Mumpung hari libur dan setelah beberapa hari tidak memiliki kesempatan menjenguk sang Ayah, hari ini Riehla menemani Ayah-nya. Ayah dan anak satu-satunya itu sedang jalan-jalan santai, keliling Rumah Sakit. Riehla yang mendorong kursi roda tempat Ayah-nya bersantai, langkahnya melamban. Di depan sana manik matanya bertemu dengan manik mata seorang perempuan yang menatapnya cukup tajam.
Kania berhenti tepat di hadapan Ayah-nya Riehla sehingga mau tidak mau Riehla pun berhenti. "Siapa sangka kalau kita akan bertemu di sini," ucap Kania dengan nada tajam."Saya rasa gak ada yang perlu dibicarakan." Saat Riehla hendak kembali mendorong kursi roda, salah satu tangannya disentuh Kania."Kita sama-sama perempuan, seharusnya kamu mengerti perasaan saya! Saya rasa Ellio lebih dulu kenal sama saya dari pada kamu. Gak seharusnya kamu merebut lelaki yang saya cinta!" Lalu, menurunkan tangannya."Kamu merebut kekasih orang?" tanya pria paruh baya pada sang putri."Gak kayak gitu, yah.""Gak seharusnya kamu menggoda Ellio!" Omong kosong. Kania benar-benar sedang memperburuk keadaan. Ia sengaja terus bicara seperti itu karena ingin keretakan antara Ayah dan putri-nya itu."Jangan asal bicara!" kata Riehla dengan nada tegas."Maaf, mbak. Anak saya perlu mengantar saya kembali ke Kamar. Ayo, Riehla." Kania biarkan Riehla pergi. Menoleh ke arah belakang dengan senyum yang terlihat puas. Tentu Kania puas sudah memperlihatkan bahwa Riehla itu seseorang yang buruk. Tapi, apakah perlu memperlihatkannya pada Ayah-nya Riehla?!Sepanjang perjalanan hingga kembali ke Ruang Rawat Inap yang terdapat tiga orang termasuk Ayah-nya, Riehla bantu sang Ayah merebahkan tubuh di brankar. Riehla penasaran apa yang sedang Ayah-nya pikirkan."Sebaiknya Ayah gak memikirkan apa kata perempuan itu.""Kamu berhak bahagia. Tapi, Ayah gak mau kebahagiaan itu kamu raih dengan merusak kebahagiaan orang lain."Ayah-nya sudah terpengaruh ucapan Kania yang menyebalkan. Riehla tidak seburuk itu. "Riehla gak seperti apa yang perempuan itu ucapkan.""Ayah percaya. Ayah cuma mengingatkan kalau kebahagiaan bisa kamu ciptakan bukan hanya di satu tempat. Jadi, jangan hanya memikirkan kebahagiaan di satu tempat sampai mungkin kamu akan merusak hubungan baik seseorang.""Ayah tenang saja. Riehla masih tahu batasannya."Ayah-nya raih salah satu tangan sang putri. "Cuma kamu satu-satunya yang Ayah punya. Ayah gak mau kamu berada di jalan yang berbeda dengan sekarang."Riehla berusaha tersenyum, dan diraihnya tangan sang Ayah. Mengenggamnya lembut. Itulah alasan Riehla tidak ingin Ayah-nya tahu apa yang ia lakukan. Ayah-nya bisa kecewa. Terlepas mungkin tindakan Riehla membantu Ellio itu benar. Tidak seharusnya ia ikut campur masalah orang lain.***Kania menerobos masuk ke dalam Ruang Kerja Ellio padahal sudah ditahan Maudia-Sekretaris Ellio. "Gakpapa, Di. Kamu bisa kembali bekerja," kata Ellio yang duduk di kursi kerja.Kania berjalan ke arah Ellio. Tanpa adanya rasa hormat atau sopan, Kania duduk di meja dengan sorot mata yang terus tertuju pada Ellio. "Saya gak mau kehadiran kamu di sini membuat Riehla gak nyaman!" Dengan sorot mata tajam dan sangat dingin."Kalian masih bersama? Aku kira sudah berakhir. Padahal aku sudah memberitahu Papa-nya kalau anak-nya