Beberapa minggu berlalu dengan cepat, dan Amelia semakin dekat dengan hari kelahiran. Adrian terlihat semakin sibuk. Ia memastikan bahwa segala sesuatu sudah siap sebelum bayinya lahir, bahkan mengatur ulang jadwal kerjanya agar bisa lebih banyak berada di rumah. Namun, meski begitu, ada sesuatu yang tetap menghantui pikirannya—masa lalu yang belum sepenuhnya selesai.Pagi itu, Amelia tengah duduk di ruang tamu sambil mengelus perutnya yang semakin membesar. Zacky, yang kini sudah mulai sekolah TK, sedang bermain dengan mainannya di sudut ruangan. Tawa kecilnya memenuhi rumah, menciptakan suasana hangat yang selalu didambakan Amelia. Namun, matanya tak lepas dari Adrian, yang tampak gelisah di ruang kerja. Beberapa kali ia terlihat bolak-balik, seolah menunggu sesuatu.Amelia memutuskan untuk mendekatinya. Ia mengetuk pintu ruang kerja dengan pelan, kemudian masuk dengan senyum di wajahnya. “Adrian, ada apa? Kau terlihat tak tenang akhir-akhir ini.”Adrian mendongak dan tersenyum tipi
Hari-hari berlalu dengan suasana yang lebih tegang di antara Adrian dan Amelia. Ancaman yang diterima Adrian terus menghantui pikirannya, meskipun ia berusaha sebisa mungkin menyembunyikan kekhawatiran itu dari Amelia. Namun, ia tak bisa membohongi diri sendiri. Semakin lama, rasa takut itu semakin besar, dan Adrian tahu bahwa ia harus segera bertindak.Pagi itu, Adrian memutuskan untuk menghubungi seseorang yang bisa membantunya mengungkap kebenaran tentang Daniel. Orang itu adalah Andi, sahabat lama Daniel yang juga pernah dekat dengan Adrian. Andi adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu tentang masa lalu Daniel. Adrian berharap, jika ada yang bisa membantu menyelesaikan teka-teki ini, orang itu adalah Andi.Setelah beberapa kali mencoba menghubungi, akhirnya Andi menjawab panggilan Adrian dan mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe yang cukup jauh dari kota, tempat yang aman untuk berbicara tanpa gangguan.***Sore itu, Adrian duduk di pojok kafe dengan wajah penuh kegel
Keesokan harinya, Adrian bangun lebih pagi dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi dengan percakapan dengan Andi dan ancaman yang semakin nyata. Setelah mencuci muka dan menatap bayangan dirinya di cermin, Adrian memutuskan bahwa hari ini ia harus mengambil langkah pertama. Ia tidak bisa terus hidup di bawah bayang-bayang ancaman yang tak terlihat. Apalagi Amelia dan Zacky adalah prioritasnya sekarang—dan dia tidak akan membiarkan siapapun mengganggu mereka.Sambil menikmati kopi pagi, Amelia datang menghampiri Adrian, dengan senyum lembut menghiasi wajahnya. Namun, di balik senyum itu, Adrian tahu bahwa istrinya mulai curiga dengan ketegangan yang ia rasakan."Adrian, hari ini kau terlihat lebih cemas daripada biasanya," Amelia mulai berbicara dengan nada khawatir. "Apakah ada sesuatu yang harus kubantu?"Adrian menatap Amelia sejenak, kemudian meraih tangannya. "Aku akan pergi bertemu seseorang hari ini. Ini tentang situasi yang sudah lama terjadi, dan aku rasa saatnya kita menyele
Hari yang dinantikan akhirnya tiba, hari perayaan tujuh bulanan kehamilan Sarah. Alexander telah menyiapkan segalanya dengan sempurna. Taman belakang rumah mereka dihias dengan elegan, penuh dengan bunga-bunga segar yang memberikan aroma manis di udara. Keluarga dari kedua belah pihak sudah berkumpul, dan suasana hangat terasa menyelimuti acara tersebut.Sarah, yang kini hamil tujuh bulan, tampak memukau dalam gaun sederhana berwarna putih yang lembut. Aura kebahagiaan terlihat jelas di wajahnya. Zacky, yang kini berusia lima tahun, tampak sangat menggemaskan dengan pakaian formal mini. Ia berjalan berkeliling dengan wajah ceria, sesekali menarik perhatian tamu dengan tingkah lucunya."Zacky, sayang, ayo sini ke mama," panggil Sarah lembut ketika melihat anaknya berlari-lari di antara para tamu.Zacky segera menghampiri ibunya, lalu memeluk perut Sarah dengan manis. "Ini adik bayi di dalam perut mama, kan?" tanya Zacky dengan suara polosnya.Sarah tertawa kecil dan mengangguk. "Iya, s
