Semoga Dewi dikasih yang terbaik T.T
“Mon ange … ayo, makan.”Denver menyodorkan sendok berisi bubur ayam ke bibir Dewi, tapi wanita berbadan dua itu hanya diam, bibirnya tetap rapat seolah enggan menerima apa pun ke dalam tubuhnya.Bahkan untuk sekadar meneguk air putih, Dewi kesulitan. Denver menghela napas panjang, matanya kembali melirik saluran infus yang terpasang di lengan sang istri, memastikan cairan tetap mengalir agar Dewi tidak dehidrasi.Dewi menggeleng pelan, tatapannya kosong, dan setetes air mata jatuh tanpa dia sadari.Isakan Dewi makin terdengar ketika membayangkan kemungkinan kehilangan anak ini. Dia membelai perutnya, mencoba merasakan keberadaan sang buah hati yang bahkan belum bisa dilihat. Rasa bersalah membebani hatinya.“Kamu boleh sedih, tapi jangan menghukum diri sendiri, Sayang. Anak kita butuh kamu, butuh kekuatanmu,” tutur Denver dnegan bergetar pelan, berusaha menenangkan, meskipun tangannya yang menggenggam mangkuk makin erat hingga buku-buku jarinya memutih.Sudah lebih dari dua hari Dewi
"Dewi!"Denver berlari keluar dari ruangannya, pikiran pria itu dipenuhi wajah pucat dan rintihan kesakitan sang istri. Dadanya bergemuruh, dihantui perasaan bersalah karena telah meninggalkan Dewi begitu lama.Saat hendak menuju bangsal VIP, tiba-tiba suara asistennya meneriakkan sesuatu, "Dok! Bukan ke sana!"Denver tersentak, lalu berbalik. Tanpa banyak bertanya, dia mengikuti asisten yang menarik lengannya dengan tergesa.Pikiran Denver bercabang antara Dewi, ruang operasi, Dokter Ket. Apakah Dewi sedang dioperasi? Namun, langkah mereka mengarah ke tempat yang lain.Ketika Denver tiba di ruang perawatan yang tak asing, mata karamelnya langsung tertumbuk pada seorang perawat yang tengah melepas alat medis dari tubuh pasien yang telah terbujur kaku.Nafas Denver tertahan."Carissa?" gumam pria itu. Dia melangkah maju, mendekati tubuh mantan istri yang kini tidak bernyawa."Waktu kematian, pukul 20.49," ujar dokter Daniel terdengar datar.Petugas ruang jenazah telah bersiap untuk mem
"Aku bisa! Ini hanya perlu menunggu sebentar lagi. Benar ‘kan, Sayang?" Dewi berbisik, berbicara pada bayi di dalam kandungannya.Senyum getir menggores wajah tirus itu, menyembunyikan kepedihan yang makin menyesakkan dada.Dia sudah memutuskan. Meskipun ini bukan hal yang mudah, tetapi dia memilih mempertahankan kandungannya. Tidak peduli berapa banyak orang di sekitar yang memaksanya untuk mengakhiri kehamilan ini—termasuk Danis, yang kini menatapnya dengan sorot mata penuh kekecewaan."Dewi ...," lirih pria paruh baya itu bergetar, "kamu sudah tahu risikonya, Nak. Ayah rasa—""Ayah," potong Dewi dengan suara yang lebih lemah dari sebelumnya. "Semua orang punya pilihan, bukan? Aku sudah memilih. Aku akan melakukan pengobatan setelah melahirkan."Danis menghela napas panjang, lalu geleng-geleng. Sebagai Ayah, hatinya berat melihat putri yang begitu keras kepala, seolah mengabaikan bahaya mengintainya. Namun, dia juga tahu Dewi tidak akan mengubah keputusan.Sejak pagi tadi, rasa sakit
