“Hentikan, jangan melakukan sesuatu yang akan membuat mu menyesal besok pagi.”
Tawa Lita yang keras menggema di ruangan yang hening itu. Ia menarik tangannya lalu ikut duduk di samping pria tersebut.
“Kamu terlalu nyata, tatapan mu, ekspresi mu, suara mu,… tapi tidak mungkin kan? Ardan tidak seramah kamu.”
Aroma parfum bercampur wine yang membasahi gaun Lita membuat Ardan merasa terganggu. Ia menghela nafas lalu bangkit dari tempat duduknya.
“Istirahatlah…”
Tangan Lita langsung meraih pergelangan pria yang sudah akan melangkah pergi tersebut. “Tunggu, bukannya kamu bilang mau menemani ku minum?”
“Aku sudah menemani mu, ini saatnya kamu istirahat.”
“Jangan pergi, rumah ini terlalu hening.”
‘Kalau dia dalam keadaan sadar pasti dia justru mengatakan hal yang sebaliknya…’
“Tentu saja hening, ini sudah larut…”
“Begitu ya? Hmmm, hei bayangan Ardan, antar aku ke kamar ku, kaki ku terlalu lelah untuk melangkah.”
Lita yang sedang minum langsung tersedak begitu mendengar pertanyaan Alen. “Uhuk… ugh…” Ardan langsung menyodorkan tissue. Ia menepuk pelan punggung Lita. “Kami tidak bertengkar Alen, mama mu hanya sedang kelelahan.” “Lelah?” “Ya, pesta kemarin kan melelahkan.” “Maaf tidak menemani mama kemarin,” ucap Alen dengan wajah sedih. “Tidak apa-apa kok, mama sekarang baik-baik saja,” balas Lita dengan senyum palsunya. “Lalu itu kenapa?” tanya Alen sambil menunjuk plester luka di dahi Lita. “Mama terjatuh lalu membentur sesuatu…” “Mama seharusnya lebih hati-hati dan menjaga diri. Papa juga seharusnya menjaga mama dengan baik.” “Ya, maafkan papa,” balas Ardan lalu mengecup pipi bocah yang sedang cemberut itu. Obrolan mereka terhenti saat makanan yang dipesan sudah datang dan baru berlanjut setelah pelayan resto pergi. Usai menyelesaikan hidangan utama, keluarga kecil itu masih duduk untuk menikmati buah dan minuman yang masih ada. “Ardan?” Lita menoleh ke arah sumber suara. Seoran
Waktu berlalu cepat, hari demi hari berganti. Setelah kemunculan Lita secara resmi sebagai istri Ardan, banyak pihak yang semakin penasaran kepada perempuan itu. Ardan mulai mengajak Lita menghadiri berbagai acara penting dari kolega bisnisnya. Ia juga secara perlahan mulai mengajari ‘istrinya’ cara menghadapi berbagai situasi dan melatih perempuan itu untuk tidak takut pada siapa pun. Semua peran dan kebohongan dilakukan Lita dengan sempurna. Ia sudah membiasakan diri dengan sentuhan kecil yang kadang diberikan Ardan saat perlu menampilkan ‘pasangan’ bahagia di depan orang lain. Meski sudah membiasakan diri dengan kepalsuan pada setiap ucapannya. Terkadang Lita masih merasa kelelahan setiap selesai berpura-pura. Terkadang ia bahkan merasa larut dalam kebohongan itu dan kehilangan dirinya sendiri. Hanya kehadiran Alen yang mampu membuatnya kembali menjadi tenang setelah hari-hari yang panjang dengan topeng dan peran yang dilakukannya.
