Meski terlihat cuek dari luar. Sebenarnya Garvin itu sangat perhatian. Pria itu diam-diam membelikan Alesha Susu hamil, buah-buahan dan camilan sehat. Alesha duduk di Balkon kamarnya. Sambil memegang susu hangat buatan bi Rosa. “Akhirnya aku bisa ke sini lagi,” ucap Alesha. Ia tersenyum tangannya turun ke bawah mengusap perutnya yang mulai membuncit. Pelukan dari belakang membuatnya menoleh. Garvin mengecup sekilas pipinya. “Aku harus pergi.” “Mau ke mana?” tanya Alesha. Ia tidak rela jika malam ini harus berpisah dengan suaminya. Padahal mereka baru saja sampai—tapi Garvin harus pergi. “Ada urusan.” Garvin berjongkok di hadapan Alesha. Mengusap perut Alesha pelan. “Jangan tunggu aku.” Alesha mengerucutkan bibirnya. “Berapa lama?” “Tidak tahu.” Garvin mendekat—sebelum pergi ia harus mendapatkan energi dengan mencium istrinya lebih dulu. Menarik tengkuk Alesha dan memperdalam ciuman mereka. Saling berpangutan—rasanya Garvin tidak rela pergi. Namun ia tetap berhenti—sekali lagi
“Apa boleh?” Alesha membuka mata. Mendadak tersipu saat Garvin membuka kemejanya. Ia bisa melihat tubuh suaminya yang terpahat dengan suaminya. Beberapa roti sobek yang terpampang di depannya membuatnya tergoda. “Boleh. Asalkan pelan-pelan agar tidak menyakiti baby.” Beralih memberikan tanda kepemilikan di leher jenjang Alesha. Alesha memejamkan mata saat sapuan benda kenyal nan basah itu terus saja membelai lehernya. “K-kata s-siapa?” tanyanya sedikit terbata-bata akibat serangan Garvin. “Kata Xavier.” Garvin memang sudah persiapan. Namun patut diacungi jempol. Pria itu tidak ragu bertanya agar tidak menyakiti calon bayi dan istrinya. Tangan Alesha meraba perut Garvin. Di sana ada beberapa tatto. Tidak tahu pasti apa artinya. Namun tatto itu memang indah. “You want it?” “What?” “My tattoo.” “No.” Alesha menggeleng. “Aku suka milik kamu.” Setelahnya Garvin langsung menyerang Alesha tanpa pengampunan. Hingga Alesha tidak bisa berkata lagi. Tangan Garvin menjalar ke seluruh a
“Tapi apakah kamu pernah berpikir?” Alesha maju lebih dekat. “Aku sedang mengandung nyawa kita. Separuh nyawamu dan separuh lagi nyawaku. Jika kamu dengan gampangnya membunuh orang—lantas bagaimana bayi ini bisa bertahan?” “Bagaimana jika anak ini yang menjadi pengganti untuk menebus dosa-dosa kamu karena banyak menghilangkan nyawa manusia lain?” “CUKUP ALESHA!” Garvin mengepalkan tangannya. Alesha cepat-cepat mengusap air matanya. Ia berbalik dan langsung berlari ke kamarnya sendiri. Setelah itu menutup pintu kemudian menguncinya dengan rapat. Alesha membaringkan diri di atas ranjang. Membenamkan wajahnya di bantal. “Aku tidak bisa merubahnya. Aku memang tidak akan pernah bisa merubahnya.” “Kamu jangan seperti Daddy kamu.” Tangannya mengusap perutnya. “Jangan seperti Daddy yang bisa gampang membunuh orang.” Sedangkan di luar kamar, Garvin menatap pintu yang tertutup dengan rapat. Di tangannya sudah ada pisau untuk mencongkel gagang pintu. Namun ia masih terdiam belum bergerak.
Terbangun dari tidurnya. Alesha merasa sangat lemas. Ia melirik jam sudah pukul 12 siang. Pantas saja—ia merasa sangat lapar dan haus. “Mataku sangat berat. Pasti bengkak karena menangis semalaman.” Ia bangkit—pergi membersihkan diri. Setelah itu pergi ke bawah mencari makanan. Semuanya begitu sepi. Ia menatap kamar Garvin yang tertutup. Mungkin sudah berangkat, pikirnya. Ia berjalan ke dapur. Mengambil makanan seadanya untuk di makan. “Bi, Garvin sudah berangkat?” tanya Alesha. Meskipun ia sedang marah, tetap saja jiwa keistriannya tetap peduli. “Tuan kayaknya tidak berangkat ke kantor, Non.” Alesha mengunyah makanan. “Terus dia ke mana?” “Ke bagian timur, Non.” Bagian timur yang dimaksud Bibi adalah bagian di mana semua anak buah Garvin tinggal di sana juga markas utama. Berbagai persenjataan dan penjara bawah tanah berada di sana. Sekeras-kerasnya berusaha untuk tidak peduli. Kaki Alesha sudah melangkah ke bagian paling timur Mansion. Ia hanya ingin memastikan jika keadaan
Dasar Alesha tidak bisa berbohong lebih lama. Garvin menunduk. Ia juga tidak bisa berlama-lama marah pada wanita imut ini. “Jadi kamu berpura-pura agar aku tidak marah lagi?” Alesha mengangguk. “Lucunya.” Garvin mengusap puncak kepala Alesha. Alesha tidak menyangka jika Garvin malah mengusap kepalanya. Pria itu tidak terlihat marah atas sikap kekanak-kanakannya. “Ayo ikut aku.” Garvin menggenggam tangan mungil Alesha. Mereka berjalan ke luar—hingga sampai di luar. “Luka kamu harus diobati dulu.” Alesha mendongak. Luka Garvin cukup banyak—Alesha kawatir jika tidak segera diobati akan semakin sakit. “Nanti saja.” Sebuah mobil berhenti. Alesha bisa melihat seorang perempuan turun dari mobil itu. “Freya!” pekik Alesha. “Kak Alesha!” Freya berlari ke arah Alesha. Memeluk Alesha dengan penuh haru. “Kak Alesha…” lirih Freya. “Kamu baik-baik saja?” tanya Alesha pelan. Ia mengusap bahu Freya yang bergetar. Gadis itu menangis. Tentu saja gadis itu ketakutan setelah apa yang dialami.
“Emosiku tidak stabil sweety.” Garvin mengusap wajah sang istri. “Aku butuh pelampiasan meluapkan emosiku. Jika aku menahannya—aku bisa melukai diriku sendiri.” Demi apapun—Alesha sama sekali tidak takut. Ia semakin merasa bersalah. Atas perbuatannya yang semena-mena. Membuat suaminya menderita. “Apa kamu takut lagi denganku?” “Tentu tidak.” Alesha langsung memeluk suaminya. “Aku tidak akan takut lagi. Cause I love you.” Garvin tersenyum. Hatinya begitu menghangat mendengar pernyataan istrinya. Ia mengecup pipi Alesha dari samping. Lalu beralih pada leher jenjang wanita itu. Kini tangannya menyelinap masuk ke dalam dress yang digunakan oleh Alesha. “Sekarang?” tanya Alesha. Garvin. “Yes, Right now. Im fuc*ing want you.” Garvin mengangkat tubuh Alesha ke pangkuannya. Kemudian memangut bibir candu istrinya. “Pintunya belum dikunci.” Alesha terengah-engah. Ia kehabisan nafas dengan serangan yang diberikan Garvin. “Biar saja.” Garvin memaju-mundurkan miliknya di bawah sana. Denga
Alesha langsung menoleh dengan tawaran Garvin. “Garvin…” lirihnya. Garvin menatap sang istri. “Aku hanya menawarkan pada Samuel. Itu terserah padanya. Lagipula bukan aku yang akan melakukannya tapi Samuel sendiri.” Alesha mendengus. Ia tidak suka—pasti acara balas dendam tidak akan jauh dari membunuh. “Baiklah. Kalian diskusikan dulu balas dendamnya. Aku mengantuk.” Ia berdiri. Meninggalkan Samuel, Garvin dan Freya di ruang tamu. “Aku ingin melakukannya. Aku sebenarnya sudah menunggu saat ini tiba.” Samuel menatap Garvin dengan sangat yakin. “Aku akan memberitahu Vander. Kau bisa melakukan perencanaan dengannya.” Garvin berdiri. Ia menyusul istrinya yang sudah masuk ke dalam kamar. “Sayang,” panggil Garvin. Ia melihat Alesha tengah berbaring menyamping dengan mata yang tertutup. “Aku tahu kamu tidak tidur.” Garvin memeluk Alesha dari belakang. “Jangan marah. Aku melakukannya untuk Samuel.” Ia mengecupi bahu istrinya. “Aku hanya ingin kamu menjauh dari aksi membunuh.” Alesha me
Yubin itu pintar dan cerdas. Namun dibalik kecerdasannya—ia menyimpan sifat ceroboh dan sedikit polos. Ia berada di sebuah hotel, sedang menatap pantulan dirinya di depan cermin. Sebuah dress hitam yang terlihat sangat pas di tubuhnya. Yubin tersenyum senang. “Tidak terbuka sama sekali kok.” Yubin meyakinkan diri sendiri. Padahal dirinya juga melihat jika punggungnya terbuka. “Ayo berangkat.” Sampai di sebuah klub. Yubin bahkan langsung membeli member VVIP. Sampai di dalam. Menurut Film yang sudah ditontonnya, suasana klub memang seperti ini. Dentuman musik yang tinggi, gemerlap lampu dan suasana remang-remang. “Aku harus mencoba minum. Tapi bagaimana kalau aku mabuk?” Yubin menggeleng. “Aku bisa memesan taksi kembali ke hotel.” Akhirnya berjalan ke Bar. Di sana ada bartander yang siap melayani pesanan minumannya. “Minuman yang paling rekomended,” pesan Yubin. Ia menyamakan pesanan seperti di coffeshop. Biasanya ia akan minum Vanilla latte atau strawberry latte. Banyak pasang
Alesha menggeleng. Ia tidak sempat mempertanyakan hal itu karena ia keburu marah. “Eomma dan Appa ingin kamu mendengar penjelasan Garvin sendiri. Tapi keadaan kalian yang tidak baik. Eomma akan menjelaskannya. Eomma harap setelah mendengar ini—kamu bisa mempertimbangkan keputusan kamu.” Yeonji dan Alesha duduk di sisi ranjang. Yeonji menjelaskan apa yang terjadi dengan Garvin. Alesha menangis—ia mengusap air matanya. “Kenapa dia tidak bilang,” kesal Alesha. “Malam ini Garvin akan pulang. Dia bilang dia akan menemui kamu dua atau tiga bulan lagi.” Alesha bangkit. Ia mengambil ponselnya. Nomor Garvin sudah lama tidak aktif. Tapi ia masih menyimpan nomor Ellie. Mungkin saja—nomornya tidak ganti. “Hallo, Mrs.” “Apa Garvin sudah berangkat?” “Oh—10 menit lagi seharusnya berangkat ke Bandara. Anda bisa datang ke mansion tuan.” Panggilan ditutup. Alesha segera mengambil coat dan kunci mobil. “Eomma tolong jaga anak-anak.” Alesha segera berlari.Tak butuh waktu yang lama—Alesha akhirn
“Pergi. Aku butuh waktu sendiri.” Alesha pergi. Ia berjalan kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak lupa menutup pintu rapat agar Garvin tidak bisa masuk. Garvin tidak beranjak dari tempatnya. Ia hanya menatap kepergian Alesha dengan tatapan tajamnya. Jujur saja ia sangat ingin mendobrak pintu dan menarik wanita itu. Menciumnya, memeluknya dan mengurungnya sampai rindunya benar-benar terobati. “Aku tidak akan menyerah,” janji Garvin. Selama tertidur bersama anaknya—Alesha tidak terganggu sama sekali. Tidak ada bunyi apapun yang membangunkan dirinya dan anak-anaknya. Tdiurnya sangat nyenyak tanpa gangguan apapun. Pagi ini Alesha sudah siap pergi. Ia tidak melihat siapapun di lorong hotel. Ia bersama anak-anaknya masuk ke dalam lift. Mereka akan checkout dan kembali pulang. “Apa tidak ada orang lain yang menginap di lantai 4 selain kami?” tanya Aelsha pada petugas resepsionis. “Semua kamar sudah dibooking oleh seseorang. Kami tidak bisa menyebutkannya.” Alesha mengernyit. “Pria
Alesha membuka pintu. Kemudian mempersiapkan pakaian tidur untuk Alice. Mengganti pakaian putri kecilnya itu. Jake sudah besar—anak laki-laki itu sudah bisa melakukan banyak hal sendiri. “Mom bacakan dongeng.” Alice memeluk lengan Alesha. “Dasar anak kecil,” lirih Jake. “Kakak!”Tidak ada hari tanpa bertengkar. Alesha sampai pusing sendiri. Jake yang suka sekali menjahili adiknya. Alice yang suka sekali menempel dan mengejar kakaknya meski selalu dijahili. ~~TING TING Garvin masih bersabar untuk tidak mendobrak pintu kamar Alesha. Ia mengusap rambutnya kasar. Sampai tengah malam ia baru sampai di pulau ini. Ia sampai menyewa seluruh kamar lantai yang dihuni anak-anaknya agar mereka bisa tidur dengan tenang. TING TINGSedangkan di dalam kamar. Alesha nampak terganggu dengan bel yang berbunyi. Ia bangkit—ada apa? Pikirnya. Semoga saja bukan orang iseng di tengah malam seperti ini. ia juga membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika ada hantu. Alesha bergerak sangat pelan membu
Ketegangan terjadi di ruang tamu sebuah rumah. Kedatangan pria yang selama ini dinanti namun tidak kunjung tandang. Di saat penantian sudah habis—pria itu baru datang. Siapa lagi kalau bukan Garvin. Ia membawa begitu banyak mainan untuk anak perempuan dan anak laki-lakinya. Kedua orang tua Alesha (Yuna) mereka nampaknya masih kecewa pada Garvin. Mereka merasa Alesha ditinggalkan begitu saja oleh Garvin tanpa kabar apapun. “Saya ingin menjemput anak dan istri saya.” Garvin tidak ada keraguan mengatakannya meski ia tahu keluarga Alesha pasti marah padanya. “Kenapa baru menjemput sekarang? Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Juhwan. “Saya membangun bisnis. Saya keluar dari bisnis gelap. Saya membangun bisnis saya dari nol. Butuh waktu membangun bisnis dengan cara yang benar. Karena itu saya butuh mempersiapkan diri sebelum menjemput keluarga saya.” Yeonji menghela nafas. “Garvin, Yuna selalu menanti kamu. Saat kehamilannya yang ke dua. Dia sempat hancur dan terpuruk. Kalau memang
Garvin terbelalak tidak percaya dengan ucapan anaknya sendiri. Ia pikir Jake tidak akan marah. Ia pikir Jake akan selalu menerimanya. “Jake, maafkan Daddy.” “Bukan hanya aku. Tapi juga Mommy. Daddy membuat Mommy menderita.” Jake mundur beberapa langkah menjauh. “JAKE, ALICE KALIAN DI MANA?” teriak seseorang dari kejauhan. Yuna mencari-cari keberadaan anaknya. Ia pikir taman ini tidak terlalu luas. Tapi ternyata cukup luas juga hingga bisa membuat anaknya menghilang. Langkah Yuna semakin tidak menentu. Namun akhirnya ia bisa menemukan anaknya. Ia segera mendekat. Seiring langkahnya yang semakin dekat—ada seorang pria yang tidak lepas memandangnya. Yuna mendekati anaknya. Memeluk mereka berdua. “Kalian ke mana saja?” tanyanya. Ia kemudian berdiri. Kemudian matanya bertemu dengan seseorang yang selama ini ia rindukan. Seseorang yang setiap malam ia selalu kawatirkan. Seseorang yang setiap hari selalu ia doakan agar baik-baik saja. Yuna terpaku. Ia tidak bisa melangkah, berucap atau
Yuna bersama anak-anaknya datang ke taman. Tujuan mereka adalah berolahraga santai. Jake itu kuat sekali berlari. Anak laki-laki itu mempunyai tubuh yang sangat sehat. Yuna berhenti saat sudah berlari tiga putaran. Ia berhenti dan memilih duduk di bangku taman. Alice duduk sambil memegang es krim. Anak perempuannya itu sangat suka dengan es krim. Sudah akut—tidak bisa disembuhkan. Makanan nomer satu kesukaan Alice hanyalah Es krim. “Mom ayo pulang,” Alice menarik tangan ibunya. Yuna menunduk ia menali tali sepatunya yang mulai mengendor. “Tunggu Alice. Mommy harus berolahraga sebentar lagi.” Ia berdiri—melakukan peregangan ringan. Melompat kecil dan merapikan topinya. “Jake, kamu jaga Alice di sini ya,” pesan Yuna sebelum pergi. Jake mengangguk. Yuna kembali berolahraga. Ia berlari—tanpa menghawatirkan anaknya lagi. Ia yakin Jake sudah pintar, anak laki-lakinya itu pasti sudah bisa menjaga adiknya. Beberapa menit berlalu, Yuna kembali ke kursi di mana anaknya berada. Namun saat
Di sisi lain ada seorang pria yang menatap sebuah foto kebersamaan seorang perempuan dan laki-laki. Ia mengepalkan tangannya. Ingin rasanya membanting semua yang ada di dalam ruangannya. Ia menahan amarahnya sekuat tenaga. “Kenapa kamu berdekatan dengan pria lain,” lirihnya memejamkan mata. Tok Tok“Sir sebentar lagi ada meeting,” ucap Ellie sebagai Asistennya. Ternyata ada banyak orang menunggunya. Salah satunya Ellie. Saat Garvin pertama kali membangun perusahaan, Ellie melamar menjadi sekretarisnya.Garvin mengangguk. 5 tahun berlalu, telah bayak yang berubah dari Garvin. Garvin yang sekarang bukanlah Garvin yang dulu. Jika dulu Garvin cenderung lebih emosi—sekarang ia akan lebih bersabar. Menunggu, diam namun di kepalanya tersusun strategi untuk mengalahkan lawan. Bukan lagi tentang bunuh membunuh. Garvin adalah seorang pengusaha sukses di bidang teknologi. Cara menghancurkan lawan bukan dengan membunuh namun merebut kepercayaan investor dan memenangkan tender. Di kelilingi ka
“Dia bukan Appa, Alice. Dia bukan Daddy kita,” kata Jake yang sangat tidak suka jika Alice memanggil orang lain sebagai ayah. “Sudah kakak bilang dia bukan Daddy kita.” *Appa= AyahAlice menunduk. Ia memilih bersembunyi di pelukan Yuna. “Jake, jangan memarahi adikmu.” Yuna menatap Jake. “Alice masih belum mengerti. Nanti biar Mommy yang menjelaskannya.” Jake melengos. Ia menatap jendela yang menampilkan seseroang yang disebut Alice sebagai Appa. Alice meloncat dari kursi. Anak itu berlari ke arah seorang pria yang tengah berbincang di depan kafe. Pakaiannya rapi khas orang kantoran. “Appa!” Alice langsung memeluk pria itu. “Hai Alice,” sapa pria itu. Ia tersenyum. Mencubit pelan pipi Alice yang chubby. “Dengan siapa?” Alice menunjuk ke dalam kafe. “Mommy dan kakak.” Yuna melambaikan tangannya ringan sambil tersenyum. Pria itu adalah Jungwoo. Park Jungwoo, mantan calon suami yang dipilihkan orang tuanya dulu. Jungwoo terlihat sangat dewasa. Berbeda sekali dengan dulu. Pakaianny
5 tahun kemudian. Seorang wanita tengah bersiap-siap akan menampilkan sebuah balet. Ia menggunakan gaun berwarna pink dengan rok yang melebar di bawah. Dia Kim Yuna—anak dari mantan presiden Kim Juhwan. Yuna menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia menatap rambutnya yang sedikit berantakan. Ia hanya merapikannya sebentar dan kemudian siap. Sudah 4 tahun lamanya ia membangun sebuah akademi balet. Melatih anak-anak yang mempunyai bakat di bidang balet. “Semuanya sudah siap?” tanya Yuna. Di usianya yang menginjak 32 tahun ia semakin bersinar. Bakatnya diakui, akademi yang dibangun menjadi akademi terbaik nomer 5 dari seluruh dunia. Beberapa anak didiknya keluar lebih dahulu. Perannya kali ini hanya menjadi seoran ibu. Ia memilih peran yang lebih sedikit agar anak didiknya bisa lebih banyak tampil. Sebuah lagu klasik mulai mengalun. Yuna keluar. Ia tersenyum ke arah penonton. Di bangku pentonton ada putra dan putrinya yang selalu menonton pertujunjukkannya. Selesai. Yuna membun