Denver menelan ludah dengan susah payah. Ada sesuatu yang terasa mengganjal di tenggorokannya, membuat setiap gerakan terasa memilukan. Dengan langkah berat, dia mendekati ranjang.Tatapan pria itu terpaku pada seprai putih yang kini ternoda. Napasnya makin memburu, dan tanpa sepengetahuan Dewi, tangannya mencengkeram erat kaki sang istri.Dia sengaja menekan lebih kuat, kukunya menggurat kulit Dewi hingga meninggalkan jejak samar. Namun, wanita itu sama sekali tidak menyadarinya. Dia begitu larut dalam percakapannya dengan Dirgantara."Mama, peluk Mama lagi!" celoteh Dirga dengan mata berbinar, menarik perhatian Dewi sepenuhnya.Dewi tersenyum lembut, merengkuh tubuh kecil itu dalam dekapan hangat. "Setelah Mama sembuh, kita main petak umpat, ya? Nanti Mama yang cari Dirga, mau?""Hole, mau, dong, Mama!" pekik bocah itu dengan suara cemprengnya yang penuh kegembiraan.Tidak seorang pun menyadari perubahan ekspresi Denver. Wajah tampannya yang semula datar kini mengeras, sorot mata kar
"Aku bisa!" ucap Denver sekali lagi, suaranya bergetar dan penuh keyakinan. Dia mengepalkan tangan, berusaha meredam gemetaran yang mulai terasa.Akan tetapi, para dokter lain saling bertukar pandang, memberi isyarat satu sama lain. Beberapa menggeleng, menunjukkan keraguan mereka. Saat Denver menengadahkan tangan, meminta peralatan lagi, perawat yang bertugas tidak memberikannya."Kamu tidak memercayaiku? Aku ini suaminya! Aku tidak mungkin membahayakan istriku sendiri!" sergah Denver, emosinya meluap.Frustrasi, dia hendak meraih troli peralatan sendiri. Namun, di detik terakhir, langkah Denver tertahan.Sebagai dokter senior sekaligus wakil direktur, Dokter Ket mengambil inisiatif untuk segera menghubungi dokter lain. Namun, sebelum panggilannya tersambung, koordinator ruangan bersuara."Dokter Evi sedang di ruang operasi empat. Pasiennya tidak bisa ditinggal."Denver makin gelisah. "Dokter Ket, aku bisa melakukannya!" tegasnya, dengan mata memancarkan kegigihan bercampur keputusas
“Papa, Mama masih bobo, ya?” Suara polos Dirga memenuhi telinga Denver. Mata jernihnya menatap layar dengan raut cemas. Saat ini Denver sedang melakukan panggilan video dengan putra kecilnya. Oma Nayla memberi kabar bahwa sejak tadi Dirga terus menanyakan Dewi dan mulai rewel. “Iya, Sayang. Mama capek, jadinya bobo dulu.” Denver berusaha tersenyum ceria, meskipun di dalam hati, perasaan kalut terus menghantui. Sudah berjam-jam berlalu, tetapi Dewi belum juga siuman. Dirga menggeleng, kelopak matanya berkedip-kedip, lalu mendekatkan wajah ke layar. “Mau bobonya sama Mama, enggak Onty Vale, enggak Mbak.” Valerie yang duduk di samping Dirga langsung memelototinya dengan bibir manyun. Sedangkan Dirga yang melihat ekspresi itu justru terkikik geli. “Papa, mata Onty selem.” Telunjuk jari mungil Dirga mengarah ke Valerie, lalu bocah itu tertawa terpingkal-pingkal ketika Valerie mencubit pipinya gemas. Denver tersenyum melihat keceriaan putranya. Dia lantas menarik napas dan berkata,
"Mama!" teriak Dirga dengan nyaring, membuat Dewi yang sedang berjemur di taman buru-buru bangkit dari duduknya. Namun, dia lupa bahwa tubuhnya belum pulih seutuhnya. Lutut wanita itu mendadak lemas, hampir membuatnya jatuh, jika saja Denver tidak sigap menahannya."Pelan-pelan," ucap Denver dengan suara tenang, meskipun ada sedikit ketegangan di matanya. Dia tetap menjaga batas, tetapi juga tidak bisa menyembunyikan perhatiannya.Beberapa minggu pascaoperasi, Dewi masih harus berlatih berjalan untuk merangsang sarafnya yang baru pulih. Bahkan, untuk sementara waktu, dia lebih banyak berdiam diri di rumah, mengikuti kuliah secara online.Dia mengurung diri di balik dinding rumah megah ini, menjauhi dunia luar yang terasa makin bahaya baginya. Ada luka hati yang belum sembuh."Makasih, Sayang," ucapnya singkat, meskipun senyum yang dia berikan tampak setengah hati.Denver membantunya berjalan menuju teras, di mana Dirga berdiri dengan raut wajah kesal, sementara Valerie terkikik geli d
