Sudah sepekan sejak makan malam bersama Sophia dan Alex, namun Elena tidak juga mendapat kabar tentang James. Ketika dia mencoba menghubungi pria itu, nomornya selalu tidak aktif. Bahkan saat Elena menyempatkan sedikit waktu di sela-sela bekerja untuk datang ke kantor James, dia semakin terkejut. Kantor itu kosong. Dia juga tidak bisa menghubungi Mia, asisten James.
Hari ini Elena mendapat tugas dari Alex untuk menjemput Sophia di sekolah dan mengantar anak itu menemui Tabitha. Alex tidak mempercayai orang lain untuk tugas sepenting ini. Dia hanya percaya pada Elena.
Mereka bertiga bertemu di sebuah taman di pusat kota Riverton, karena tempat ini adalah tempat terbuka yang aman. Alex tidak ingin Tabitha tiba-tiba menculik Sophia.
“Kenapa aku harus bertemu Mama?” tanya Sophia, duduk dengan cemas di sampin
Lidya benar-benar tidak bisa mempercayai pandangannya pagi ini. Adrian duduk di lobi apartemen, dan berdiri dengan tatapan tajam saat melihat Lidya keluar dari lift. Pria itu dengan langkah tergesa mendekati Lidya.“Apa kamu baik-baik saja?” desak Adrian, tampak tidak sabar.Lidya mengerutkan kening. “Aku baru saja turun dari kamarku,” Dia angkat bahu, tak paham dengan maksud perkataan Adrian.“Kamu ke kantor bersamaku!” Pria itu menarik pergelangan tangan Lidya.Namun tidak seperti kemarin, Lidya kali ini berontak. Dia menepis tangan Adrian, dan balik menatap pria itu tajam.“Aku tahu kamu bosku, tapi sikapmu makin lama makin kurang ajar!” hardik Lidya, benar-benar geram.Adrian sedikit tercengang dengan makian itu. Dia diam, lalu semakin mendekat dan membungkuk di hadapan Lidya. Sengaja agar matanya lurus menatap mata Lidya.“Kurang ajar katamu?” ulang Adrian. Dari tatapannya, terlihat jelas bahwa dia marah.Tapi Lidya tidak akan gentar. Dia makin menegakkan tubuh, mencoba untuk tet
Setelah menikah hampir satu tahun, ini adalah pertama kali bagi Elena mengunjungi Alex di kantor Blackwood Industries atas keinginannya sendiri. Hubungannya bersama Sophia–bahkan Tabitha perlahan mulai membaik. Namun Elena merasa bersalah pada Alex, karena sempat menuduhnya sebagai orang yang memenjarakan Tabitha–mantan istrinya sendiri di dalam rumah sakit jiwa.David dengan antusias mengantar Elena menuju lantai paling atas gedung itu, dimana ruang kerja pribadi Alex berada.“Hari ini Anda tidak sibuk, Nyonya?” tanya David, sedikit heran dengan sikap Elena.Elena menggeleng. Senyumnya cerah. “Bolehkah aku mengajak Alex keluar?”“Tunggu sebentar,” David mengecek jadwal kerja Alex melalui iPad yang dia bawa. “Se
Kereta berhenti dan suara pengumuman otomatis terdengar, mengumumkan nama stasiun tempat pemberhentian. Elena berdiri lebih dulu, meraih tangan Alex yang masih terlihat agak bingung. Meski begitu, pria itu tetap mengikuti langkah Elena tanpa protes.“Kita turun di sini?” tanya Alex, memandang keluar jendela kereta yang menunjukkan pemandangan pinggiran kota, jauh dari gemerlap gedung bertingkat yang biasa dia lihat.Elena mengangguk, tersenyum antusias. “Ya, kita akan menjelajah sedikit. Ada banyak tempat menarik di sini yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya,”Mereka melangkah keluar dari kereta dan berjalan di sepanjang peron yang dipenuhi oleh orang-orang biasa—pekerja kantoran, mahasiswa, bahkan beberapa keluarga dengan anak-anak kecil yang riang. Udara di sini berbeda, terasa
