Tepat pukul lima sore Lita keluar dari ruangannya seolah memang sudah menunggu waktu pulang sejak tadi.
Ia menyapa rekan kerjanya sejenak kemudian langsung melangkah cepat tanpa memperdulikan tatapan sinis dari beberapa pekerja dari divisi lain.
Lita tidak peduli lagi dan mencoba berdamai dengan keadaan yang ada. Ia berusaha mengabaikan hal lain dan fokus memikirkan Alen saja.
“Pak Ardan sudah menunggu,” ucap Zan yang melihat Lita sudah berada di lobby gedung tersebut.
Lita mengangguk lalu melangkah diikuti Zan di belakangnya. Ia tidak bertanya apa pun karena sedang menghemat energi setelah seharian ini hanya minum air putih saja.
Ardan masih terlihat sibuk dengan tablet di tangan saat Lita memasuki mobil hitam tersebut.
“Kamu masih ada pekerjaan? Seharusnya tidak usah memaksakan diri untuk pergi bersama.”
“Aku hanya tidak suka tidak melakukan apa pun saat sedang menunggu,” balas Ardan tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
“Mama kenapa?” tanya Alen yang merasa bingung saat melihat ekspresi Lita. “Ehmm, tidak apa-apa kok… .” “Lita ya?” sapa seorang pria dengan rambut bergelombang pendek berwarna coklat. Perempuan itu menoleh ke arah sumber suara setelah berkali-kali mengumpat dalam hati. “Oh Ezza?” “Bener ternyata kamu, aku dari jauh bisa ngenalin kamu loh…,” ucap Ezza sambil tersenyum. Pandangan mata pria itu beralih ke bocah kecil di sebelah Lita. Dahinya sempat mengernyit selama beberapa waktu tapi ia tidak menanyakan apa pun. “Kamu datang sendiri?” tanya Lita mencoba berbasa basi. “Tidak sih, aku datang dengan –“ Belum sempat melanjutkan perkataannya, seorang pria muncul memanggilnya. “Za, aku mau ke toilet dulu, kamu ngap–“ Ucapan pria itu terhenti saat melihat seorang perempuan yang dikenalinya. Ekspresi terkejut terlihat selama beberapa detik sebelum kemudian ia tersenyum ramah. Mata Lita fokus memandang pria yang pe
Suara dingin dan berat itu membuyarkan lamunan Lita. Ia menoleh dan mendapati Ardan sedang berdiri tidak jauh darinya dengan menyilangkan tangan. “Oh kamu melihatnya?” tanya Lita sambil tersenyum. Pandangan perempuan itu mengarah ke Ardan yang mendekat ke arahnya lalu duduk di kursi samping meja. ‘Kalau dilihat baik-baik, dia terlihat tampan ya…’ gumam Lita dalam hati. Ia tertawa kecil saat menyadari dirinya baru saja memuji pria yang dibencinya. “Ya, aku melihatnya.” “Dia tampan kan? Hanya saja sekarang lebih kurus, dulu dia tidak sekurus itu…,” gumam Lita pelan. Ardan melirik ke botol di atas meja lalu menghela nafas. “Kalau kadar konsumsi alk***l mu rendah, jangan minum yang ini.” Pria itu bermaksud meraih botol tersebut tapi Lita menahan dan memegang tangannya. “Minuman mu kan banyak, aku hanya minta satu…” ‘Bukankah dia sangat tidak suka jika harus bersentuhan dengan ku?’ “Besok kamu harus bekerja, Lita. Ka
Rapat pagi itu berjalan dengan lancar meski fokus Lita terganggu beberapa kali. Ia sedang mengkhawatirkan kondisi Alen.Perempuan itu ingin menelepon Ardan, tapi ia mengurungkan niatnya karena tidak yakin apa pria itu sedang bekerja atau masih menemani anaknya./tok…tok…/“Masuk.”“Tara, ini catatan dari hasil rapat tadi.”“Terimakasih, Nia.”Nia menatap Lita dalam waktu lama. “Boleh aku bertanya?”Pandangan Lita beralih ke Nia yang masih berdiri di hadapannya. “Ya?”“Aku tau mungkin tidak sopan, tapi aku tidak mau hanya mendengar rumor yang beredar,” ucap Nia ragu.“Tanyakan saja kalau memang ingin bertanya, itu lebih baik.”Wanita berpotongan klasik bob itu menghela nafas panjang. “Kamu beneran istrinya pak Ardan?”Lita mengamati ekspresi serius Nia yang sedang menunggu jawaban darinya. “Sepertinya ini akan jadi pembicaraan panjang, ayo duduk.”Ia bangkit dari kursinya lalu berpindah ke sofa dekat pintu. Perempuan itu masih mempertahankan ekspresi tenangnya meskipun pikirannya lagi-
