Ellio mencoba membangunkan Riehla dengan membelai lembut kepala perempuan itu. "Riehla," ucap Ellio dengan nada lembut. Namun, Riehla tidak langsung membuka matanya. Tidurnya terlihat nyenyak. Sepertinya Riehla sedikit kelelahan. "Rie Rie. Kita sudah sampai depan Rumah kamu."Perlahan mata itu terbuka dan Ellio menghentikan kegiatannya membelai lembut kepala Riehla. Riehla tatap wajah yang sudah mampu membuatnya jatuh cinta. Membuatnya mencoba memulai suatu hubungan. "Susah ya bangunin aku?""Sedikit." Seraya tersenyum.Saat Riehla mencoba duduk dengan benar Ellio menjauhkan wajahnya. Riehla tatap Ellio. "Terima kasih atas satu hari ini. First date yang gak akan aku lupakan."Ellio sentuh salah satu tangan Riehla, menggenggamnya lembut. "Terima kasih sudah bersedia menerima perasaan saya.""Terima kasih sudah bersedia menerima perasaan aku juga." Seraya tersenyum.Ellio lepas tangan Riehla. Riehla buka sabuk pengaman, lalu menoleh ke arah Ellio. "Hati-hati." Ellio membalasnya dengan t
Hari itu Yura hanya cedera sedikit dan tidak lama berada di Rumah Sakit. Dan sejak saat itu hingga sudah hari ke-tiga Riehla tidak bertemu Ellio. Lebih baik dari hari pertama, Ellio dapat mengirim pesan atau menelepon hanya untuk menanyakan Riehla sedang apa. Riehla pikir ia tidak apa-apa tidak bertemu Ellio sehari pun, karena sebelum memulai hubungan dengan Ellio, Riehla tahu sesibuk apa Ellio.Teringat perkataannya saat di Pantai. Riehla bilang jika ia tidak apa jarang bertemu dengan Ellio. Nyatanya tidak seperti itu. Sudah tiga hari Riehla menahan rindu ingin bertemu Ellio. Bukannya tidak cukup hanya dengan berkomunikasi via telepon, hanya saja kurang puas. Di hari libur pun Ellio masih sibuk dengan kerjaan. Sepertinya Ellio lupa jika sesibuk sibuknya dirinya ia akan berusaha meluangkan waktu untuk Riehla. Mana yang katanya akan berusaha membuat Riehla bahagia?Seharusnya hari ini ia pergi dengan Ellio, jadinya ia pergi sendirian ke Toko Buku yang ada di Mall. Melihat-lihat buku. I
Mereka bertiga yang ada di meja makan tengah berbincang hangat dengan sesekali tertawa. Rasanya seperti Riehla memang bagian dari keluarga itu. "Rasanya kayak aku punya Kakek lagi," ucap Riehla."Kakek kan memang Kakek kamu." Lalu, meminum habis air putih yang tinggal sedikit."Kayaknya gak lama lagi kamu benar-benar akan menjadi bagian dari kita," ujar Yura dengan santainya."Walau akhirnya kamu gak jadi sama Lio, kamu akan tetap Kakek anggap sebagai Cucu."Riehla tersenyum. Ia belum memberitahu Kakek jika hubungannya dengan Ellio kembali membaik. "Riehla sama Kak Ellio sudah balikan," kata Yura."Benar?" tanya Kakek sembari menatap serius Riehla yang ada di hadapannya."Iya." Seraya tersenyum."Bahagia dengarnya," ujar Kakek dengan wajah terharu. Pria lansia itu benar-benar berharap bahwa yang akan menjadi Cucu Menantu-nya adalah Riehla."Kakek harap gak ada lagi perpisahan di antara kalian." Riehla hanya membalasnya dengan lengkungan manis yang menghiasi bibirnya.Beberapa saat kem