itu bukan anak yang baik. Masa dia merebut lelaki yang aku cinta.""Kamu bertemu Papa-nya Riehla?""Iya."Sungguh di luar dugaan Ellio. Ellio berdiri dari duduk, berjalan ke arah pintu. Membuka pintu cukup lebar. "Silakan tinggalkan tempat ini!""Aku gak mau!" Yang sudah berdiri.Datang Randy tanpa perintah Ellio. "Tolong kamu pastikan dia meninggalkan Kantor!" Sembari menatap Kania. Kania nampak sangat kesal. Randy dengan cepat membawa Kania pergi dari sana. Ellio kembali duduk di kursi. Berkat Kania, ia jadi kepikiran Riehla. Apa semuanya baik-baik saja? Ellio mengkhawatirkan Riehla. Masalahnya ia tidak tahu apa saja yang sudah Kania katakan pada Ayah-nya Riehla. Tidak ada keretakan antara Ayah dan anaknya itu kan? Jika terjadi sesuatu Ellio pikir ia akan merasa bersalah. Karena itu semua berawal darinya.Sejank Riehla menoleh ke arah handphone yang bergetar, menampilkan panggilan masuk dari Ellio. Ellio menelepon jam segini? Ada apa ya?"Hallo, Pak.""Gak ada yang mau dibicarakan sama saya?""Bicarain apa ya, Pak?" Dengan wajah bingung."Ya sudah kalau gak ada." Lalu, panggilan berakhir. Riehla kembali taruh handphone di atas meja.Beberapa saat kemudian...Ellio yang duduk di sofa Ruang Tengah, menegak sedikit minuman bersoda dalam kemasan kaleng yang ia letakkan di atas meja. "Kenapa Riehla gak cerita apa-apa? Mungkin gak ada masalah apa-apa," gumam Ellio.Pak CEO satu itu masih memikirkan karyawatinya itu. "Bukannya seharusnya dia cerita? Karena kan di sini saya juga salah." Diambilnya handphone, menelepon seseorang.Di tengah keasikannya menonton drama Korea di laptop, Ruang Tengah. Sejenak perhatiannya terbagi ke handphone yang bergetar. Ada apa malam-malam Ellio meneleponnya?"Hallo, Pak.""Saya mau kamu ke Rumah saya sekarang!""Mendadak?""Gak mau?" Dengan nada suara yang buat takut."Iya, Pak. Saya ke sana sekarang."Ellio benar-benar mengganggu waktu santainya. Riehla bergegas rapi-rapi. Apa mungkin Riehla mendapat pekerjaan tambahan lagi? Kali ini apa? Membuat seseorang marah lagi? Tidur bareng yang ke-dua?Alih-alih menunggu di dalam Rumah, kali ini Ellio duduk di kursi yang ada di Teras depan Rumah. Ellio pikir ia harus membahasnya lebih dahulu. Bagaimana kalau ternyata Riehla mendapat masalah karena Kania? Itu mungkin akan membawa pada Riehla yang akan menolak untuk membantu Ellio.Setelah memunggu lumayan lama, Ellio lihat sebuah motor yang melaju. Memperhatikan Riehla yang menghentikan motor di depan sana, berjalan ke arah Ellio. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?""Duduk!"Riehla mendudukkan diri di samping Ellio. "Kenapa kamu gak bilang kalau Kania ketemu sama Papa kamu?""Saya rasa Bapak gak perlu tahu. Saya bukan siapa-siapa Bapak dan Bapak bukan siapa-siapa saya. Kita cuma sekedar rekan kerja. Jadi, untuk masalah satu itu saya bisa menanganinya sendiri.""Saya tahu. Tapi, semua berawal dari saya. Kalau saya gak minta kamu buat bantu saya, Kania gak akan bertindak sejauh itu."Apa yang dikatakan Ellio benar adanya, namun tetap saja Riehla pikir Ellio tidak perlu tahu bahkan tidak perlu repot-repot ikut campur. Itu sudah menjadi konsekuensi Riehla dalam membantu Ellio. "Bapak tenang saja. Saya bisa mengatasinya. Apa masih ada yang mau dibicarakan? Kalau gak ada, saya pamit.""Kamu bisa pulang." Riehla melangkah pergi dari sana. Ellio terus perhatikan Riehla sampai menghilang dari pandangannya.***PlakSuara tamparan itu mengisi ke setiap sudut ruangan tempat para Editor berada. Ruangan pun diselimuti hawa menegangkan.Hidup kerap kali membawa kita pada adegan buruk. Namun, inilah hidup di mana kita harus menerima apa saja yang kita alami. Seperti apa yang tengah dirasakan salah satu Editor kita. Riehla baru saja mendapat sebuah tamparan yang cukup membuat pipinya merasa panas dan sedikit perih."Saya ini sudah bertahun-tahun menjadi Penulis di sini! Kamu kira saya baru bergabung di sini?!" ucap seorang wanita berambut biru tua lurus sedada yang saat itu dibiarkan terurai."Tapi, Mbak juga gak bisa seenaknya! Baru tiga hari yang lalu buku Mbak-nya terbit.""Saya bilang saya akan bayar kerugian yang kalian alami!"Walau selama ini tidak pernah memiliki masalah dengan Penulis, Riehla sudah menduga bahwa suatu hari hal seperti hari ini akan terjadi. Hidup ini penuh misteri."Saya tahu Mbak punya uang banyak, tapi ini bukan soal uang." Riehla masih belum menyerah untuk memenangkan perdebatan sengit itu."Biarkan saja," ujar Ellio yang baru saja tiba bersama Randy. Randy memberikan sebuah amplop pada Pen
"Masalah besar!" kata salah satu Editor perempuan yang baru saja masuk dengan wajah terlihat serius."Masalah besar apa?" tanya Riehla sembari duduk di kursi kerja-nya."Salah satu penulis terbaik yang masuk daftar 10 besar, ternyata suka sama Pak Ellio.""Terus, apa masalahnya?" tanya Riehla lagi dengan wajah bingung.Semua orang nampak menanti ucapan perempuan berambut hitam panjang sedikit keriting yang saat itu diikat satu. "Sekarang Penulis itu ada di Lobi, sedang menunggu Pak Ellio yang sedang dibujuk buat mau makan siang bareng. Bisa-bisanya Pak Ellio menolak perempuan secantik itu.""Kalian tahu sendiri gimana Pak Ellio. Dia gak pernah terlihat makan bersama orang lain selain dengan Pak Randy. Makan siang bareng klien saja ada Pak Randy yang menemani," ujar Kepala Editor yang duduk di kursi-nya."Menurut saya keterlaluan, Bu. Gimana kalau kali ini kita juga kehilangannya? Betapa hebatnya perusahaan ini kehilangan tiga Penulis terbaiknya dalam waktu yang cukup singkat.""Sebaik
Dapat Ellio rasakan sesuatu yang bergerak pada salah satu bahu. Alih-alih terbangun, Riehla hanya membenarkan letak kepalanya. Mencari kedamaian. Datang seorang Pramugari yang membawakan minuman Ellio. Saat Ellio sedang meminumnya, mata yang sebelumnya terus tertutup perlahan terbuka. Terlonjak kaget saat mengetahui apa yang tengah terjadi. "Maaf, Pak. Saya gak sengaja tidur di bahu Bapak." Dengan wajah takut dan merasa bersalah.Ellio menoleh ke arah Riehla. Hanya sekedar menatap sebelum pria itu berlalu dari hadapan Riehla. Riela beberapa kali memukul pelan kepalanya, merutuki kebodohan yang tidak disengaja. Riehla pikir Ellio pasti sangat terganggu. Bagaimana mungkin baik-baik saja.Beberapa saat kemudian...Mengetahui posisinya, seperti biasanya Riehla memilih berjalan di belakang Ellio. Tentu ia merasa tidak pantas berjalan di samping Ellio. Walau mungkin di mata Tuhan mereka setara, tapi inilah hidup. Pasti akan ada rasa dimana tidak pantas dan sebagainya.Masuk ke dalam taksi.
