Elena sudah terlanjur ketahuan. Dia berusaha keras mendorong pisau itu ke arah Alex, namun kekuatan pria itu jauh lebih besar. Alex menahan pisau itu dengan tenaganya, lalu dengan gerakan cepat, dia memutar tubuh Elena hingga pisau itu terlepas dari genggamannya. Pisau itu jatuh ke lantai, dan Alex segera menjauh dari Elena.
“Aku tidak akan memaafkanmu, Alex,” ucap Elena dengan suara bergetar.
Elena melompat ke arah Alex dengan tatapan penuh amarah. Tangannya terulur ingin kembali menyerang. Namun Alex dengan cepat mengunci pergerakannya, menggenggam kedua pergelangan tangan Elena dan memutar tubuh wanita itu dengan sigap. Dalam satu gerakan kuat, Alex menjatuhkan tubuh Elena ke ranjang dan menindihnya, menahan tubuh Elena agar tidak bisa bergerak.
“Cukup, Morgan!” pekik Alex dengan tatapan t
Elena bangun dengan mata yang bengkak dan kepala berat setelah menangis semalaman. Matahari sudah tinggi di langit, memancar masuk melalui jendela yang terbuka, membuat kamar terasa lebih terang dan panas dari biasanya. Saat menyadari bahwa Alex tidak ada di kamar maupun di sekitar vila, dia merasa lega sekaligus gelisah. Dia duduk sebentar, mencoba menenangkan pikirannya. Setelah menghela napas panjang, dia bangkit. Lalu mengambil jaket tipis untuk menutupi tubuhnya, dan keluar kamar. Dia berharap dapat menemukan sedikit ketenangan di luar atau setidaknya merasakan udara segar yang bisa menenangkan hati dan pikirannya.Saat Elena menuruni tangga menuju ruang makan, David sudah menunggu di bawah, memperhatikannya dengan ekspresi tenang sekaligus ramah."Selamat pagi, Nyonya Blackwood," sapa David sambil menundukkan kepala sedikit, nada suaranya sopan. "Tuan Alex tadi pagi kembali lebih awal, beliau ada beberapa urusan yang harus diselesaikan," tambahnya, menyampaikan informasi tanpa
“Tidak masalah,” tanggap Alex. Dia berusaha mengulaskan senyum, meski Tuan Thompson tahu itu tidak tulus."Saya dengar proses pengambil alihan Latham Holdings oleh Blackwood Industries berjalan dengan cukup agresif," ujar Tuan Thompson perlahan. Nada suaranya tetap tenang. "Bagaimana perkembangan terbaru dari proses tersebut?"Alex menyandarkan tubuhnya. Tampak tidak berniat langsung terbuka mengenai rencana maupun strategi bisnis yang dijalankannya. Dia membalas pertanyaan itu sekali lagi dengan senyum tipis.“Kami bergerak sesuai prosedur yang ada, Tuan Thompson,” balas Alex. “Semua langkah sedang dilakukan untuk memastikan transisi berjalan lancar. Kami ingin Latham Holdings dapat berkontribusi maksimal di bawah naungan Blackwood Industries,”Tuan Thompson mengangguk pelan. Namun ekspresinya tidak menunjukkan kepercayaan atas penjelasan Alex. “Semoga tidak ada faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan ini … terutama jika melibatkan istrimu, eh?” Tuan Thompson tertawa sekilas. “Sej
“Lepaskan dia,”Para penculik tersentak dan menoleh–termasuk Lidya. Dari balik bayangan, Adrian muncul dengan tatapan tajam. Tubuhnya tegap berdiri di bawah sorotan samar lampu jalan. Aura dinginnya membuat para penculik itu mundur sejenak. Salah satu dari mereka, yang tampaknya pemimpin kelompok, mencoba melawan, tetapi Adrian hanya mengangkat alisnya dengan senyum mengejek.“Apa kalian tidak dengar?” Adrian mengulangi. Suaranya rendah. “Lepaskan dia, atau kalian semua akan merasakan akibatnya,”Cengkeraman di lengan Lidya mulai mengendur. Para penculik itu saling pandang, tampak ragu. Pemimpin kelompok memberi isyarat untuk mundur, demi mengubah strategi. Perlahan mereka juga mulai melepaskan Lidya. Wanita itu jatuh tersungkur ke tanah, terengah-engah. Wajahnya sangat ketakutan.“Adri … “Belum sempat Lidya menyelesaikan kalimatnya, para penculik mulai menyerang dengan brutal. Satu demi satu pukulan mendarat di tubuh Adrian yang berusaha mempertahankan diri dengan sisa tenaga. Mesk
