“Kakek tidak bisa menjawab itu, Lita… maafkan kakek.” “Maaf, saya malah bertanya sampai seperti itu,” ucap Lita terburu-buru. Pria itu mengalihkan pandangannya ke arah lain dan hal tersebut semakin membuat Lita terjebak dalam rasa penasaran tidak berujung. ‘Kalau tidak ada yang tau, aku tidak bisa bertanya…’ keluh Lita dalam hati. “Mama!” Panggilan dari Alen membuyarkan lamunan Lita. Ia langsung menoleh lalu mendekat ke arah putranya. “Kenapa lari-lari begitu? Nanti jatuh…” Bocah kecil itu tertawa. “Tante Sara mau memesan makanan, ku bilang ke tante kalau mama suka semua makanan tapi Alen tetap disuruh bertanya.” Lita tersenyum lalu pandangannya beralih ke arah Sara yang berjalan menuju ke tempatnya berdiri. “Saya suka semua makanan kok, tidak masalah mau dipesankan makanan apa,” ucap Lita sambil tersenyum ke arah Sara. “Begitu? Tidak ada alergi?” “Tidak ada.” “Hmmm, kalau begitu makan makanan kesukaan Ardan saja ya? Itu biasanya untuk dua orang, tapi Ardan jarang pesan ka
“Tentu saja karena om dan tantenya Lisa tidak ingin keponakannya tinggal di tempat yang sudah membuatnya trauma, memangnya kenapa lagi?’ “Ehmm, tidak… ku kira dia tidak punya saudara… seharusnya dia minta tolong sejak kecil.” Ardan memandang Lita dengan ekspresi menyelidik. Ia merasa seolah Lita tahu lebih banyak dari yang seharusnya. ‘Aku hanya mengatakan kalau keluarga Salim tidak terlalu peduli karena dia anak perempuan, tapi kenapa ucapan Lita seolah mengatakan Lisa mengalami penyiksaan sejak kecil?’ gumam Ardan dalam hati. “Lita…” “Ya?” “Kenapa kamu mengatakan dia harus minta tolong sejak kecil?” Lita menatap Ardan dengan ekspresi bingung. ‘Apa aku mengatakan sesuatu yang salah?’ “Ehmm ya, karena dia harus minta tolong jika memang sedang merasa kesulitan.” “Dia tidak pernah kesulitan sejak kecil.” Keduanya bertatapan dalam waktu lama dan Lita langsung menyadari ada bagian yang menurut Harsato tidak diketahui orang lain. “Ehmm, itu… kamu kan pernah bercerita kalau Lisa
“Ya?” “Alen main sama om Gi– om Vano dulu ya, mama mau ke rumah sakit sebentar.” “Mama sakit?” “Sedikit.” “Alen ikut ya.” Lita menggeleng pelan. “Kamu kan tidak boleh sering mengunjungi rumah sakit.” “Tapi nanti tidak ada yang menjaga mama.” “Mama pergi sama kak Silvia kok.” Bocah kecil itu menatap Lita dengan ekspresi khawatir. Namun ia sudah berjanji ke papanya untuk tidak merepotkan Lita terlalu sering. “Baiklah.” Lita tersenyum lalu mengecup kening Alen. Pandangan Lita beralih ke Gio yang menatap arah lain dengan ekspresi gelisah. “Gi– maksud ku Vano, titip Alen ya… kalau sudah selesai bermain langsung antar pulang saja.” “Ya, saya mengerti,” balas Gio gugup. Lita langsung bangkit dari tempat duduknya lalu melangkah menuju Silvia yang sedang mengamati dari kejauhan. “Silvia, kamu awasi Alen saja.” “Anda mau kemana?” “Pergi ke suatu tempat.” Wanita berkemeja hitam itu menatap Alen dengan ekspresi ragu. “Biar saya antar, saya ditugaskan untuk menjaga anda dan Alen.
Lita membalas pesan itu dengan tatapan mata kosong. Ia minta izin untuk ‘istirahat’ dan menjelaskan alasannya, juga alamat tempat ia berada sekarang supaya tidak dikira kabur. Perempuan itu juga meminta Ardan untuk meliburkan Silvia karena sedang ingin sendiri. Di luar dugaannya, Ardan justru mengiyakan tanpa banyak bertanya. ‘Tentu saja Gio pasti sudah melapor kan? Pfftt…’ Ia menertawakan dirinya sendiri lalu merutuki hatinya yang sangat lemah terhadap semua perhatian Ardan, juga cerita sedih pria itu selama ini. Tidak lama kemudian datang pesan dari Silvia yang mengatakan akan kembali karena diminta oleh Ardan. Lita mengiyakan tanpa menjelaskan apa pun. Ia sudah tidak punya tenaga untuk itu. Perempuan tersebut bangkit lalu menuju sofa dekat beranda. Ia membuka gorden dan membiarkan pemandangan matahari terbenam menghiburnya. Satu tahun lalu, di bulan tersebut Rey memutuskannya. Namun beberapa bulan lalu, ia baru mengetahui kebenaran penyebabnya. Keberadaannya seperti pasir ya
Ardan bangkit lalu melangkah ke arah rak wine yang tadi sempat dipandangi dalam waktu lama. Pria tersebut langsung mengambil satu botol yang berbeda. Ia juga membawa gelas dan es dari dapur. Semua benda itu diletakkan di atas meja yang sama dengan botol milik Lita. Ia memasukkan beberapa kotak es ke dalam gelas lalu menyiramnya dengan R**sling, salah satu wine terpopuler asal Jerman. “Kamu mengambil sesuatu yang tidak seharusnya kamu ambil,” gumam Lita sambil memandang ke arah Ardan yang masih menuangkan minuman. “Akan ku ganti lebih banyak nanti.” “Tidak semua hal bisa kamu ganti, Ardana Julian Harsato.” Pria di seberang Lita diam. Ia tahu jika Lita sudah memanggil nama lengkapnya, maka itu adalah penegasan secara jelas tentang rasa bencinya. Lita memijat dahinya lagi. “Kamu meninggalkan Alen sendiri.” “Zan menemaninya.” “Bahkan saat waktunya istirahat, dia pun harus bekerja,” gumam Lita sambil tertawa kecil. Ardan tidak menanggapi. Ia menyesap minumannya sambil memejamkan
((Peringatan!! Sebagian bab ini mengandung konten dewasa. Bagi pembaca di bawah umur atau yang ingin menjaga mata dan pikiran, dianjurkan langsung menuju bab selanjutnya.)) - “Aku benci dengan tindakan mu yang buruk, tapi aku berterimakasih karena kamu memperlakukan ku dengan baik,” gumam Lita pelan. Kelopak matanya terbuka lagi. Ia mengambil gelas Ardan lalu menyesap minuman tersebut sebagai bentuk protes karena tidak mendapat tanggapan. “Itu gelas ku,” ucap Ardan yang sudah bersiap merebut gelas tersebut. “Minuman dan gelas ini milik ku, hmmm… tapi tidak seenak V*N atau Sh*rry…” balas Lita yang kemudian meletakkan gelas tersebut sambil tertawa kecil. “Kebiasaan minum mu sangat buruk. Kamu harus istirahat, aku akan pulang.” “Kamu tidak takut aku melakukan sesuatu yang berbahaya?” “Kamu sudah bilang tidak akan melakukan itu.” “Pffttt…” “Kenapa tertawa?” “Apa yan
Setelah meninggalkan pesan untuk Lita, Ardan keluar dari unit apartemen tersebut pada pukul lima. Ia menemui satpam yang bertugas lalu berpesan beberapa hal sebelum kemudian pergi dengan mobil putihnya. Ardan sampai di kediamannya setengah jam kemudian. Zan sudah menunggu di depan setelah diminta untuk langsung bersiap. Alen juga terlihat duduk di samping Zan dengan mata yang terlihat masih mengantuk. “Kamu kenapa ikut menunggu di luar, Alen?” “Ingin melihat papa.” Pria itu tersenyum lalu mengangkat bocah tersebut, menciumi pipinya dengan gemas. “Maaf papa sering pergi, nanti setelah liburan kita bisa pergi bersama.” Bocah itu menatap ayahnya dengan ekspresi bingung. “Wangi mama, mama tidak ikut pulang?” Pandangan Ardan beralih ke Zan yang menatapnya selama beberapa waktu sebelum kemudian berdehem lalu melangkah menuju mobil hitam. “Mama mu sedang istirahat.” “Apa sakitnya parah?” “Ehmm… tidak kok, tapi hari ini biarkan mama istirahat, ya?” “Kenapa mama tidak istirahat di r
Usai sarapan, Lita membereskan apartemen tersebut lalu memandangi dirinya di depan cermin dalam waktu lama. Ia menghela nafas panjang lalu melangkah menuju lemari pakaian. Perempuan itu mengamati setiap baju yang tergantung dengan ekspresi serius. Ia menghela nafas panjang lagi lalu mengambil satu baju rajut panjang berwarna putih dengan kerah yang menutupi leher. Lita memadukan baju tersebut dengan terusan selutut bewarna hitam dengan ikatan tali di pinggangnya. Itu adalah baju yang paling disukainya saat kuliah dulu. Ia kembali ke depan cermin lalu memakai make up tipis kemudian menyisir rambutnya. ‘Sepertinya sudah lama aku tidak potong rambut… apa aku potong sedikit saja?’ Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ada pesan dari Silvia yang menawarkan diri untuk mengantar ke rumah sakit jika Lita merasa sedang tidak sehat. Pesan tersebut hanya dibaca dari pemberitahuan di beranda yang muncul, tanpa membuka pesan tersebut langsung. ‘Apa
Ardan menyilangkan tangannya. “Itu karena kamu menyibukkan diri dengan mengerjakan banyak hal tanpa menyempatkan diri mengobrol santai dengan yang lain bukan?“Kamu juga tidak pernah mau ku ajak makan bersama atau pulang bersama, tentu wajar jika mulai ada rumor seperti itu,” tambah Ardan.Lita terdiam, ia selama ini memang sengaja mengambil pekerjaan sebanyak mungkin untuk mengalihkan pikiran juga untuk menghindari pertemuan yang terlalu sering dengan Ardan.‘Sial… aku terlalu fokus dengan diriku sendiri tanpa memperhatikan apa yang terjadi di sekitar,’ keluh Lita dalam hati.“Maaf, aku tidak berpikir kalau akan ada rumor seperti itu.”Ardan menatap ‘istrinya’. Namun Lita tidak bisa memahami makna dari ekspresi tersebut.“Apa kamu bertemu dengan teman masa kecil mu lagi?”“Teman masa kecil? Siapa?” Lita mencoba mengingat semua kegiatannya lalu menggeleng. “Aku tidak bertemu dengan teman ku selama sebulan ini, yang ku temui hanya rekan kerja.”“Aku tidak tau sebenarnya ada apa, tapi f
Lita memijat dahinya pelan. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Perasaan terlarang yang tumbuh alami tanpa bisa dihentikan itu membuat ia merasa benci dengan dirinya sendiri.Meski ia sudah berusaha menepis dan mengalihkan perhatiannya kepada hal lain. Ia tetap tidak bisa mengurangi perasaan itu. Walaupun ia berusaha bersikap ketus dan dingin, ia kembali merasa hanyut saat Ardan bersikap hangat.Waktu sudah berlalu satu bulan sejak Ardan menegurnya, tapi Lita masih enggan menggunakan uang jatah bulanan yang ia dapatkan. Perempuan itu masih saja menggunakan uangnya sendiri untuk keperluannya dan juga membelikan makanan maupun mainan untuk Alen. Meski statusnya dalam keluarga itu hanyalah sebatas perjanjian, ia ingin menunjukkan rasa sayangnya yang tulus kepada Alen.Tentu saja Ardan masih memantau penggunaan uang yang diberikannya. Namun karena awal tahun disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan, ia masih belum menegur Lita lagi secara langsung.Lita sengaja mengambil ban
“Apa ini? Ada yang berulang tahun?” tanya Lita memastikan. Ardan mendekat lalu memberikan buket bunga dan hadiah ke Lita. “Tidak, tapi ini hari yang penting.” Lita menerima buket bunga dan hadiah itu sambil tersenyum meski merasa bingung. Ia berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya karena kakek dan neneknya sedang melihat. “Kamu pasti lupa kalau pada tanggal ini kita bertemu untuk pertama kalinya dulu,” ucap Ardan lagi. ‘Dia gila ya? apa perlu sejauh itu berpura-pura?? Lagi pula kakek dan nenek tidak perlu diperlihatkan seperti ini pun tetap percaya kalau dia suami ku…’ Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu menampilkan senyum senang. “Tentu aku ingat, itu hari yang spesial, tapi aku tidak menyangka kalau kamu menyiapkan ini.” “Ya, yang ku maksud urusan penting itu untuk menyiapkan ini.” ‘Seharusnya dia memang jadi aktor saja…’ gerutu Lita dalam hati. “Oh begitu? Kamu masih saja tetap romantis seperti dulu,” balas Lita dengan senyum yang dipaksakan. “Dia sangat perhatian
“Ehmm, sepertinya tidak bisa sekarang. Aku sudah janji akan langsung pulang begitu selesai acara…” “Janji?” Davin memandang ragu ke arah Lita lalu mengangguk pelan. “Oh begitu… maaf membuat mu tidak nyaman karena malah menawarkan minum kopi bersama.” “Tidak, tidak… aku senang, mungkin lain kali aku bisa meluangkan waktu.” “Tidak perlu memaksakan diri, aku bertemu dengan mu begini saja sudah senang.” Percakapan keduanya terhenti saat Rini tiba-tiba mendekat. “Lita, kamu sudah ingat dengan teman mu yang ini?” “Tentu aku ingat, walau tadi sempat tidak mengenali…” “Dia Davin yang ku maksud, yang titip salam untuk mu.” Dahi Lita mengernyit, ia baru teringat saat Rini mengatakan ia mendapat salam dari seseorang. Pandangan matanya beralih ke arah Davin yang tersenyum ke arahnya. “Oh… maaf, karena sudah lama tidak bertemu, aku jadi lupa…” “Kamu melupakan teman masa kecil mu?” tanya Davin yang kemudian tertawa. “
Alen sejak tadi menatap Lita yang sedang bersiap untuk acara reuni. Ekspresi bocah itu terlihat sedih meski sudah dijelaskan bahwa ibunya hanya pergi sebenar.“Aku tidak boleh ikut?” tanya Alen lagi.“Alen, mama hanya pergi sebentar kok.”“Tapi mama akan kembali kan?”“Tentu saja, kenapa bertanya begitu?”Bocah kecil itu tidak menjawab. Ia masih terlihat murung tapi tidak sampai menangis atau menahan Lita agar tidak pergi.Lita mendekati ‘putranya’ lalu mengusap pelan kepala bocah itu. “Mama hanya bertemu dengan teman-teman mama, setelah selesai nanti langsung pulang.”“Bagaimana kalau mama bertemu dengan orang lain?”‘Apa maksudnya? Orang lain? Tentu saja aku bertemu teman-teman ku yang adalah orang lain?’/klek…/Obrolan keduanya terhenti saat Ardan masuk ke ruangan itu. Pandangan mata pria itu menyelidik penampilan Lita mulai dari sepatu sampai anting yang dipakai.“Teman mu sudah datang.”“Oke.”Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu ia mencium keningnya. “Mama pergi dulu ya?”B
Perjalanan menuju rumah pada sore hari itu berlangsung panjang. Jalanan yang macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama dari seharusnya. Lita terbangun tepat saat mobil yang mereka naiki memasuki area komplek GrandC. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh ke sebelahnya. Alen terlihat tidur sambil bersandar di lengannya. “Maaf ya, tuan, nyonya, perjalanannya jadi sangat lama karena macet,” ucap pak supir begitu memasuki pekarangan rumah Ardan. “Tidak apa-apa kok, saya malah ada kesempatan istirahat.” “Ponsel mu sejak tadi sepertinya terus bunyi,” ucap Ardan mengabaikan perkataan pak supir. “Oh iya? Aku tidak dengar…” Ardan turun membawa Alen lebih dulu kemudian masuk rumah. Ekspresi pria itu terlihat seperti sedang memikirkan banyak hal dan itu membuat Lita merasa bingung. ‘Dia kenapa lagi?’ Lita masih terdiam di halaman rumah begitu turun dari kendaraan. Ia tiba-tiba kembali teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di kediaman itu. ‘Kalau waktu itu aku tida
Ardan tidak langsung menjawab, ia meletakkan ponsel dan dompetnya lalu berjalan menuju koper kemudian mengambil kaos lengan panjang. “Zan menghubungi ku, ada hal yang perlu ku periksa,” balas Ardan asal. “Bukankah dia juga sedang libur?” “Ya…” Lita mengalihkan pandangan matanya begitu Ardan langsung berganti pakaian di tempat. ‘Kenapa dia tidak ganti di kamar mandi saja sih?’ gerutu Lita dalam hati. Saat Lita mengalihkan pandangannya, Ardan tersenyum kecil. Ia menggantung kemeja yang tadi ia lepas lalu duduk di kursi dekat pintu. “Kenapa belum tidur?” Tatapan mata Lita kembali mengarah ke Ardan yang saat ini sedang menuang minuman. Ia bisa melihat dengan jelas ekspresi pria itu terlihat jauh lebih hangat dari sebelumnya. “Tadi siang aku sudah tidur, jadi sekarang aku belum mengantuk.” Setelah meneguk minuman di gelas, pandangan mata Ardan beralih ke putranya yang sedang terlelap. Kali ini ia terlihat sed
Ardan terdiam selama beberapa detik lalu secepat mungkin menutup pintu kembali. Lita yang sadar dari keterkejutannya pun langsung memakai kaos yang dipegangnya. Perempuan tersebut menghela nafas panjang lalu menyesali tindakannya. ‘Seharusnya aku berganti pakaian di kamar mandi…’ Sepuluh menit setelah itu Ardan baru masuk kembali ke dalam kamar dengan ekspresi canggung. “Aku mau ambil dompet…” “Oh… ya, ya.” balas Lita sambil mengangguk. Ada rasa canggung yang terlihat jelas dari gerak tubuhnya. “Aku akan keluar bersama saudara sepupu ku sampai malam… jadi tidak usah menunggu.” Lita mengangguk lagi. “Oke…” Pandangan keduanya bertemu, tapi Ardan langsung mengalihkan tatapannya ke arah Alen. Ia berusaha mengalihkan pikirannya. ‘Sial…’ “Kalau Alen terbangun dan menanyakan ku, hubungi aku,” ucap Ardan asal. “Ya…” “Kalau begitu, aku pergi dulu.” “Hati-hati di jalan…” Ardan melangkah pergi
Lita, Ardan dan Alen kembali ke kediaman Tanoro menjelang tengah malam. Ardan memang sengaja tidak di rumah neneknya lebih lama karena tidak ingin Lita bertemu dengan paman-pamannya lebih awal. Pria tersebut mengajak Lita dan Alen berkeliling ke berbagai tempat. Setelah mengenalkan kota kelahiran ibu kandungnya, mereka baru kembali ke rumah. “Maaf kami baru kembali, saya jadi tidak membantu menyiapkan makan malam,” ucap Lita dengan ekspresi bersalah. “Tidak apa-apa kok, nenek dengar Ardan memang sangat posesif,” balas Lasti Tanoro dengan senyum tipis. ‘Posesif?’ gumam Lita dalam hati sambil tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Sara yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, akhirnya mendekat ke arah Lita. “Ya, Ardan memang posesif, dia bahkan tidak mengijinkan Lita menginap di tempat ku terlalu lama.” Belum sempat membuka suara, Lita dikejutkan dengan suara berat seorang pria dari belakangnya. “Oh, ini istri Ardan?” ucap seorang pria paruh baya berkacamata. Lita menoleh ke ar