Setelah apa yang terjadi, membuat jangungnya berdegup dua kali lipat serta hati yang sedikit pun tidak tenang, Riehla membiarkan dirinya tertidur di sofa dengan posisi duduk. Tiba-tiba saja ia merasa ngantuk. Perlahan mata Riehla terbuka. Hal pertama yang ia perhatikan adalah mengecek keadaan Ellio. Apakah Bos-nya itu sudah sadarkan diri.Berjalan ke arah Ellio yang kedua matanya masih menutup. "Aku benar-benar gak tahu kalau Pak Ellio punya alergi," gumam Riehla dengan nada pelan. Walau itu semua bukan salahnya, lebih tepatnya tidak ada yang salah sama sekali di sana, Riehla tetap merasa bersalah. Ada perasaan bahwa ia perlu bertanggung jawab.Perlahan mata itu terlihat terbuka. Manik mata mereka bertemu. "Saya kira saya sudah meninggalkan bumi," ujar Ellio dengan suara pelan."Bapak gak boleh ngomong gitu!" Jika yang dipikirkan Ellio terjadi, maka orang pertama yang akan menyalahkan dirinya sendiri adalah Riehla."Kamu gak perlu merasa bersalah. Bukan salah kamu. Kamu bahkan gak tah
Berjalan ke arah Riehla sembari membuka jas yang sedari tadi ia pakai. Bukannya menaruh di sofa, pria itu memakaikannya pada Riehla yang padahal sudah sedikit hangat dengan hoodie yang dikenakannya. Memperhatikan perempuan yang usianya 1 tahun di bawahnya. Alih-alih duduk di samping Riehla yang masih cukup lega, Ellio kembali duduk di kursi.***Pagi telah datang menyapa Riehla yang terbangun lebih dahulu dari yang lain. Mendapati sebuah jas yang menutupi badannya. Tentu Riehla tahu siapa pemiliknya. Menoleh ke arah Randy yang masih tidur di kursi. Bukankah itu lebih terasa tidak nyaman dari di sofa? Padahal Riehla sudah menyisakan ruang untuk manusia dingin kedua itu.Mata yang terbuka selanjutnya adalah Randy. Dilihatnya Ellio yang masih tertidur, dan saat menoleh ke arah Riehla, perempuan itu tengah menatapnya. "Terima kasih atas jas-nya." Menaruh jas yang sudah dilipat di atas meja. Lalu, dapat Ellio rasakan perutnya yang terasa perih. Butuh asupan. Mengambil handphone yang berada
Helaan nafas perempuan yang tengah terbaring di atas brankar itu cukup terdengar oleh lelaki yang berdiri di dekatnya. "Pak Ellio pergi bukan berarti dia marah sama kamu," ucap Randy."Apa iya? Saya kan sudah merepotkannya.""Sebaiknya kamu banyak-banyak istirahat karena besok kita akan tetap balik ke Jakarta." Lalu, Randy juga pergi meninggalkan Riehla.Riehla tatap pintu. Wajahnya nampak murung. Tidak menyangka bahwa aksi menolongnya malah membawanya ikut menjadi korban. 'Hufftthhh' lagi-lagi ia hanya bisa menghela nafas dengan kekhawatiran yang tengah menyapa itu. Walau Randy berkata bahwa Ellio bukannya marah, Riehla tetap pada pemikirannya bahwa pasti Ellio merasa kesal dengan apa yang disebabkan Riehla.Melangkah masuk ke dalam Ruang Rawat Inap Ellio. Dilihatnya Bos-nya itu yang sedang berdiri di depan jendela, menatap ke arah luar. "Seharusnya Bapak gak pergi gitu aja setelah mengatakan hal seperti itu. Seseorang bisa saja salah paham, dan Riehla pikir Bapak marah sama dia." Ya
Tak tahan dengan Ellio yang terlihat cukup tidak nyaman, Riehla merasa seperti harus melakukan sesuatu. Perempuan itu dengan pastinya berjalan ke arah meja Ellio. Mendudukkan diri seperti itu saja di samping Ellio yang menatap datar. "Gak bisakah Anda melihat seseorang di hadapan Anda yang merasa gak nyaman?!"Kania dibuat tak percaya dengan Riehla. "Saya rasa gak seharusnya Anda di sini!" Tentu Kania tidak ingin kalah dari Riehla."Oh ya? Kamu lupa siapa saya?!" Lalu, menoleh ke arah Ellio yang hanya diam. Pria itu bahkan menatap ke arah lain.Sepertinya Riehla sejenak melupakan siapa dirinya. Di meja tempat para Editor berada, tengah menatap tak percaya dengan apa yang di lakukan Riehla yang dengan beraninya duduk di samping Ellio tanpa Ellio menyuruhnya duduk. Entah dari mana asal keberanian itu."Aku rasa Riehla sudah gak waras," kata salah satu Editor sembari menatap Riehla.Tiba-tiba sembari berdiri dari duduk, perempuan itu meraih tangan CEO-nya. Sontak Ellio menoleh. "Apa yang
"Riehla itu teman apa? Kuliah? Sma? Smp?" tanya Ellio sembari fokus mengemudi."Sma," jawab Yura sembari mengingap setiap kenangan yang mereka lalui bersama."Sekelas?""Mm.""Pasti gak dekat. Beda geng."Yura tersenyum mendengar hal itu. "Sok tahu." Lalu, menoleh ke arah Ellio."Kalau kalian dekat reaksi Riehla gak akan seperti itu." Lalu, menoleh sebentar ke arah Yura."Benar. Kita kayak orang asing." Nampak wajah seperti orang yang menyesal. Yura merasa bersalah atas apa yang terjadi di antara dirinya dan Riehla.Di tempat lain, lebih tepatnya di Ruang Kerja, Riehla yang sedang mengerjakan pekerjaannya itu, diam sejenak. Pikirannya tertuju pada Yura. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali bertemu. Bahkan yang membuat Riehla tak menyangka bahwa Yura adalah Sepupu Ellio. Rasanya dunia ini benar-benar sempit."Kamu gakpapa?" tanya Kepala Editor yang sudah berdiri di samping Riehla."Gakpapa, Bu." Sembari menatap Kepala Editor."Ada beberapa yang perlu direvisi," sembari meletakka
Ada yang kebakar tapi bukan dengan api. Sudah 3 hari ini Kenzo tak ada kabar sama sekali. Terlebih Zena melihat postingan Kenzo seperti bersenang-senang dengan orang-orang asing itu. Tak satu pun yang wajahnya Zena kenal.Zena pikir selama kepergian lelaki itu Kenzo akan rajin memberi kabar. Nyatanya..."Kamu bisa membuatnya jatuh cinta kepada-mu meski dia tak cinta." Yura yang duduk di samping Zena di sofa panjang, bernyanyi menggoda Zena."Kayaknya memang gak cinta," ujar Zena sembari menatap handphone di mana layar penuh wajah Kenzo. Zena sedang melihat-lihat foto pada sosial media Kenzo."Cinta, Na. Kalau gak ada rasa gak mungkin kelihatan ngedeketin gitu." Masih dengan menatap Zena.Zena menoleh ke arah Yura. Menatap Yura dengan wajah serius. "Gak bisa, Yura."Yura membalas dengan wajah tak kalah serius. "Kelihatan banget kalau kamu gak mau kehilangan Kenzo. Masih mau menolak keberadaannya?"Diam itulah yang sedang Zena lakukan. Zena masih bingung dengan dirinya sendiri. Di satu
Sejak dari tempat permainan hingga kini berada di salah satu Restaurant yang dilakukan Kenzo hanya diam dengan terus mengawasi anak-anak itu. Sungguh seperti seorang pengasuh.Kenzo yang duduk tepat di hadapan Zena melihat betapa perhatiannya Adit pada Zena. Pemuda yang duduk di samping Kenzo itu benar-benar memperlihatkan ketertarikannya pada gadis cantik dan lembut inceran Kenzo."Habis ini kamu langsung pulang atau mau ikut jenguk Resti?" tanya Dania pada Zena."Ikut.""Aku ikut," ujar Adit.Kenzo yang mendengar itu rasanya ingin ikut juga tetapi nanti terlihat aneh. Adit sih sah-sah saja jika ikut, Adit kan sahabatnya Resti juga."Besok saya melakukan penerbangan ke Singapore dan akan berada di sana selama satu minggu, Na." Sembari menatap Zena.Zena yang jelas mendengar ucapan Kenzo, memilih diam. Kenzo yang melihat itu tentu sedikit sedih karena tidak mendapat respon dari gadis yang ia suka.Beberapa saat kemudian...Zena sudah berada di dalam taxi yang melaju bersama Dania dudu
