"Jadi kamu di sini?"
Pandangan manik mata Allice itu kini jatuh pada sosok wanita bergaun peach yang tengah duduk di sofa empuk yang berada tepat di dack teratas kapal pesiar itu. Sepoi-sepoi angin yang menerpa helaian surai wanita berbibir pucat Nadya.
"Langitnya sangat indah, tapi entah kenapa rasanya sakit sekali di sini," ungkap Nadya sembari menyentuh ulu hatinya yang terasa sesak.
Allice tak bisa menahan diri untuk tidak merengkuh wanita di hadapannya ini. Penderitaan yang dialami Nadya membuat siapapun pasti akan merasa iba.
Jemari Allice mengelus punggung rapuh Nadya. "Aku tahu ini tidak adil untukmu."
"Hanya saja, aku percaya satu hal. Tuhan tidak akan memberikan luka tanpa obat. Kamu hanya butuh waktu untuk menemukannya."
Rengkuhan itu diurai perlahan oleh Nadya yang kini menyorot lekat tepat di mata indah milik Allice yang memancarkan ketulusan.
"Oma, kenapa Papa dan Mama belum kelihatan? Anna kangen ingin peluk Mama," keluh bocah kecil berkuncir kuda dengan bibir cemberut.Bagaimana tidak kesal, sudah berdiri lama tapi yang dinanti-nanti belum juga nampak batang hidungnya. Rindu terlanjur membuncah di hati anak kecil ini.Yap! Kabar kembalinya korban kecelakaan pesawat akhirnya sampai pada keluarga. Dan di sini, tepatnya di ruang tunggu pelabuhan, segerombolan keluarga besar Allice dan Arsen telah hadir sejak tiga puluh menit yang lalu.Mereka semua tak sabar untuk melihat kepulangan Arsen dan Allice setelah sekian lama menghilang tanpa jejak.Imelda yang melihat cucunya tampak letih sekaligus bosan akhirnya turun tangan. Menggendong Anna dengan penuh perhatian.Tak lupa, kalimat penenang diutarakannya untuk mengusir kegundahan hati sang cucu.Jemari Imelda mengelus pipi gembul Anna. "Hey, cucu Oma yang cantik jangan sedih dong. Kan sebentar lagi mau ketemu Papa dan Mama. Sabar dulu ya. Nanti kalau mereka sudah datang, Anna
Hari yang cerah diawali dengan langkah mantap seorang pria dengan jas putih kebesarannya. Turun dari mobil sedan abu, aura tegasnya menguar begitu jelas.Sang pemilik punggung tegap itu bahkan tak sungkan melempar senyum balik kepada orang-orang yang menyapanya."Pagi, Dokter Hexa."Ya, dia-lah Hexa Alexander, direktur RS Internasional yang kini telah kembali bekerja setelah satu minggu beristirahat pasca kepulangan dari insiden kala itu. Anggukan juga seulas simetri sabit tercetak di bibir Hexa. "Pagi."Ditemani oleh dua asisten dokter di belakangnya, Hexa menaiki lift yang berada di ujung lorong. Tujuannya kini mengarah ke gedung H, tempat diadakannya meeting penting hari ini."File evaluasi-nya sudah siap semua kan?" tanya Hexa pada Armer, asisten dokter yang kebetulan mendapat bagian untuk mengurus laporan pasien khusus."Sudah, Dok. Semuanya aman." Armer menjawab dengan lugas yang disambut anggukan singkat dari Hexa.Ketika hendak menekan tombol lift, secara bersamaan Allice mun
Hari yang dinanti-nanti kini telah tiba. Momen sakral dan janji suci sehidup semati akan seger digelar sempurna dalam suasana hangat nan intim ini. Sengaja memilih hutan pinus dengan tema rustic, baik Dhea maupun Hexa benar-benar ingin menggelar pesta pernikahan mereka berbalut style vintage. Jajaran kursi kayu berselendang cream dan panggung dihias tanaman rambat yang cantik natural semakin menghidupkan kentalnya suasana. Tepat pukul sembilan pagi, Dhea melangkah menuju tempat pelaminan diiringi Allice juga salah satu kerabat dekatnya. Mengenakan gaun sederhana berenda broken white, Dhea tampil menawan. Begitu pula dengan Hexa yang telah menunggu di panggung pelaminan. Pria tampan itu begitu sempurna dalam balutan jas berdasi kupu-kupu berwarna senada. "Cantik. Sangat cantik," puji Hexa ketika Dhea telah tiba di depan matanya dan tangan ini terulur menyambut sang calon istri. Dhea mengulum senyum. Sungguh, pipinya terasa memanas. Tapi Dhea tak bisa berkutik selagi ini masih pros
