Darius memijat pelipisnya yang mendadak berdenyut usai membaca pesan itu. Napas pria itu tertahan sesaat, lalu menjadi berat. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih. Sesuatu dalam dirinya hampir mendidih, siap meledak."Dokter Darius?" Suara Maharani menyadarkan Darius dari pusaran pikirannya.Darius menoleh sekilas. Wanita itu berdiri dengan mangkuk soto yang masih mengepul di tangannya. Kening Maharani berkerut menatap pria yang kini diam saja dengan kebingungan.Tatapan lembut Maharani menyiratkan keingintahuan dan kekhawatiran yang enggan diungkapkan.Akan tetapi, tanpa sepatah kata pun, Darius berbalik dan melangkah pergi. Maharani refleks mengangkat tangan, ingin menahan, tetapi pergerakannya tertahan di udara.Bibir wanita itu sedikit terbuka, tetapi suaranya tak kunjung keluar. Hanya ada keheningan yang menyayat, diiringi suara pintu yang terbuka.“Dia pergi,” lirihnya.Maharani menghela napas panjang, matanya terarah ke mangkuk soto di tangan. U
“Mau ke mana dia?” gumam Darius dari dalam mobilnya. Mata hitamnya mengikuti gerak-gerik seorang wanita yang baru saja membuka pagar. Gerakannya wanita itu tenang, tanpa terburu-buru.Darius menyipitkan mata, memperhatikan bagaimana dia menoleh ke kiri dan kanan, seperti sedang mencari sesuatu. Tanpa sadar, jemarinya yang bertumpu pada setir menggenggam lebih erat.Beberapa saat kemudian, suara dentingan nyaring terdengar. Refleks, Darius menoleh.Gerobak motor bubur ayam berhenti di persimpangan jalan komplek. Tak lama kemudian, wanita itu melangkah ke arah pedagang tersebut. Wajah Maharani tampak cerah dengan senyum yang seketika mengubah aura paginya.Mulut ibu hamil itu bergerak, berbicara dengan si penjual, sementara tangannya sibuk menunjuk beberapa pilihan toping.Darius tersenyum kecil tanpa sadar. “Ya, makanlah yang banyak, Rani. Supaya anakku sehat.”Akan tetapi, senyum tipisnya segera pudar saat melihat Maharani memanggil pengasuh rumah dan mengajaknya makan bersama.Alis Da
“Sial,” gumam Darius, lantas menjauh dari Maharani. Dia memutar tubuhnya dengan cepat, lalu mengusap wajah dengan kasar. Napas pria itu berat, dadanya naik turun menahan frustrasi. Tanpa menoleh lagi pada Maharani, dia melangkah cepat menuju pintu, seolah ingin melarikan diri dari kekacauan yang baru saja terjadi. Sedangkan Maharani terdiam sejenak, hatinya berdentum keras melihat reaksi pria itu. Namun, alih-alih membiarkannya pergi begitu saja, dia segera mengejar dengan langkah tergesa. “Tunggu! Dokter! Tunggu sebentar!” seru ibu hamil itu, matanya membulat saat melihat Darius hendak masuk ke dalam mobil. Darius berhenti, tangannya masih di gagang pintu. Dia menoleh dengan ekspresi yang sulit ditebak, lalu berdeham pelan. “Katakan, ada apa?” Maharani menggigit bibirnya. Ada keberanian yang menggelegak dalam dada, membuatnya bertanya tanpa ragu, “Tadi malam ... bukannya Dokter mau bilang sesuatu? Apa itu?” Sejenak, keheningan menggantung di antara mereka. Maharani menunggu d
