Hari berganti minggu, kini tibalah saatnya Clara dan Naresh berbulan madu. Tidak selayaknya pasangan yang bahagia, penuh wajah ceria, dan membayangkan akan memadu kasih. Pasangan suami istri itu sama-sama hening di sepanjang perjalanan. Setelah menempuh waktu yang cukup lama, pasangan tersebut telah menapakkan kakinya di Bandara. Baru setelahnya mereka menuju hotel menaiki mobil yang telah siap sedari tadi."Ini kunci kamar kamu, jangan sampai hilang. Kamar aku di depan kamu sini."Clara menatap datar pada suaminya, sekejap kemudian ia mengangguk."Jangan kira Mama nyuruh kita bulan madu lalu kita bisa satu kamar. Nggak, ya!""Siapa yang ngira gitu? Aku nggak ngira apa-apa, kok." Clara langsung meraih kunci yang di pegang Naresh dan lantas masuk ke dalam kamar.Brakkk!Naresh berjingkat kaget saat Clara menutup pintunya dengan keras. Namun, lelaki itu tidak mau peduli. Ia memilih turun dan menunggu Bella di lobi. Yeah, kekasihnya itu berangkat dengan pesawat yang berbeda dengannya.S
Clara merasakan ada yang menggeret tangannya untuk menepi, sementara matanya masih terus terpejam. Ia takut ingin membuka mata, tangisnya merintih pilu seiring dengan suara teriakan orang yang sedang berkelahi.Hingga beberapa menit kemudian, suasana sudah hening. Clara kembali merasakan tangannya di cekal oleh sebuah tangan besar. Ia tidak mampu melawan, tubuhnya gemetar hebat membayangkan dirinya akan di lecehkan."Jangan! Jangan sakiti aku ... A-Aku nggak punya siapa-siapa di dunia ini," isaknya pilu."Heh, bodoh! Buka matamu dan lihat aku!"Clara langsung membuka matanya. Air matanya langsung banjir saat mendapati suaminya yang berdiri di depannya dengan tampang datar. Wanita cantik itu langsung menghamburkan dirinya di pelukan Naresh, tangisnya semakin kencang, dan Naresh juga mendekapnya erat."A-Aku takut, Mas. Orang tadi mau melecehkan aku.""Iya, aku tahu. Mereka semua sudah aku buat patah tulang," jawab Naresh yang langsung membuat Clara mendongak."Kamu beneran?"Naresh men
Dua netra kembali beradu pandang, di lihat dari bahu dan dada Naresh yang kembang kempis, lelaki itu juga merasakan hal yang sama dengan Clara. Lelaki itu memandang wajah cantik yang berada di bawah kungkungannya, wajah yang entah sudah berapa kali ia bentak, dan kini bibirnya melabuhkan banyak ciuman basahnya di sana."Maaf," ucap Naresh.Deg!"Maaf kalau aku menyentuhmu tanpa kata romantis, bunga, musik, bahkan lilin. Maaf kalau kamu tidak mendapatkan kesan nyamannya."Clara menghela napas lega. Ia mengira malam penuh gairahnya kembali gagal."Aku menginginkanmu, Cla.""Yeah," jawab Clara singkat."Kamu bersedia?"Clara mengangguk."Kamu rela menyerahkannya untukku? Laki-laki yang seringkali membentakmu?""Aku akan menyerahkan semuanya untuk suamiku, Mas."Naresh mengulas senyum manis. Semua rasa benci yang menggunung di hatinya lebur begitu saja, seperti ada kekuatan maha dahsyat yang menggantikannya dengan cinta yang bertubi-tubi.Naresh tidak sadar bahwa ini adalah kekuatan doa d
Di sisi lain, Bella tengah duduk di ranjang dengan deru napas naik turun. Ia sedari tadi menelepon Naresh, tetapi tidak satupun panggilannya terjawab."Argh! Sial!" teriaknya penuh kebencian.Pikirannya mulai berkecamuk, "apa wanita tidak tahu diri itu sengaja menahan Naresh malam ini? Sialan! Aku harus segera kasih pelajaran."Bella bangkit dari duduknya, wanita itu menyambar ponsel, dan lekas berjalan keluar menuju unit kamar milik Clara. Tangannya mengepal ke udara dan bersiap-siap mengetuk pintu.Tok! Tok! Tok!Hening! Sama sekali tidak ada jawaban dari dalam. Bella semakin mengetatkan rahang, wanita itu kemudian kembali mengulangi gerakannya mengetuk pintu.Tok! Tok! Tok!Masih sama. Hingga tidak terasa sudah tiga puluh menit ia berdiri di depan pintu dengan perasaan kesal. Di tambah dengan lorong hotel yang sepi dan tidak ada suara sama sekali, rasanya sedikit mencekam berdiri di sini sendirian."Argh! Kok nggak di buka, sih, pintunya?!" Bella membalikkan badan dan lekas masuk l
Clara masih berbaring di ranjang setelah beberapa saat lalu pegawai hotel membawakannya sarapan. Pangkal pahanya masih perih, di tambah tubuhnya yang sedikit demam lantaran semalam kurang tidur karena Naresh yang terus-terusan menggempurnya.Drrrt!Mama is calling!Clara menghela napas lirih, baru saja ia ingin memejamkan mata setelah meminum obat, tetapi Mama mertuanya melakukan panggilan telepon. Dengan cepat wanita cantik itu menggeser tombol hijau guna menjawab telepon tersebut."Halo, Mah.""Halo, Sayang. Maaf, ya, pagi-pagi Mama mengganggumu," ucap Anne si seberang telepon."Nggak, Mah. Aku lagi nggak ngapa-ngapain ini.""Tapi suara kamu kok lemes, Sayang? Naresh nyakitin kamu lagi, ya?"Clara tertawa lirih mendengar nada khawatir Mama mertuanya. Anne memang sangat over protektif kepada menantunya, maklum saja karena wanita paruh baya itu belum sepenuhnya mempercayai Naresh."Aku cuma lelah, Mah. Ini tadi niatnya mau tidur setelah sarapan," jawab Clara."Tapi Naresh nggak macem-
Clara merasakan perutnya lapar hingga membuatnya terjaga dari tidur, sementara Naresh masih memeluknya. Netranya melihat pada jam yang bertengger di dinding, ternyata waktu sudah menunjukkan sore hari.Pantas saja perutnya melilit, ternyata ia melupakan makan siang. Akhirnya Clara memilih keluar kamar untuk menuju kantin. Langkahnya masih hati-hati karena harus menahan panas di area pangkal pahanya."Loh, itu kayak Bella?" gumamnya saat melihat sosok Bella tengah duduk di kantin dengan sarang pria yang tidak ia kenali."Ternyata gatal kepada semua laki-laki, aku kira sama Mas Naresh saja. Dasar ulat bulu," gumamnya lagi.Wanita cantik itu melangkah cuek ke dalam kantin dan lantas mendudukkan dirinya di salah satu kursi. Hal itu jelas saja di sadari oleh Bella.""Heh!" Bella menggebrak meja Clara hingga seluruh pengunjung menatap aneh pada mereka."Kekasihku kau sembunyikan di mana?! Kau ini pelakor kecil yang tidak tahu malu, ya, rupanya?!"Terdengar banyak bisikan dari orang-orang s
Setelah perdebatan tersebut, Naresh benar-benar pergi meninggalkan hotel itu. Lelaki itu tidak jadi ke kamar istrinya, tetapi langsung menuju mobil guna meninggalkan pulau ini. Sementara Clara, wanita itu terpaksa mengikuti suaminya, tentu saja dengan beberapa bodyguard yang mengawasi.Setelah beberapa jam di perjalanan, baik darat maupun udara, mereka berdua sudah sampai di kota. Clara langsung memasuki rumah dan menuju kamarnya, sedangkan Naresh hanya mencebikkan bibirnya melihat tingkah sang istri yang mengacuhkannya."Apa Clara tidak berpikir koper beratnya ini aku yang bawa? Dasar tidak peka, bisa-bisanya dia melupakan aku dan barang-barangnya," gerutunya sebal.Lelaki itu langsung menyusul Clara ke kamarnya dengan langkah tergesa. Tangannya mengepal ke udara dan mengetuk keras pintu di depannya, tetapi Clara sama sekali tidak menjawab. Lelaki itu mengulanginya beberapa kali, hingga ia nampak lelah dengan istrinya yang mengacuhkannya. Alhasil, Naresh turun dengan tampang kesal.
Suara sirine bersahut-sahutan, perasaan mencekam dan khawatir sontak menyeruak di dalam dada Clara. Bukan hanya mengkhawatirkan Kenzie, tetapi ia juga mengkhawatirkan suaminya."Jangan risaukan keadaannya, Cla. Dia tidak akan mati hanya karena tusukan kecil."Clara menoleh, menatap pada suaminya yang masih fokus pada laju mobil."Kamu menusuknya di beberapa bagian, Mas. Wajar kalau aku khawatir. Kalau Kenzie sampai kehabisan darah apa kamu nggak khawatir?'"Ada banyak kantung darah di rumah sakit. Apanya yang susah?"Clara menggelengkan kepalanya. Wanita cantik itu menatap tidak percaya pada suaminya yang begitu santai menghadapi situasi ini."Dia bisa menuntut kamu, Mas," lirih Clara yang langsung membuat Naresh menoleh."Dia nggak bakal bisa ngelakuin itu."Hening! Clara tidak lagi menjawab.Mobil yang di tumpangi mereka sudah terparkir di halaman rumah sakit. Keduanya lantas turun menyusul Anne yang sudah masuk bersama Kenzie, nampak di sana wanita paruh baya itu sedang mendudukkan