"Aku tidak butuh dokter dan obat. Aku hanya perlu kamu, di sini." Oscar selalu menunjukkan sisi gemasnya di depan Lucetta. Berbeda kalau sudah bersama anak buah dan orang luar, Oscar tak mungkin manja seperti ini.Walau hatinya sedikit tersanjung dan ikut menghangat karena ucapan Oscar, tapi Lucetta tak ingin egois. Dia harus mengutamakan kesehatan suami tercintanya."Not for now, Hubby. Kamu perlu istirahat penuh dan obat supaya cepat sembuh." Lucetta mengurai pelukan itu.Lantas, mengelus rahang tegas Oscar dengan lembut. "Aku nggak tega lihat kamu muntah-muntah terus kayak tadi."Sumpah demi apapun, baru kali ini Lucetta mendapati sang suami yang biasanya sehat bugar bahkan nyaris tak pernah jatuh sakit karena hal sepele kini terlihat pucat.Bahkan muntahan isi perutnya sudah memperlihatkan dengan jelas bagaimana rapuhnya kondisi Oscar pagi buta ini.Meski
Waktu terus bergulir hingga tak terasa empat bulan telah berlalu dengan pasang surutnya. Kehidupan Nadya yang berjuang seorang diri demi menjaga calon anaknya pun tak selalu berjalan mulus. Dengan kondisi perut yang semakin membesar, Nadya rela banting tulang tanpa memandang siang atau malam. Niat hati menetap di pinggiran kota. Tapi ternyata dia membutuhkan uang lebih setelah perutnya yang makin membesar. Belum lagi nanti biaya lahiran dan merawat anak. Nadya pun keluar dari persembunyiannya dan kembali ke kota. Beruntung, Allice menawarkan lowongan pekerjaan di sekolah Brian dan Anna. Sebenarnya bisa saja di perusahaan Arsen. Tapi Nadya tidak mau mengulang kisah lama dimana dia pernah mencoba menggoda Arsen dan merusah rumah tangga bosnya itu. Jadilah dia di sini sekarang. Sudah satu bulan menjadi staff administrasi di sekolah Brian dan Anna juga sesekali menerima pesanan catering di sela-sela waktu senggang, jadi rutinitas harian Nadya. "Allice," sapa Nadya dengan senyum ramah s
Mata Nadya menyipit memperhatikan pria bertopi yang sedang menatapnya. Tidak nampak wajah itu karena memakai masker. Karena penasaran, Nadya pun berjalan mendekat.Sayangnya, saat dia sudah hampir dekat dengan orang yang mencurigakan itu, si pria langsung berlari dan menghilang.“Siapa ya? Ngga mungkin kan ada orang jahat. Aku ngga punya musuh,” gumam Nadya."Hei, Nad! Astaga aku cari ke mana-mana ternyata kamu di lorong ini?" Allice menghela napas, lega karena akhirnya bisa menemukan Nadya.Ibu hamil itu sempat tersentak. Tapi dia akhirnya memberikan ringisan kecil pada Allice. "Maaf, ada sedikit insiden yang tidak terduga jadi aku terhenti di sini."Kontan, Allice menatap Nadya dengan raut panik. "Insiden apa? Kamu tidak kenapa-napa kan?""I'm okay. Hanya sedikit bersenggolan dengan ibu-ibu tadi, tapi dia juga tidak sengaja kok. Semua baik-baik
