Elena masuk ke dalam restoran yang sengaja dia pilih sebagai tempat pertemuannya dengan Vero. Sepulang kerja, tepatnya malam hari sekitar pukul 9, Elena menghubungi Vero dan mengajak wanita itu bertemu di luar mansion.Elena sengaja memilih sebuah restoran yang jaraknya sedikit jauh dari mansion, karena dia tidak ingin pertemuan ini diketahui oleh siapapun anggota keluarga Blackwood. Saat Elena datang dan mencari meja yang telah dipesan, Vero melambaikan tangan. Wanita itu datang lebih dulu.“Selamat malam, Nyonya Elena,” sapa Vero. Dia menunduk hormat.Pakaian Vero cukup kasual, tidak memakai seragam khusus kepala pelayan. Membuat Elena tidak mengenalinya.“Terima kasih sudah bersedia datang,” balas Elena.Mereka berdua duduk saling berhadapan. Vero tersenyum, namun menundukkan pandangannya.“Nyonya … ““Ada yang ingin kubicarakan denganmu!” sambar Elena cepat. Dia sengaja melakukannya.Vero mendongak pelan. “Iya, Nyonya?”Elena menelan ludah. Seakan dia tengah mempertimbangkan ucapa
Elena terdiam sesaat. Dia mencoba mencerna kata-kata yang baru saja didengarnya. Setelah beberapa saat, Elena perlahan mendorong James. Dia melihat pria itu dengan tatapan penuh kebingungan dan mungkin sedikit luka. Luka karena teringat akan ucapan cinta dari Alex. Lagi-lagi tentang Alex.“James … ini bukan saatnya," jawab Elena dengan suara bergetar. “Kamu tahu posisiku sangat rumit,”James tampak tersentak, namun dia mengangguk pelan. “Aku akan melindungimu sekuat tenaga dari Alex,” ucap James.Elena menggeleng lemah. “Dia tidak akan melukaiku. Dia sudah membuangku,”“Keputusanmu untuk pergi dari mansion itu sudah tepat, Elena,” James terus berusaha meyakinkan Elena. Pria itu menyentuh bahu Elena, seakan mencoba menguatkan. “Ada aku di sini. Aku akan membantumu melawan Blackwood,”Elena diam saja. Dia sudah begitu lelah dan tidak ingin mendebat James. Bahkan ketika pria itu menuntun langkahnya untuk masuk ke dalam rumah. Namun James tidak dipersilahkan masuk kali ini. Elena dengan t
Tubuh Tabitha terasa begitu ringan, hingga tanpa sadar dia terhuyung. Dengan cepat Alex menarik pinggang Tabitha, menahan tubuh wanita itu agar tidak jatuh dari tangga. Untuk beberapa detik hanya ada sunyi, rasa canggung dan ketegangan di antara mereka.Setelah posisi Tabitha bisa berdiri kuat, Alex naik dua anak tangga demi menghindari Tabitha. Dia bahkan memalingkan muka, kemudian benar-benar pergi.Alex berjalan amat cepat, bahkan tidak peduli mendengar teriakan Tabitha yang menyuruhnya berhenti.“Alex!” Akhirnya Tabitha berhasil meraih salah satu lengan Alex. Dia tarik agar pria itu menghadap ke arahnya.Mata Alex melotot tajam. Dia tidak suka dengan sikap Tabitha yang selalu kasar dan memaksa.“Apa lagi maumu?” tanya Alex.“Kenapa kamu seperti ini padaku? Kamu tidak pernah sedingin ini,” protes Tabitha.“Aku selalu seperti ini,” Alex menjawab singkat, dan memutar badan hendak pergi.Namun Tabitha buru-buru melompat dan menghadang jalan Alex. Tepat di depan pria itu.“Hubungan kit