Setelah perjalanan yang panjang, taksi itu berhenti di depan sebuah gedung apartemen. Elena menghela napas panjang sebelum akhirnya turun dari mobil. Malam ini dia akan bertemu dengan James di apartemen pria itu, karena dirasa paling aman. James sudah mengirimkan alamatnya tadi saat Elena masih bersama Alex di kedai kopi.Elena berdiri sejenak di depan gedung, detak jantungnya semakin cepat. Setelah hampir sebulan hilang, akhirnya James menghubunginya lagi. Dia mengambil langkah pelan menuju pintu masuk, menatap nomor apartemen yang dikirimkan James.Setelah sampai di lantai yang dituju, Elena mengetuk pintu dengan hati-hati. Hanya butuh beberapa detik sebelum pintu itu terbuka, memperlihatkan James yang berdiri di baliknya. Wajah pria itu tampak lelah, tapi ada raut lega saat melihat Elena.“Masuklah,”
Setelah percakapan penuh ketegangan, Elena kini terdiam lemas. Dia duduk di kursi makan di dalam apartemen James dengan mata nanar, tak tentu arah. Awalnya James membiarkan Elena seperti itu, namun setengah jam sudah berlalu. Maka James memutuskan untuk mengambilkan air putih untuk Elena.“Kamu baik-baik saja, El?” tanyanya dengan suara lirih.Elena tidak menjawab. Dia juga tidak menyentuh minuman di depannya.“Apa yang harus kulakukan, James? Aku tidak ingin pulang dan melihat pria itu,” ucap Elena lirih. Amarah masih menyelimuti dirinya, namun rasa terkejut membuatnya lemas.James menarik napas panjang. Dia makin mencondongkan tubuhnya pada Elena.“Tinggallah di sini untuk sementara,” tandas James.Bola mata Elena sedikit bergerak melirik James.“Tapi semua pilihanmu,” James buru-buru meralat. “Aku hanya bisa menyediakan tempat ini,” James merentangkan tangan, menunjuk apartemennya. “Kau tahu aku sudah tidak punya apapun yang tersisa,”“James … “ panggil Elena. Matanya berkedip bebe
Suasana hati Elena sedikit lebih tenang. Setelah dia mengeluarkan segala kemarahannya pada Lidya. Dan meminum segelas teh hangat yang dibuatkan Lidya untuknya. Meskipun dia tidak pulang hingga tengah malam, tidak ada panggilan masuk atau pesan singkat. Seakan Alex tidak peduli dengan keberadaannya.Tiba-tiba pintu apartemen Lidya berbunyi. Kedua wanita itu spontan menoleh ke arah pintu.“Kamu punya tamu? Kekasihmu?” Elena mengerutkan kening. Setahu dia, Lidya belum punya kekasih.Ekspresi Lidya berubah tegang dan kikuk secara bersamaan. Kedua tangannya bergerak cepat memberi isyarat tidak.“Lalu siapa yang datang di tengah malam begini?” Elena semakin heran.“Biar aku yang buka!” Lidya berseru dan bergegas bangkit.Namun Elena buru-buru menahan tangan Lidya. “Biar aku saja,” katanya. “Sepertinya itu David,”Elena langsung berjalan cepat menuju pintu. Tidak dengar saat Lidya memanggilnya dan menyuruhnya untuk berhenti. Elena tidak mengecek lubang pintu dan dia langsung membukanya begit
Tiba-tiba Lidya teringat akan James. Rekannya itu tanpa takut menantang Alex, dan kini James dapat akibatnya. Dia kehilangan bisnis, kehilangan klien bahkan uangnya. Punggung Lidya panas, hanya untuk membayangkan dia kehilangan pekerjaan di Blackwood Industries. Perusahaan paling elit dan didambakan semua orang.“Sekarang kamu boleh keluar,” tandas Alex.Lidya tentu tidak ingin membuang waktu. Setelah membungkuk hormat, dia berjalan dengan kaki gemetar, keluar dari ruang kerja Alex.Setelah keluar dari ruangan Alex, Lidya berjalan dengan langkah cepat, seolah ingin segera menjauh dari suasana tegang yang masih melekat. Dia tahu Alex bukan tipe orang yang akan membiarkan sesuatu berlalu begitu saja tanpa tindakan.Di dalam ruangan, Alex masih duduk dengan ekspresi serius. Dia tahu ada yang disembunyikan. Dan meski tampak tenang, Lidya jelas menyembunyikan sesuatu. Alex meraih telepon di mejanya dan memanggil David.“David, aku ingin kamu pantau Elena. Pastikan kamu mengawasi semua akti