"Nanti kamu saja yang antar aku pulang," ucap Riehla di sela makan roti bakar dengan selai kacang."Yakin?" Sembari menatap Riehla yang berada di hadapannya."Aku gak mungkin terus diam. Kita gak berbuat salah, sudah sepantasnya Ibu tahu soal hubungan kita."Ellio tersenyum. "Senang dengarnya." Lalu, digigitnya roti bakar dengan selai cokelat.Ketika Riehla sedang mencuci peralatan bekas makan, Ellio yang duduk di kursi makan, merogoh saku celana bahannya. Mencoba menelepon Yura."Hallo, Kak.""Gak jadi antar Riehla pulang." Sembari menatap Riehla yang sibuk dengan kegiatannya."Kenapa? Riehla gak mau? Seingat aku kita sudah membereskan masalah kita.""Kak Ellio yang akan antar Riehla.""Ohh, kira aku Riehla gak mau diantar aku.""Ya sudah, Kak Ellio cuma mau bilang itu.""Mm."Berdiri dari duduk, kembali memasukkan handphone ke dalam saku. Berjalan mendekati Riehla dan berdiri tepat di belakang Riehla. Melingkarkan tangannya yang cukup kekar itu di perut rata Riehla. "Menurut kamu Ib
"Saya rasa gak ada yang bisa mengalahkan masakan kamu," ujar Ellio setelah memakan spaghetti dan roti baguette dengan topping paprika, nanas dan smoked beef."Di langit masih ada langit." Lalu, memasukkan gulungan spaghetti ke dalam mulut."Saya rasa gak ada yang bisa mengalahkan. Mereka gak punya cinta yang kamu berikan buat saya," jelas Ellio. Lalu, tersenyum konyol.Riehla hanya bisa menggelengkan kepala mendengarnya. Hari tiap hari sikap Ellio semakin menghangat dan terlihat sangat mencintai Riehla. "Kamu bilang Ibu malam ini gak pulang, berarti aku boleh dong bermalam di sini?""Kamu bisa tidur di Kamar aku."Mendadak wajah Ellio berubah. Tersenyum penuh makna. "Ada apa dengan wajah dan senyum itu?!" Sembari menatap Ellio dengan sorot mata tidak habis pikir dengan apa yang sedang dipikirkan lelaki satu itu. Riehla terlalu cukup mengerti."Gimana kalau tiba-tiba Ibu pulang?""Apa masalahnya? Aku kan tidur di Kamar Ibu."Sontak raut wajah Ellio berubah. Lesu. Tidak sesuai dengan ap
Menghentikan langkah kaki di depan lift dengan beberapa karyawati dan ada Lusi juga di sana. "Pagi, Bu." Riehla menyapa Lusi yang berada tepat di depannya. Namun, Lusi hanya diam. Apakah Lusi tidak mendengarnya? Tidak mungkin. Lusi sedang tidak memakai earphone bahkan tidak lagi melamun. Saat orang di sampingnya mengajak ngobrol, Lusi menjawab.Ada apa dengan Lusi? Terlihat jelas mengabaikan Riehla. Lusi bukan seseorang yang suka mengabaikan orang lain. Semua orang masuk ke dalam lift dan Riehla berdiri di samping Lusi. Sampai Riehla keluar lebih dahulu, Lusi tidak juga mengatakan sepatah kata pun. Riehla tentu memikirkannya.Beberapa saat kemudian...Riehla yang sedang sibuk dengan pekerjaannya memeriksa beberapa buku baru, datang Kepala Editor yang seorang laki-laki itu menaruh tiga lembar kertas dengan nama para Penulis di atas meja. Riehla ambil kertas, melihatnya. Menoleh ke arah Kepala Editor."Daftar Penulis yang karyanya harus selesai kamu tinjau hari ini. Ada sekitar 300 Penu
'Hufftthhh' entah sudah ke berapa kalinya helaan itu terdengar sejak kemarin. Walau seperti itu tidak ada alasan Riehla untuk mengeluh. Ia hanya seorang karyawan yang sudah sepatuhnya mengerjakan apa yang diinginkan atasan."Sudah waktunya makan siang dan Bu Lusi memberitahu saya kalau beliau akan mentraktir kita di Restaurant depan Kantor. Oh ya, Riehla sebaiknya kamu ikut. Ada baiknya makan dulu." Sembari berdiri di depan meja kerja-nya."Ada baiknya segera menyelesaikan pekerjaan dengan begitu bisa pulang tepat waktu," ujar Lusi sembari berjalan masuk.Riehla yang mendengar itu tak masalah. Tidak mengharapkan juga bahwa Lusi akan membujuknya makan siang dahulu. Lagi pula Riehla saat bekerja di tempat Ellio sering melewatkan makan siang. Itu bukan apa-apa. Satu persatu orang meninggalkan ruangan, dan Riehla terus fokus pada pekerjaannya.Datang seorang laki-laki dengan helm yang masih dipakainya dengan salah satu tangan memegang paper bag. "Permisi," ucap laki-laki itu.Riehla menol