“Kamu kenapa?” tanya Denver setelah membeli rujak buah untuk sang istri.Tatapan Dewi masih tertuju ke satu titik yang sama. Kali ini, telunjuknya terangkat, menunjuk seorang wanita yang sedang duduk melamun di kejauhan.Denver mengikuti arah pandang Dewi, mengernyit menatap sosok yang dikenalnya. Lantas, dia bertanya, “Ya, terus?”Dewi menggeser pandangan ke arah sang suami, bibirnya mengerut. Seperti biasa, entah Denver memang kurang peka atau sedang mengujinya.“Aku mau ketemu Rani, boleh?” tanya Dewi pelan, suaranya hati-hati. Bagaimanapun, dia tidak mau mengambil langkah yang salah.“Tentu boleh, aku antar kamu ke sana. Tolong jangan lama, karena Dirga menunggu kita di rumah,” tutur Denver datar, lalu membantu Dewi berjalan mendekati temannya.Suara isak tangis pelan terdengar. Maharani belum menyadari kedatangan mereka. Denver berdeham, menegaskan kehadiran mereka agar wanita itu tidak canggung.“Dokter Denver? Dewi?” Maharani tersentak, buru-buru menghapus air matanya dengan pun
"Makanlah yang benar! Kasihan anak itu," kata Darius yang bicara tanpa menatap Maharani. Saat ini Maharani duduk di tempat tidur, tangannya gemetar saat menyendokkan nasi ke mulutnya. "Iya, Dok. Makasih sudah mau tinggal sebentar di sini." "Bukan masalah," sahut Darius masih sama. Darius ada di sana, menemaninya, dia duduk di kursi di dekat ranjang, tetapi tidak benar-benar memperhatikannya. Pria itu lebih sibuk dengan ponselnya, sesekali mengetik sesuatu dengan ekspresi datar. Baru saja Maharani menelan beberapa suap, dia terperangah dengan kehadiran Dania yang masuk kamar. Wanita itu mengawasi dengan tatapan tajam, seolah memastikan Maharani tidak melewatkan satu butir nasi pun. "Habiskan Ran! Badanmu itu sangat lemah, aku tidak mau anak itu kurang gizi!" ucap wanita itu tajam. "Iya, Dok. Aku pasti habiskan, kok." Mulut Maharani terus mengunyah, meskipun terasa perih. Suasana benar-benar mencekam. Maharani merasa seperti tahanan yang sedang diawasi sipir penjara. Tidak l
Pascaperistiwa menegangan hari itu, Maharani akhirnya mengaktifkan kembali ponselnya. Dia menyadari bahwa menghilang tidak ada gunanya karena pada kenyataannya semua tetap terbongkar.Hal pertama yang dia lakukan menghubungi Dewi.“Dewi … ini aku, Rani. Bisa kita bertemu di Kafe Rainbow?” pintanya, dengan suara pelan dan penuh keraguan. Dia sungguh berharap Dewi datang bertemu dengannya.Siangharinya, Maharani sudah menunggu cukup lama. Bahkan dia telah menghabiskan dua gelas jus di kafe yang sepi itu.Saat Maharani mulai pasrah dan yakin sahabatnya tidak akan datang, detik itu juga Dewi mendekat dengan tatapan nanar.“Rani?” panggil Dewi, suaranya lemah lembut.Seketika Maharani menggenggam gelas kosong erat, sementara Dewi langsung meraih tangan wanita itu dalam genggamannya. Keheningan pun menyelimuti mereka.Kedua duduk saling berhadapan. Tatapan Maharani dipenuhi kerinduan dan penyesalan, seolah ada