Lidya tidak pulang semalaman. Dia menunggu hingga Adrian dibawa ke ruang pemulihan dan mendapatkan kamarnya sendiri. Lidya selalu berada di sisi Adrian, meski dari kejauhan. Dia tidak peduli meski Victoria selalu melirik sinis ke arahnya ketika wanita itu sekali lagi datang dan berbicara dengan dokter.Namun untuk terakhir kali, Victoria sepertinya sangat kesal. Dia berjalan cepat menghampiri Lidya yang sedang duduk putus asa di depan kamar Adrian.“Kenapa kau masih ada di sini?” tegur Victoria. Wajahnya seakan ingin memuntahkan makian ke arah Lidya.Lidya tidak menjawab, selain hanya menunduk.Victoria menarik napas panjang. Dia kesal, namun tidak ingin menodai reputasinya sebagai wanita tua yang tenang. Dia sempat saling pandang dengan asistennya, namun kem
Tidak ada alasan bagi Elena untuk tinggal lebih lama di apartemen Lidya. Apalagi dengan kondisi Adrian yang sudah seminggu berada di rumah sakit, dan Lidya jarang berada di rumah karena menjaga pria itu. Meski terkejut, Elena senang akhirnya sahabatnya itu mengaku bahwa dia peduli pada Adrian.Hari ini Elena berkemas karena dia memutuskan untuk tinggal bersama ibunya lagi. Setelah mengemasi barangnya di apartemen Lidya, dia juga akan mampir sebentar ke mansion Blackwood untuk mengambil beberapa barang. Elena sengaja memilih waktu di pagi hari pada hari efektif, karena dia tahu, Alex pasti tidak ada di sana.Bahkan setelah seminggu tidak kembali, Alex tetap tidak menghubungi Elena. Seakan pria itu tidak peduli. Meski dia tetap sakit hati dengan segala perbuatan keluarga Blackwood, namun ada setitik rasa kecewa. Dia kecewa Alex tampak tidak mencemaskannya.***Para satpam yang berjaga di depan mansion cukup terkejut saat melihat Maserati milik Elena masuk ke pekarangan. Satu orang dari
Kepala Elena mendongak setelah pelan menutup pintu mobilnya. Dengan mata menyipit, dia menarik napas panjang. Akhirnya Elena kembali pulang ke rumah masa kecilnya, rumahnya tinggal bersama orang tuanya.Dalam hati sebenarnya dia tidak menginginkan perpisahan seperti ini dengan Alex. Atau setidaknya, dia tidak menyangka akan begitu sakit hati menghadapi perpisahan–yang pernah diharapkan saat pertama menikah.Alex sama sekali tidak mencarinya.Elena melangkah maju sambil menarik kopernya. Beberapa barang masih tertinggal di dalam mobil. Dia tahu pasti ibunya tidak ada di rumah karena ini masih jam kantor, dan dia sengaja ingin membuat kejutan. Meski Elena tidak yakin ibunya akan terkejut karena senang.“Mama?”Tapi justru Elena yang terkejut. Ibunya, Lina Morgan, berdiri dibalik pintu saat Elena membukanya. Wajah wanita tua itu tampak cemas.“Aku tahu kamu pasti akan datang,” tukas Lina.Elena menerobos masuk perlahan sambil menarik kopernya. Lalu kembali menutup pintu di belakang.“Dar