“Papa datang berkunjung, dia ingin melihat mu.” “Apa ada sesuatu yang perlu ku khawatirkan?” “Entahlah…” Lita bangkit dari tempat duduknya setelah menghela nafas panjang. Ia selalu merasa kesal karena tidak tahu harus bersikap seperti apa pada setiap keadaan. Kedua orang itu berjalan berdampingan menuju ruangan Ardan. Beberapa orang menyapa tapi ada juga yang berbisik-bisik. “Kamu merasa terganggu dengan sikap mereka?” tanya Ardan tiba-tiba. ‘Kalau ku jawab iya memangnya kamu mau apa?’ “Tidak juga, mungkin bergosip jadi hiburan yang menyenangkan setelah bekerja keras?” jawab Lita santai. Percakapan itu tidak berlanjut dan keduanya hanya terdiam dalam elevator itu. Lita lebih memilih memeriksa ponselnya dibandingkan menatap pantulan wajah Ardan di dinding tempat itu. /ting…/ Ardan melangkah lebih dulu diikuti Lita yang segera menyesuaikan langkahnya agar bisa berada di samping pria tersebut. Jerry
Hari pesta yang dinantikan semua orang tiba. Pesta tersebut di selenggarakan di T-Hotel pada kawasan elit Jakarta yang sudah berdiri lebih dari 50 tahun. Lita telah mendapat penjelasan dari Zan bahwa hotel mewah tersebut adalah peninggalan mendiang ibu kandung Ardan, Devita J. Tanoro. Jerry memang selalu menyelenggarakan pesta hari jadi H&U Group di tempat itu sejak pertama kali peringatan hingga saat ini. Bahkan meski sang istri sudah meninggal 25 tahun yang lalu, Jerry tetap tidak mengubah tempat acara satu kalipun. Pernikahan antara Jerry dan Devita disebut sebagai pernikahan bisnis antara keluarga Tanoro dan Harsato. Banyak rumor yang beredar menyebutkan itulah sebab Jerry menikah lagi dengan perempuan lain yaitu Isana. ‘Tapi kalau memang Jerry tidak mencintai mendiang istrinya, kenapa dia justru terlihat sangat mencintainya? Apa itu hanya untuk melawan rumor?’ “Anda hanya akan ada disana selama satu jam,” ucap Zan membuyarkan lamunan Lita. “Ya? kenapa begitu?” “Pak Ardan
“Terimakasih tante,” ucap Lisa dengan senyum manisnya. Lita berdiri lalu tersenyum di samping Isana. “Terimakasih sudah datang ke pesta ini, nona Lisa.” Pandangan mata Lisa mengarah ke Lita lalu kembali kepada Isana. “Dia siapa tante?” Isana berdehem pelan. “Ah apa kamu datang terlambat? Dia istrinya Ardan, Litara.” Perempuan itu mengangguk sambil memandangi Lita dari ujung kaki hingga rambutnya. “Selamat malam nona Litara, senang bisa melihat mu. Saya sangat menantikan pesta ini karena saya dengar Ardan membawa istrinya…” Lisa tersenyum ramah, tapi kilatan kesedihan terlihat jelas di mata perempuan manis itu. Beberapa orang tampak berbisik-bisik saat mengamati Lita dan Lisa yang sedang bercakap-cakap. “Aku merasa tersanjung karena ada yang begitu menantikan kemunculan ku.” “Saya harap kita bisa berteman baik nona Litara. Kalau begitu saya permisi dulu,” ucap Lisa yang kemudian langsung berbalik pergi. I
Ia melepas jas Ardan lalu meletakkannya di sofa. Langkah kakinya membawa ia menuju bar kecil di halaman belakang. Tangannya menyentuh botol demi botol yang berjajar rapi di rak kayu. Ia tersenyum lalu mengambil satu botol bening yang dikenalinya. Tatapan matanya yang sayu beralih ke arah lemari pendingin. Ia membukanya lalu mengambil beberapa es batu dan meletakkannya di gelas. Senandung kecil digumamkan bibirnya yang tertutup rapat. ‘Tidak ada siapa pun, lalu Ardan sepertinya juga tidak akan pulang… Dia tidak ada alasan untuk pulang karena putranya tidak disini.’ Perempuan itu melangkah pelan menuju lantai atas. Ia meletakkan botol dan gelas itu di meja lalu duduk di sofa dekat beranda. Selama beberapa saat ia hanya diam memandangi langit yang terlihat melalui pintu kaca yang menjadi pembatas. Ia sengaja tidak menyalakan lampu pada ruang tengah lantai atas itu. Namun cahaya bulan yang masuk melalui pintu kaca membuat ruangan tersebut
“Hentikan, jangan melakukan sesuatu yang akan membuat mu menyesal besok pagi.” Tawa Lita yang keras menggema di ruangan yang hening itu. Ia menarik tangannya lalu ikut duduk di samping pria tersebut. “Kamu terlalu nyata, tatapan mu, ekspresi mu, suara mu,… tapi tidak mungkin kan? Ardan tidak seramah kamu.” Aroma parfum bercampur wine yang membasahi gaun Lita membuat Ardan merasa terganggu. Ia menghela nafas lalu bangkit dari tempat duduknya. “Istirahatlah…” Tangan Lita langsung meraih pergelangan pria yang sudah akan melangkah pergi tersebut. “Tunggu, bukannya kamu bilang mau menemani ku minum?” “Aku sudah menemani mu, ini saatnya kamu istirahat.” “Jangan pergi, rumah ini terlalu hening.” ‘Kalau dia dalam keadaan sadar pasti dia justru mengatakan hal yang sebaliknya…’ “Tentu saja hening, ini sudah larut…” “Begitu ya? Hmmm, hei bayangan Ardan, antar aku ke kamar ku, kaki ku terlalu lelah untuk melangkah.”
Ardan menyilangkan tangannya. “Itu karena kamu menyibukkan diri dengan mengerjakan banyak hal tanpa menyempatkan diri mengobrol santai dengan yang lain bukan?“Kamu juga tidak pernah mau ku ajak makan bersama atau pulang bersama, tentu wajar jika mulai ada rumor seperti itu,” tambah Ardan.Lita terdiam, ia selama ini memang sengaja mengambil pekerjaan sebanyak mungkin untuk mengalihkan pikiran juga untuk menghindari pertemuan yang terlalu sering dengan Ardan.‘Sial… aku terlalu fokus dengan diriku sendiri tanpa memperhatikan apa yang terjadi di sekitar,’ keluh Lita dalam hati.“Maaf, aku tidak berpikir kalau akan ada rumor seperti itu.”Ardan menatap ‘istrinya’. Namun Lita tidak bisa memahami makna dari ekspresi tersebut.“Apa kamu bertemu dengan teman masa kecil mu lagi?”“Teman masa kecil? Siapa?” Lita mencoba mengingat semua kegiatannya lalu menggeleng. “Aku tidak bertemu dengan teman ku selama sebulan ini, yang ku temui hanya rekan kerja.”“Aku tidak tau sebenarnya ada apa, tapi f
Lita memijat dahinya pelan. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Perasaan terlarang yang tumbuh alami tanpa bisa dihentikan itu membuat ia merasa benci dengan dirinya sendiri.Meski ia sudah berusaha menepis dan mengalihkan perhatiannya kepada hal lain. Ia tetap tidak bisa mengurangi perasaan itu. Walaupun ia berusaha bersikap ketus dan dingin, ia kembali merasa hanyut saat Ardan bersikap hangat.Waktu sudah berlalu satu bulan sejak Ardan menegurnya, tapi Lita masih enggan menggunakan uang jatah bulanan yang ia dapatkan. Perempuan itu masih saja menggunakan uangnya sendiri untuk keperluannya dan juga membelikan makanan maupun mainan untuk Alen. Meski statusnya dalam keluarga itu hanyalah sebatas perjanjian, ia ingin menunjukkan rasa sayangnya yang tulus kepada Alen.Tentu saja Ardan masih memantau penggunaan uang yang diberikannya. Namun karena awal tahun disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan, ia masih belum menegur Lita lagi secara langsung.Lita sengaja mengambil ban
