Aku bisa rasain betapa sedihnya Arsen :(
Sudah tiga pekan berlalu, suasana hati Dhea masih juga belum bersemi kembali. Layaknya hidup tanpa punya arah dan tujuan yang jelas, begitulah kondisinya saat ini.Astri yang mendapati Dhea tengah melamun, menghadap jendela kamarnya yang sengaja dibuka lebar, tak bisa untuk tidak menghampiri gadis berhati rapuh di sana.“Kamu tidak sarapan dulu? Masakan kesukaan kamu sudah matang loh,” cetus Astri tetap ramah dan berusaha mengajak Dhea mengobrol layaknya tak terjadi apa-apa.Sejenak Dhea membalikkan badan. Memberi senyum tipis, lalu kembali membelakangi posisi kakak Hexa yang masih setia menemaninya di sini.“Kakak duluan aja. Aku masih belum lapar,” tolak Dhea halus.Untuk kedua kalinya, Astri menghela napas panjang. Dia memang tidak bisa merasakan apa yang Dhea derita, tapi kehilangan sosok Hexa jelas membuat Astri juga sengsara.Tangan Astri menyentuh bahu gadis cantik di hadapannya dengan lembut. “Aku tahu ini tidak mudah buat kamu.”“Tapi percayalah, Dhea, seandainya Hexa melihat
"Apa semuanya sudah siap?"Lucas menyorot tegas sosok pria berjas hitam dengan dasi senada yang tak lain adalah Cakra, asisten Arsen di kantor."Sudah, Tuan Besar. Sebentar lagi Tuan Arsen akan sampai," jawab Cakra lugas dan tetap sopan.Kali ini, Lucas memilih menganggukkan kepala tanpa banyak bicara. Rasa percayanya pada sang putra membuat Lucas langsung melenggang masuk ke ruang pertemuan.Sedangkan Cakra, pria dengan rambut klimis itu tampak gelisah menunggu sang bos yang belum juga kelihatan batang hidungnya."Tidak mungkin Tuan Arsen lupa bukan? Aku sudah meninggalkan pesan pagi tadi untuk agendanya hari ini," gumam Cakra sambil mondar-mandir depan ruang meeting.Walau sebenarnya masih tersisa dua belas menit lagi menuju sesi pembukaan meeting, tetapi tetap sebetulnya Arsen harus sudah tiba di ruangan.Hanya saja, mengapa Arsen belum juga ada kabar?Jika sampai Arsen tidak hadir pada meeting kali ini, Cakra sungguh tak tahu nasib buruk apa yang akan menimpa sang bos.Karena masa
Bunyi banyaknya pesan masuk pada sebuah ponsel berwarna silver, membuat seseorang mencari keberadaannya.Bunyi itu tidak hanya sekali. Tapi berulang.“Suara apa itu? Bukankah disini tidak ada yang menyembunyikan HP?” tanya pria berkemeja hitam lengan pendek.Seorang pria lainnya, dengan pakaian yang sama karena itu adalah baju seragam dengan logo asing, dia mendekat seraya menjawab, “HP apa?”Netra pria berambut ikal itu menunjuk pada benda pipih yang tergeletak di atas pasir putih.Ya, mereka bertiga sedang berada di sebuah pantai. Salah satu dari mereka mengambil HP itu lalu melihat layar yang terkunci. tapi mereka bisa menangkap banyak sekali pesan masuk dari nama kontak yang sama.“Matikan! Bisa bisa mampus kita kalau ketahuan memegang HP.” Titah pria bernama Frank.Benar seperti yang dikatakan, mereka disana tidak ada yang boleh memegang alat komunikasi apapun. Hanya orang tertentu yang diperbolehkan“Mungkin punya orang-orang yang terdampar,” sahut teman lainnya.Frank mengambil
"Apa kakimu sudah lebih baik?" tanya seseorang pada pasiennya.Pria itu mencoba menggerakkan kaki kanannya tapi yang ada justru dia meringis kesakitan."Masih sakit," jawab Hexa.Allice menghela nafasnya. Dia melepas alat tensi dari lengan Hexa yang kini sedang menjadi pasiennya.“Aku rasa kakimu benar-benar harus di gibs, Hexa. Itu lebih baik. Jangan dulu keluyuran merawat pasien lainnya,” kesal Allice.Bagaimana tidak, sejak mereka selamat dari maut. Dalam kondisi luka, Hexa masih kesana kemari untuk merawat korban lainnya yang menurutnya masih bisa diselamatkan.Ya, ini sebuah kesempatan hidup dari Tuhan yang tidak bisa mereka sia-siakan.Mereka adalah dua dari beberapa orang yang selamat dari kecelakaan pesawat.Jika mengingat kejadian itu, merupakan suatu kengerian yang nyata. Pesawat hilang kendali ketika radar mendadak hilang. Pilot mulai membawa mereka entah kemana. yang pasti sudah keluar dari jalur. Cukup lama pilot mencoba mencari lokasi yang menurutnya tepat untuk melakuka
