun lebih dahulu dari yang lain. Mendapati sebuah jas yang menutupi badannya. Tentu Riehla tahu siapa pemiliknya. Menoleh ke arah Randy yang masih tidur di kursi. Bukankah itu lebih terasa tidak nyaman dari di sofa? Padahal Riehla sudah menyisakan ruang untuk manusia dingin kedua itu.Mata yang terbuka selanjutnya adalah Randy. Dilihatnya Ellio yang masih tertidur, dan saat menoleh ke arah Riehla, perempuan itu tengah menatapnya. "Terima kasih atas jas-nya." Menaruh jas yang sudah dilipat di atas meja. Lalu, dapat Ellio rasakan perutnya yang terasa perih. Butuh asupan. Mengambil handphone yang berada
Helaan nafas perempuan yang tengah terbaring di atas brankar itu cukup terdengar oleh lelaki yang berdiri di dekatnya. "Pak Ellio pergi bukan berarti dia marah sama kamu," ucap Randy."Apa iya? Saya kan sudah merepotkannya.""Sebaiknya kamu banyak-banyak istirahat karena besok kita akan tetap balik ke Jakarta." Lalu, Randy juga pergi meninggalkan Riehla.Riehla tatap pintu. Wajahnya nampak murung. Tidak menyangka bahwa aksi menolongnya malah membawanya ikut menjadi korban. 'Hufftthhh' lagi-lagi ia hanya bisa menghela nafas dengan kekhawatiran yang tengah menyapa itu. Walau Randy berkata bahwa Ellio bukannya marah, Riehla tetap pada pemikirannya bahwa pasti Ellio merasa kesal dengan apa yang disebabkan Riehla.Melangkah masuk ke dalam Ruang Rawat Inap Ellio. Dilihatnya Bos-nya itu yang sedang berdiri di depan jendela, menatap ke arah luar. "Seharusnya Bapak gak pergi gitu aja setelah mengatakan hal seperti itu. Seseorang bisa saja salah paham, dan Riehla pikir Bapak marah sama dia." Ya
Ada yang kebakar tapi bukan dengan api. Sudah 3 hari ini Kenzo tak ada kabar sama sekali. Terlebih Zena melihat postingan Kenzo seperti bersenang-senang dengan orang-orang asing itu. Tak satu pun yang wajahnya Zena kenal.Zena pikir selama kepergian lelaki itu Kenzo akan rajin memberi kabar. Nyatanya..."Kamu bisa membuatnya jatuh cinta kepada-mu meski dia tak cinta." Yura yang duduk di samping Zena di sofa panjang, bernyanyi menggoda Zena."Kayaknya memang gak cinta," ujar Zena sembari menatap handphone di mana layar penuh wajah Kenzo. Zena sedang melihat-lihat foto pada sosial media Kenzo."Cinta, Na. Kalau gak ada rasa gak mungkin kelihatan ngedeketin gitu." Masih dengan menatap Zena.Zena menoleh ke arah Yura. Menatap Yura dengan wajah serius. "Gak bisa, Yura."Yura membalas dengan wajah tak kalah serius. "Kelihatan banget kalau kamu gak mau kehilangan Kenzo. Masih mau menolak keberadaannya?"Diam itulah yang sedang Zena lakukan. Zena masih bingung dengan dirinya sendiri. Di satu
Sejak dari tempat permainan hingga kini berada di salah satu Restaurant yang dilakukan Kenzo hanya diam dengan terus mengawasi anak-anak itu. Sungguh seperti seorang pengasuh.Kenzo yang duduk tepat di hadapan Zena melihat betapa perhatiannya Adit pada Zena. Pemuda yang duduk di samping Kenzo itu benar-benar memperlihatkan ketertarikannya pada gadis cantik dan lembut inceran Kenzo."Habis ini kamu langsung pulang atau mau ikut jenguk Resti?" tanya Dania pada Zena."Ikut.""Aku ikut," ujar Adit.Kenzo yang mendengar itu rasanya ingin ikut juga tetapi nanti terlihat aneh. Adit sih sah-sah saja jika ikut, Adit kan sahabatnya Resti juga."Besok saya melakukan penerbangan ke Singapore dan akan berada di sana selama satu minggu, Na." Sembari menatap Zena.Zena yang jelas mendengar ucapan Kenzo, memilih diam. Kenzo yang melihat itu tentu sedikit sedih karena tidak mendapat respon dari gadis yang ia suka.Beberapa saat kemudian...Zena sudah berada di dalam taxi yang melaju bersama Dania dudu
Zena tahu jika semua orang mendukung Zena memiliki hubungan dengan Kenzo. Berjam-jam bersama Kenzo pun membuat Zena menyadari jika ia mulai menyukai Kenzo. Tetapi seragam putih abu-abu itu seperti pembatas bagi Zena.Di hadapannya sudah terdapat dua box pizza beda topping yang terletak di meja kerja. Ya, mereka berada di Ruang Kerja sang Direktur yang tak lain adalah Kenzo."Dimakan, Na." Yang duduk di kursi kerja-nya.Zena ambil sepotong pizza yang digigit kecil. "Habis ini mau pulang apa masih mau di sini?""Pulang saja, Kak.""Ya sudah, nanti saya antar.""Gak usah. Aku bisa naik ojek online." Lalu, menggigit pizza."Lebih baik saya yang antar.""Gak, Kak!" tegas Zena.Jika sudah seperti itu Kenzo hanya bisa diam yang berarti mengiyakan maunya Zena. Belum apa-apa Kenzo sudah belajar mengalah.Bahkan ketika Zena menyuruh Kenzo ikut makan pria matang itu menurut. Seolah Kenzo tidak ingin memulai perdebatan dengan gadis kecil itu.Sama seperti Ellio yang menganggap Zena gadis kecil wa
Buku yang ingin Zena ambil nyatanya terlalu jauh untuk digapainya hingga gadis itu berjinjit dan buku melayang jatuh ke lantai. Untung tidak mengenai kepala Zena. Saat Zena hendak mengambil buku fisika itu terlihat tangan yang lebih besar dan kekar dari tangannya menyentuh buku juga.Tanpa menyingkirkan tangan dari buku Zena yang posisi jongkok, mengangkat kepala dan manik matanya bertemu dengan manik mata Adit. Mendadak entah mengapa momen itu mengingatkan Zena pada buku yang jatuh di Toko buku.Zena berdiri dari jongkok dengan membiarkan Adit yang mengambil buku itu. Adit berikan buku pada Zena yang mengucapkan terima kasih lalu berlalu dari sana mencari tempat duduk masih di Perpustakaan.Buku sudah dibuka tetapi pikirannya malah berada di tempat lain. Mata memang mengarah ke deretan huruf dan angka, tetapi otaknya penuh dengan wajah Kenzo. Niat ke Perpus untuk fokus belajar tetapi...Adit mengambil posisi duduk di sebelah Zena dengan buku yang sama diletakkan di meja. Menatap Zena
Setelah mengantri membeli tiket Kenzo mengajak Zena membeli popcorn. Memberikan popcorn lumayan banyak itu pada Zena. Berjalan ke arah studio tempat film yang akan mereka tonton.Mereka langsung masuk lantaran orang-orang yang menonton di jam sebelumnya telah meninggalkan ruangan. Kenzo yang memegang potongan tiket memimpin jalan mencari tempat duduk mereka.Duduk di bagian bangku yang ada 4 buah. Zena kebetulan berada di dekat dinding. Menaruh cup popcorn di tempat yang tersedia untuk menaruh popcorn atau botol.Sebelum film diputar, handphone yang berada di tas selempang kecil bergetar. Zena segera mengambilnya dan terdapat panggilan video dari Eden."Bisa-bisanya Kak Zena pergi tanpa aku!" keluh Eden. Bibir anak kecil itu pun nampak maju."Lain kali.""Kapan?""Sudah ya, Den. Filmnya mau mulai."Sebelum Eden membuka mulut dengan cepat Zena mengakhiri panggilan video itu. Memasukkan kembali handphone ke dalam tas tak lupa memasang mode diam."Minggu besok kita bisa nonton film lagi