Lina menggeser sedikit tubuhnya, berusaha agar bisa tenang. Ucapan Alex menggema, meninggalkan atmosfer dingin di seluruh ruangannya pagi ini. Mereka berdua adalah mertua dan menantu, tapi tetap saja, aura Alex begitu mengintimidasi sebagai CEO Blackwood Industries. Meski Lina mencoba untuk mengubah gaya bicaranya lebih kasual terhadap Alex.“Elena, eh?” Lina tertawa lirih. “Apakah dia cukup membangkang sebagai seorang istri?” Dia berusaha mencairkan suasana tegang yang menyelimuti keduanya.Alex nyatanya tidak terpengaruh. Dia justru duduk tenang dengan punggung bersandar pada kursi. Matanya seakan tidak berkedip saat memandang Lina. Beberapa saat mengamati, Alex mulai yakin jika Lina belum dengar kabar apapun.“Elena adalah seorang istri yang … cukup sulit dikendalikan,” ucap Alex. Dia duduk condong ke depan, namun matanya masih awas menghadap Lina. “Saya ingin tahu, darimana sifat itu berasal. Apakah … ayahnya?”Lina tersentak kaget saat Alex membicarakan soal Edward. Namun dia men
Elena masuk ke dalam restoran yang sengaja dia pilih sebagai tempat pertemuannya dengan Vero. Sepulang kerja, tepatnya malam hari sekitar pukul 9, Elena menghubungi Vero dan mengajak wanita itu bertemu di luar mansion.Elena sengaja memilih sebuah restoran yang jaraknya sedikit jauh dari mansion, karena dia tidak ingin pertemuan ini diketahui oleh siapapun anggota keluarga Blackwood. Saat Elena datang dan mencari meja yang telah dipesan, Vero melambaikan tangan. Wanita itu datang lebih dulu.“Selamat malam, Nyonya Elena,” sapa Vero. Dia menunduk hormat.Pakaian Vero cukup kasual, tidak memakai seragam khusus kepala pelayan. Membuat Elena tidak mengenalinya.“Terima kasih sudah bersedia datang,” balas Elena.Mereka berdua duduk saling berhadapan. Vero tersenyum, namun menundukkan pandangannya.“Nyonya … ““Ada yang ingin kubicarakan denganmu!” sambar Elena cepat. Dia sengaja melakukannya.Vero mendongak pelan. “Iya, Nyonya?”Elena menelan ludah. Seakan dia tengah mempertimbangkan ucapa
Tabitha awalnya tidak pernah membayangkan akan bekerja bersama David. Asisten Alex yang setia itu. Semua bermula ketika Tabitha diberi tanggung jawab untuk menangani kasus yang cukup rumit. Firma hukum tempatnya bekerja tiba-tiba meminta David untuk menjadi mitra kerja Tabitha dalam menangani kasus ini, mengingat pengalamannya dalam analisis hukum yang mendalam.Tabitha mulai sedikit terganggu. Bukan karena David menonjol atau banyak bicara, melainkan karena David adalah bayangan Alexander Blackwood, mantan suaminya. Dimana ada Alex dan kasus, disitu pasti ada David. David bukan hanya asisten Alex—dia adalah orang kepercayaan yang tahu bagaimana menjaga rahasia dan membaca situasi tanpa perlu diberi tahu. Selama bertahun-tahun, Tabitha dan David hampir tidak pernah berinteraksi langsung, selain salam sopan dan percakapan singkat terkait Alex. "Kenapa kau tiba-tiba di sini?" tanya Tabitha dengan dahi berkerut. "Apakah tidak ada orang lain?"David membenarkan dasinya dengan gerakan lam
Hari itu, suasana di mansion Blackwood terasa berbeda. Para staf pelayan sibuk sejak pagi, membersihkan setiap sudut ruangan, memastikan semuanya dalam keadaan sempurna untuk menyambut kedatangan Adrian dan Lidya. Pintu-pintu besar dibuka lebar, untuk mengundang angin segar sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam rumah itu.Adrian berdiri di depan gerbang utama bersama Lidya. Menatap megahnya mansion yang kini akan mereka tinggali. Sekilas, ada keraguan di wajah Lidya. Dia menggenggam tangan Adrian lebih erat.“Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanya Lidya.Adrian mengangguk. Matanya tetap terpaku pada bangunan besar itu. “Ini rumah keluargaku. Aku tahu banyak kenangan buruk di sini, tapi kita bisa mengubahnya. Aku ingin anak-anak kita tumbuh di tempat ini dengan kenangan yang lebih baik,”Lidya menarik napas panjang, mencoba memahami keyakinan Adrian. Saat mereka melangkah masuk, Elena muncul di ruang tengah sambil menggendong bayi kecilnya yang baru lahir. Di sampingnya,
Elena berusaha mengendalikan napasnya sambil merasakan kontraksi yang semakin kuat. Wajahnya pucat, namun entah dari mana dia mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk bertahan. Di sampingnya, Lina menggenggam tangan Elena erat, memberikan semangat tanpa henti.“Elena, kamu kuat. Sebentar lagi semuanya akan selesai,” ujar Lina dengan suara lembut. Dia terus menggenggam tangan putrinya itu.Elena mengangguk lemah, berusaha mengumpulkan kekuatan. Di luar ruangan, terdengar langkah kaki berlarian tergesa. Alex berlari menuju kamar. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi ada kebahagiaan kecil yang berkilat dibalik ekspresinya."Maaf aku terlambat, Sayang!" tukas Alex, sama tegangnya seperti Elena."Mana Sophia dan Edward?" tanya Elena di sela-sela kontraksi."Aku sudah menitipkan mereka pada Lidya. Kamu jangan khawatir," jawab Alex. Kemudian dia pun mendekat ke samping Elena. "Aku ada di sini sekarang, menemanimu," ucapnya lirih.Beberapa jam berlalu dalam perjuangan yang tidak mudah. Elena
Dua tahun kemudian …Adrian berdiri di sisi Lidya, memandang dengan penuh cinta saat mereka mengucap janji suci di depan altar. Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun intim, dikelilingi keluarga dan sahabat dekat. Adrian yang tetap menjabat sebagai CEO Blackwood, terlihat lebih bahagia berkat kehadiran Lidya. Wanita itu kini tidak hanya menjadi pendamping hidupnya, tetapi juga penasihat terpercaya dalam banyak keputusan besar.Sementara Alex, Elena, dan Sophia memilih menjalani hidup yang lebih tenang di rumah baru mereka. Sebuah vila kecil yang dikelilingi kebun hijau di pinggir kota. Rumah itu sederhana dibandingkan dengan mansion Blackwood yang megah, tetapi memberikan kedamaian. Sophia–yang kini berusia 9 tahun, tumbuh menjadi gadis yang ceria dan cerdas. Dia tetap senang melukis dan sering membantu Elena di kebun kecil mereka.Alex dan Elena memulai bisnis kecil berupa book cafe, menggabungkan kecintaan Elena pada literasi dengan keahlian bisnis Alex. Bisnis itu berkembang
Namun para polisi itu tidak terpengaruh oleh teriakan Tuan Thompson. Pemimpin tim penyidik mendekatinya, menatap Tuan Thompson dengan dingin. "Anda memiliki hak untuk tetap diam. Segala sesuatu yang Anda katakan dapat digunakan untuk melawan Anda di pengadilan. Kami menyarankan Anda mengikuti prosedur ini dengan tenang,"Rasanya waktu berhenti bagi Tuan Thompson. Semua ambisi, rencana, dan strategi yang dia bangun selama bertahun-tahun kini runtuh hanya dalam hitungan menit. Dia mencoba berpikir cepat, mencari cara untuk melarikan diri dari situasi ini. Tetapi setiap sudut pikirannya terasa buntu.Ketika borgol akhirnya mengunci pergelangan tangan Tuan Thompson, segala kekayaan yang selama ini dia pamerkan menghilang sepenuhnya. Dia dibawa keluar dari kantor miliknya, melewati para karyawan yang terkejut melihat bos mereka ditangkap polisi. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, sementara yang lain hanya memandangi adegan itu dengan ekspresi tidak percaya.Di luar gedung, wartawan
Hari itu, suasana di mansion Blackwood lebih tegang daripada biasa. Sejak kabar tentang penyelidikan keterlibatan Victoria dalam kasus rumah sakit jiwa tersebar luas, mansion berubah menjadi tempat yang mencekam. Sekaligus menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi Victoria.Wartawan berkumpul di gerbang depan, kamera mereka terus mengarah ke pintu utama. Kilatan lampu kamera seperti petir yang menyambar tanpa henti, disertai teriakan pertanyaan para wartawan yang mencoba menembus tembok mansion."Mrs. Blackwood! Apa benar Anda terlibat dalam kasus manipulasi terhadap mantan menantu Anda, Tabitha Hill?""Apa komentar Anda tentang bukti yang sudah ditemukan?""Benarkah ada tekanan hukum yang Anda gunakan untuk mengurung Tabitha di rumah sakit jiwa?"Pertanyaan-pertanyaan itu membahana bak peluru yang dilempar cuma-cuma. Victoria mengamati semua itu dari balik tirai di ruang tamu. Dia yang biasa tenang, kini tampak gelisah. Tangan kirinya memegang erat cangkir teh yang sudah dingin, se
Lidya baru saja selesai menata dokumen pekerjaannya ketika Adrian datang membawa sebuah amplop besar. Lidya langsung berhenti dan mendekati Adrian. Ekspresinya terus terpaku pada amplop besar itu."Ini dari Tabitha," kata Adrian, menyerahkan amplop itu pada Lidya.Lidya menatap amplop itu dengan penuh tanda tanya. "Apa ini? Kenapa dia memberikannya padamu?"Adrian duduk di sofa, terlihat lelah. "Dia bilang ini penting. Katanya, isinya adalah kunci untuk menghancurkan Tuan Thompson,"Mendengar nama itu, Lidya membeku sejenak. Tuan Thompson adalah salah satu alasan utama Lidya pernah terjebak dalam situasi rumit yang nyaris menghancurkan hidupnya. Dan Lidya memang pernah bilang pada Adrian kalau dia tidak mau menikah selama Adrian masih berhubungan dengan pria tua itu."Dia percaya kamu bisa memecahkannya," lanjut Adrian, menatap Lidya dengan tatapan bangga. "Tabitha juga bilang kamu adalah wanita yang cerdas dan gigih. Kalau ada yang bisa mengungkap rahasia ini, kamulah orangnya,"Deng
Tabitha dan Sophia duduk di salah satu restoran mewah di Riverton. Meja mereka terletak di dekat jendela besar, memberikan pemandangan indah kota yang berkilauan. Suasana di antara mereka awalnya hangat. Sophia tampak menikmati hidangan penutup favoritnya, sementara Tabitha memandangi putrinya dengan senyuman penuh kasih."Ma, aku senang kita bisa jalan-jalan seperti ini," kata Sophia ceria. Dia mengangkat wajahnya dari es krim coklat di depannya.Tabitha tersenyum. "Mama juga senang, sayang. Mama ingin kita punya lebih banyak waktu bersama seperti ini,"Sophia mengangguk kecil, tetapi tatapannya berubah serius. Dia meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ragu. "Ma, aku mau tanya sesuatu,” Mata Sophia tak berkedip saat memandang Tabitha. “Kenapa Mama ingin aku tinggal sama Mama, bukan Papa?"Pertanyaan itu jatuh bagai palu di hati Tabitha. Tangannya sedikit gemetar, tetapi dia segera mengendalikan diri. "Sayang, Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama ingin memastikan kamu
Hari persidangan kedua pun dimulai. Kali ini, ruang sidang dipenuhi oleh awak media yang ingin meliput perkembangan terbaru kasus perebutan hak asuh Sophia. Berita tentang perseteruan keluarga Blackwood—keluarga terpandang dan kaya raya seantero Riverton telah menyebar luas, membuat kasus ini menjadi perhatian publik. Sidang dibuka dengan Tabitha yang dipanggil untuk memberikan kesaksian. Pengacaranya memimpin sesi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menggiring opini."Ibu Hill," Harold, pengacara Tabitha, memulai dengan nada penuh empati. "Dapatkah Anda menjelaskan kepada Yang Mulia apa yang sebenarnya terjadi selama bertahun-tahun Anda dipisahkan dari Sophia?"Tabitha menatap hakim dengan mata yang tampak berkilat oleh emosi yang dalam. Dia mengambil napas panjang sebelum berbicara."Yang Mulia," sapa Tabitha. Suaranya gemetar. "Saya adalah seorang ibu yang mencintai anaknya lebih dari apa pun di dunia ini. Namun, saya tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi bagi