Bola mata Elena gemetar. Kemarahan begitu menumpuk di dalam kepalanya, bisa saja tiba-tiba meledak keluar. Dia mencoba mengepalkan erat kedua tangan, berusaha untuk menahan amarah. Dia tahu, dia tidak bisa menghadapi Victoria–dan Blackwood dengan cara seperti itu.“Baik, Mama. Aku akan ingat itu,” tukas Elena. Pada akhirnya.Dia lalu melangkah pergi, meninggalkan Victoria yang berdiri diam memandang punggung Elena dengan tatapan tajam penuh maksud. Namun samar senyum tipis yang begitu licik terulas di bibir Victoria.***Elena menaiki satu-persatu anak tangga menuju kamarnya di lantai dua, dengan langkah gontai. Pikirannya kalut kemana-mana. Dia hanya berharap tidak bertemu Alex. Mengingat kembali fakta bahwa Alex terlibat dalam kecelakaan ayahnya, membuat jantung Elena berdegup kencang. Lagi-lagi diliputi kemarahan.Namun harapannya untuk tidak bertemu Alex tidak terkabulkan. Pria itu justru berdiri di depan pintu kamarnya. Seperti sengaja menunggu kedatangan Elena.Elena berhenti se
Tabitha awalnya tidak pernah membayangkan akan bekerja bersama David. Asisten Alex yang setia itu. Semua bermula ketika Tabitha diberi tanggung jawab untuk menangani kasus yang cukup rumit. Firma hukum tempatnya bekerja tiba-tiba meminta David untuk menjadi mitra kerja Tabitha dalam menangani kasus ini, mengingat pengalamannya dalam analisis hukum yang mendalam.Tabitha mulai sedikit terganggu. Bukan karena David menonjol atau banyak bicara, melainkan karena David adalah bayangan Alexander Blackwood, mantan suaminya. Dimana ada Alex dan kasus, disitu pasti ada David. David bukan hanya asisten Alex—dia adalah orang kepercayaan yang tahu bagaimana menjaga rahasia dan membaca situasi tanpa perlu diberi tahu. Selama bertahun-tahun, Tabitha dan David hampir tidak pernah berinteraksi langsung, selain salam sopan dan percakapan singkat terkait Alex. "Kenapa kau tiba-tiba di sini?" tanya Tabitha dengan dahi berkerut. "Apakah tidak ada orang lain?"David membenarkan dasinya dengan gerakan lam
Hari itu, suasana di mansion Blackwood terasa berbeda. Para staf pelayan sibuk sejak pagi, membersihkan setiap sudut ruangan, memastikan semuanya dalam keadaan sempurna untuk menyambut kedatangan Adrian dan Lidya. Pintu-pintu besar dibuka lebar, untuk mengundang angin segar sekaligus menandai dimulainya babak baru dalam rumah itu.Adrian berdiri di depan gerbang utama bersama Lidya. Menatap megahnya mansion yang kini akan mereka tinggali. Sekilas, ada keraguan di wajah Lidya. Dia menggenggam tangan Adrian lebih erat.“Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanya Lidya.Adrian mengangguk. Matanya tetap terpaku pada bangunan besar itu. “Ini rumah keluargaku. Aku tahu banyak kenangan buruk di sini, tapi kita bisa mengubahnya. Aku ingin anak-anak kita tumbuh di tempat ini dengan kenangan yang lebih baik,”Lidya menarik napas panjang, mencoba memahami keyakinan Adrian. Saat mereka melangkah masuk, Elena muncul di ruang tengah sambil menggendong bayi kecilnya yang baru lahir. Di sampingnya,