"Kamu suka Zena?" tanya Ellio tiba-tiba dan itu berhasil membuat Zena sedikit tersedak makanan hingga batuk-batuk."Papa apa-apaan sih!" ucap Zena tegas setelah meminum seteguk air bening."Saya gak suka kalau ada yang mau main-main sama putri saya!" Dengan nada tegas dan wajah serius.Zena semakin dibuat tak percaya oleh pria paruh baya itu. Menoleh ke arah Kenzo dengan raut wajah tidak enak. Bagaimana bisa Ellio menanyakan hal seperti itu pada lelaki yang baru 3 kali Zena temui. Itu pun hanya pertemuan singkat."Kalau suka sama Kak Zena gerak cepat deh soalnya yang suka sama Kak Zena bukan cuma Kakak," ujar Eden yang akhirnya ikut bicara. Lalu, memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut."Kalian kenapa sih?!" ucap Zena dengan wajah mulai frustasi dengan kelakuan Papa dan Adik-nya itu."Zena cantik dan kelihatan baik. Siapa yang gak suka sama dia," ucap Kenzo setelah lama terdiam."Kak Kenzo gak perlu merespon perkataan gak jelas Papa sama Eden." Sembari menatap Kenzo."Apa yang saya
"Zena?"Sontak Zura menoleh ke sumber suara di mana seorang lelaki yang ia kenal berjalan ke arahnya. Lelaki yang hari itu terus menatapnya seolah tertarik dengan Zen."Kak Kenzo," ucap Zena sembari duduk.Kenzo mendudukkan diri di samping Zena. "Sendiri?""Lagi nunggu teman.""Saya kira sendiri. Hampir saja saya mengajak kamu makan sama saya."Zena yang mendengar itu dibuat sedikit tak percaya. Kenzo sedang menggodanya atau apa?"Kalau aku sendiri Kak Kenzo mau ajak aku makan?""Iya. Kenapa? Kamu gak mau?""Mau kok asalkan Kak Kenzo yang bayar makanannya.""Tentu saja."Asal ada suara yang terdengar memanggil Zena, bukan hanya Zena yang menoleh Kenzo juga ikut menoleh. Nampak Rasti dan Adit."Loh, kok kamu ikut? Bukannya ada latihan?" tanya Zena yang sudah berdiri. Sembari menatap Adit."Latihannya diganti sore.""Ini siapa, Zen?" tanya Rasti sembari menatap Kenzo yang juga sudah berdiri."Seseorang yang aku kenal.""Maksudnya?" Rasti nampak bingung."Sebaiknya kita segera pergi nant
12 tahun kemudian...Nampak seorang gadis berseragam putih abu-abu yang terduduk di salah satu kursi makan. Menatap nasi goreng dengan telor mata sapi di hadapannya tanpa menyentuhnya sedikit pun. Gadis itu terlihat sudah tergiur oleh nasi goreng di hadapannya. Seperti ingin segera mencicipi, tetapi..."Mari kita makan," kata pria berusia 40'an yang sudah ada beberapa rambut putih yang tumbuh.Dengan cepat gadis itu membaca doa dan menyantap nasi goreng yang terlihat dari wajah gadis itu bahwa ia menyukai nasi goreng tersebut."Gak menghormati yang masak! Masa aku ditinggal makan," protes pemuda berseragam putih-merah. Duduk di samping gadis yang tak lain adalah Kakak-nya."Papa kan belum makan, Eden."Eden tersenyum pada Papa-nya yang bernama Ellio itu. "Selamat makan, Pa.""Selamat makan juga, sayang.""Selamat makan," timpal Zena sembari sedikit mengunyah."Makan tuh gak boleh ngomong." Sembari menatap Zena yang asik dengan nasi goreng-nya. Pemuda berusia 12 tahun itu pun hanya m
"Tiba-tiba mengalami henti jantung dan sekarang sedang Dokter sedang melakukan yang terbaik." Lalu, melangkah pergi dari sana dengan langkah cepat.Ellio termenung. Kakinya mulai terasa lemas dengan perasaan takut kian nyata. Bukan saat-saat manis yang mereka lewati bersama yang mulai bermunculan memenuhi kepala Ellio, melainkan momen ketika Ellio mengabaikan Riehla karena rasa tidak percayanya.Bagaimana jika semua ini terjadi karenanya? Ellio rasa ia telah benar-benar gagal menjadi suami. Bukannya seratus persen membahagiakan Riehla justru Ellio menyakitinya.Digenggamnya kedua tangan untuk menghilangkan rasa gugup yang sedikit pun tidak hilang. Melihat Dokter laki-laki keluar dari dalam sana, rasa dingin yang sedang ia rasakan karena cemas pun semakin menjadi.Tatapan Dokter itu Ellio tidak ingin melihatnya. Ellio tidak ingin Dokter itu mengatakan hal yang tidak bisa Ellio terima."Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan berkata lain. Saudari Riehla telah tiada."DegKalimat sa