Hari ini, Oscar tengah menangani sebuah proyek baru di Singapura bersama kolega bisnisnya. Bukan tanpa alasan, tentu karena dia ingin melihat Nadya secara langsung. Sebab jarak Singapura ke ibu kota Indonesia hanya 1 jam perjalanan udara.Lucetta? Oscar tau kalau istrinya selalu ikut kemanapun dia pergi. Itu sebabnya dia memilih Singapura untuk melancarkan rencananya."Hubby," panggil Lucetta yang saat ini menghampiri Oscar di tepian ranjang.Dengan manjanya, Lucetta bergelayut di lengan kekar sang suami. "Nanti malam kita shopping berdua di Marina By Sand ya?"Oscar yang semula tengah mengecek beberapa email di ponsel refleks menoleh. Keningnya mengerut seakan tak sependapat dengan permintaan Lucetta."Kamu lupa kalau jam tujuh nanti aku dan asisten pribadiku harus temani Mr. Ben dinner sekaligus bahas kelanjutan proyek?" Mendengar respon Oscar yang berbanding terbalik dengan harapannya, bibir Lucetta mencebik kesal. "Ingat, tapi kan setelah dinner juga bisa.""Lagipula katamu kita
“Kandungan Anda baik-baik saja, Nyonya. Janinnya berkembang dengan sangat baik dan sehat. Meski begitu, saya harap Anda tetap rutin mengonsumsi vitaminnya.”Penjelasan yang disampaikan Dokter Hana, wanita paruh baya yang sudah empat bulan ini menangani jadwal kontrol bulanannya.Nadya mengangguk dengan lengkungan simetri sabit. Ada kelegaan yang menguar di dalam lubuk hatinya yang paling dalam.“Baik, Dok. Saya akan mematuhi semua perintah Dokter demi kesehatan calon bayi saya,” sahut Nadya yang disambut senyum juga oleh Dokter Hana.“Dari yang saya lihat, Anda sepertinya sedang sangat bahagia. Dan jujur, itu cukup bagus untuk stabilitas kondisi janin Anda.” Dokter Hana menatap binar di manik mata Nadya.Jari telunjuk Nadya mengarah pada dirinya sendiri. “Apa begitu kelihatan, Dok?”Dokter Hana tertawa kecil lalu mengalihkan pandangan ke arah Devan yang saat ini tengah membelakangi ruang pemeriksaan karena sedang mene
Drrttt ... Drrttt ... Drrttt ...Gerakan polesan brush berwarna pink di sela jari telunjuk juga jempol berkutek peach itu seketika terhenti.Atensi wanita cantik yang tengah duduk di kursi rias langsung beralih pada sebuah ponsel yang tergeletak di atas nakas."Siapa ya?" Tangan Nadya terulur, meraih benda pipih nan canggih tersebut.Begitu sepasang netra amber ini menyorot sebuah nama yang tertera di layar ponsel dalam genggamannya, detik itu juga Nadya membuka mulutnya lebar-lebar dengan raut terkejut."Wah serius ini Allice video call?!"Tanpa ba-bi-bu, Nadya segera menggeser icon hijau tersebut dan saat itu juga pandangannya disambut senyum juga lambaian tangan dari Allice di sebrang sana."Haii, Nad!" sapa Allice dengan wajah sumringahnya.Nadya tersenyum lebar lalu ikut melambaikan tangan. " Allice haloo!""Ih kangen banget aku sama Allice tau. Udah setahun lebih nggak ketemu kan kita?" tanyanya sambil mengingat-ingat kapan terakhir berjumpa.Tawa Allice meluncur renyah. "Iya ma
"Kamu yakin ini rumahnya?"Oscar menoleh ke kiri, menatap wanita cantik dengan blouse dusty pink yang kini sebelah tangannya menggenggam stroller bayi berwarna senada."Iya bener kok ini tempatnya. Tunggu, biar aku yang tekan belnya," sahut Nadya yang setelahnya langsung mengulurkan tangan, menekan bel di dinding berwarna silver itu. Menunggu beberapa detik, barulah pintu terbuka. Menampilkan sosok wanita dengan rambut digelung indah yang muncul dengan raut terkejut."Nadya? Ini beneran kamu? Udah sehat?" pekik Allice begitu senang melihat Nadya di hadapannya setelah 2 bulan tanpa kabar.Terakhir Nadya ijin melalui pesan singkat kalau dirinya akan ke Italia untuk mengurus ini dan itu di kediaman Oscar sebelum melangsungkan pernikahan.Wanita muda berblouse dusty pink itu terkekeh geli. Dipeluknya tubuh Allice seperti seorang adik yang merindukan kakaknya."Surprise! Yes, it's me, Allice," timpal Nadya masih dengan tawa jahilnya sebab merasa berhasil membuat kejutan ini.Allice mengura