“Apa ini? Ada yang berulang tahun?” tanya Lita memastikan. Ardan mendekat lalu memberikan buket bunga dan hadiah ke Lita. “Tidak, tapi ini hari yang penting.” Lita menerima buket bunga dan hadiah itu sambil tersenyum meski merasa bingung. Ia berusaha menyembunyikan perasaan sebenarnya karena kakek dan neneknya sedang melihat. “Kamu pasti lupa kalau pada tanggal ini kita bertemu untuk pertama kalinya dulu,” ucap Ardan lagi. ‘Dia gila ya? apa perlu sejauh itu berpura-pura?? Lagi pula kakek dan nenek tidak perlu diperlihatkan seperti ini pun tetap percaya kalau dia suami ku…’ Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu menampilkan senyum senang. “Tentu aku ingat, itu hari yang spesial, tapi aku tidak menyangka kalau kamu menyiapkan ini.” “Ya, yang ku maksud urusan penting itu untuk menyiapkan ini.” ‘Seharusnya dia memang jadi aktor saja…’ gerutu Lita dalam hati. “Oh begitu? Kamu masih saja tetap romantis seperti dulu,” balas Lita dengan senyum yang dipaksakan. “Dia sangat perhatian
“Ehmm, sepertinya tidak bisa sekarang. Aku sudah janji akan langsung pulang begitu selesai acara…” “Janji?” Davin memandang ragu ke arah Lita lalu mengangguk pelan. “Oh begitu… maaf membuat mu tidak nyaman karena malah menawarkan minum kopi bersama.” “Tidak, tidak… aku senang, mungkin lain kali aku bisa meluangkan waktu.” “Tidak perlu memaksakan diri, aku bertemu dengan mu begini saja sudah senang.” Percakapan keduanya terhenti saat Rini tiba-tiba mendekat. “Lita, kamu sudah ingat dengan teman mu yang ini?” “Tentu aku ingat, walau tadi sempat tidak mengenali…” “Dia Davin yang ku maksud, yang titip salam untuk mu.” Dahi Lita mengernyit, ia baru teringat saat Rini mengatakan ia mendapat salam dari seseorang. Pandangan matanya beralih ke arah Davin yang tersenyum ke arahnya. “Oh… maaf, karena sudah lama tidak bertemu, aku jadi lupa…” “Kamu melupakan teman masa kecil mu?” tanya Davin yang kemudian tertawa. “
Alen sejak tadi menatap Lita yang sedang bersiap untuk acara reuni. Ekspresi bocah itu terlihat sedih meski sudah dijelaskan bahwa ibunya hanya pergi sebenar.“Aku tidak boleh ikut?” tanya Alen lagi.“Alen, mama hanya pergi sebentar kok.”“Tapi mama akan kembali kan?”“Tentu saja, kenapa bertanya begitu?”Bocah kecil itu tidak menjawab. Ia masih terlihat murung tapi tidak sampai menangis atau menahan Lita agar tidak pergi.Lita mendekati ‘putranya’ lalu mengusap pelan kepala bocah itu. “Mama hanya bertemu dengan teman-teman mama, setelah selesai nanti langsung pulang.”“Bagaimana kalau mama bertemu dengan orang lain?”‘Apa maksudnya? Orang lain? Tentu saja aku bertemu teman-teman ku yang adalah orang lain?’/klek…/Obrolan keduanya terhenti saat Ardan masuk ke ruangan itu. Pandangan mata pria itu menyelidik penampilan Lita mulai dari sepatu sampai anting yang dipakai.“Teman mu sudah datang.”“Oke.”Pandangan mata Lita beralih ke Alen lalu ia mencium keningnya. “Mama pergi dulu ya?”B