Elena berusaha mengendalikan napasnya sambil merasakan kontraksi yang semakin kuat. Wajahnya pucat, namun entah dari mana dia mendapatkan kekuatan yang luar biasa untuk bertahan. Di sampingnya, Lina menggenggam tangan Elena erat, memberikan semangat tanpa henti.“Elena, kamu kuat. Sebentar lagi semuanya akan selesai,” ujar Lina dengan suara lembut. Dia terus menggenggam tangan putrinya itu.Elena mengangguk lemah, berusaha mengumpulkan kekuatan. Di luar ruangan, terdengar langkah kaki berlarian tergesa. Alex berlari menuju kamar. Wajahnya penuh kekhawatiran, tetapi ada kebahagiaan kecil yang berkilat dibalik ekspresinya."Maaf aku terlambat, Sayang!" tukas Alex, sama tegangnya seperti Elena."Mana Sophia dan Edward?" tanya Elena di sela-sela kontraksi."Aku sudah menitipkan mereka pada Lidya. Kamu jangan khawatir," jawab Alex. Kemudian dia pun mendekat ke samping Elena. "Aku ada di sini sekarang, menemanimu," ucapnya lirih.Beberapa jam berlalu dalam perjuangan yang tidak mudah. Elena
Dua tahun kemudian …Adrian berdiri di sisi Lidya, memandang dengan penuh cinta saat mereka mengucap janji suci di depan altar. Pernikahan mereka berlangsung sederhana namun intim, dikelilingi keluarga dan sahabat dekat. Adrian yang tetap menjabat sebagai CEO Blackwood, terlihat lebih bahagia berkat kehadiran Lidya. Wanita itu kini tidak hanya menjadi pendamping hidupnya, tetapi juga penasihat terpercaya dalam banyak keputusan besar.Sementara Alex, Elena, dan Sophia memilih menjalani hidup yang lebih tenang di rumah baru mereka. Sebuah vila kecil yang dikelilingi kebun hijau di pinggir kota. Rumah itu sederhana dibandingkan dengan mansion Blackwood yang megah, tetapi memberikan kedamaian. Sophia–yang kini berusia 9 tahun, tumbuh menjadi gadis yang ceria dan cerdas. Dia tetap senang melukis dan sering membantu Elena di kebun kecil mereka.Alex dan Elena memulai bisnis kecil berupa book cafe, menggabungkan kecintaan Elena pada literasi dengan keahlian bisnis Alex. Bisnis itu berkembang
Namun para polisi itu tidak terpengaruh oleh teriakan Tuan Thompson. Pemimpin tim penyidik mendekatinya, menatap Tuan Thompson dengan dingin. "Anda memiliki hak untuk tetap diam. Segala sesuatu yang Anda katakan dapat digunakan untuk melawan Anda di pengadilan. Kami menyarankan Anda mengikuti prosedur ini dengan tenang,"Rasanya waktu berhenti bagi Tuan Thompson. Semua ambisi, rencana, dan strategi yang dia bangun selama bertahun-tahun kini runtuh hanya dalam hitungan menit. Dia mencoba berpikir cepat, mencari cara untuk melarikan diri dari situasi ini. Tetapi setiap sudut pikirannya terasa buntu.Ketika borgol akhirnya mengunci pergelangan tangan Tuan Thompson, segala kekayaan yang selama ini dia pamerkan menghilang sepenuhnya. Dia dibawa keluar dari kantor miliknya, melewati para karyawan yang terkejut melihat bos mereka ditangkap polisi. Beberapa dari mereka mulai berbisik-bisik, sementara yang lain hanya memandangi adegan itu dengan ekspresi tidak percaya.Di luar gedung, wartawan
Hari itu, suasana di mansion Blackwood lebih tegang daripada biasa. Sejak kabar tentang penyelidikan keterlibatan Victoria dalam kasus rumah sakit jiwa tersebar luas, mansion berubah menjadi tempat yang mencekam. Sekaligus menjadi satu-satunya tempat berlindung bagi Victoria.Wartawan berkumpul di gerbang depan, kamera mereka terus mengarah ke pintu utama. Kilatan lampu kamera seperti petir yang menyambar tanpa henti, disertai teriakan pertanyaan para wartawan yang mencoba menembus tembok mansion."Mrs. Blackwood! Apa benar Anda terlibat dalam kasus manipulasi terhadap mantan menantu Anda, Tabitha Hill?""Apa komentar Anda tentang bukti yang sudah ditemukan?""Benarkah ada tekanan hukum yang Anda gunakan untuk mengurung Tabitha di rumah sakit jiwa?"Pertanyaan-pertanyaan itu membahana bak peluru yang dilempar cuma-cuma. Victoria mengamati semua itu dari balik tirai di ruang tamu. Dia yang biasa tenang, kini tampak gelisah. Tangan kirinya memegang erat cangkir teh yang sudah dingin, se
Lidya baru saja selesai menata dokumen pekerjaannya ketika Adrian datang membawa sebuah amplop besar. Lidya langsung berhenti dan mendekati Adrian. Ekspresinya terus terpaku pada amplop besar itu."Ini dari Tabitha," kata Adrian, menyerahkan amplop itu pada Lidya.Lidya menatap amplop itu dengan penuh tanda tanya. "Apa ini? Kenapa dia memberikannya padamu?"Adrian duduk di sofa, terlihat lelah. "Dia bilang ini penting. Katanya, isinya adalah kunci untuk menghancurkan Tuan Thompson,"Mendengar nama itu, Lidya membeku sejenak. Tuan Thompson adalah salah satu alasan utama Lidya pernah terjebak dalam situasi rumit yang nyaris menghancurkan hidupnya. Dan Lidya memang pernah bilang pada Adrian kalau dia tidak mau menikah selama Adrian masih berhubungan dengan pria tua itu."Dia percaya kamu bisa memecahkannya," lanjut Adrian, menatap Lidya dengan tatapan bangga. "Tabitha juga bilang kamu adalah wanita yang cerdas dan gigih. Kalau ada yang bisa mengungkap rahasia ini, kamulah orangnya,"Deng
Tabitha dan Sophia duduk di salah satu restoran mewah di Riverton. Meja mereka terletak di dekat jendela besar, memberikan pemandangan indah kota yang berkilauan. Suasana di antara mereka awalnya hangat. Sophia tampak menikmati hidangan penutup favoritnya, sementara Tabitha memandangi putrinya dengan senyuman penuh kasih."Ma, aku senang kita bisa jalan-jalan seperti ini," kata Sophia ceria. Dia mengangkat wajahnya dari es krim coklat di depannya.Tabitha tersenyum. "Mama juga senang, sayang. Mama ingin kita punya lebih banyak waktu bersama seperti ini,"Sophia mengangguk kecil, tetapi tatapannya berubah serius. Dia meletakkan sendoknya dan menatap ibunya dengan ragu. "Ma, aku mau tanya sesuatu,” Mata Sophia tak berkedip saat memandang Tabitha. “Kenapa Mama ingin aku tinggal sama Mama, bukan Papa?"Pertanyaan itu jatuh bagai palu di hati Tabitha. Tangannya sedikit gemetar, tetapi dia segera mengendalikan diri. "Sayang, Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Mama ingin memastikan kamu
Hari persidangan kedua pun dimulai. Kali ini, ruang sidang dipenuhi oleh awak media yang ingin meliput perkembangan terbaru kasus perebutan hak asuh Sophia. Berita tentang perseteruan keluarga Blackwood—keluarga terpandang dan kaya raya seantero Riverton telah menyebar luas, membuat kasus ini menjadi perhatian publik. Sidang dibuka dengan Tabitha yang dipanggil untuk memberikan kesaksian. Pengacaranya memimpin sesi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menggiring opini."Ibu Hill," Harold, pengacara Tabitha, memulai dengan nada penuh empati. "Dapatkah Anda menjelaskan kepada Yang Mulia apa yang sebenarnya terjadi selama bertahun-tahun Anda dipisahkan dari Sophia?"Tabitha menatap hakim dengan mata yang tampak berkilat oleh emosi yang dalam. Dia mengambil napas panjang sebelum berbicara."Yang Mulia," sapa Tabitha. Suaranya gemetar. "Saya adalah seorang ibu yang mencintai anaknya lebih dari apa pun di dunia ini. Namun, saya tidak pernah diberi kesempatan untuk menjadi bagi