Sebuah gelas plastik meluncur seperti itu saja menyentuh dinginnya lantai, menumpahkan cairan cokelat yang pekat. Perempuan yang sebelumnya fokus mengetikkan sesuatu pada handphone sembari berjalan itu, mengangkat kepalanya. Manik mata Riehla yang terkejut dan merasa bersalah itu bertemu dengan manik mata Lusi yang mematikan. Seperti siap membunuh Riehla kapan saja. "Maaf, Bu. Saya benar-benar minta maaf." Dengan wajah penuh penyesalan.Riehla memaki dirinya sendiri. Bukan hanya sekedar menumpahkan kopi, ia juga membuat baju Lusi yang berwarna putih itu menjadi kotor. Lusi menghela nafas, berat. "Kalau jalan itu lihat ke depan!""Saya gak akan mengulanginya lagi.""Oh ya? Saya nggak yakin. Kamu mungkin akan melakukan kesalahan yang sama. Saya rasa sudah salah menerima kamu!"Iliana yang berada di samping Lusi, menatap tak percaya Adik-nya. Itu hanyalah masalah sepele tapi Lusi bertingkah seperti itu masalah besar. Riehla pun tidak menyangka bahwa apa yang sudah ia lakukan itu akan mem
Ada yang kebakar tapi bukan dengan api. Sudah 3 hari ini Kenzo tak ada kabar sama sekali. Terlebih Zena melihat postingan Kenzo seperti bersenang-senang dengan orang-orang asing itu. Tak satu pun yang wajahnya Zena kenal.Zena pikir selama kepergian lelaki itu Kenzo akan rajin memberi kabar. Nyatanya..."Kamu bisa membuatnya jatuh cinta kepada-mu meski dia tak cinta." Yura yang duduk di samping Zena di sofa panjang, bernyanyi menggoda Zena."Kayaknya memang gak cinta," ujar Zena sembari menatap handphone di mana layar penuh wajah Kenzo. Zena sedang melihat-lihat foto pada sosial media Kenzo."Cinta, Na. Kalau gak ada rasa gak mungkin kelihatan ngedeketin gitu." Masih dengan menatap Zena.Zena menoleh ke arah Yura. Menatap Yura dengan wajah serius. "Gak bisa, Yura."Yura membalas dengan wajah tak kalah serius. "Kelihatan banget kalau kamu gak mau kehilangan Kenzo. Masih mau menolak keberadaannya?"Diam itulah yang sedang Zena lakukan. Zena masih bingung dengan dirinya sendiri. Di satu
Sejak dari tempat permainan hingga kini berada di salah satu Restaurant yang dilakukan Kenzo hanya diam dengan terus mengawasi anak-anak itu. Sungguh seperti seorang pengasuh.Kenzo yang duduk tepat di hadapan Zena melihat betapa perhatiannya Adit pada Zena. Pemuda yang duduk di samping Kenzo itu benar-benar memperlihatkan ketertarikannya pada gadis cantik dan lembut inceran Kenzo."Habis ini kamu langsung pulang atau mau ikut jenguk Resti?" tanya Dania pada Zena."Ikut.""Aku ikut," ujar Adit.Kenzo yang mendengar itu rasanya ingin ikut juga tetapi nanti terlihat aneh. Adit sih sah-sah saja jika ikut, Adit kan sahabatnya Resti juga."Besok saya melakukan penerbangan ke Singapore dan akan berada di sana selama satu minggu, Na." Sembari menatap Zena.Zena yang jelas mendengar ucapan Kenzo, memilih diam. Kenzo yang melihat itu tentu sedikit sedih karena tidak mendapat respon dari gadis yang ia suka.Beberapa saat kemudian...Zena sudah berada di dalam taxi yang melaju bersama Dania dudu