Maharani berdiri kaku, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Darius berdiri tepat di hadapannya, menatapnya dengan sorot mata tajam yang seolah bisa menembus hingga ke dalam tulangnya. Udara di ruangan itu mendadak begitu berat, napasnya terasa sesak."Kenapa kamu diam? Jawab aku, Maharani! Apa yang kamu pikirkan sampai melakukan ini?" Suara Darius terdengar dalam dan menegangkan, membuat Maharani mendadak kehilangan kosakata.“Aku … hanya ….” Maharani memejamkan matanya sejenak. Dia menelan ludah, berusaha menghindari tatapan menusuk itu.“Hanya apa? Apa istriku mengancammu, hah? Katakan!” perintah Darius lagi tanpa memberi ampun.Dia melirik ke arah Dania, berharap wanita itu membantunya keluar dari situasi ini. Namun, Dania hanya berdiri dengan tangan terlipat di dada, tampak sorot matanya penuh kepuasan. Maharani tidak menyangka seseorang yang dianggap sebagai rekan kerja, membiarkannya tenggelam sendirian seper
Dewi bergegas ke dapur begitu mendengar suara pecahan gelas. Saat sampai, alangkah terkejutnya dia mendapati Valerie sedang berjongkok, meringis kesakitan sambil membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai. "Ya ampun Valerie!" Dewi segera mendekat, menarik tangan Valerie. "Jangan sentuh pakai tangan kosong!" pekiknya. Mata sipitnya melebar melihat ada luka di jari Valerie, cairan merah merembes keluar. "Kamu–" "Aku tidak sengaja menjatuhkannya," ujar Valerie, wajahnya sedikit pucat. "Aku tadi mau ambil air, tapi tanganku sakit." Tanpa banyak bicara lagi, Dewi mengambil kotak P3K, lalu dengan cekatan membersihkan luka Valerie. "Makasih, ya, Wi." ujar Valerie setelah tangannya dibalut plester. Dewi tersenyum lantas menyentuh bahu Valerie. Adik sepupu Denver itu meringis. "Harusnya aku yang bilang makasih, tanganmu pegal karena gendong Dirga," ucap Dewi sungkan. "Ya, mungkin. Badannya Dirga berat, sih." Valerie tergelak mengingat anak kecil itu. Dewi terseny
"Wi, ada pasien trauma tingkat 1 di kepala. Tolong bantu."Suara itu menyadarkan Dewi, dia tidak boleh meninggalkan rumah sakit ini sebelum jam kerjanya selesai.Dewi menghela napas panjang, meremas jemarinya yang terasa dingin."Iya Sus." Dewi segera berlari membantu tim medis lain. Barulah setelah menyelesaikan sif-nya di rumah sakit, tanpa memberitahu Denver, dia segera meluncur ke rumah kontrakan Maharani.Begitu sampai, langkahnya terhenti saat melihat Astuti terduduk di lantai ruang tamu, bahunya terguncang karena isakan.Di hadapannya, ads selembar cek senilai seratus juta tergeletak begitu saja di atas meja kayu tua.“Bu Astuti?” Dewi mendekat, menahan detak jantungnya yang berdebar tidak karuan. “Apa yang terjadi?”Astuti mendongak, wajahnya yang sembab memperlihatkan keputusasaan begitu kentara. “Rani pergi ... Dokter Dania kasih uang ini. Seratus juta, Dewi. Ibu takut!”Dewi memicingkan mata, perasaan tidak enak menyergap pikirannya. “Uang sebanyak ini untuk apa?”Astuti