Selesai menikmati es krim, Denver yang tidak memiliki jadwal praktik lagi mengajak Dirga ke ruang direktur. Dia melirik sekilas ke arah Darius yang masih duduk dengan ekspresi berpikir dalam."Ayo, Jagoan, main di ruangan Papa," ajak Denver sambil mengulurkan tangannya. Dirga dengan cepat meraih tangan itu, wajahnya berbinar penuh antusias."Papa udah bayal kopi Om Dalius?" tanya bocah itu, kepalanya mendongak menatap Denver dengan harapan yang terpancar jelas di mata karamelnya.Denver terkekeh kecil, lalu mengeluarkan dompet. "Baiklah, kali ini Papa traktir Dokter Darius."Setelah membayar kopi, Denver menoleh ke arah Darius yang masih bergeming, seperti tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Tanpa banyak bicara, dia pun melangkah pergi bersama Dirga.Dirga berjalan riang, sesekali melompat kecil sambil bersenandung. Setiap perawat yang menyapanya dia balas dengan senyum dan lambaian tangan, membuat suasana rumah sakit terasa lebih hangat.Hingga tiba-tiba, langkah anak itu terhenti
"Coba, deh, strudel Malang ini." Dewi menyodorkan sekotak strudel yang sudah dipotong rapi."Kata Sus Tiwi, Dokter Darius banyak melamun. Apa kena hipoglikemia? Boleh dicoba makan yang manis-manis."Darius yang sedari tadi tenggelam dalam lamunan akhirnya mengalihkan pandangan ke arah Dewi. Senyum tipis terbit di wajah tampannya, lantas dia meraih garpu dan mencicipi strudel di depannya."Ya, bisa jadi," sahut pria itu, nada suaranya mendadak dingin.Darius mengunyah perlahan, dia tampak sedang memikirkan sesuatu yang memberatkan."Dokter ... ada apa?" tanya Dewi akhirnya.Tadi saat menjalani magang praktisi, dia sempat mendengar kabar bahwa Darius dimarahi oleh suami salah satu pasien karena tidak menjelaskan hasil USG dengan detail.Dewi mengorek informasi dari perawat senior—Pratiwi, lalu segera menghampiri Darius sambil membawa oleh-oleh dari Danis.Darius menghela napas panjang. "Dewi ...," lirihnya.Wanita itu seketika mencondongkan tubuhnya ke depan, jemarinya saling meremas di
“Om … apa aku salah jika menceraikan Dania?” tanya Darius.Pertanyaan itu membuat Danis menghentikan gerakannya. Mata pria paruh baya itu menyipit, napasnya melambat seiring ekspresi serius yang kini menghiasi wajahnya. Dia berdeham pelan, lalu mengusap dada yang mendadak terasa sesak.“Darius … cinta memang penting dalam pernikahan, tapi yang lebih penting lagi adalah tanggung jawab, Nak,” ujar Danis, membetulkan posisi duduknya.Angin senja berembus dingin, membawa keheningan yang menggantung di antara mereka.“Tapi … Om tidak akan melarang. Itu hidupmu, bukan hidupku. Hanya saja, apa pun alasanmu, hadapilah dengan kepala dingin. Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari,” lanjutnya sambil menepuk pundak Darius.Darius menunduk, pikirannya berkecamuk. Namun, ketika Danis hendak bangkit, suara Darius kembali terdengar.“Kenapa Om tidak bertanya alasannya? Bagaimana kalau itu karena ada wanita lain?”Danis membeku. Tatapannya berubah tajam, dia menilai kebenaran di balik kata-kata
Refleks, Darius mendekat. Matanya menelusuri lekuk tubuh berisi Maharani , jujur saja, menarik minatnya. Gaun tidur satin itu melekat sempurna pada tubuh wanita itu, membentuk siluet yang sulit diabaikan. Maharani bahkan belum menyadari bahwa jarak di antara mereka makin menipis.Darius terpaku ketika wanita itu mengibaskan rambut, membuat aroma sampo yang segar menyergap indra penciumannya. Sesuatu dalam dirinya langsung memberontak, ingin terlepaskan.Hingga saat Maharani berbalik, dia tersentak kaget dan hampir menjatuhkan botol minum dalam genggamannya."Botolku!" pekiknya.Sigap, Darius menangkap botol itu, tetapi akibatnya, jarak mereka tambah dekat. Maharani yang menunduk untuk mengambil botol tak sengaja menabrak bahu kokoh Darius."Eh ... umm, maaf, Dok," ucap wanita itu terbata, buru-buru mengambil botol dari tangan pria itu. Namun, saat dia hendak pergi, Darius menahan pergelangan tangannya.Maharani menatap ke bawah, pada genggaman tangan itu, lalu perlahan mendongak. Waja