"Kamu gila ya?! Kamu pikir nikah itu seperti anak kecil merengek minta dibelikan permen?" Nadya mendelik tajam, jelas saja ia melayangkan protes.Manusia mana yang tiba-tiba dengan asal mendesaknya menikah padahal belum juga ada pembicaraan khusus ke arah sana.Ya meskipun sudah ada Isabel di antara dirinya dan Oscar, tapi tetap saja butuh waktu juga persiapan untuk menuju ke jenjang pernikahan yang sebenarnya.Oscar melirik Lexa yang menyembulkan kepala di balik pintu kamarnya. Lalu, dilemparnya kode agar adiknya itu berhenti mengintip.Seolah tahu kakaknya butuh privasi, akhirnya Lexa menurut dan mundur dari sana. Memberi ruang pada dua orang dewasa di ruang tengah itu.Dirasa waktunya sudah tepat, Oscar segera mengalihkan atensi wanita di hadapannya ini. "Kamu lapar kan? Ke dapur sebentar yuk.""Mau aku buatkan makanan apa?" tawarnya dengan nada selembut mungkin. Enggan membuat Nadya merasa tak nyaman berada di dekatnya.Sebelah alis Nadya terangkat. Sedikit merasa aneh mengetahui
"Loh, kalian sudah pulang?"Membuka pintu mansion megah tersebut, kelopak mata Imelda terbuka lebar juga mulutnya menganga saat mengetahui siapa yang datang.Bukan. Bukan karena Imelda tak suka, melainkan heran dan ekspetasinya sedikit meleset."Kenapa tidak kasih kabar dulu? Mama kan bisa jemput di bandara. Terus Nadya mana? Kok tidak bareng sama kalian?"Runtutan pertanyaan itu seketika membombardir Allice juga Arsen yang saling melempar pandang dan menahan senyum.Arsen menyahut enteng. "Anggap aja ini surprise, Ma. Lagi pula, Mama tidak senang aku dan Allice pulang lebih cepat?""Memangnya Mama tidak rindu pada Brian dan Anna?"Baru saja kedua nama bocah itu disebut, kakak beradik tersebut turun dari mobil ditemani suster mereka yang juga ikut saat terbang ke kota tempat tinggal Nadya kemarin."Omaa!" pekik Anna sambil berlari kencang ke pelukan Imelda.Untung saja, Imelda dengan sigap menangkap tubuh mungil cucunya yang selalu menggemaskan ini. "Ututuu ... Cucu Oma yang cantik."
Suara tangisan bayi di dalam box khusus itu menggema di seluruh penjuru ruang bernuansa putih ini.Nadya yang semula nyaris memejamkan mata spontan terperanjat dan refleks mengalihkan pandangan ke arah sang putri kecil yang menangis keras."Cup cup cup, Sayang. Bunda di sini, Nak," ucap Nadya sambil tangannya terulur, menggoyangkan box tersebut dengan lembut, mencoba menenangkan bayinya.Namun ternyata, gerakan itu tak cukup untuk membuat putrinya diam dan kembali terlelap. Yang ada justru tangisnya kian menjadi-jadi.Hal tersebut jelas membuat Nadya kelimpungan dan panik. Jujur saja, tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi hanya untuk turun dari ranjang lalu sekadar menggendong tubuh mungil itu."Aduh ... Aku mesti gimana?" gusar Nadya dengan tubuh lemas juga wajah pucatnya itu.Hati ibu mana yang tega membiarkan bayinya menangis. Nadya akhirnya memaksakan diri untuk mendudukkan badan yang rasanya tak karuan ini."Eh tunggu! Tetap di sana. Biar aku aja," cegah Oscar yang tiba-tiba