/bruuffftt/ Air yang diminum Lita menyembur ke arah depan dan membuat baju yang dipakainya menjadi basah. “Uhukk uhukk… ughh…” Lita berusaha menepuk dadanya sambil terbatuk-batuk. Ia tidak menyangka dengan jawaban dari bocah itu. Ardan menatap Lita dan Alen dengan ekspresi kaget juga. Namun ia segera mengendalikan raut wajahnya. “Mama kenapa?” tanya Alen yang segera menyodorkan tissue. “Uhukk… ehmm, sebentar… ughh.” Ekspresi bingung bocah itu membuat Lita mencoba mengulur waktu sebanyak mungkin agar ia tidak perlu menjawab perkataan Alen sebelumnya. “Mama ganti baju dulu ya…,” ucap Lita yang kemudian bangkit dan langsung menuju lantai atas. Alen mengernyitkan keningnya lalu memandang ke arah ayahnya yang tampak tetap sibuk dengan tablet di tangannya. Perkataan Alen terus terngiang ngiang di telinga Lita. Ia tidak menyangka akan mendapat permintaan seperti itu. Lita menatap ke arah baju yang tertata rapi di lemari. Ia memijat dahinya pelan sebelum kemudian berganti pakaian d
Lita menoleh ke arah sumber suara. Ia mendapati wanita berbaju violet sedang tersenyum ramah ke arahnya. “Ah kan benar kata ku, kamu pasti cantik sekali dengan gaun ini…” “Dia tante ku yang ku ceritakan waktu itu, yang memberikan pakaian ini,” ucap Ardan saat melihat ekspresi bingung Lita. “Aduh lupa belum kenalan, saya Puspa, tantenya Ardan.” “Ah tante Puspa, terimakasih atas bajunya…” Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu tersenyum senang saat memandangi Lita. “Boleh tante foto dulu? Aduh tante senang sekali melihat gaun ini menjadi semakin indah saat kamu memakainya.” “Ehmm ya, baiklah…” Lita sebenarnya merasa tidak nyaman, tapi ia tidak bisa menolak permintaan kecil dari orang yang telah memberikannya pakaian. “Jadi itu maksudnya tante memberikannya gaun?” tanya Ardan sambil menyilangkan tangannya. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding yang membatasi ruangan lainnya. Tatapan matanya sesekali mengarah ke punggung Lita yang terekspos karena model gaun yang ter
Ratusan komentar pada unggahan foto dirinya di akun seseorang membuat Lita terkejut. Ia memeriksanya dan menghela nafas panjang ketika mengetahui bahwa orang yang mengunggah fotonya adalah wanita paruh baya yang tidak lain adalah tantenya Ardan. Banyak yang memuji kecantikan Lita juga gaun yang dikenakannya. Puspa memang memilih foto yang tidak begitu memperlihatkan jelas wajah Lita. Hanya saja itu justru membuat banyak orang semakin penasaran. ‘Aku melihatnya saat pesta hari jadi H&U Group, dia lebih cantik dari di foto…’ ‘Itu istri Ardan? Dia memang tidak semanis Lisa, tapi menurut ku dia sangat mempesona dan terlihat anggun.’ Beberapa orang memang membandingkan dirinya dengan Lisa, tapi ia enggan memikirkan itu dan sama sekali merasa tidak tersinggung. Lita terus membaca satu persatu komentar pada unggahan itu. Ia tersenyum lalu ikut mengomentari foto dirinya. Ia memuji Puspa yang memotret dirinya dengan baik sehingga terlihat memukau. Setelah itu ia memasukkan ponselnya ke d
Setelah Alen mengungkapkan permintaan hadiah ulang tahun. Lita dan Ardan berjanji menuruti bocah itu. Sudah tiga hari ini mereka tidur di ranjang yang sama dan tidak lagi pergi ke kamarnya masing-masing setelah Alen terlelap. Sebagian baju Lita juga diletakkan di lemari pada kamar tersebut sesuai dengan permintaan Alen. Ia tetap menuruti bocah itu meski sebenarnya tidak nyaman. Rasa tanggungjawab yang melekat di hati masing-masing membuat Lita maupun Ardan tidak ingin melanggar janji yang telah dibuatnya. Keduanya mengesampingkan rasa canggung hanya untuk membuat bocah kecil itu merasa tenang dan tidak lagi kesepian. Alen terkadang masih terbangun pada tengah malam untuk memastikan apakah ‘orang tuanya’ masih ada di sampingnya atau tidak. Bocah itu akan memandangi wajah ayah dan ibunya secara bergantian sambil tersenyum sebelum kemudian tidur kembali. Lita berusaha menekan rasa canggungnya dengan fokus memikirkan Alen. Ia mengabaikan kehadiran Ardan dan hanya berbicara seperlun
Lita mengusap dahinya pelan. “Ehmm, aku hanya teringat beberapa hal buruk.” “Hal buruk?” Ardan melangkah mendekat ke arah Lita. Ia menempelkan tangannya di dahi perempuan itu. “Suhu badan mu masih belum turun?” Ekspresi terkejut Lita tidak bisa disembunyikan lagi. Bukan karena Ardan yang tiba-tiba menyentuh dahinya, tapi karena ia bisa melihat bekas luka samar pada leher Ardan. Ingatannya tentang malam itu memang tidak jelas, tapi ia tidak lupa pada ekspresi Ardan saat marah setelah ia melakukan sesuatu yang bodoh itu. Pria di hadapan Lita langsung memundurkan langkahnya begitu melihat ekspresi kaget ‘istrinya’. “Ehemm, istirahatlah kalau kamu sedang kurang sehat.” ‘Lita, kamu benar-benar bodoh…’ “Aku akan istirahat di kamar atas,” ucap Lita yang kemudian terburu-buru pergi. Alen menatap Ardan dengan ekspresi bingung. “Mama sakit? Mama belum makan…” “Biarkan mama mu istirahat… nanti dia akan makan saat lapar.” “Tapi kenapa mama tidak istirahat di kamar?” “Supaya kamu tidak
Setelah mengingat hal bodoh yang dilakukannya seusai pesta hari jadi H&U Group, Lita berusaha menghindari Ardan. Baik di kantor maupun di rumah, perempuan itu memandang ke arah lain saat Ardan berbicara dengannya. Alen yang terus memperhatikan mulai merasa sikap mamanya aneh. Ia tampak cemas karena Lita tampak berusaha menghindari ayahnya. Setelah pulang kerja hari itu, Lita izin untuk pergi makan bersama dengan anggota divisinya. Ia menolak saat Alen ingin ikut dan hal tersebut membuat bocah itu semakin kesal dengan Ardan. “Ini semua pasti gara-gara papa..,” ucap Alen dengan dahi mengerut. Ardan memandang putranya dengan ekspresi bingung. “Gara-gara papa?” “Ya, papa pasti melakukan kesalahan jadi mama kesal… Jadi Alen tidak boleh ikut pergi.” Pipi bulatnya semakin mengembang karena bocah itu cemberut. ‘Kenapa malah jadi gara-gara aku?’ “Itu karena mama sedang ada acara dengan teman-teman kerjanya, Alen,” ucap Ardan beralasan. “Tapi biasanya Alen boleh ikut kemanapun mama perg
Ardan menyilangkan tangannya. “Itu karena kamu menyibukkan diri dengan mengerjakan banyak hal tanpa menyempatkan diri mengobrol santai dengan yang lain bukan?“Kamu juga tidak pernah mau ku ajak makan bersama atau pulang bersama, tentu wajar jika mulai ada rumor seperti itu,” tambah Ardan.Lita terdiam, ia selama ini memang sengaja mengambil pekerjaan sebanyak mungkin untuk mengalihkan pikiran juga untuk menghindari pertemuan yang terlalu sering dengan Ardan.‘Sial… aku terlalu fokus dengan diriku sendiri tanpa memperhatikan apa yang terjadi di sekitar,’ keluh Lita dalam hati.“Maaf, aku tidak berpikir kalau akan ada rumor seperti itu.”Ardan menatap ‘istrinya’. Namun Lita tidak bisa memahami makna dari ekspresi tersebut.“Apa kamu bertemu dengan teman masa kecil mu lagi?”“Teman masa kecil? Siapa?” Lita mencoba mengingat semua kegiatannya lalu menggeleng. “Aku tidak bertemu dengan teman ku selama sebulan ini, yang ku temui hanya rekan kerja.”“Aku tidak tau sebenarnya ada apa, tapi f
Lita memijat dahinya pelan. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Perasaan terlarang yang tumbuh alami tanpa bisa dihentikan itu membuat ia merasa benci dengan dirinya sendiri.Meski ia sudah berusaha menepis dan mengalihkan perhatiannya kepada hal lain. Ia tetap tidak bisa mengurangi perasaan itu. Walaupun ia berusaha bersikap ketus dan dingin, ia kembali merasa hanyut saat Ardan bersikap hangat.Waktu sudah berlalu satu bulan sejak Ardan menegurnya, tapi Lita masih enggan menggunakan uang jatah bulanan yang ia dapatkan. Perempuan itu masih saja menggunakan uangnya sendiri untuk keperluannya dan juga membelikan makanan maupun mainan untuk Alen. Meski statusnya dalam keluarga itu hanyalah sebatas perjanjian, ia ingin menunjukkan rasa sayangnya yang tulus kepada Alen.Tentu saja Ardan masih memantau penggunaan uang yang diberikannya. Namun karena awal tahun disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan, ia masih belum menegur Lita lagi secara langsung.Lita sengaja mengambil ban
“Apa ini? Ada yang berulang tahun?” tanya Lita memastikan. Ardan mendekat lalu memberikan buket bunga dan hadiah ke Lita. “Tidak, tapi ini hari yang penting.” Lita menerima buket bunga dan hadiah itu sambil tersenyum meski merasa bingung. Ia berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya karena kakek dan neneknya sedang melihat. “Kamu pasti lupa kalau pada tanggal ini kita bertemu untuk pertama kalinya dulu,” ucap Ardan lagi. ‘Dia gila ya? apa perlu sejauh itu berpura-pura?? Lagi pula kakek dan nenek tidak perlu diperlihatkan seperti ini pun tetap percaya kalau dia suami ku…’ Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu menampilkan senyum senang. “Tentu aku ingat, itu hari yang spesial, tapi aku tidak menyangka kalau kamu menyiapkan ini.” “Ya, yang ku maksud urusan penting itu untuk menyiapkan ini.” ‘Seharusnya dia memang jadi aktor saja…’ gerutu Lita dalam hati. “Oh begitu? Kamu masih saja tetap romantis seperti dulu,” balas Lita dengan senyum yang dipaksakan. “Dia sangat perhatian
“Ehmm, sepertinya tidak bisa sekarang. Aku sudah janji akan langsung pulang begitu selesai acara…” “Janji?” Davin memandang ragu ke arah Lita lalu mengangguk pelan. “Oh begitu… maaf membuat mu tidak nyaman karena malah menawarkan minum kopi bersama.” “Tidak, tidak… aku senang, mungkin lain kali aku bisa meluangkan waktu.” “Tidak perlu memaksakan diri, aku bertemu dengan mu begini saja sudah senang.” Percakapan keduanya terhenti saat Rini tiba-tiba mendekat. “Lita, kamu sudah ingat dengan teman mu yang ini?” “Tentu aku ingat, walau tadi sempat tidak mengenali…” “Dia Davin yang ku maksud, yang titip salam untuk mu.” Dahi Lita mengernyit, ia baru teringat saat Rini mengatakan ia mendapat salam dari seseorang. Pandangan matanya beralih ke arah Davin yang tersenyum ke arahnya. “Oh… maaf, karena sudah lama tidak bertemu, aku jadi lupa…” “Kamu melupakan teman masa kecil mu?” tanya Davin yang kemudian tertawa. “
Alen sejak tadi menatap Lita yang sedang bersiap untuk acara reuni. Ekspresi bocah itu terlihat sedih meski sudah dijelaskan bahwa ibunya hanya pergi sebenar.“Aku tidak boleh ikut?” tanya Alen lagi.“Alen, mama hanya pergi sebentar kok.”“Tapi mama akan kembali kan?”“Tentu saja, kenapa bertanya begitu?”Bocah kecil itu tidak menjawab. Ia masih terlihat murung tapi tidak sampai menangis atau menahan Lita agar tidak pergi.Lita mendekati ‘putranya’ lalu mengusap pelan kepala bocah itu. “Mama hanya bertemu dengan teman-teman mama, setelah selesai nanti langsung pulang.”“Bagaimana kalau mama bertemu dengan orang lain?”‘Apa maksudnya? Orang lain? Tentu saja aku bertemu teman-teman ku yang adalah orang lain?’/klek…/Obrolan keduanya terhenti saat Ardan masuk ke ruangan itu. Pandangan mata pria itu menyelidik penampilan Lita mulai dari sepatu sampai anting yang dipakai.“Teman mu sudah datang.”“Oke.”Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu ia mencium keningnya. “Mama pergi dulu ya?”B