“Tumben mendadak datang ke sini, Wi?” Intonasi Maharani terdengar tercekat, senyumnya kaku. “Ini masih pagi.”Dewi tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap lekat wajah Maharani, mengamati setiap perubahan ekspresinya. Napas Maharani tampak tersendat, jemarinya mencengkeram gelas susu sangat erat hingga sedikit bergetar. Terlalu jelas dia menyembunyikan sesuatu.“Rani … tujuanku datang ke sini ingin tahu apa hubunganmu dengan Dokter Dania. Aku tidak percaya kalian berteman,” ujar Dewi dengan nada tajam, mata sipitnya menyipit penuh selidik.Tangan Maharani makin gemetar. Gelas yang dipegangnya hampir tergelincir. Wajah yang semula tenang kini memucat.Dewi tidak bisa mengabaikan perasaan tidak nyaman sejak kemarin. Kedekatan tak wajar antara Maharani dan Dania terus mengusik pikirannya. Pagi ini, tanpa banyak berpikir, dia memutuskan mengunjungi rumah kontrakan.Denver yang kebetulan ada kegiatan pagi ini bersedia mengantarnya. Mereka berangkat lebih awal dari biasanya.“Ada apa, Rani
“Hari ini Pratiwi bisa bantu kamu belajar.” Denver menandatangani berkas di layar tabletnya, jemarinya cekatan bergerak tanpa sedikit pun mengalihkan perhatian.“Beneran?” Mata Dewi berbinar. “Memangnya dokterku enggak repot kalau ditinggal Suster Tiwi?” tanyanya sambil menyuapi Dirga dengan lembut, memastikan anaknya mengunyah dengan benar.Meskipun ada pengasuh, Dewi tetap ingin menikmati setiap momen berharga bersama putranya. Bahkan selama seminggu ini, saat dia menjalani masa magang di JB, Dirga selalu mengekor ke mana pun dia pergi, enggan jauh dari sang ibu.“Iya, Sayang. Hari ini aku libur praktik, cuma ada jadwal operasi jam tiga sore.” Denver akhirnya melirik, senyum tipis terbit di sudut bibirnya saat melihat wajah Dewi yang sumringah.Dewi memang sedang menempuh gelar profesinya sebagai perawat praktisi, dan Denver memberid dukungan penuh. Bahkan, dia rela melepas perawat kepercayaan untuk membim
“Bagaimana hasil pemeriksaanku? Umm … kapan program bayi tabungnya?” Maharani menyandarkan punggung pada dinding kamar sempitnya. Dia masih menempelkan telepon genggam di telinga, mendengar suara Dania yang terdengar ceria di seberang sana."Oke. Hasil pemeriksaanmu sangat bagus, Maharani. Dokter bilang badanmu dalam kondisi prima. Dengan obat yang sudah diberikan, sel telurmu berada dalam kualitas terbaik," tutur Dania yang suaranya penuh kepuasan.Maharani tersenyum getir. "Itu … kabar baik. Aku ingin semua berjalan lancar. Aku juga mau minta tolong Dokter Dania untuk daftar operasi plastik di rumah sakit JB … setelah melahirkan."Dania terdiam sejenak, lalu tertawa tanpa suara dan geleng-geleng. "Gampang. Aku bisa mengurus semuanya untukmu. Kamu hanya perlu menunggu kehamilan itu saja."Maharani menarik napas panjang dan berbisik, "Boleh aku minta sesuatu?”“Katakan saja!”“Umm … tolong siapkan tempat tingg
"Papa lihat ada pisang goleng gosong manis!" seru Dirga, saat melihat Denver baru saja pulang dari rumah sakit. Bocah kecil itu berlari mendekati papanya, sambil membawa pisang di kedua tangannya."Aaa ... Papa, ini enak. Onty Lani yang bawa." Dirga tersenyum lebar, lalu satu tangannya menunjuk ke samping."Papa mau coba, satu saja." Denver membuka mulutnya dan dia lumayan menikmati pisang 'gosong' kesukaan putranya.Dewi pun terkikik geli melihat tingkah dua lelaki itu, tetapi tidak dengan Maharani yang saat ini duduk di ruang keluarga rumah Dewi.Maharani memandangi sekeliling dengan perasaan campur aduk. Tangannya menggenggam kotak kecil berisi sale pisang buatannya sendiri, buah tangan darinya untuk sang sahabat.Aroma kayu manis dari diffuser ruangan bercampur dengan bau kopi yang disajikan pelayan rumah. Nyaman, hangat, dan jauh dari kesulitan yang beberapa hari ini membuat kepala Maharani dilanda pusing.Dewi kel