“Apa kamu melihat ponselku terjatuh disini? Karena aku merasa membawanya ketika mencoba keluar dari pesawat itu,” tanya Allice masih berusaha membujuk. Bahkan dia bisa menunjukkan ekspresi sendunya meski dua pengawal itu masih nampak datar menatapnya. Ah, tapi setidaknya mereka tidak sedang memarahinya. “Aku memiliki dua anak kembar. Mereka belum genap 6 tahun. Kamu bisa bayangkan bagaimana sedihnya mereka saat menyangka kalau orang tuanya menghilang?” Mata Allice bahkan sampai berkaca-kaca karena mengingat bagaimana kesedihan Anna dan Brian. Apalagi selama ini yang mengurus kedua anaknya adalah dirinya. Allice menunduk mengusap air matanya. “Setidaknya aku ingin mengabarkan kalau aku masih hidup,” lirihnya. Frank sempat memikirkan perkataan Allice. Jangankan perempuan itu yang baru 3 minggu ada disini. Dia sudah hampir 5 tahun terjebak di tempat ini dan tak bisa keluar. Dia juga memiliki istri dan satu anak bayi kala itu. Entah bagaimana kabar mereka. Saat sedang melamun, Frank
"Kamu?"Kedua wanita itu sama-sama menunjuk saat keduanya bertatapan. Namun sebelum Allice membuka mulutnya lagi, lawan bicaranya langsung menggeleng samar. Memberi kode supaya Allice diam.Untunglah Allice mengerti meski dia masih terkejut bertemu wanita itu disini.Nadia. Bagaimana bisa wanita yang sudah lama menghilang ternyata ada di depannya. Bahkan di wilayah yang nampaknya sangat asing baginya."K-Kamu diperintahkan Tuan Oscar untuk menemuinya," ucap Nadia terlihat gugup.Allice masih terdiam meneliti pakaian yang Nadia kenakan. Terlihat seksi namun anggun. Jika saja Allice tidak mengenal Nadia sejak bertahun-tahun lamanya, mungkin dia tak akan mengenali.Mulai dari nada bicara yang lebih lembut dari pada sebelumnya. Rambut hitam kini sudah di cat menjadi blonde dan berombak. Make up juga lebih natural. Sepertinya Nadia mendapatkan perawatan yang sangat baik disini."Halo, Tuan Oscar tidak bisa menunggu terlalu lama." Nadia menggerakkan tangannya di depan wajah Allice. Membuat
Ternyata penyebab kondisi menyedihkan istri Oscar adalah luka tembak yang pernah dideritanya di kepalanya. Memang, menjadi istri seorang mafia tentu sangat berisiko untuk terluka. Wanita itu bernama Lucetta. Allice memasuki sebuah kamar yang berlokasi tepat di samping kamar Oscar. Di ruangan itu, peralatan medis terlihat sangat lengkap dan tersusun rapi. Biasanya ada tenaga medis yang berjaga. Tapi kali ini Oscar sengaja meminta yang lain untuk pergi.Di sana, seorang wanita berwajah cantik, Lucetta, terbaring lemah. Saat Allice dan Nadia memasuki kamar tersebut, matanya perlahan terbuka, menyadari kedatangan mereka. Tak lama kemudian, Oscar mengikuti jejak mereka masuk, mendahului, lalu duduk di samping istrinya dengan penuh kasih sayang. Lucetta terlihat sangat kurus dan lemah, serta pandangan matanya kosong tanpa semangat. Seluruh tubuhnya tampak tak mampu merespon apapun, seolah-olah jiwa dan raga terpisahkan oleh kepedihan yang mendalam."Aku sudah mendatangkan banyak dokter
Permintaan ibunya untuk mengajak Dhea berlibur bersama mereka seolah menampar wajahnya. Baginya itu adalah hal yang sangat konyol. Apakah Imelda benar-benar ingin melihat anaknya mencari wanita lain dalam hidupnya? Arsen merasa bingung dan frustasi dengan situasi ini. "Sebaiknya mommy pulang," ujar Arsen dengan lembut pada Imelda."Kok, mommy suruh pulang? Kan mommy mau jagain Brian." Imelda menunjuk pada anak kecil yang masih tertidur pulas di ranjang kamar pasien.Namun, Arsen merasa kalimat itu terasa seperti sindiran. Bahwa ia harus mencoba untuk memperhatikan kehidupan percintaannya sambil tetap menjaga anak-anaknya. Sementara itu, Dhea merasa situasi sangat canggung. Dia pun tidak mau terlalu lama berada di sana, mengetahui betapa sulitnya posisi yang harus dihadapi Arsen.Sebagai dokter yang profesional tidak mau membahas hal pribadi saat bertugas, Dhea memutuskan untuk berpamitan pada Imelda."Maaf, Tante. Saya sangat menghargai rencana Tante Imelda yang ingin mengajak saya
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady