Semoga suka 😘😘
Pria itu membalik tubuh, "Pindahkan akuarium ini ke rumah, bawa semua barang yang ada disini dan sembunyikan dalam gudang, kecuali akuarium itu." Sanjaya tidak harus memusuhi ikan-ikan lucu ini, kan? Dulu Diandra juga ingin memelihara ikan, tapi dengan tegas Sanjaya menolaknya. Dia cemburu pada ikan-ikan itu yang selalu mendapat perhatian Diandra lebih dulu saat mereka bangun pagi. Kali ini entah mengapa terasa berbeda , suara Davinka yang mengatakan alasan dirinya tidak suka makan ikan kembali terngiang. 'Saya tidak suka ikan, apa lagi ikan mentah?' jawabnya putus asa. 'Kenapa?' tanya Sanjaya. 'Mereka terlalu manis, Pak … kasihan,' jawabnya cepat. "Apa kamu Diandraku, Davinka?" gumam Sanjaya. Sandy dapat mendengar dengan jelas. Mendengar itu, hatinya merasa iba. Dalam waktu tiga hari, Sandy sudah berulang kali mendengar Tuannya bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Apa kamu sudah mencari tahu Davinka sampai ke akarnya, Sandy?" tanya Sanjaya tanpa ekspresi. Nada suaranya t
Sanjaya berbalik, menatap monitor tanpa melangkah sedikitpun dari tempat ia berhenti. Melihat keengganan Sanjaya untuk mendekat, Dokter Nabila mulai menggerakkan transducer, memperlihatkan sesuatu di dalam lapisan perut. "Nona Davinka tidak bisa melakukan hubungan badan selama 3 Minggu. Rahimnya bermasalah, hubungan intim dengan gerakan ekstrim setelah masa haid sangat berbahaya. Jika dipaksakan kemungkinan besar Nona Davinka tidak bisa mengandung. Apa lagi sebelumnya nona Davinka melahirkan bayi dengan paksa dan tidak di rumah sakit besar. Ada beberapa luka diatas luka. Di sini—" dokter Nabila mengarahkan transducer pada bagian sayatan diperut. Terlihat jelas bekas jahitan sesar terlihat Sudah berapa kali diperbaiki jika melihat dari bekas luka. Bekas jahitan itu terlihat pernah mengalami infeksi sehingga harus melakukan tindakan berulang kali. Pandangan Sanjaya tidak pernah berkedip sedikitpun dari layar monitor. Setiap ucapan yang diutarakan oleh dokter Nabila begitu mengerikan
Setelah dua hari dirawat, Davinka dibawa pulang ke sebuah rumah yang sangat megah. Tiang-tiang tinggi yang kokoh mendominasi teras rumah, tiang itu dilapisi marmer yang sangat cantik. Dua pintu ganda tidak kalah cantik dan megahnya. Davinka menatap sekeliling, suasana temaram semakin menambah kecantikan berada depan dengan lampu gantung dan tanam. Mungkin akan sangat romantis jika di sana ditaruh meja dan lilin untuk makan malam. "Apa kamu lebih suka tinggal di luar sini, Davinka?" suara bariton pria itu mengagetkan Davinka. Davinka menggeleng, "Dimana kamar saya, Tuan Sanjaya? Boleh saya istirahat sekarang?" Sanjaya hanya mengangguk, tangannya dilingkarkan di pinggang ramping Davinka. "Akan saya tunjukkan." Sanjaya mulai menggiring tubuh Davinka masuk. Wanita itu mengusap tengkuk dan lengannya beberapa kali saat hawa dingin menerpa tubuhnya, padahal mereka jauh dari ruang AC. Entah mengapa Davinka merasa tidak nyaman saat memasuki rumah megah itu. Aura permusuhan begitu kenta
Pelayanan itu membungkuk di hadapan Davinka, berkata dengan nada rendah. "Maaf, Nyonya, Anda di panggil Tuan." Davinka menatap wanita yang tidak terlalu tua, juga tidak semuda dirinya yang bicara dengan sangat hati-hati. Kata-katanya sebenarnya sangat bisa saja, akan tetapi sangat tidak nyaman di telinganya. "Cukup panggil saya, Davinka. Saya gak suka dipanggil Nyonya atau Nona, jadi panggil aja Davinka, oke!" Pelayan itu dengan cepat menggeleng, dia tidak ingin membuat marah Tuannya. Apalagi, CCTV terpasang di setiap sudut rumah "Maaf, Nyonya, saya tidak bisa. Anda Nyonya baru kami disini …," Terlihat kesedihan dalam wajah pelayan itu. Davinka bangun dan meletakkan baskom ikannya di bufet. "Saya bukan Nyonya kalian, dan saya tidak mau jadi Nyonya kalian. Saya bukan Istrinya, hanya simpanan pria itu," jelasnya lirih. Dari layar, Sanjaya merasa puas dengan pernyataan Davinka, wanita ini sangat terang-terangan
Sanjaya baru saja keluar dari kamar mandi saat melihat Davinka mulai mendekati tralis dan menaikkan satu kakinya. "Apa yang dilakukan oleh wanita itu!" Sanjaya membuang handuknya, bergegas keluar dengan tubuhnya yang setengah telanjang. Wajah pria itu sudah sangat pucat seperti tidak dialiri darah, otot di sekujur tubuhnya menegang hanya karena Davinka mendekati balkon. Sanjaya takut Davinka akan berbuat nekat dan melompat dari sana. "Tidak, Devinka, kamu tidak bisa melakukan ini!" Sanjaya berlari kencang menyusuri lorong dari kamarnya menuju kamar Davinka berada. Gerakannya melebihi angin, pria itu mengabaikan setiap tatapan penasaran para pelayan yang berpapasan dengannya. "Hentikan wanita itu!" teriak Sanjaya sekuat tenaga. Rahangnya kini sudah mengeras dengan sorot matanya yang tajam. Dia tidak ingin terlambat untuk menyelamatkan wanitanya dari maut. Para pelayan bingung, mereka saling pandang, tid
Melihat wajah Sanjaya yang semakin mendekat dengan cairan obat dalam mulut pria itu, sudah membuat lidah Davinka merasakan pahit lebih dulu, bahkan cairan dalam perut serasa mau keluar. Davinka memalingkan wajah, menghindari bibir Sanjaya yang sudah berada tepat di depan bibirnya. Akan tetapi, dengan cepat Sanjaya mencengkram rahangnya dengan dua jari menahan bibir tebal wanita itu agar sedikit terbuka. "Emm-emmm …," teriakan Davinka tertan. Wanita itu terus menggerakkan kepalanya menghindari serangan Sanjaya. Kegigihan Sanjaya agar Davinka sembuh dan dapat melayaninya lagi, membuat pria itu bersikukuh agar obat yang dikunyah dapat masuk kedalam mulut Davinka. Saat Sanjaya mendapat bibir sensual Davinka, dengan cepat dia mentransfer cairan dalam mulutnya setelah menambah sedikit air. Tangan satu mulai menekan hidung Davinka. Bunyi tegukan didengar oleh pria itu setelah Sanjaya dua kali membagi cairan pahit dalam mulutnya. "Ahhh …
Kehangatan pagi itu membuat Davinka enggan untuk membuka mata, padahal tubuhnya sudah terjaga sepenuhnya. 'Kapan dia datang kesini? Gak tahu kenapa setiap dia meluk gue gini, ada ketenangan. Gue ngerasa nyaman,' bibir Davinka tersenyum dalam dekapan dada bidang Sanjaya yang mememluknya erat. Pria itu masih tetap bertelanjang dada seperti tadi malam. Davinka semakin menyusupkan dirinya dalam kehangatan Sanjaya dengan pikiran yang menerawang jauh. Sikap pria ini sangat berubah-ubah, kadang baik, kadang kasar, kadang lembut. Tapi, terkadang juga ucapnya seperti angin topan yang memporak-porandakan hatinya. 'Apa gue gila kalo ngerasa nyaman dalam tawanan dia," Davinka hampir saja tertawa merasakan kekonyolannya. "Apa kamu tidak bisa diam, Davinka? Mau saya buat kamu masuk rumah sakit lagi?" Gertank Sanjaya merasa terganggu. Gerakan bibir Davinka yang menyapu dadanya membuat tidur pulas Sanjaya terganggu. Padahal, pria itu baru tertidur beberapa jam yang lalu setelah menahan diri unt
Jiwa Davinka seakan melayang saat mendengar teriakan para pelayan yang memanggil dirinya dengan teriakan keras. 'Jadi gue beneran mati sekarang?' "Aaaaa…!" Bruk! Davinka merasakan tubuhnya melayang di udara. Napas wanita itu sempat berhenti, wajahnya seperti tidak di dialiri darah. Putih melebihi kapas. Davinka tidak berani membuka mata, mungkin saja dirinya sudah mengantri untuk penebusan dosa di akhirat. "Kamu memang lebih suka mati daripada hidup tentang, hah!" Suara pria itu lebih mengerikan daripada malaikat pencabut nyawa. Davinka masih tidak berani membuka matanya. Detak jantungnya kembali bekerja dengan keras, sama kerasnya dengan sosok yang tengah menggendongnya saat ini. 'Hah, gue belom mati?' Saat Davinka hendak membuka mata untuk memastikan dirinya masih hidup, tubuhnya kembali melayang dan naik ke udara. "Aaaaa…!" Sekali lagi, nyawa seakan lepas dari raganya ketika tubuhnya kembali terjun ke bawah dengan cepat. "Mati, gue mati …," Davinka memejamkan matanya e
Davinka kembali menoleh pada Wulan dan menggenggam tangannya, menatap wanita itu penuh hormat, berkata dengan suara yang lembut dan penuh permohonan, "Mah, aku tidak dibesarkan oleh seorang ibu dan tidak banyak orang yang aku kenal. Sekarang aku memanggilmu Mama. Emm, Mama mau, kan, menjadi ibuku dan merestui pernikahanku!"Pupil matanya melebar, terus menatap Wulan penuh harap. Akankah Wulan memenuhi keinginannya?Wulan sendiri kehilangan kata-katanya. Air mata kembali mengalir deras dengan isakkan tertahan. Wanita itu hanya mengangguk sebagai jawaban.Bodoh! Anak sebaik ini, bagaimana ia bisa menyakitinya dan menolaknya berulang kali!Davinka mengangguk dengan senyum lebarnya, lalu memeluk tubuh gemetar itu dengan penuh kehangatan."Terima kasih, mulai sekarang aku punya Mama." Bisik Davinka dengan elusan lembut di punggung Wulan.Davinka mengurai pelukan, menarik tangan Sanjaya agar menjabat tangan Wulan, "Sekarang Mama Wulan adalah ibu mertuamu, cepat sungkem!"Sanjaya tercengang.
Mendengar ibunya berkata seperti itu membuat Yudha bangun dari duduknya dan meraih tangannya."Ini semua karena Yudha. Mama hanya korban dari obsesi Yudha! Sudah, semua sudah selesai. Biar Yudha yang menanggung semua ini!" Tegas pria itu. Kini aura kehidupan sudah terlihat di wajahnya. Davinka yang asli sering menolaknya dengan kata-kata kasar karena ke keraskepalaannya.Penyesalan, kekecewaan, dan amarah terpancar jelas. Akan tetapi, semua ditujukan kepada dirinya sendiri."Tidak ada yang akan masuk penjara. Semua hanya karena kesalahpahaman!" tanam Sandy, "Tuan Sanjaya mengembalikan semua yang sudah diambilnya," ujarnya lagi yang membuat mereka semua tercengang."Mak-maksudnya?"Kebingungan jelas terlihat dari bagaimana cara mereka bereaksi. Entah apa yang diambil dan harus dikembalikan."Toko elektronik suami Anda beserta isinya dan beberapa calon investor sudah ada di dalam dokumen ini. Kalian tidak bisa menolak! Ja
"Udah malem! bye, Rani …." Davinka langsung menutup pintunya rapat.Rani membalikkan tubuhnya, kamar itu sudah temaram. Yang membuat ia menggigit bibir bawahnya adalah, Sandy berada di tengah ranjang dengan memeluk Inggi. Putrinya malah ada di sisi lainnya ranjang itu.'Ais … jadi gue harus tidur disamping dia?' jerit Rani dalam hatinya.Bersentuhan dengan kulitnya saja sudah hampir membuatnya seperti terbakar. Tapi ini ….Pikirannya terhenti."Mau sampai kapan kamu di sana!" Suara bariton itu menggema dalam remangnya kamar hingga mampu membuat bulu kuduk Rani meremang sempurna.Suara serak Sandy menandakan bahwa pria itu sudah sempat tertidur, terdengar sangat menggoda di telinganya hingga jantungnya mulai berdetak lebih hebat. Rani mulai melangkah dengan kaki beratnya. Ia tahu malam ini harus tidur di ranjang yang sama dengan Sandy. Mampukah?Ini memang bukan malam pertama mereka. Tapi, tidur tepat di sisi pria itu hampir tidak pernah terjadi selama tiga Minggu mereka menikah."Di-d
'Aku tahu, aku sedang dihukum atas semua kejahatan-kejahatanku. Tapi kenapa tidak ambil saja nyawaku daripada membuat semua orang menderita bersamaku!'Venti mulai merasa depresi dengan keadaannya. Kata-kata berikutnya semakin membuatnya tenggelam."Itu jauh lebih bagus. Di kantor Papa bisa fokus bekerja. Tadinya Papa hanya akan pergi saat mendesak saja. Tapi melihat cinta kalian, Papa merasa sangat lega!"Davinka melihat suster membawa sesuatu di tangannya. "Apa itu, Sus? Apa makan siang mama?""Ya, Nyon—""Panggil ibu saja. Saya lebih nyaman dengan itu!" pangkas Davinka cepat. Dia sudah sangat risih dengan sebutan nyonya-nonyaan.Suster itu mengangguk dan berjalan mendekati Davinka, memperlihatkan apa yang ia bawa."Ini bubur cair. Nyonya Venti hanya dapat makan ini sementara waktu sampai bisa mengunyah kembali," jelas suster itu.Dengan wajah murung dan dan air mata yang hampir jatuh, Davinka terus menatap ib
"Keadaannya tidak akan membaik hanya karena kamu membatalkan resepsi kita, Ra!" Dan ini akan selalu menjadi panggilan untuk Diandra walaupun kini sudah mengganti nama Davinka dan melupakan panggilan Davin-nya."Baiklah, aku kalah dari kalian!" desahnya sambil menatap kelima pria ini yang sekarang berada dikamar perawatan Venti."Ayo! Rasty dan yang lainnya sudah menunggu di rumah," ujar Noel mengingatkan.Mereka akan pulang ke apartemen mewah Sanjaya. Noel sendiri setelah resepsi akan kembali ke Singapura dan menetap disana. Insiden berdarah di rumahnya sama sekali tidak pernah terpublikasikan. Ada keinginan untuk menjual rumah itu, tapi Davinka menolaknya. Bagaimanapun, rumah itu memiliki kenangan untuk Davinka ataupun Diandra.Brata menyewa satu jasa suster untuk merawat istrinya. Sebenarnya ia ingin dua orang agar mereka bisa bergantian menjaga. Tapi, menantunya ini menolak dengan alasan Venti sekarang memiliki empat orang anak. Satu suster sudah cukup."Kenapa tidak pulang kerumah
Ketika semua tidak seperti apa yang kita rencanakan maka, pasrahkan, serahkan, ikhlaskan …. Biarkan tangan Tuhan yang melanjutkan karena, seberapa gigih pun kita mencoba, tanpa jamahan tangannya semua akan sia-sia.Venti sudah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyingkirkan Diandra agar menjauh dari putranya. Tapi apa? Semakin ia berusaha, semakin mendekatkan mereka hingga akhirnya membuat dirinya seperti ini sekarang. Bahkan, kematian lebih baik daripada kehidupan yang menyiksa ini.Dari tempatnya berbaring, Venti terus menatap wajah Davinka. Wajah cantik itu memang sangat berbeda dengan milik Diandra kecuali, mata, bibir, siluet dan suaranya yang sangat ia kenal.Seharusnya dia tahu akan hal ini karena Noel adalah bedah plastik terbaik di negaranya hingga mendapatkan pekerjaan di Singapura."Kita harus mencari dokter terapis terbaik, mama tidak bisa terus seperti ini!" bujuk Davinka disela isak tangisnya.'Apa dia menangis untukku? Menangisi aku yang jahat ini?' bagaimana mana
Para polisi langsung mengamankan Laura. Peluru mengenai dadanya dan langsung tembus ke jantung. Bukan hanya satu, tapi dua sekaligus hingga menewaskan wanita itu.Ambulance dan beberapa polisi sudah datang, mereka ditelpon oleh Noel dan Brata."Sanja!" panggil Davinka saat melihat suaminya terbaring lemas. Noel dan Sandy sudah ada disana memberikan pertolongan pertama."Aku gak papa," sahutnya menenangkan.Dengan kaki gemetar, Davinka membawa Renhart mendekat pada Sanjaya dan bersimpuh di hadapannya. Sanjay menyentuh wajah putranya dan bertanya dengan suara yang parau. Berusaha untuk tetap tersadar, "Kamu gak papa, kan? Apa ada yang sakit?"Pria itu melihat bagaimana Renhart di bekap oleh Laura.Renhart menggeleng, "Papa pasti kesakitan. Itu pasti sakit."Anak itu bicara di sela isak tangisnya. Merasa sangat khawatir. Renhart tahu Papanya sengaja melakukan itu agar peluru tidak mengenai tubuhnya. Ia melihat sendiri Papanya langsung melompat saat wanita jahat itu berteriak memintanya u
Suhu di ruangan itu mendadak berubah dibawah nol derajat. Suasananya lebih dingin dari kutub Utara. Siapapun tidak berani mengambil napas dengan semaunya. Mereka hanya tidak ingin mengeluarkan suara dan mengganggu konsentrasi.Laura masih menatap puas apa yang ada di hadapannya, bagaimana musuh terbesar ibunya kini sudah tidak terselamatkan lagi. Wajah Venti sudah terlihat bengkok dan kaku, napasnya sedikit terengah-engah, terlihat sangat kesakitan.Venti masih belum bisa memalingkan wajahnya dari tempat Davinka berdiri. Hanya suara geraman yang lolos dari bibir wanita itu yang sedikit membiru."Ini lebih bagus dari kematian. Kamu tersiksa sebelum ajal menjemput! Hahah!" Sandy melangkah maju. Tapi sial, ternyata telinga Laura sangat peka. Wanita itu kembali fokus pada Renhart dalam dekapan lengangnya."Apa kalian gila!" teriak wanita itu. Laura memutar tubuhnya dengan Renhart dalam lengannya, pistol terus menempel pada kepala anak itu dan siapa di tekan kapanpun. Ia menatap semua y
Suara benda jatuh dan teriakan menggema dari arah pintu dapur. Suara langkah kaki mulai terdengar semakin dekat. Venti yang masih menggenggam tangan Davinka merasa sangat bingung dengan nama ayah Davinka yang sama persis seperti nama ayah Diandra. Wanita itu masih berpikir keras dan berusaha mengenyahkan semua ketakutannya.'Ini pasti hanya kebetulan, kan?' tanyanya dalam hati, 'apa mereka saudara, satu ayah, atau—' Suaranya terhenti. Venti melihat genggaman tangannya yang masih menggenggam tangan Davinka yang kini dipaksa lepas oleh suaminya sudah terbuka dan tangan Davinka hilang dalam genggaman tangannya."Apa yang kamu pikirkan? Sekarang putra kita sudah sah menjadi suami Davinka," tukas pria berusia mengingat istrinya yang masih diam membisu. Pikirannya bahkan terlihat kosong.Brata membantu Davinka agar duduk disisi Sanjaya. Mereka mulai menandatangani berkas pernikahan. Namun, saat penghulu menyerahkan dua buku merah dan hijau, teriakan seseorang menghentikan pergerakannya.