"Kita mau ke mana, Dok?" tanya Maharani, menatap Darius dengan wajah penuh kebingungan."Nanti juga kamu tahu," sahut pria itu datar, tangannya tetap fokus menggenggam setir. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, seakan perasaan Maharani tak layak mendapatkan kepastian.Maharani menelan saliva, lalu mengangguk kecil. Dia mengalihkan pandangan ke depan, berharap jalanan bisa mengalihkan ketegangannya. Namun, sia-sia. Justru keinginannya untuk bertanya semakin besar.Sepanjang perjalanan, Maharani berusaha menahan diri. Dia mencoba mengalihkan perhatian dengan menatap layar ponsel, bertukar pesan dengan Astuti dan Dewi. Namun, lamunannya buyar ketika menyadari mobil memasuki basement dan akhirnya berhenti.Dia mengenali tempat ini. Sebuah mal."Kenapa ke sini, Dok? Mau beli sesuatu?" tanyanya ragu, suara lirihnya nyaris tertelan suara mesin mobil yang baru dimatikan.Darius tidak menjawab. Pria itu langsung turun dan berjalan lebih dulu. Tidak ada usaha membukakan pintu, bahkan sekadar men
“Wah … itu adik? Tapi kenapa adiknya kecil banget, Pa?” tanya Dirga sambil menunjuk layar monitor dengan mata membulat penasaran.Dua minggu telah berlalu sejak hari pernikahan Darius dan Maharani. Semua kembali beraktivitas normal.Hari ini, Dewi memutuskan melakukan pemeriksaan kehamilan bersama suaminya di ruang praktik milik Denver. Sebenarnya, ini karena permintaan Dirga yang terus-menerus merengek ingin melihat calon adiknya.“Ya, perkembangan manusia memang dimulai dari yang sangat kecil, Nak. Kalau dijelaskan panjang lebar, kamu pasti bingung,” tutur Denver lembut. Senyumnya merekah melihat Dirga begitu terkesima memandangi layar.Sementara itu, Dewi terus menatap Denver tanpa berkedip. Ada rasa geli dan manis saat melihat pria tampan yang kini jadi suaminya itu serius memeriksanya—sebagai dokter kandungan. Lucu rasanya, diperiksa oleh suami sendiri.“Kenapa kamu lihat aku terus, Mon ange? Jangan goda aku di tempat kerja, hmm,” bisik Denver seraya mengerlingkan sebelah matany
“Sakit, Oma …,” adu Dirga sambil menunjuk kakinya yang tersembunyi di balik celana panjang. Bibir mungilnya maju ke depan, dan manik karamel bergerak gelisah, mencari dua sosok yang sejak tadi dinantikan.“Iya, itu sudah diobati, Sayang. Tidak ada luka apa pun, kan?” sahut Dwyne sembari membelai puncak kepala Dirgantara dengan sentuhan penuh kasih.“Olang itu jalannya sembalang, ah!” Dirga bersedekap dada. Kedua alisnya bertaut, bola matanya menatap tajam ke arah tamu-tamu yang masih ramai di taman, menikmati pesta.Wajah tampan anak itu merengut.Beberapa saat lalu, ketika mengambil makanan di meja, seorang anak kecil menabrak Dirga cukup keras hingga makanannya terjatuh. Beruntung tuksedo mininya tidak kotor, tetapi tubuh kecil Dirga ikut terhuyung dan tersungkur. Anak yang menabraknya pun menangis sehingga mengundang perhatian para tamu.“Dia lebih kecil dari kamu. Jadi … belum tahu cara menghindar,” ujar Dwyne, masih dengan nada lembut. Dalam hati, wanita paruh baya itu ingin sek
