Frank baru saja mengantar tuan-nya pergi meninggalkan pulau. Ya, sebuah pulau asing dimana tempat ini dijadikan markas seorang mafia kejam macam Oscar Reinhard. Di sisi kanan pulau, terdapat ladang tumbuhan ganja dan segala sesuatu yang bisa dijadikan obat terlarang. Dua buah pabrik besar juga berdiri. Yaitu pabrik untuk membuat senjata dan satunya untuk mengolah obat terlarang tersebut. Nantinya, produk-produk itu akan dipasarkan secara ilegal ke wilayah-wilayah yang menjadi tempat jual beli barang haram tersebut. Dengan tingginya kekuasaan Oscar. Dia juga bisa membuat pulau itu tidak terdeteksi oleh peta dunia. Tak hanya itu, dengan radius tertentu, orang asing tidak bisa mendekat. Kalau pun ada, mereka akan dijadikan tawanan. Dijadikan budak dan tidak akan dikembalikan ke tempat asal kecuali dalam keadaan tak bernyawa. Frank menjadi salah satu pimpinan pengawal kepercayaan Frank dalam menjaga pulau ini. Dia mendapat laporan dari anak buah yang berjaga di pantai setiap saat kalau
Nadya terlihat pucat dan lemas, bolak-balik ke kamar mandi karena diare yang tak kunjung reda. Karena Nadya saat ini sedang dijadikan ratu oleh Oscar, kepala pelayan pun khawatir. Sebab kalau Oscar tau kondisi Nadya, kemudian menyalahkan makanan yang dihidangkan. Pasti nanti Salma-lah sebagai kepala pelayan yang akan menanggung akibatnya.“Nona Nadya, saya panggil dokter lebih dulu.” Salma segera meminta pengawal yang berjaga di depan kamar Nadya untuk memanggil Dokter Allice.Di kamar, Dokter Allice dengan cermat memeriksa Nadya yang terbaring lemah di tempat tidur. Wajah Nadya tampak pucat dan berkeringat, tangan gemetar saat mencoba meraih gelas air yang disodorkan pelayan."Dok, apa penyebab diare ini? Saya merasa sangat lemas," keluh Nadya dengan suara lirih.Dokter Allice yang sedang memeriksa denyut nadi Nadya menjawab, "Sepertinya ini akibat infeksi bakteri, Nona Nadya. Apakah Anda mengonsumsi makanan yang tidak higienis atau sudah kadaluarsa?"Nadya berpikir sejenak, lalu ter
Suara derit pintu kamar membuat Allice begitu terkesiap.“Frank? Dia datang?”Dalam sedetik Allice langsung berjongkok di tempat yang kebetulan posisinya ada di samping meja. Segera pula dia bergeser, bersembunyi di bawah meja besar di sudut kamar gelap.Pintu dibuka makin lebar. Benar, Frank masuk. Langkah berat kepala penjaga itu terdengar masuk lalu menutup pintu lagi. Netra tajam itu penuh waspada meneliti setiap sudut ruangan tanpa menyalakan lampu.Sinar rembulan yang masuk melalui sela jendela menyinari wajah Frank yang curiga. Napas Allice tersengal-sengal, dan dia merasa jantungnya berdebar kencang saat Frank mendekati meja di mana dia bersembunyi.Ketika kaki Frank mulai terlihat, Allice reflek menutup mulut dengan kedua tangannya mencoba sebisanya untuk tidak membuat suara apapun.“Tidak. Aku tidak ingin mati lebih awal. Aku ingin selamat. Tuhan, lindungilah hambamu ini.” Dalam hati Allice terus berdoa dalam keheningan.Namun, ternyata Frank justru berhenti di depan lemari
Arsen hampir tak percaya kalau pada akhirnya dia bisa mendengar suara Allice lagi. Mulutnya bahkan tak bisa berucap apapun ketika telinganya masih mendengar voice note yang Allice kirim. Serindu ini dia pada istrinya. Mata Arsen mengerjap karena mulai basah saking bahagianya. Tapi rasa rindu dan rasa syukur sebab istrinya benar-benar masih ada di dunia ini, atensi Arsen teralihkan setelah dia mencoba fokus mendengarkan isi dari pesan suara Allice. “Mafia? Oscar Reinhard?” Arsen mengulang lagi voice note dari yang paling atas lalu mendengarkan dengan cermat. Setidaknya saat ini Arsen memiliki waktu untuk menghubungi Darren sebelum posisinya semakin dekat menuju perairan yang dituju. Arsen duduk di sisi ranjang. Dia lebih dulu ingin melepas rasa rindunya dengan mengirim voice note balik pada Allice. “S-Sayang, kamu tidak tau sebahagia apa aku mendengar kalau kamu masih hidup. Aku janji akan segera mengirim bantuan untuk menyelamatkanmu dari pulau itu. Tunggu aku, Sayang. Aku sanga