Adrian menahan desah napasnya. Dia sadar kedatangan Tuan Thompson bukan sekadar untuk mengunjunginya yang sakit. Dia hanya mencoba menelan ludah, demi menjaga agar emosinya tetap stabil.“Terima kasih atas kunjungannya, Tuan,” Justru Lidya yang maju. Dia membungkuk hormat di hadapan Tuan Thompson.Pandangan Tuan Thompson beralih pada Lidya. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”Lidya mengulurkan tangan dengan percaya diri. "Nama saya Lidya Evans. Saya karyawan di Blackwood Industries dan bekerja langsung di bawah pengawasan Adrian Blackwood,"Tuan Thompson memandang tangan yang terulur itu sejenak. Tapi akhirnya balas menjabat tangan Lidya dengan tatapan tajam yang seakan menembus jiwa wanita itu. Senyum tipis menghiasi wajah Tuan Thompson, namun
Rasanya Lidya mau pingsan mendengar pernyataan Adrian yang keluar begitu saja, tanpa pernah berdiskusi dengannya. Apalagi dilontarkan di depan Victoria, wanita konglomerat berhati dingin itu. Lidya tahu, dia setuju untuk berkencan dengan Adrian namun bukan berarti dia dengan senang hati menerima fakta kalau Victoria adalah ibu kandung Adrian.Victoria tercengang. Dia bergerak sedikit, dan mendekati Adrian. Rambutnya yang keperakan sedikit bergerak begitu halus, seirama dengan gerak tubuhnya yang anggun.“Apa kau bilang?” tanya Victoria, berusaha meyakinkan pendengarannya sendiri.“Aku akan menikahinya,” ulang Adrian. Makin lantang. “Lidya Evans,” Dia kini mengarahkan tubuh dan pandangannya pada sosok Lidya yang mematung.Jika bisa, Lidya ingin tenggelam ke dasar bumi saat ini juga. Dia tidak siap mendapat tatapan kebencian dari Victoria. Dia pernah mendengar dari Elena, kalau Victoria adalah penggambaran dari seorang ibu mertua yang mengerikan. Dan Lidya tidak ingin bernasib sama sepe
Rona muka Lidya seketika berubah. Dia berpaling cepat, menghindari tatapan menyelidik dari sekretaris Adrian, Daphne. Dan Daphne justru tersenyum penuh arti, melihat gelagat Lidya yang makin mencurigakan. Daphne makin yakin jika Lidya dan bosnya menjalin hubungan.“Aku tidak menentang jika kamu memang mengencani Adrian,” tukas Daphne. “Tapi kamu harus tahu, dia adalah anggota keluarga Blackwood,”Telinga Lidya berdiri. Dia mengernyitkan dahi, sangat ingin tahu. “Apa maksudnya?”Daphne menarik napas. “Mungkin kamu tertarik untuk mencari tahu segala skandal dari keluarga ini,” jelas Daphne. “Kamu tidak bisa bermain-main dengan mereka,”Daphne pergi, setelah berhasil menggantung kalimatnya. Membuat Lidya dipenuhi r
“Elena?” panggil James. Sadar bahwa Elena sedang tidak bersamanya.Elena gelagapan. Dia tersadarkan dari lamunannya tentang masa-masa awal pernikahan bersama Alex. Saat dia menentang keras pernikahan itu, hingga bertemu langsung dengan Alex dan jatuh cinta. Elena terpesona pada pandangan pertama.“Bagaimana? Apa kamu mau terima penawaranku?” desak James. “Aku punya kenalan pengacara terbaik yang ahli dalam kasus perceraian konglomerat sepertimu. Aku akan mengenalkanmu padanya,” Mata James berkilat semangat.Elena hanya menanggapi dengan senyuman tipis. “Akan kupikirkan lagi,” Dia meraih tasnya di atas meja kerja James.Raut muka James seketika berubah. Lebih dingin. Dia tahu, dari gerak-gerik Elena, bahwa wanita itu ragu. Bahkan bisa saja menolak tawarannya.“Dengar, Elena. Semua usahamu untuk melepaskan Latham dari Blackwood akan sia-sia jika kamu masih menjadi istrinya,” terang James. Tampak jika dia sedikit kesal.“Aku tahu, James,” Elena memandang James serius. “Aku bisa membuat k
Malam itu, Alexander Blackwood berjalan menuju sebuah pub yang tersembunyi di sisi kota Riverton, jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk. Langkahnya berat, seperti membawa beban yang begitu tak tertahan. Pikirannya dipenuhi kekacauan yang memukulnya dari berbagai arah. Rasa bersalah, kekecewaan, serta bayang-bayang masa lalu yang terus menghantuinya.Saat memasuki pub yang remang-remang, dia disambut oleh aroma alkohol dan suara musik blues yang mengalun pelan. Dia menuju bar, memesan segelas scotch yang langsung dia tenggak dalam satu kali minum. Pahit alkohol mengalir di tenggorokannya, tapi tidak sedikit pun mengurangi rasa sakit di dadanya. Dia memesan lagi, lagi, hingga beberapa gelas telah kosong di depannya.Wajah Elena berkelebat dalam benak Alex. Ekspresi kecewa dan marah yang Elena tunjukkan saat pertemuan terakhir mereka di kantor Blackwood, membekas dalam ingatan Alex. Setiap sisi wajah Elena menyayat hatinya. Membuat Alex sadar betapa besar kerusakan yang telah Elena buat at
Tabitha awalnya tidak pernah membayangkan akan bekerja bersama David. Asisten Alex yang setia itu. Semua bermula ketika Tabitha diberi tanggung jawab untuk menangani kasus yang cukup rumit. Firma hukum tempatnya bekerja tiba-tiba meminta David untuk menjadi mitra kerja Tabitha dalam menangani kasus ini, mengingat pengalamannya dalam analisis hukum yang mendalam.Tabitha mulai sedikit terganggu. Bukan karena David menonjol atau banyak bicara, melainkan karena David adalah bayangan Alexander Blackwood, mantan suaminya. Dimana ada Alex dan kasus, disitu pasti ada David. David bukan hanya asisten Alex—dia adalah orang kepercayaan yang tahu bagaimana menjaga rahasia dan membaca situasi tanpa perlu diberi tahu. Selama bertahun-tahun, Tabitha dan David hampir tidak pernah berinteraksi langsung, selain salam sopan dan percakapan singkat terkait Alex. "Kenapa kau tiba-tiba di sini?" tanya Tabitha dengan dahi berkerut. "Apakah tidak ada orang lain?"David membenarkan dasinya dengan gerakan lam
Hari itu, suasana di mansion Blackwood terasa berbeda. Para staf pelayan sibuk sejak pagi, membersihkan setiap sudut ruangan, memastikan semuanya dalam keadaan sempurna untuk menyambut kedatangan Adrian dan Lidya. Pintu-pintu besar dibuka lebar, untuk mengundang angin segar sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam rumah itu.Adrian berdiri di depan gerbang utama bersama Lidya. Menatap megahnya mansion yang kini akan mereka tinggali. Sekilas, ada keraguan di wajah Lidya. Dia menggenggam tangan Adrian lebih erat.“Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanya Lidya.Adrian mengangguk. Matanya tetap terpaku pada bangunan besar itu. “Ini rumah keluargaku. Aku tahu banyak kenangan buruk di sini, tapi kita bisa mengubahnya. Aku ingin anak-anak kita tumbuh di tempat ini dengan kenangan yang lebih baik,”Lidya menarik napas panjang, mencoba memahami keyakinan Adrian. Saat mereka melangkah masuk, Elena muncul di ruang tengah sambil menggendong bayi kecilnya yang baru lahir. Di sampingnya,
Elena berusaha mengendalikan napasnya sambil merasakan kontraksi yang semakin kuat. Wajahnya pucat, namun entah dari mana dia mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk bertahan. Di sampingnya, Lina menggenggam tangan Elena erat, memberikan semangat tanpa henti.“Elena, kamu kuat. Sebentar lagi semuanya akan selesai,” ujar Lina dengan suara lembut. Dia terus menggenggam tangan putrinya itu.Elena mengangguk lemah, berusaha mengumpulkan kekuatan. Di luar ruangan, terdengar langkah kaki berlarian tergesa. Alex berlari menuju kamar. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi ada kebahagiaan kecil yang berkilat dibalik ekspresinya."Maaf aku terlambat, Sayang!" tukas Alex, sama tegangnya seperti Elena."Mana Sophia dan Edward?" tanya Elena di sela-sela kontraksi."Aku sudah menitipkan mereka pada Lidya. Kamu jangan khawatir," jawab Alex. Kemudian dia pun mendekat ke samping Elena. "Aku ada di sini sekarang, menemanimu," ucapnya lirih.Beberapa jam berlalu dalam perjuangan yang tidak mudah. Elena
Dua tahun kemudian …Adrian berdiri di sisi Lidya, memandang dengan penuh cinta saat mereka mengucap janji suci di depan altar. Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun intim, dikelilingi keluarga dan sahabat dekat. Adrian yang tetap menjabat sebagai CEO Blackwood, terlihat lebih bahagia berkat kehadiran Lidya. Wanita itu kini tidak hanya menjadi pendamping hidupnya, tetapi juga penasihat terpercaya dalam banyak keputusan besar.Sementara Alex, Elena, dan Sophia memilih menjalani hidup yang lebih tenang di rumah baru mereka. Sebuah vila kecil yang dikelilingi kebun hijau di pinggir kota. Rumah itu sederhana dibandingkan dengan mansion Blackwood yang megah, tetapi memberikan kedamaian. Sophia–yang kini berusia 9 tahun, tumbuh menjadi gadis yang ceria dan cerdas. Dia tetap senang melukis dan sering membantu Elena di kebun kecil mereka.Alex dan Elena memulai bisnis kecil berupa book cafe, menggabungkan kecintaan Elena pada literasi dengan keahlian bisnis Alex. Bisnis itu berkembang
Namun para polisi itu tidak terpengaruh oleh teriakan Tuan Thompson. Pemimpin tim penyidik mendekatinya, menatap Tuan Thompson dengan dingin. "Anda memiliki hak untuk tetap diam. Segala sesuatu yang Anda katakan dapat digunakan untuk melawan Anda di pengadilan. Kami menyarankan Anda mengikuti prosedur ini dengan tenang,"Rasanya waktu berhenti bagi Tuan Thompson. Semua ambisi, rencana, dan strategi yang dia bangun selama bertahun-tahun kini runtuh hanya dalam hitungan menit. Dia mencoba berpikir cepat, mencari cara untuk melarikan diri dari situasi ini. Tetapi setiap sudut pikirannya terasa buntu.Ketika borgol akhirnya mengunci pergelangan tangan Tuan Thompson, segala kekayaan yang selama ini dia pamerkan menghilang sepenuhnya. Dia dibawa keluar dari kantor miliknya, melewati para karyawan yang terkejut melihat bos mereka ditangkap polisi. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, sementara yang lain hanya memandangi adegan itu dengan ekspresi tidak percaya.Di luar gedung, wartawan
Hari itu, suasana di mansion Blackwood lebih tegang daripada biasa. Sejak kabar tentang penyelidikan keterlibatan Victoria dalam kasus rumah sakit jiwa tersebar luas, mansion berubah menjadi tempat yang mencekam. Sekaligus menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi Victoria.Wartawan berkumpul di gerbang depan, kamera mereka terus mengarah ke pintu utama. Kilatan lampu kamera seperti petir yang menyambar tanpa henti, disertai teriakan pertanyaan para wartawan yang mencoba menembus tembok mansion."Mrs. Blackwood! Apa benar Anda terlibat dalam kasus manipulasi terhadap mantan menantu Anda, Tabitha Hill?""Apa komentar Anda tentang bukti yang sudah ditemukan?""Benarkah ada tekanan hukum yang Anda gunakan untuk mengurung Tabitha di rumah sakit jiwa?"Pertanyaan-pertanyaan itu membahana bak peluru yang dilempar cuma-cuma. Victoria mengamati semua itu dari balik tirai di ruang tamu. Dia yang biasa tenang, kini tampak gelisah. Tangan kirinya memegang erat cangkir teh yang sudah dingin, se
Lidya baru saja selesai menata dokumen pekerjaannya ketika Adrian datang membawa sebuah amplop besar. Lidya langsung berhenti dan mendekati Adrian. Ekspresinya terus terpaku pada amplop besar itu."Ini dari Tabitha," kata Adrian, menyerahkan amplop itu pada Lidya.Lidya menatap amplop itu dengan penuh tanda tanya. "Apa ini? Kenapa dia memberikannya padamu?"Adrian duduk di sofa, terlihat lelah. "Dia bilang ini penting. Katanya, isinya adalah kunci untuk menghancurkan Tuan Thompson,"Mendengar nama itu, Lidya membeku sejenak. Tuan Thompson adalah salah satu alasan utama Lidya pernah terjebak dalam situasi rumit yang nyaris menghancurkan hidupnya. Dan Lidya memang pernah bilang pada Adrian kalau dia tidak mau menikah selama Adrian masih berhubungan dengan pria tua itu."Dia percaya kamu bisa memecahkannya," lanjut Adrian, menatap Lidya dengan tatapan bangga. "Tabitha juga bilang kamu adalah wanita yang cerdas dan gigih. Kalau ada yang bisa mengungkap rahasia ini, kamulah orangnya,"Deng
Tabitha dan Sophia duduk di salah satu restoran mewah di Riverton. Meja mereka terletak di dekat jendela besar, memberikan pemandangan indah kota yang berkilauan. Suasana di antara mereka awalnya hangat. Sophia tampak menikmati hidangan penutup favoritnya, sementara Tabitha memandangi putrinya dengan senyuman penuh kasih."Ma, aku senang kita bisa jalan-jalan seperti ini," kata Sophia ceria. Dia mengangkat wajahnya dari es krim coklat di depannya.Tabitha tersenyum. "Mama juga senang, sayang. Mama ingin kita punya lebih banyak waktu bersama seperti ini,"Sophia mengangguk kecil, tetapi tatapannya berubah serius. Dia meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ragu. "Ma, aku mau tanya sesuatu,” Mata Sophia tak berkedip saat memandang Tabitha. “Kenapa Mama ingin aku tinggal sama Mama, bukan Papa?"Pertanyaan itu jatuh bagai palu di hati Tabitha. Tangannya sedikit gemetar, tetapi dia segera mengendalikan diri. "Sayang, Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama ingin memastikan kamu
Hari persidangan kedua pun dimulai. Kali ini, ruang sidang dipenuhi oleh awak media yang ingin meliput perkembangan terbaru kasus perebutan hak asuh Sophia. Berita tentang perseteruan keluarga Blackwood—keluarga terpandang dan kaya raya seantero Riverton telah menyebar luas, membuat kasus ini menjadi perhatian publik. Sidang dibuka dengan Tabitha yang dipanggil untuk memberikan kesaksian. Pengacaranya memimpin sesi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menggiring opini."Ibu Hill," Harold, pengacara Tabitha, memulai dengan nada penuh empati. "Dapatkah Anda menjelaskan kepada Yang Mulia apa yang sebenarnya terjadi selama bertahun-tahun Anda dipisahkan dari Sophia?"Tabitha menatap hakim dengan mata yang tampak berkilat oleh emosi yang dalam. Dia mengambil napas panjang sebelum berbicara."Yang Mulia," sapa Tabitha. Suaranya gemetar. "Saya adalah seorang ibu yang mencintai anaknya lebih dari apa pun di dunia ini. Namun, saya tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi bagi