Zena tahu jika semua orang mendukung Zena memiliki hubungan dengan Kenzo. Berjam-jam bersama Kenzo pun membuat Zena menyadari jika ia mulai menyukai Kenzo. Tetapi seragam putih abu-abu itu seperti pembatas bagi Zena.Di hadapannya sudah terdapat dua box pizza beda topping yang terletak di meja kerja. Ya, mereka berada di Ruang Kerja sang Direktur yang tak lain adalah Kenzo."Dimakan, Na." Yang duduk di kursi kerja-nya.Zena ambil sepotong pizza yang digigit kecil. "Habis ini mau pulang apa masih mau di sini?""Pulang saja, Kak.""Ya sudah, nanti saya antar.""Gak usah. Aku bisa naik ojek online." Lalu, menggigit pizza."Lebih baik saya yang antar.""Gak, Kak!" tegas Zena.Jika sudah seperti itu Kenzo hanya bisa diam yang berarti mengiyakan maunya Zena. Belum apa-apa Kenzo sudah belajar mengalah.Bahkan ketika Zena menyuruh Kenzo ikut makan pria matang itu menurut. Seolah Kenzo tidak ingin memulai perdebatan dengan gadis kecil itu.Sama seperti Ellio yang menganggap Zena gadis kecil wa
Buku yang ingin Zena ambil nyatanya terlalu jauh untuk digapainya hingga gadis itu berjinjit dan buku melayang jatuh ke lantai. Untung tidak mengenai kepala Zena. Saat Zena hendak mengambil buku fisika itu terlihat tangan yang lebih besar dan kekar dari tangannya menyentuh buku juga.Tanpa menyingkirkan tangan dari buku Zena yang posisi jongkok, mengangkat kepala dan manik matanya bertemu dengan manik mata Adit. Mendadak entah mengapa momen itu mengingatkan Zena pada buku yang jatuh di Toko buku.Zena berdiri dari jongkok dengan membiarkan Adit yang mengambil buku itu. Adit berikan buku pada Zena yang mengucapkan terima kasih lalu berlalu dari sana mencari tempat duduk masih di Perpustakaan.Buku sudah dibuka tetapi pikirannya malah berada di tempat lain. Mata memang mengarah ke deretan huruf dan angka, tetapi otaknya penuh dengan wajah Kenzo. Niat ke Perpus untuk fokus belajar tetapi...Adit mengambil posisi duduk di sebelah Zena dengan buku yang sama diletakkan di meja. Menatap Zena
Setelah mengantri membeli tiket Kenzo mengajak Zena membeli popcorn. Memberikan popcorn lumayan banyak itu pada Zena. Berjalan ke arah studio tempat film yang akan mereka tonton.Mereka langsung masuk lantaran orang-orang yang menonton di jam sebelumnya telah meninggalkan ruangan. Kenzo yang memegang potongan tiket memimpin jalan mencari tempat duduk mereka.Duduk di bagian bangku yang ada 4 buah. Zena kebetulan berada di dekat dinding. Menaruh cup popcorn di tempat yang tersedia untuk menaruh popcorn atau botol.Sebelum film diputar, handphone yang berada di tas selempang kecil bergetar. Zena segera mengambilnya dan terdapat panggilan video dari Eden."Bisa-bisanya Kak Zena pergi tanpa aku!" keluh Eden. Bibir anak kecil itu pun nampak maju."Lain kali.""Kapan?""Sudah ya, Den. Filmnya mau mulai."Sebelum Eden membuka mulut dengan cepat Zena mengakhiri panggilan video itu. Memasukkan kembali handphone ke dalam tas tak lupa memasang mode diam."Minggu besok kita bisa nonton film lagi
"Kamu suka Zena?" tanya Ellio tiba-tiba dan itu berhasil membuat Zena sedikit tersedak makanan hingga batuk-batuk."Papa apa-apaan sih!" ucap Zena tegas setelah meminum seteguk air bening."Saya gak suka kalau ada yang mau main-main sama putri saya!" Dengan nada tegas dan wajah serius.Zena semakin dibuat tak percaya oleh pria paruh baya itu. Menoleh ke arah Kenzo dengan raut wajah tidak enak. Bagaimana bisa Ellio menanyakan hal seperti itu pada lelaki yang baru 3 kali Zena temui. Itu pun hanya pertemuan singkat."Kalau suka sama Kak Zena gerak cepat deh soalnya yang suka sama Kak Zena bukan cuma Kakak," ujar Eden yang akhirnya ikut bicara. Lalu, memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut."Kalian kenapa sih?!" ucap Zena dengan wajah mulai frustasi dengan kelakuan Papa dan Adik-nya itu."Zena cantik dan kelihatan baik. Siapa yang gak suka sama dia," ucap Kenzo setelah lama terdiam."Kak Kenzo gak perlu merespon perkataan gak jelas Papa sama Eden." Sembari menatap Kenzo."Apa yang saya
"Zena?"Sontak Zura menoleh ke sumber suara di mana seorang lelaki yang ia kenal berjalan ke arahnya. Lelaki yang hari itu terus menatapnya seolah tertarik dengan Zen."Kak Kenzo," ucap Zena sembari duduk.Kenzo mendudukkan diri di samping Zena. "Sendiri?""Lagi nunggu teman.""Saya kira sendiri. Hampir saja saya mengajak kamu makan sama saya."Zena yang mendengar itu dibuat sedikit tak percaya. Kenzo sedang menggodanya atau apa?"Kalau aku sendiri Kak Kenzo mau ajak aku makan?""Iya. Kenapa? Kamu gak mau?""Mau kok asalkan Kak Kenzo yang bayar makanannya.""Tentu saja."Asal ada suara yang terdengar memanggil Zena, bukan hanya Zena yang menoleh Kenzo juga ikut menoleh. Nampak Rasti dan Adit."Loh, kok kamu ikut? Bukannya ada latihan?" tanya Zena yang sudah berdiri. Sembari menatap Adit."Latihannya diganti sore.""Ini siapa, Zen?" tanya Rasti sembari menatap Kenzo yang juga sudah berdiri."Seseorang yang aku kenal.""Maksudnya?" Rasti nampak bingung."Sebaiknya kita segera pergi nant
12 tahun kemudian...Nampak seorang gadis berseragam putih abu-abu yang terduduk di salah satu kursi makan. Menatap nasi goreng dengan telor mata sapi di hadapannya tanpa menyentuhnya sedikit pun. Gadis itu terlihat sudah tergiur oleh nasi goreng di hadapannya. Seperti ingin segera mencicipi, tetapi..."Mari kita makan," kata pria berusia 40'an yang sudah ada beberapa rambut putih yang tumbuh.Dengan cepat gadis itu membaca doa dan menyantap nasi goreng yang terlihat dari wajah gadis itu bahwa ia menyukai nasi goreng tersebut."Gak menghormati yang masak! Masa aku ditinggal makan," protes pemuda berseragam putih-merah. Duduk di samping gadis yang tak lain adalah Kakak-nya."Papa kan belum makan, Eden."Eden tersenyum pada Papa-nya yang bernama Ellio itu. "Selamat makan, Pa.""Selamat makan juga, sayang.""Selamat makan," timpal Zena sembari sedikit mengunyah."Makan tuh gak boleh ngomong." Sembari menatap Zena yang asik dengan nasi goreng-nya. Pemuda berusia 12 tahun itu pun hanya m
"Tiba-tiba mengalami henti jantung dan sekarang sedang Dokter sedang melakukan yang terbaik." Lalu, melangkah pergi dari sana dengan langkah cepat.Ellio termenung. Kakinya mulai terasa lemas dengan perasaan takut kian nyata. Bukan saat-saat manis yang mereka lewati bersama yang mulai bermunculan memenuhi kepala Ellio, melainkan momen ketika Ellio mengabaikan Riehla karena rasa tidak percayanya.Bagaimana jika semua ini terjadi karenanya? Ellio rasa ia telah benar-benar gagal menjadi suami. Bukannya seratus persen membahagiakan Riehla justru Ellio menyakitinya.Digenggamnya kedua tangan untuk menghilangkan rasa gugup yang sedikit pun tidak hilang. Melihat Dokter laki-laki keluar dari dalam sana, rasa dingin yang sedang ia rasakan karena cemas pun semakin menjadi.Tatapan Dokter itu Ellio tidak ingin melihatnya. Ellio tidak ingin Dokter itu mengatakan hal yang tidak bisa Ellio terima."Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan berkata lain. Saudari Riehla telah tiada."DegKalimat sa