“Ah … Darius, kamu benar-benar penjahat,” lenguh Maharani, matanya terpejam sesaat, napasnya tersendat di tengah desahan halus. Dia menelan saliva, kini tubuhnya menegang seperti tersentuh listrik halus di bawah kulitnya.Tadi, pria itu membawanya langsung ke kamar hotel usai prosesi pernikahan mereka. Tanpa banyak kata, dengan antusiasme yang membuncah, Darius melucuti kebaya pengantin Maharani. Jemarinya bekerja luwes, sudah hafal setiap lipatan dan kancing, lalu membaringkan sang istri di ranjang pengantin berseprai putih yang bertabur kelopak mawar.Detik ini, mereka telah sama-sama polos, tidak ada lagi batas di antara kain dan kulit.Darius tampak sangat menguasai momen. Namun, di balik geraknya yang percaya diri, ada ketulusan yang menyelinap di setiap kecupan dan belaian.“Penjahat?” bisik Darius sembari menelusuri ceruk leher sang istri dengan ciuman yang membuat bulu kuduk Maharani meremang.“Umm … iya. Kamu menculikku. Pesta kita bahkan belum selesai, Da-Darius …, ah … ini
Setelah resmi menyandang status duda dan mempertahankan gelar itu selama kurang dari sebulan, akhirnya hari ini Darius melepas masa kesendiriannya dengan mempersunting Maharani.Bunga-bunga bermekaran indah menghiasi pelaminan serta taman. Bahkan pepohonan rindang pun seolah merestui hari penuh cinta ini. Suhu yang sejuk turut mendukung segalanya yang telah dirancang dengan saksama.Saat ini Darius mengenakan jas putih dengan rambut ditata rapi menggunakan pomade. Dia duduk bersama Denver dan Danis sebagai saksi pernikahan, menanti sang mempelai wanita yang belum juga tiba."Santai, Darius. Tenanglah, Maharani sedang bersiap. Kamu jangan bikin malu seperti ini," bisik Denver sambil melirik kaki Darius yang bergerak-gerak gelisah. Kening Darius juga dipenuhi keringat sebesar biji jagung."Aku tidak perlu nasihat. Aku butuh Maharani!" tegas Darius dengan wajah tegang.Denver terkekeh melihat mantan rivalnya panik. Dia pun menggoda lagi dengan suara rendah, "Ah … bagaimana kalau Maharani
Hari berikutnya, Darius masih cuti. Dia datang lebih awal ke persidangan kedua Dania. Pria itu duduk menyendiri di bangku tunggu, memandangi sisi kanan dan kiri ruang sidang yang masih sepi. Padahal dia sudah janjian dengan Denver, tetapi pria itu belum tampak.Darius memejamkan mata sambil menyandarkan punggung ke dinding dingin. Dia mencoba membayangkan wajah Maharani agar suasana hatinya lebih tenang, dan berhasil.Bahkan ketika Denver datang bersama Ruslan dan Rudi, Darius menyapa dengan santai. Termasuk saat bertemu Dania di ruang sidang, tatapan tajam sang mantan tidak lagi menggoyahkan hatinya.Sidang pun selesai. Jadwal sidang berikutnya masih menunggu konfirmasi. Hal ini membuat Darius sedikit cemas, lantaran pernikahannya dengan Maharani makin dekat.“Tidak baik melamun,” tegur Denver, melihat Darius tampak berpikir di depan pintu pengadilan.“Ah, bukan melamun. Aku sedang berpikir cari kado untuk anakmu.” Darius m
Minggu ini menjadi yang paling berat sepanjang hidup Darius. Bahkan dia sengaja mengajukan cuti dari rumah sakit hanya untuk menyelesaikan segala masalah yang selama ini menggantung.Sekarang, dengan ditemani pengacara serta pamannya yang sangat baik, Darius duduk di ruang sidang yang terasa dingin dan sunyi.Bau kertas tua bercampur aroma pembersih ruangan menyengat di hidung. Suara langkah sepatu para pengacara dan detik jarum jam di dinding terasa memekakkan di tengah ketegangan.Dia menoleh ke samping, menatap kursi kosong di sebelahnya—kursi yang seharusnya diisi oleh Dania. Namun, wanita itu hanya menghadiri sidang melalui layar ponsel, sebab pihak kepolisian tidak mengizinkannya keluar dari sel tahanan karena perilaku buruknya yang makin menjadi.Darius menarik napas panjang, terasa sesak dan perih di dadanya. Ketika hakim memintanya mengucap ikrar talak, sejenak dia terdiam. Ada kilatan ingatan yang muncul—saat pertama kali menggenggam tangan Dania di bawah langit sore, berjan