Suara ketukan di balik pintu ruangan bernuansa putih pucat itu sampai ke telinga seorang wanita berambut panjang yang duduk bersandar di brankar dengan wajah datar.Nadya refleks menoleh. Atensinya beralih pada gadis berkaki jenjang yang kini mengenakan outfit casual dibalut dengan syal tipis yang melingkar di leher."Excuse me, apa aku boleh masuk?" izin gadis berbola mata biru cerah di ambang pintu tersebut.Meski sorot mata keduanya bertemu di satu titik yang sama, bibir Nadya tetap terkatup rapat. Ia tak menyahut. Membiarkan tamunya masuk dengan sendirinya.Dengan senyum ramah, gadis itu menghampiri brankar Nadya. "Maaf kalau aku menganggu waktu kamu berisitirahat, tapi izinkan aku memperkenalkan diri."Di sana sudah ada box bayi. Di mana bayi yang belum berumur 1 minggu itu tengah tertidur pulas setelah suster memacu ASI Nadya lalu bayi pun minum ASI untuk pertama kali. Pertama kali pula bayi itu kenyang dan tidur pulas di dalam box.Baiklah, jadi Lexa punya banyak waktu untuk bi
Sudah berapa jam Allice dan Arsen membiarkan Oscar di dalam menemani Nadya. Tentu Oscar tidak akan menyiakan setiap detik waktu yang ada. Dia tidak hentinya memandang wajah yang sangat dia rindukan itu.Digerakkan jemarinya untuk mengusap dahi, hingga alis Nadya yang tebal. Mengusap lembut pipi kenyal yang sedikit berisi. Lalu dia geser hingga menyentuh bibir yang sering kali bisa menenangkannya dikala banyak pikiran.“Dingin,” ujarnya saat pada bibir pucat itu.Dengan gerakann pelan, Oscar membungkukkan badannya. Dia melumat halus bibir dingin dan kering.“Bangun, Nadya,” ucapnya lirih melepas sejenak bibir itu. Kemudian dia lakukan lagi, begitu ringan gerakannya, hanya sekedar ingin menghangatkan. Tanpa nafsu sedikitpun.Tanpa Oscar ketahui, ulahnya itu mampu merangsang saraf Nadya. Jemarinya bergerak merespon tanpa ada yang melihat.CUP!Oscar berpindah mengecup dahi itu, begitu dalam hingga matanya terpejam untuk menikmati dan menghirup aroma kulit wanitanya. Baru setelahnya dia m
Oscar memandangi anaknya dari depan kaca ruang perinatologi. Hatinya resah saat melihat bayi itu terus saja menangis.“Permisi!” Oscar mencegah perawat yang hendak masuk.“Iya, Pak?” tanya perawat.“Apa saya boleh menggendong anak saya?” tanya Oscar menunjuk pada bayi di dalam box.“Saya suami Nadya, ibu dari bayi itu.” Pria itu sampai menunjukkan foto dirinya bersama Nadya yang diambil ketika mereka masih bersama dulu.“Ah, boleh. Tapi hanya sebentar. Dan semoga bayinya bisa berhenti menangis kalau di dekapan ayahnya.”Oscar mengikuti perawat masuk ke ruang perinatologi. Hatinya begitu gembira setelah melihat bayinya. Padahal sebelumnya dia belum pernah sebegitu tertarik pada seorang bayi.Seperti anjuran perawat, Oscar lebih dulu cuci tangan menggunakan sabun hingga bersih lalu mengeringkannya. Setelahnya dia berbalik dan sudah melihat perawat itu menggendong sang bayi yang masih saja menangis.Tiba-tiba rasa gugup menyelimuti, tapi hasratnya sungguh ingin menggendong bayi itu.“Tua
"Ternyata kau di sini."Arsen menghampiri Dev yang tengah berdiri menyendiri di rooftop rumah sakit sembari memandang langit yang mulai berubah warna. Senja, seharusnya indah tapi entah kenapa terasa berbeda bagi Dev kali ini."Ah, Arsen. Kamu sudah sampai? Maaf belum sempat menyapamu dan Allice," sahut Dev yang kini berbalik badan, membalas tatapan mata Arsen dengan sebuah senyum kikuk.Tangan kanan Arsen menepuk bahu kiri Dev layaknya seorang kerabat dekat. "No problem, santai saja.""Sejujurnya, aku senang saat tahu Nadya ada bersamamu. Karena aku sangat yakin, kamu akan menjaganya dengan sangat baik."Menghela napas panjang, Dev lantas menggeleng lesu. "Tapi aku gagal menjaganya dan membuat bayinya lahir di waktu yang tidak seharusnya."Arsen tersenyum tipis. Setidaknya dia mengerti ada rasa bersalah dari sorot mata Dev."Jangan memandang rendah dirimu sendiri seperti itu, Dev. Kita sudah berteman cukup lama. Aku tahu seperti apa kamu memperlakukan wanita. Apalagi, dia adalah Nady