Perjalanan menuju rumah pada sore hari itu berlangsung panjang. Jalanan yang macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama dari seharusnya. Lita terbangun tepat saat mobil yang mereka naiki memasuki area komplek GrandC. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh ke sebelahnya. Alen terlihat tidur sambil bersandar di lengannya. “Maaf ya, tuan, nyonya, perjalanannya jadi sangat lama karena macet,” ucap pak supir begitu memasuki pekarangan rumah Ardan. “Tidak apa-apa kok, saya malah ada kesempatan istirahat.” “Ponsel mu sejak tadi sepertinya terus bunyi,” ucap Ardan mengabaikan perkataan pak supir. “Oh iya? Aku tidak dengar…” Ardan turun membawa Alen lebih dulu kemudian masuk rumah. Ekspresi pria itu terlihat seperti sedang memikirkan banyak hal dan itu membuat Lita merasa bingung. ‘Dia kenapa lagi?’ Lita masih terdiam di halaman rumah begitu turun dari kendaraan. Ia tiba-tiba kembali teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di kediaman itu. ‘Kalau waktu itu aku tida
Ardan tidak langsung menjawab, ia meletakkan ponsel dan dompetnya lalu berjalan menuju koper kemudian mengambil kaos lengan panjang. “Zan menghubungi ku, ada hal yang perlu ku periksa,” balas Ardan asal. “Bukankah dia juga sedang libur?” “Ya…” Lita mengalihkan pandangan matanya begitu Ardan langsung berganti pakaian di tempat. ‘Kenapa dia tidak ganti di kamar mandi saja sih?’ gerutu Lita dalam hati. Saat Lita mengalihkan pandangannya, Ardan tersenyum kecil. Ia menggantung kemeja yang tadi ia lepas lalu duduk di kursi dekat pintu. “Kenapa belum tidur?” Tatapan mata Lita kembali mengarah ke Ardan yang saat ini sedang menuang minuman. Ia bisa melihat dengan jelas ekspresi pria itu terlihat jauh lebih hangat dari sebelumnya. “Tadi siang aku sudah tidur, jadi sekarang aku belum mengantuk.” Setelah meneguk minuman di gelas, pandangan mata Ardan beralih ke putranya yang sedang terlelap. Kali ini ia terlihat sed
Ardan terdiam selama beberapa detik lalu secepat mungkin menutup pintu kembali. Lita yang sadar dari keterkejutannya pun langsung memakai kaos yang dipegangnya. Perempuan tersebut menghela nafas panjang lalu menyesali tindakannya. ‘Seharusnya aku berganti pakaian di kamar mandi…’ Sepuluh menit setelah itu Ardan baru masuk kembali ke dalam kamar dengan ekspresi canggung. “Aku mau ambil dompet…” “Oh… ya, ya.” balas Lita sambil mengangguk. Ada rasa canggung yang terlihat jelas dari gerak tubuhnya. “Aku akan keluar bersama saudara sepupu ku sampai malam… jadi tidak usah menunggu.” Lita mengangguk lagi. “Oke…” Pandangan keduanya bertemu, tapi Ardan langsung mengalihkan tatapannya ke arah Alen. Ia berusaha mengalihkan pikirannya. ‘Sial…’ “Kalau Alen terbangun dan menanyakan ku, hubungi aku,” ucap Ardan asal. “Ya…” “Kalau begitu, aku pergi dulu.” “Hati-hati di jalan…” Ardan melangkah pergi
Lita, Ardan dan Alen kembali ke kediaman Tanoro menjelang tengah malam. Ardan memang sengaja tidak di rumah neneknya lebih lama karena tidak ingin Lita bertemu dengan paman-pamannya lebih awal. Pria tersebut mengajak Lita dan Alen berkeliling ke berbagai tempat. Setelah mengenalkan kota kelahiran ibu kandungnya, mereka baru kembali ke rumah. “Maaf kami baru kembali, saya jadi tidak membantu menyiapkan makan malam,” ucap Lita dengan ekspresi bersalah. “Tidak apa-apa kok, nenek dengar Ardan memang sangat posesif,” balas Lasti Tanoro dengan senyum tipis. ‘Posesif?’ gumam Lita dalam hati sambil tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Sara yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, akhirnya mendekat ke arah Lita. “Ya, Ardan memang posesif, dia bahkan tidak mengijinkan Lita menginap di tempat ku terlalu lama.” Belum sempat membuka suara, Lita dikejutkan dengan suara berat seorang pria dari belakangnya. “Oh, ini istri Ardan?” ucap seorang pria paruh baya berkacamata. Lita menoleh ke ar