Zena tahu jika semua orang mendukung Zena memiliki hubungan dengan Kenzo. Berjam-jam bersama Kenzo pun membuat Zena menyadari jika ia mulai menyukai Kenzo. Tetapi seragam putih abu-abu itu seperti pembatas bagi Zena.Di hadapannya sudah terdapat dua box pizza beda topping yang terletak di meja kerja. Ya, mereka berada di Ruang Kerja sang Direktur yang tak lain adalah Kenzo."Dimakan, Na." Yang duduk di kursi kerja-nya.Zena ambil sepotong pizza yang digigit kecil. "Habis ini mau pulang apa masih mau di sini?""Pulang saja, Kak.""Ya sudah, nanti saya antar.""Gak usah. Aku bisa naik ojek online." Lalu, menggigit pizza."Lebih baik saya yang antar.""Gak, Kak!" tegas Zena.Jika sudah seperti itu Kenzo hanya bisa diam yang berarti mengiyakan maunya Zena. Belum apa-apa Kenzo sudah belajar mengalah.Bahkan ketika Zena menyuruh Kenzo ikut makan pria matang itu menurut. Seolah Kenzo tidak ingin memulai perdebatan dengan gadis kecil itu.Sama seperti Ellio yang menganggap Zena gadis kecil wa
Buku yang ingin Zena ambil nyatanya terlalu jauh untuk digapainya hingga gadis itu berjinjit dan buku melayang jatuh ke lantai. Untung tidak mengenai kepala Zena. Saat Zena hendak mengambil buku fisika itu terlihat tangan yang lebih besar dan kekar dari tangannya menyentuh buku juga.Tanpa menyingkirkan tangan dari buku Zena yang posisi jongkok, mengangkat kepala dan manik matanya bertemu dengan manik mata Adit. Mendadak entah mengapa momen itu mengingatkan Zena pada buku yang jatuh di Toko buku.Zena berdiri dari jongkok dengan membiarkan Adit yang mengambil buku itu. Adit berikan buku pada Zena yang mengucapkan terima kasih lalu berlalu dari sana mencari tempat duduk masih di Perpustakaan.Buku sudah dibuka tetapi pikirannya malah berada di tempat lain. Mata memang mengarah ke deretan huruf dan angka, tetapi otaknya penuh dengan wajah Kenzo. Niat ke Perpus untuk fokus belajar tetapi...Adit mengambil posisi duduk di sebelah Zena dengan buku yang sama diletakkan di meja. Menatap Zena
Setelah mengantri membeli tiket Kenzo mengajak Zena membeli popcorn. Memberikan popcorn lumayan banyak itu pada Zena. Berjalan ke arah studio tempat film yang akan mereka tonton.Mereka langsung masuk lantaran orang-orang yang menonton di jam sebelumnya telah meninggalkan ruangan. Kenzo yang memegang potongan tiket memimpin jalan mencari tempat duduk mereka.Duduk di bagian bangku yang ada 4 buah. Zena kebetulan berada di dekat dinding. Menaruh cup popcorn di tempat yang tersedia untuk menaruh popcorn atau botol.Sebelum film diputar, handphone yang berada di tas selempang kecil bergetar. Zena segera mengambilnya dan terdapat panggilan video dari Eden."Bisa-bisanya Kak Zena pergi tanpa aku!" keluh Eden. Bibir anak kecil itu pun nampak maju."Lain kali.""Kapan?""Sudah ya, Den. Filmnya mau mulai."Sebelum Eden membuka mulut dengan cepat Zena mengakhiri panggilan video itu. Memasukkan kembali handphone ke dalam tas tak lupa memasang mode diam."Minggu besok kita bisa nonton film lagi
"Kamu suka Zena?" tanya Ellio tiba-tiba dan itu berhasil membuat Zena sedikit tersedak makanan hingga batuk-batuk."Papa apa-apaan sih!" ucap Zena tegas setelah meminum seteguk air bening."Saya gak suka kalau ada yang mau main-main sama putri saya!" Dengan nada tegas dan wajah serius.Zena semakin dibuat tak percaya oleh pria paruh baya itu. Menoleh ke arah Kenzo dengan raut wajah tidak enak. Bagaimana bisa Ellio menanyakan hal seperti itu pada lelaki yang baru 3 kali Zena temui. Itu pun hanya pertemuan singkat."Kalau suka sama Kak Zena gerak cepat deh soalnya yang suka sama Kak Zena bukan cuma Kakak," ujar Eden yang akhirnya ikut bicara. Lalu, memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut."Kalian kenapa sih?!" ucap Zena dengan wajah mulai frustasi dengan kelakuan Papa dan Adik-nya itu."Zena cantik dan kelihatan baik. Siapa yang gak suka sama dia," ucap Kenzo setelah lama terdiam."Kak Kenzo gak perlu merespon perkataan gak jelas Papa sama Eden." Sembari menatap Kenzo."Apa yang saya
"Zena?"Sontak Zura menoleh ke sumber suara di mana seorang lelaki yang ia kenal berjalan ke arahnya. Lelaki yang hari itu terus menatapnya seolah tertarik dengan Zen."Kak Kenzo," ucap Zena sembari duduk.Kenzo mendudukkan diri di samping Zena. "Sendiri?""Lagi nunggu teman.""Saya kira sendiri. Hampir saja saya mengajak kamu makan sama saya."Zena yang mendengar itu dibuat sedikit tak percaya. Kenzo sedang menggodanya atau apa?"Kalau aku sendiri Kak Kenzo mau ajak aku makan?""Iya. Kenapa? Kamu gak mau?""Mau kok asalkan Kak Kenzo yang bayar makanannya.""Tentu saja."Asal ada suara yang terdengar memanggil Zena, bukan hanya Zena yang menoleh Kenzo juga ikut menoleh. Nampak Rasti dan Adit."Loh, kok kamu ikut? Bukannya ada latihan?" tanya Zena yang sudah berdiri. Sembari menatap Adit."Latihannya diganti sore.""Ini siapa, Zen?" tanya Rasti sembari menatap Kenzo yang juga sudah berdiri."Seseorang yang aku kenal.""Maksudnya?" Rasti nampak bingung."Sebaiknya kita segera pergi nant
12 tahun kemudian...Nampak seorang gadis berseragam putih abu-abu yang terduduk di salah satu kursi makan. Menatap nasi goreng dengan telor mata sapi di hadapannya tanpa menyentuhnya sedikit pun. Gadis itu terlihat sudah tergiur oleh nasi goreng di hadapannya. Seperti ingin segera mencicipi, tetapi..."Mari kita makan," kata pria berusia 40'an yang sudah ada beberapa rambut putih yang tumbuh.Dengan cepat gadis itu membaca doa dan menyantap nasi goreng yang terlihat dari wajah gadis itu bahwa ia menyukai nasi goreng tersebut."Gak menghormati yang masak! Masa aku ditinggal makan," protes pemuda berseragam putih-merah. Duduk di samping gadis yang tak lain adalah Kakak-nya."Papa kan belum makan, Eden."Eden tersenyum pada Papa-nya yang bernama Ellio itu. "Selamat makan, Pa.""Selamat makan juga, sayang.""Selamat makan," timpal Zena sembari sedikit mengunyah."Makan tuh gak boleh ngomong." Sembari menatap Zena yang asik dengan nasi goreng-nya. Pemuda berusia 12 tahun itu pun hanya m
"Tiba-tiba mengalami henti jantung dan sekarang sedang Dokter sedang melakukan yang terbaik." Lalu, melangkah pergi dari sana dengan langkah cepat.Ellio termenung. Kakinya mulai terasa lemas dengan perasaan takut kian nyata. Bukan saat-saat manis yang mereka lewati bersama yang mulai bermunculan memenuhi kepala Ellio, melainkan momen ketika Ellio mengabaikan Riehla karena rasa tidak percayanya.Bagaimana jika semua ini terjadi karenanya? Ellio rasa ia telah benar-benar gagal menjadi suami. Bukannya seratus persen membahagiakan Riehla justru Ellio menyakitinya.Digenggamnya kedua tangan untuk menghilangkan rasa gugup yang sedikit pun tidak hilang. Melihat Dokter laki-laki keluar dari dalam sana, rasa dingin yang sedang ia rasakan karena cemas pun semakin menjadi.Tatapan Dokter itu Ellio tidak ingin melihatnya. Ellio tidak ingin Dokter itu mengatakan hal yang tidak bisa Ellio terima."Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan berkata lain. Saudari Riehla telah tiada."DegKalimat sa