Perjalanan menuju rumah pada sore hari itu berlangsung panjang. Jalanan yang macet membuat waktu tempuh menjadi lebih lama dari seharusnya. Lita terbangun tepat saat mobil yang mereka naiki memasuki area komplek GrandC. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali lalu menoleh ke sebelahnya. Alen terlihat tidur sambil bersandar di lengannya. “Maaf ya, tuan, nyonya, perjalanannya jadi sangat lama karena macet,” ucap pak supir begitu memasuki pekarangan rumah Ardan. “Tidak apa-apa kok, saya malah ada kesempatan istirahat.” “Ponsel mu sejak tadi sepertinya terus bunyi,” ucap Ardan mengabaikan perkataan pak supir. “Oh iya? Aku tidak dengar…” Ardan turun membawa Alen lebih dulu kemudian masuk rumah. Ekspresi pria itu terlihat seperti sedang memikirkan banyak hal dan itu membuat Lita merasa bingung. ‘Dia kenapa lagi?’ Lita masih terdiam di halaman rumah begitu turun dari kendaraan. Ia tiba-tiba kembali teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di kediaman itu. ‘Kalau waktu itu aku tida
Ardan tidak langsung menjawab, ia meletakkan ponsel dan dompetnya lalu berjalan menuju koper kemudian mengambil kaos lengan panjang. “Zan menghubungi ku, ada hal yang perlu ku periksa,” balas Ardan asal. “Bukankah dia juga sedang libur?” “Ya…” Lita mengalihkan pandangan matanya begitu Ardan langsung berganti pakaian di tempat. ‘Kenapa dia tidak ganti di kamar mandi saja sih?’ gerutu Lita dalam hati. Saat Lita mengalihkan pandangannya, Ardan tersenyum kecil. Ia menggantung kemeja yang tadi ia lepas lalu duduk di kursi dekat pintu. “Kenapa belum tidur?” Tatapan mata Lita kembali mengarah ke Ardan yang saat ini sedang menuang minuman. Ia bisa melihat dengan jelas ekspresi pria itu terlihat jauh lebih hangat dari sebelumnya. “Tadi siang aku sudah tidur, jadi sekarang aku belum mengantuk.” Setelah meneguk minuman di gelas, pandangan mata Ardan beralih ke putranya yang sedang terlelap. Kali ini ia terlihat sed
Ardan terdiam selama beberapa detik lalu secepat mungkin menutup pintu kembali. Lita yang sadar dari keterkejutannya pun langsung memakai kaos yang dipegangnya. Perempuan tersebut menghela nafas panjang lalu menyesali tindakannya. ‘Seharusnya aku berganti pakaian di kamar mandi…’ Sepuluh menit setelah itu Ardan baru masuk kembali ke dalam kamar dengan ekspresi canggung. “Aku mau ambil dompet…” “Oh… ya, ya.” balas Lita sambil mengangguk. Ada rasa canggung yang terlihat jelas dari gerak tubuhnya. “Aku akan keluar bersama saudara sepupu ku sampai malam… jadi tidak usah menunggu.” Lita mengangguk lagi. “Oke…” Pandangan keduanya bertemu, tapi Ardan langsung mengalihkan tatapannya ke arah Alen. Ia berusaha mengalihkan pikirannya. ‘Sial…’ “Kalau Alen terbangun dan menanyakan ku, hubungi aku,” ucap Ardan asal. “Ya…” “Kalau begitu, aku pergi dulu.” “Hati-hati di jalan…” Ardan melangkah pergi
Lita, Ardan dan Alen kembali ke kediaman Tanoro menjelang tengah malam. Ardan memang sengaja tidak di rumah neneknya lebih lama karena tidak ingin Lita bertemu dengan paman-pamannya lebih awal. Pria tersebut mengajak Lita dan Alen berkeliling ke berbagai tempat. Setelah mengenalkan kota kelahiran ibu kandungnya, mereka baru kembali ke rumah. “Maaf kami baru kembali, saya jadi tidak membantu menyiapkan makan malam,” ucap Lita dengan ekspresi bersalah. “Tidak apa-apa kok, nenek dengar Ardan memang sangat posesif,” balas Lasti Tanoro dengan senyum tipis. ‘Posesif?’ gumam Lita dalam hati sambil tetap mempertahankan ekspresi tenangnya. Sara yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya, akhirnya mendekat ke arah Lita. “Ya, Ardan memang posesif, dia bahkan tidak mengijinkan Lita menginap di tempat ku terlalu lama.” Belum sempat membuka suara, Lita dikejutkan dengan suara berat seorang pria dari belakangnya. “Oh, ini istri Ardan?” ucap seorang pria paruh baya berkacamata. Lita menoleh ke ar