Laut yang tenang seolah menyembunyikan misteri di balik gelombangnya yang lembut. Arsen merasa gugup dan tidak sabar, ia sudah dua hari berlayar bersama anak buahnya untuk mencapai pulau misterius itu. Jarak antara lokasi titik dan dirinya semakin dekat, membuat detak jantungnya semakin kencang.“Kita harus hati-hati. Pulau disana adalah markas mafia berbahaya," ujar Arsen pada Deri, anak buahnya yang setia.Arsen tengah memperhatikan pulau dari teropong di tangannya. Dahinya berkerut setelah tau kalau benar-benar ada bangunan semacam mansion di sana. Padahal kalau dilihat dari peta, pulau ini tidak terdeteksi.“Persiapkan diri dengan baik. Pastikan senjata dan kesiapan fisik kita dalam kondisi maksimal,” sambung Arsen.“Iya, Tuan. Tadi saya sudah memeriksa senjata dan menyusun strategi pertahanan sesuai dengan yang Tuan perintahkan kemarin kepada anak buah lain. Kita siap menghadapi segala kemungkinan di pulau tersebut,” jawab Deri dengan sangat mantap.Arsen memberikan teropong di t
“Berhenti! Siapa di sana?" Suara itu membuat Arsen langsung berjongkok di balik batu besar tepi pantai, mencoba menyembunyikan dirinya dari penjaga yang berjaga di sana. Dalam ketegangan, Arsen mengintip dengan hati-hati dari balik batu, berharap penjaga itu tidak melihat keberadaannya. “Dia sempat melihatku,” bisik Arsen terus waspada. Dia juga mencoba melihat penjaga lain. Rupanya mereka masih jauh. Hanya satu penjaga yang kemungkinan sempat melihatnya ketika berpindah dari satu batu ke batu lainnya. Penjaga itu perlahan mendekat, langkah kaki terdengar semakin jelas. Arsen merasa jantungnya berdegup kencang, berharap dirinya tidak ketahuan. Dalam hitungan detik, kedua mata mereka saling bertemu. Arsen melihat penjaga itu hendak menembakkan pistol ke arahnya, dan dia tahu saat itu adalah saat yang tepat untuk bertindak. Dengan gerakan cepat dan tenaga yang terkumpul, Arsen menarik penjaga itu ke belakang batu besar dan menutup mulutnya dengan erat, mencegah teriakan yang mungki
Mata Allice membulat saat dia bisa melihat kalau orang yang sedang menahannya di dinding dan membungkamnya adalah seorang pria. Meski lampu masih mati, siluet itu terlihat jelas. “Mmmmh!” Allice terus meronta. Dia takut kalau orang ini akan memperkosanya. Bisa saja kan? Pria-pria disini seram-seram. Kaki Allice yang tadinya tak bertenaga, kini justru dia gunakan untuk menendang alat vital pria itu. “Akh!” pekik pria itu membungkuk sambil memegang bekas tendangan Allice sambil kesakitan. “Allice ....” Allice terdiam mendengar suara yang sudah lama dia rindukan. Dengan penuh harap, semoga tebakannya tidak salah. Allice segera menyalakan lampu kamar. Kedua tangan Allice menutup mulut mulutnya yang terbuka setelah melihat kalau memang Arsen yang ada disini. “A-Arsen?” “Ssshh ... Sayang ....” Allice mengeluh sakit. Wajahnya terlihat sangat manja. Alih-alih peduli dengan hasil tendangannya tadi. Allice justru masih terkejut dengan kemunculan sang suami tiba-tiba. Dia mendekat lalu m
Allice mengerjap perlahan saat terbangun dari tidur nyenyaknya. Namun ketika teringat pertemuannya dengan Arsen semalam. Dia langsung terkesiap.“A-Arsen?” panggil Allice sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar.Kosong.Apa ini mimpi? Apa Arsen hanya muncul di mimpinya? Namun ketika dia menyingkap selimut hendak turun dari ranjang. Allice baru sadar kalau dia tidak memakai sehelai benang pun. Bahkan kulit putih halusnya kini terdapat banyak sekali bekas kiss mark.“Sayang, kamu bisa ambilkan baju milik Hexa?”Arsen tiba-tiba muncul dari kamar mandi memakai baju penjaga yang semalam digunakan.“Arsen.” Allice berdiri lalu memeluk sang suami.“Hei, kamu kenapa?” lirih Arsen sambil menangkup kedua sisi wajah Allice. Wanita itu menangis lagi.“Aku tadi takut kalau ternyata kejadian semalam hanya mimpi,” rengek Allice dengan sisa tangisan kecilnya.Arsen tersenyum kemudian mengecup bibir itu singkat.“Aku disini. Aku yang akan mengajakmu kembali,” ujar Arsen begitu yakin.Allice baru bi
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady