Bukannya tidak percaya akan cinta yang diberikan Ellio selama ini. Tatapan tulus penuh cinta dan perhatian itu terlihat jelas terpancar di sana. Hanya saja kenapa Ellio harus menyembunyikannya dari Riehla? Memangnya kenapa jika menceritakannya? Menceritakan masa lalu bukan sesuatu yang buruk. Riehla tidak mengerti dengan apa yang berada di kepala Ellio.Seorang lelaki yang sedang mengemudikan mobil-nya, terus berusaha menghubungi sang kekasih yang sejak siang tadi tidak juga mengangkat teleponnya. Ini kali pertama Riehla mengabaikannya. Seingat Ellio sesibuk-sibuknya Riehla, perempuan itu masih sempat mengirim pesan. Tentu Ellio khawatir. Pikirannya sedetik pun tidak bisa lepas dari Riehla.Menghentikan mobil di depan Kantor Lily. Keluar dari dalam, menghentikan langkah kaki di depan pintu yang sudah ditutup. Mencoba melihat ke dalam yang sudah gelap. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang satpam."Apa semua karyawan sudah pulang?""Iya. Saya baru saja mengeceknya.""Gitu yaa." Mel
Ellio sandarkan kepala ke sandaran kursi, lalu melipat kedua tangan di depan dada. Tidak sepatah kata pun berhasil lolos dari mulut-nya. Yura yang melihat itu pun tahu apa yang sedang terjadi. "Mau kapan kalian seperti ini?" tanya Yura."Kamu sendiri sudah coba tanya Riehla?"Yura menggelengkan kepala. "Beberapa hari ini aku sibuk, jadi belum ada waktu bicara sama Riehla.""Kak Ellio gak tahu harus seperti apa.""Satu hal yang aku tahu, kalau jangan terlalu lama memberinya waktu. Bisa-bisa keadaan semakin buruk dan Kak Ellio kehilangan Riehla."Iliana melangkah masuk ke dalam Ruang Kerja sang Adik. Menarik kursi, mendudukkan diri. "Kakak dengar kamu gak kasih izin Riehla libur.""Kenapa? Bukannya itu bagus? Jadi mereka gak akan berdua menikmati indahnya liburan."Iliana menghela nafas, mulai frustrasi. "Harus sampai bertindak seperti ini?""Kalau Riehla lebih banyak waktu sama Kak Lio, kesempatan Kakak buat kembali akan semakin kecil.""Itu masalah Kakak, Lusi! Kamu gak ada hubunganny
Menikmati sejuknya udara Pantai siang itu yang sedikit berawan. Membiarkan kaki tanpa alas tersapu dinginnya air. Menatap lurus ke depan dengan kedua tangan yang berada di belakang badan. Pantai adalah pilihan terbaik saat ingin melepas stres. Walau beban tidak hilang sepenuhnya setidaknya ada detik di mana terasa sedikit ringan."Tante penasaran kenapa tiba-tiba kamu memutuskan ikut." Sembari menghentikan langkah kaki di samping Riehla."Mmm. Mendadak ingin ke Bali?" Lalu, menoleh ke arah Laras. Tersenyum lembut."Sebelumnya bersikeras menolak karena katanya banyak kerjaan. Apa saat ini kamu lagi lari dari tanggung jawab?" canda Laras.Membuat wajah seperti berpikir. "Sepertinya."Dari jarak yang cukup jauh, terdapat seorang lelaki tinggi, tampan dengan kulit putih pucat, dengan kacamata hitam yang dipakainya, berdiri dengan sorot mata terus melihat ke arah Riehla. Ya, lelaki itu Ellio. Pergi setelah membatalkan semua jadwal pekerjaan.Ellio menyetujui ucapan Yura jika ia sebaiknya t
Ellio gapai salah satu tangan Riehla yang hendak pergi dari hadapannya. Riehla menoleh ke arah Ellio dengan tatapan kecewa dan Ellio melepas tangan Riehla. "Saya gak bermaksud menyakiti kamu.""Sebaiknya kita bicarakan di Kamar kamu," ujar Riehla.Ellio ajak masuk Riehla ke dalam Kamar yang ditempatinya. Ellio berdiri di belakang Riehla dengan sedikit jauh. Riehla balikan tubuhnya. "Aku tahu kalau mungkin kamu gak suka bahas masa lalu. Mengingatnya. Aku tahu yang paling penting masa kini. Tapi ... aku perlu tahu tentang masa lalu kamu. Kalau kamu cerita senggaknya sedikit, kesalahpahaman ini gak mungkin ada.""Maaf.""Sebenarnya aku ini penting gak sih buat kamu?""Kamu sangat penting buat saya.""Kenapa gak cerita soal Bu Iliana? Apa karena masih ada perasaan? Dan kalau kamu mengingatnya kamu seperti akan siap berlari ke arahnya?"Ellio menggelengkan kepala dengan wajah sedih. Ia sedih harus melihat betapa kecewanya Riehla. "Saat memutuskan memulai hubungan sama kamu, saya sudah lupa
Mengganti beberapa hari mereka yang dilewati secara masing-masing, hari ini Riehla tidak bersama Tante-nya, perempuan itu lebih meluangkan waktu untuk sang kekasih. Riehla tidak bisa terus membuat Ellio merasa kesepian. Di bawah langit yang cerah siang itu, Riehla sedang mengendarai sepeda bersama Ellio yang mengendarai sepeda juga, di belakang Riehla.Kedua orang itu terlihat menikmati kegiatan bermain sepeda. Ellio sedikit mempercepat laju sepedanya sampai berada di samping Riehla. Sesekali menoleh ke arah Riehla yang sibuk memperhatikan sekeliling. Senyum Riehla. Senyum yang terlihat bahagia. Ellio tidak ingin membuatnya menghilang."Gimana kalau habis ini kita ganti sepeda?" tanya Ellio sembari sesekali menatap Riehla."Untuk apa? Sepeda yang aku pakai sudah nyaman." Lalu, menoleh ke arah Ellio."Satu sepeda saja. Kamu tinggal duduk di belakang, biar saya yang mengendarainya."Mengikuti keinginan Ellio agar pria-nya itu happy, Riehla duduk di belakang. Tidak lupa berpegangan yang
"Welcome back!" ucap Intan dengan wajah sesenang itu menyambut kembalinya Riehla.Riehla yang melihat itu senang. Tersenyum hangat pada Kepala Editor yang ia rindukan. Bukan hanya Ellio yang siap menerimanya kapan saja, dan Riehla bersyukur akan hal itu.Intan rentangkan kedua tangan, mengisyaratkan bahwa Riehla boleh memeluknya. Riehla peluk Intan yang membalas pelukan Riehla."Saya kira kamu gak akan kembali," ucap Intan setelah pelukan berakhir."Habisnya cuma di sini tempat yang paling nyaman.""Kamu tenang saja. Tempat kamu tetap menjadi tempat kamu." Lalu, menarik Riehla ke meja kerja di mana masih seperti saat itu.Setelah kembali rasanya benar-benar seperti Rumah. "Selamat datang kembali," ucap Editor perempuan yang mejanya berada di samping Riehla. Sembari tersenyum. Editor perempuan yang masih sama.Adakah tempat kerja yang senyaman ini? Riehla terharu. Tidak salah pilih. Keputusannya benar. "Kalau gitu saya tinggal," ucap Intan. Riehla hanya membalas dengan senyuman.Alih-a
Bukan hanya Intan yang terlihat menunggu jawaban Ellio, karyawan perempuan lain pun nampak menunggunya. Hampir semua karyawan perempuan dalam hati berharap jika mereka masih memiliki kesempatan 'memikat hati Ellio'. Riehla teguk sedikit minuman bersodanya dalam gelas. Perempuan itu sedang gugup. Sedikit gelisah. Apakah Riehla akan memberitahu semuanya?"Iya." Sembari menatap Intan.Nampak wajah-wajah lesu. "Siapa?" tanya Intan yang tidak bisa berhenti. Ia merasa perlu lanjut ke putaran kedua.Semua orang kembali menunggu termasuk Riehla yang kali ini lebih menunggu. Semakin gelisah. Bagaimana jika Ellio mengungkapkannya? Riehla belum siap orang lain tahu. Saking gelisahnya yang dilakukan Riehla memegangi gelas yang ada di meja dengan kedua tangan, dan menatapnya.Ellio bisa melihatnya. Wajah tegang Riehla. "Saya rasa kalian gak perlu tahu." Lalu, meneguk minuman bersoda miliknya.Intan dan mereka yang menyukai Ellio merasa kurang puas dengan jawaban itu. Mereka ingin sekali tahu pere
Riehla berusaha mengejar Ellio yang terus jalan dengan langkah pasti. Saat sudah berada di luar, tiba-tiba Riehla terjatuh dan itu cukup sakit. Tersandung kakinya sendiri. Ellio mencoba menoleh ke arah belakang dan ia dapati Riehla yang terduduk di aspal.Siapa pun pasti akan berpikir jika Riehla tidak sengaja melakukannya. Ellio hampiri Riehla dengan wajah khawatir. Ellio pikir pasti Riehla terjatuh. "Kamu gakpapa?" tanya Ellio yang sudah jongkok di hadapan Riehla."Gakpapa." Ellio bantu Riehla berdiri dan mata elangnya sempat menangkap ada luka di telapak tangan Riehla.Digapainya tangan Riehla yang terluka. Ellio tatap luka kecil yang mengeluarkan darah itu. Ellio tarik salah satu tangan Riehla dengan lembut. Membawanya masuk ke dalam mobil. Saat sudah sama-sama terduduk, Ellio bersihkan luka Riehla dengan alkohol dan kapas yang ia miliki.Sekecewa-kecewanya Ellio, lelaki itu masih perhatian. Riehla perhatikan Ellio yang membuat Riehla semakin merasa bersalah. Terakhir Ellio berika
Ada yang kebakar tapi bukan dengan api. Sudah 3 hari ini Kenzo tak ada kabar sama sekali. Terlebih Zena melihat postingan Kenzo seperti bersenang-senang dengan orang-orang asing itu. Tak satu pun yang wajahnya Zena kenal.Zena pikir selama kepergian lelaki itu Kenzo akan rajin memberi kabar. Nyatanya..."Kamu bisa membuatnya jatuh cinta kepada-mu meski dia tak cinta." Yura yang duduk di samping Zena di sofa panjang, bernyanyi menggoda Zena."Kayaknya memang gak cinta," ujar Zena sembari menatap handphone di mana layar penuh wajah Kenzo. Zena sedang melihat-lihat foto pada sosial media Kenzo."Cinta, Na. Kalau gak ada rasa gak mungkin kelihatan ngedeketin gitu." Masih dengan menatap Zena.Zena menoleh ke arah Yura. Menatap Yura dengan wajah serius. "Gak bisa, Yura."Yura membalas dengan wajah tak kalah serius. "Kelihatan banget kalau kamu gak mau kehilangan Kenzo. Masih mau menolak keberadaannya?"Diam itulah yang sedang Zena lakukan. Zena masih bingung dengan dirinya sendiri. Di satu
Sejak dari tempat permainan hingga kini berada di salah satu Restaurant yang dilakukan Kenzo hanya diam dengan terus mengawasi anak-anak itu. Sungguh seperti seorang pengasuh.Kenzo yang duduk tepat di hadapan Zena melihat betapa perhatiannya Adit pada Zena. Pemuda yang duduk di samping Kenzo itu benar-benar memperlihatkan ketertarikannya pada gadis cantik dan lembut inceran Kenzo."Habis ini kamu langsung pulang atau mau ikut jenguk Resti?" tanya Dania pada Zena."Ikut.""Aku ikut," ujar Adit.Kenzo yang mendengar itu rasanya ingin ikut juga tetapi nanti terlihat aneh. Adit sih sah-sah saja jika ikut, Adit kan sahabatnya Resti juga."Besok saya melakukan penerbangan ke Singapore dan akan berada di sana selama satu minggu, Na." Sembari menatap Zena.Zena yang jelas mendengar ucapan Kenzo, memilih diam. Kenzo yang melihat itu tentu sedikit sedih karena tidak mendapat respon dari gadis yang ia suka.Beberapa saat kemudian...Zena sudah berada di dalam taxi yang melaju bersama Dania dudu
Zena tahu jika semua orang mendukung Zena memiliki hubungan dengan Kenzo. Berjam-jam bersama Kenzo pun membuat Zena menyadari jika ia mulai menyukai Kenzo. Tetapi seragam putih abu-abu itu seperti pembatas bagi Zena.Di hadapannya sudah terdapat dua box pizza beda topping yang terletak di meja kerja. Ya, mereka berada di Ruang Kerja sang Direktur yang tak lain adalah Kenzo."Dimakan, Na." Yang duduk di kursi kerja-nya.Zena ambil sepotong pizza yang digigit kecil. "Habis ini mau pulang apa masih mau di sini?""Pulang saja, Kak.""Ya sudah, nanti saya antar.""Gak usah. Aku bisa naik ojek online." Lalu, menggigit pizza."Lebih baik saya yang antar.""Gak, Kak!" tegas Zena.Jika sudah seperti itu Kenzo hanya bisa diam yang berarti mengiyakan maunya Zena. Belum apa-apa Kenzo sudah belajar mengalah.Bahkan ketika Zena menyuruh Kenzo ikut makan pria matang itu menurut. Seolah Kenzo tidak ingin memulai perdebatan dengan gadis kecil itu.Sama seperti Ellio yang menganggap Zena gadis kecil wa
Buku yang ingin Zena ambil nyatanya terlalu jauh untuk digapainya hingga gadis itu berjinjit dan buku melayang jatuh ke lantai. Untung tidak mengenai kepala Zena. Saat Zena hendak mengambil buku fisika itu terlihat tangan yang lebih besar dan kekar dari tangannya menyentuh buku juga.Tanpa menyingkirkan tangan dari buku Zena yang posisi jongkok, mengangkat kepala dan manik matanya bertemu dengan manik mata Adit. Mendadak entah mengapa momen itu mengingatkan Zena pada buku yang jatuh di Toko buku.Zena berdiri dari jongkok dengan membiarkan Adit yang mengambil buku itu. Adit berikan buku pada Zena yang mengucapkan terima kasih lalu berlalu dari sana mencari tempat duduk masih di Perpustakaan.Buku sudah dibuka tetapi pikirannya malah berada di tempat lain. Mata memang mengarah ke deretan huruf dan angka, tetapi otaknya penuh dengan wajah Kenzo. Niat ke Perpus untuk fokus belajar tetapi...Adit mengambil posisi duduk di sebelah Zena dengan buku yang sama diletakkan di meja. Menatap Zena
Setelah mengantri membeli tiket Kenzo mengajak Zena membeli popcorn. Memberikan popcorn lumayan banyak itu pada Zena. Berjalan ke arah studio tempat film yang akan mereka tonton.Mereka langsung masuk lantaran orang-orang yang menonton di jam sebelumnya telah meninggalkan ruangan. Kenzo yang memegang potongan tiket memimpin jalan mencari tempat duduk mereka.Duduk di bagian bangku yang ada 4 buah. Zena kebetulan berada di dekat dinding. Menaruh cup popcorn di tempat yang tersedia untuk menaruh popcorn atau botol.Sebelum film diputar, handphone yang berada di tas selempang kecil bergetar. Zena segera mengambilnya dan terdapat panggilan video dari Eden."Bisa-bisanya Kak Zena pergi tanpa aku!" keluh Eden. Bibir anak kecil itu pun nampak maju."Lain kali.""Kapan?""Sudah ya, Den. Filmnya mau mulai."Sebelum Eden membuka mulut dengan cepat Zena mengakhiri panggilan video itu. Memasukkan kembali handphone ke dalam tas tak lupa memasang mode diam."Minggu besok kita bisa nonton film lagi
"Kamu suka Zena?" tanya Ellio tiba-tiba dan itu berhasil membuat Zena sedikit tersedak makanan hingga batuk-batuk."Papa apa-apaan sih!" ucap Zena tegas setelah meminum seteguk air bening."Saya gak suka kalau ada yang mau main-main sama putri saya!" Dengan nada tegas dan wajah serius.Zena semakin dibuat tak percaya oleh pria paruh baya itu. Menoleh ke arah Kenzo dengan raut wajah tidak enak. Bagaimana bisa Ellio menanyakan hal seperti itu pada lelaki yang baru 3 kali Zena temui. Itu pun hanya pertemuan singkat."Kalau suka sama Kak Zena gerak cepat deh soalnya yang suka sama Kak Zena bukan cuma Kakak," ujar Eden yang akhirnya ikut bicara. Lalu, memasukkan sesendok makanan ke dalam mulut."Kalian kenapa sih?!" ucap Zena dengan wajah mulai frustasi dengan kelakuan Papa dan Adik-nya itu."Zena cantik dan kelihatan baik. Siapa yang gak suka sama dia," ucap Kenzo setelah lama terdiam."Kak Kenzo gak perlu merespon perkataan gak jelas Papa sama Eden." Sembari menatap Kenzo."Apa yang saya
"Zena?"Sontak Zura menoleh ke sumber suara di mana seorang lelaki yang ia kenal berjalan ke arahnya. Lelaki yang hari itu terus menatapnya seolah tertarik dengan Zen."Kak Kenzo," ucap Zena sembari duduk.Kenzo mendudukkan diri di samping Zena. "Sendiri?""Lagi nunggu teman.""Saya kira sendiri. Hampir saja saya mengajak kamu makan sama saya."Zena yang mendengar itu dibuat sedikit tak percaya. Kenzo sedang menggodanya atau apa?"Kalau aku sendiri Kak Kenzo mau ajak aku makan?""Iya. Kenapa? Kamu gak mau?""Mau kok asalkan Kak Kenzo yang bayar makanannya.""Tentu saja."Asal ada suara yang terdengar memanggil Zena, bukan hanya Zena yang menoleh Kenzo juga ikut menoleh. Nampak Rasti dan Adit."Loh, kok kamu ikut? Bukannya ada latihan?" tanya Zena yang sudah berdiri. Sembari menatap Adit."Latihannya diganti sore.""Ini siapa, Zen?" tanya Rasti sembari menatap Kenzo yang juga sudah berdiri."Seseorang yang aku kenal.""Maksudnya?" Rasti nampak bingung."Sebaiknya kita segera pergi nant
12 tahun kemudian...Nampak seorang gadis berseragam putih abu-abu yang terduduk di salah satu kursi makan. Menatap nasi goreng dengan telor mata sapi di hadapannya tanpa menyentuhnya sedikit pun. Gadis itu terlihat sudah tergiur oleh nasi goreng di hadapannya. Seperti ingin segera mencicipi, tetapi..."Mari kita makan," kata pria berusia 40'an yang sudah ada beberapa rambut putih yang tumbuh.Dengan cepat gadis itu membaca doa dan menyantap nasi goreng yang terlihat dari wajah gadis itu bahwa ia menyukai nasi goreng tersebut."Gak menghormati yang masak! Masa aku ditinggal makan," protes pemuda berseragam putih-merah. Duduk di samping gadis yang tak lain adalah Kakak-nya."Papa kan belum makan, Eden."Eden tersenyum pada Papa-nya yang bernama Ellio itu. "Selamat makan, Pa.""Selamat makan juga, sayang.""Selamat makan," timpal Zena sembari sedikit mengunyah."Makan tuh gak boleh ngomong." Sembari menatap Zena yang asik dengan nasi goreng-nya. Pemuda berusia 12 tahun itu pun hanya m
"Tiba-tiba mengalami henti jantung dan sekarang sedang Dokter sedang melakukan yang terbaik." Lalu, melangkah pergi dari sana dengan langkah cepat.Ellio termenung. Kakinya mulai terasa lemas dengan perasaan takut kian nyata. Bukan saat-saat manis yang mereka lewati bersama yang mulai bermunculan memenuhi kepala Ellio, melainkan momen ketika Ellio mengabaikan Riehla karena rasa tidak percayanya.Bagaimana jika semua ini terjadi karenanya? Ellio rasa ia telah benar-benar gagal menjadi suami. Bukannya seratus persen membahagiakan Riehla justru Ellio menyakitinya.Digenggamnya kedua tangan untuk menghilangkan rasa gugup yang sedikit pun tidak hilang. Melihat Dokter laki-laki keluar dari dalam sana, rasa dingin yang sedang ia rasakan karena cemas pun semakin menjadi.Tatapan Dokter itu Ellio tidak ingin melihatnya. Ellio tidak ingin Dokter itu mengatakan hal yang tidak bisa Ellio terima."Kami sudah melakukan yang terbaik tapi Tuhan berkata lain. Saudari Riehla telah tiada."DegKalimat sa