“Kamu kenapa? Ada yang sakit?” tanya Maharani sambil menatap Darius yang sejak tadi hanya bersedekap dada, duduk di pojokan kamar.Setelah Dewi dan Dirgantara dijemput Denver, Maharani langsung menghampiri Darius. Pria itu tidak menyambutnya dengan senyum atau pelukan, melainkan ekspresi super dingin, seperti freezer yang kelupaan ditutup.Apa mungkin Darius kesal karena dia terlalu lama menemani Dewi di kamar? Atau ... ada sesuatu yang tidak dia tahu?“Mulai sekarang jangan makan tempe goreng lagi!” geram Darius tiba-tiba. Nada suaranya seperti menegur pasien bandel.Maharani langsung melongo. Tadi pria ini begitu antusias ketika diberikan tempe goreng hangat. Sekarang mendadak berubah arah.“Kamu sakit perut karena makan tempe goreng?” tanya Maharani curiga. Matanya menyipit, memeriksa wajah calon suaminya dari atas ke bawah.Darius berdecak, lalu menggeleng cepat. “Bukan perut yang sakit, Rani. Tapi hati. Mengerti?!” ucapnya dengan desahan napas berat seperti habis lari maraton.“A
"Rani … apa yang kamu—"Protes Darius terputus begitu saja saat Maharani menatapnya tajam dan mengangkat telunjuk di depan bibirnya, memberi isyarat tegas agar pria itu diam."Tapi aku—""Jangan berisik, Dok!" tegur Maharani dengan tegas, sambil meraih handuk dan menghela napas panjang.Dia berbalik, mengambil pakaian dengan wajah jengkel, lalu mengenakannya secepat kilat.Beberapa detik kemudian, langkah kecil terdengar mendekat. Seorang anak laki-laki muncul di ambang pintu, membawa aroma tempe goreng yang menguar dari kotak kecil di tangannya."Tante Lani, tempe golengnya masih anget, enak loh dimakan pakai kecap!" celoteh Dirga ceria. Namun, matanya menyapu ke dalam kamar, tidak menemukan keberadaan Maharani."Tante Lani di mana?" tanyanya polos sambil mengetuk pintu, dia tidak berani masuk tanpa izin. Meskipun kakinya terlalu gatal ingin melangkah.Maharani segera melangkah dengan cepat menghampiri Dirga, sambil sibuk mengancingkan kancing baju. Senyum wanita itu dibuat selebar m
“Rani ... kamu di mana?” panggil Darius. Pria itu sudah menekan bel berkali-kali, tetapi tidak ada yang membukakan pintu pagar.Bahkan Darius mencoba menghubungi Maharani dan Bu Astuti, tetapi tak mendapat balasan. Hingga akhirnya, dia menggunakan kunci cadangan dan masuk ke dalam rumah.Suasana di dalam tampak rapi dan tenang, aroma pengharum kopi menguar dari sudut-sudut ruangan dan memberi kesan hangat yang familiar.“Rani? Sayang?” panggilnya lagi, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu yang tertata apik. Tidak ada satu pun tanda kehadiran manusia.Dia meletakkan kantong makanan yang dibawanya di atas meja makan panjang putih. Matanya sempat tertumbuk pada vas bunga segar yang tertata manis di tengah meja.Bibir Darius tertarik membentuk senyum kecil. Rumah ini terasa jauh lebih hidup sejak ada sentuhan seorang wanita.“Bu? Bu Astuti?” Darius melongok ke taman belakang yang ukurannya tidak terlalu besar. Pandangannya menyapu seluruh sudut. Tetap tidak terlihat siapa