Malam setelah perayaan tujuh bulanan Sarah, suasana di rumah kembali tenang. Zacky sudah tidur dengan nyenyak di kamarnya setelah seharian bermain dan berlarian bersama teman-temannya. Sementara itu, Alexander dan Sarah duduk di teras belakang rumah mereka, menikmati malam yang sejuk di bawah langit berbintang.Namun, meskipun suasana tenang, Alexander merasa ada sesuatu yang terus mengusik pikirannya. Sejak teror yang ia terima beberapa waktu lalu, ia merasa ada satu potongan teka-teki yang masih hilang. Meskipun Adrian telah diungkap sebagai dalang di balik teror itu, Alexander merasa masih ada sesuatu yang belum terjawab. Hubungannya dengan Adrian semakin membaik, namun ada sesuatu dalam sikap Adrian yang masih membuatnya curiga."Ada apa, sayang? Kamu terlihat gelisah," tanya Sarah, mengusap lembut tangan Alexander.Alexander tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan rasa cemasnya. "Hanya memikirkan beberapa hal. Tentang pekerjaan dan keluarga, mungkin juga tentang Adrian," jawabnya
Setelah pembicaraan yang tegang dengan Adrian, Alexander merasakan gelombang emosi yang campur aduk. Di satu sisi, ia lega bahwa Adrian akhirnya mengaku ada orang lain yang terlibat dalam teror tersebut. Namun, di sisi lain, identitas sosok misterius itu tetap menjadi ancaman yang tak terlihat. Teror bisa datang kapan saja, mengintai dalam gelap, dan Alexander tak ingin keluarganya berada dalam bahaya lagi.Sesampainya di rumah, Alexander mendapati Sarah sedang bermain dengan Zacky di taman belakang. Senyum ceria di wajah Zacky membuat hati Alexander sejenak tenang, namun bayangan ancaman yang ia terima membuatnya tetap waspada.“Kamu terlihat lelah, sayang,” kata Sarah lembut sambil berjalan mendekati Alexander.Alexander tersenyum tipis dan mengecup kening istrinya. “Ada banyak hal di kantor yang membuatku pusing. Tapi, semuanya akan baik-baik saja.”Sarah menatap suaminya penuh perhatian, tahu bahwa Alexander tidak sepenuhnya jujur. “Jika ada sesuatu yang mengganggumu, kamu tahu ak
Hari itu, Alexander kembali ke rumah dengan hati yang penuh beban. Pikirannya tak bisa lepas dari pesan-pesan di ponsel tua yang ia temukan di kantor lama Daniel. Jika benar Daniel masih hidup, apa tujuan dari semua ini? Apa yang sebenarnya sedang dia rencanakan? Di dalam hatinya, Alexander tahu ini bukan lagi sekadar balas dendam pribadi, ada sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, yang terpendam di bawah permukaan.Sesampainya di rumah, Alexander disambut oleh Sarah yang sedang bermain bersama Zacky di ruang tengah. Melihat kebahagiaan di wajah istri dan anaknya sedikit meredakan kegelisahan yang menghantuinya."Kamu pulang terlambat lagi, Sayang," kata Sarah sambil tersenyum hangat. "Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?"Alexander tersenyum tipis, mendekati Sarah dan mencium pipinya. "Banyak yang terjadi di kantor, tapi aku tidak ingin membebanimu dengan masalah itu."Sarah menatap Alexander dengan penuh perhatian, mengetahui bahwa suaminya sedang menutupi sesuatu. Namun, dia memi
Daniel berjalan bolak-balik di dalam ruangan gelap dengan wajah tegang. Pikiran tentang pengkhianatan Adrian terus membayangi. Adrian, yang seharusnya berada di sisinya, justru mulai menunjukkan sikap sebaliknya. Dan sekarang, Adrian bahkan meminta dia berhenti dari rencana balas dendam yang sudah lama dia susun. Suara langkah kaki Daniel menggema di ruangan itu, hingga akhirnya dia menghentikan gerakannya dan memandang Adrian dengan sorot mata marah."Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran, Adrian?" tanya Daniel dengan nada dingin yang menggigilkan. "Kita sudah sepakat bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk membalas dendam pada Alexander. Kenapa sekarang kau memutuskan untuk mengkhianatiku?"Adrian, yang berdiri di sudut ruangan, menghela napas panjang. Wajahnya tampak lelah, dan dia menatap Daniel dengan tatapan tenang, tapi tegas. "Ini bukan soal pengkhianatan, Daniel. Ini soal menghentikan siklus kebencian yang tak ada gunanya. Apa yang kau harapkan dari semua ini? Kehancuran Ale