Sudah pembukaan lima dan Starla tidak berhenti meringis kesakitan. Revanno yang melihat sang istri begitu berjuang untuk melahirkan anak mereka tidak bisa menahan pilu di dadanya. Terkadang, diam-diam Revanno menghapus sudut matanya yang berair. Tidak hanya berbaring, untuk mengurangi rasa sakit itu Starla sesekali berjalan memutari ruangan, lalu berhenti di sisi ranjang hanya untuk mencengkeram sprei putih di atasnya. “Apa sakit sekali?” Tanya Revanno hati-hati. Karena seharian ini wanita hamil yang akan segera melahirkan itu tampak tidak ingin banyak di tanya. Starla pasti selalu mengomel kalau Revanno bersuara. “Kamu diam saja bisa nggak?” Nada suara Starla masih terdengar halus. Namun, kata-katanya sangat menyakitkan. Rasanya Revanno jadi ingin ikut merintih. “Aku malas sekali mendengarmu selalu bertanya seperti itu. Jelas saja rasanya sakit, Revanno. Nggak usah di tanya lagi!” “Ya, aku kan hanya ingin bertanya, Starla. Aku ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja apa nggak,”
Hampir setengah jam Starla berusaha mengeluarkan bayi di dalam perutnya. la mengejan hingga rasanya seluruh napas ia keluarkan semua. Perih, sakit, terengah, panas, semua bercampur menjadi satu di dalam dirinya, terutama di pusat tubuh Starla. Titik-titik keringat membanjiri hampir seluruh wajah Starla. la raup napasnya dalam-dalam merasakan sesuatu yang besar akan keluar sebentar lagi dan tubuhnya seperti terbelah saat itu juga. Revanno yang terus berada di sampingnya, yang terus menggenggam tangan istrinya, yang terus menjadi pelampiasan rasa sakit itu merasa amat sangat cemas. Starla terlihat begitu kesakitan, Revanno takut wanita itu akan menyerah di tengah jalan mengingat Starla sudah banyak melewati kesakitan dan seolah tidak memiliki tenaga lagi untuk berjuang. Namun, mungkin Revanno lupa, istrinya adalah wanita hebat, wanita kuat, Starla tidak akan menyerah secepat itu. Hingga di detik selanjutnya, ketika jeritan Starla berikan bersama dorongan kuat di pusat tubuhnya, Starla
Menjadi seorang Ibu itu ternyata sangat tidak mudah. Amat sangat tidak mudah. Apalagi untuk Ibu baru seperti Starla. Baru satu hari menjadi seorang Ibu. Tapi Starla merasakan tubuhnya sudah lemas sekali.Malam ini, tepatnya tengah malam saat dirinya sedang terlelap di atas ranjang rumah sakit. Sementara Revanno tertidur di ranjang ruang tunggu, suster datang untuk membangunkannya, membawa Sera yang sebelumnya di letakkan di ruang bayi.Bayi mungilnya itu terus menangis tanpa berhenti. Suster berkata karena kehausan. Starla yang tengah berbaring mencoba bangun dan duduk. Mendengar suara Sera menangis juga membuat Revanno terbangun, mungkin selain suara Sera, tidur di tempat yang tidak pernah ia tiduri juga salah satu faktor yang membuat Revanno mudah terbangun malam itu.“Ada apa, Starla?” Tanya Revanno seraya menghampiri sang istri yang sedang duduk di atas ranjang sambil menggendong Sera di pangkuannya. Wanita itu masih berusaha memasukkan puncak dadanya ke dalam mulut Sera. Namun,
Langit perlahan mulai terang, matahari juga sudah mulai meninggi. Tepat pukul empat tadi Starla dan Revanno baru bisa kembali tertidur. Sera yang sudah lebih tenang Starla pindahkan pada tempat tidur bayinya. Saat ketukan di depan sana terdengar, mata Starla kembali terbuka, karena nyatanya ia tidak bisa benar-benar terlelap. Starla hanya sekedar memejamkan mata. Jadi saat terdengar suara apapun ia akan membuka matanya.“Selamat pagi, Bunda.”Menoleh ke samping, dimana suster baru saja masuk seraya membawakan makan pagi untuk Starla yang di balas oleh wanita itu dengan senyum ramah.“Bayinya tenang, Bunda?”“Tenang, Sus,” jawab Starla sambil mengalihkan pandangan pada Sera yang masih tertidur pulas.“Di habiskan ya, Bunda. Supaya asinya lancar.”Starla mengangguk. “Terima kasih, Suster.”Lalu setelah suster pergi, Starla beranjak dari posisi berbaringnya. Ia duduk dengan kaki menggantung di atas ranjang, lalu menghadap ke arah Sera. Dari tempatnya saat ini, bukan hanya Sera yang terli
Tepat pukul dua belas siang, Joshep datang lagi ke rumah sakit. Sebelumnya ia dan yang lainnya sudah pamit pulang sekitar pukul sepuluh pagi tadi. Namun, tiba-tiba saja Revanno menghubungi dan memintanya untuk kembali ke rumah sakit. Ia membawa banyak makanan untuk Revanno. Putranya itu yang meminta di bawakan makanan karena malas untuk makan di kafetaria. Sementara saat ini Sera sedang tertidur di dalam gendongan Starla.Sampai saat ini, Revanno masih belum berani menggendong anaknya yang bulat itu. Padahal Starla sudah memaksa dan mengatakan tidak apa-apa. Namun, Revanno masih tetap takut. Sera terlihat begitu mungil dan rapuh, dan Revanno takut menyakiti bayi mungilnya itu. Mungkin nanti saat sudah agak lebih besar Revanno baru mau menggendongnya.“Apa semalam Sera rewel?” Joshep bertanya seraya mengeluarkan beberapa box makanan yang ia bawa tadi, meletakan itu di atas meja dekat sofa yang tadi Revanno tiduri.Sedangkan Revanno sekarang sedang berada di kamar mandi, membersihkan di
Siang itu, Starla dan Revanno akan kedatangan banyak tamu yang ingin menjenguk Sera. Starla meminta Revanno untuk membantunya ke kamar mandi, mengingat ia sama sekali belum mandi dan membersihkan diri. Tapi bukan untuk mandi, Starla hanya mencuci wajah, menggosok gigi dan juga memberi sedikit polesan make up di wajahnya.Setidaknya, sebagai pemeran utama nanti Starla tidak boleh terlihat kucel dan dekil.“Sudahlah nggak usah terlalu cantik,” dengus Revanno yang melihat Starla sibuk memoles wajah dengan berbagai macam bentuk make up. “Yang akan datang kan hanya Daniel dan Nathan saja.”Ngomong-ngomong, Sera juga sedang di mandikan oleh Suster, agar mereka sama-sama terlihat cantik nanti.“Ya tetap harus berdandan. Masa ada tamu wajahku terlihat kucel. Nanti kalau mereka ingin mengajak berfoto, bagaimana?”Revanno langsung mengernyit. “Memangnya kamu artis? Pakai di mintai foto segala.”“Ck!” Starla berdecak. Meninggalkan lipstik yang akan ia gunakan, karena takut tercoret dan jadi bera
Saat Starla dan Revanno sedang asyik mengobrol, tiba-tiba Daniel dan Nathan pun akhirnya datang. Tidak. Bukan hanya mereka berdua saja. Tetapi ada satu lagi wanita yang juga turut datang bersama dengan kedua pria itu. Wanita itu adalah Laura. Ya, Starla masih ingat betul dengan wanita yang bernama Laura tersebut.Starla sempat mengernyit seraya menatap ke arah Daniel. Namun, tak berselang lama pandangannya langsung beralih menatap sebuah hadiah yang sedang di bawa oleh ketiga manusia itu. Mereka membawa hadiah yang besar, karena sebelumnya Revanno meminta untuk mereka membawakan hadiah. Jadi mereka benar-benar membawakannya.“Wah, Bapak baru.” Seperti biasa, kekacauan di sana akan di buka dengan ocehan Daniel yang tidak ada manfaatnya.Lalu di susul dengan ocehan bermakna sama dari Nathan. “Rupanya kamu sudah bisa menggendong bayi. Pantas juga kamu menjadi Bapak-bapak.”Seketika Daniel memukul lengan Nathan, sebagai bentuk perwakilan karena Revanno sama sekali tidak bisa bergerak kar
Starla sudah di perbolehkan pulang hari ini. Baik Sera maupun Starla sama-sama sudah sehat dan kuat. Selama di rumah sakit banyak hal yang ia pelajari dalam mengurus anak dari para suster. Beruntung ia mudah belajar, meski belum sepenuhnya hebat dalam mengurus Sera. Namun, Starla yakin ia dan Sera memilki ikatan batin yang kuat. Beberapa hal yang tidak Starla mengerti pun, ia akan mencarinya melalui internet atau bertanya pada temannya—Vania. Tapi lebih dari itu, Starla akan mengandalkan instingnya sebagai Ibu. Saat Sera haus, saat Sera pup, saat Sera ingin di gendong. Starla seolah mengerti. Setiap jerit tangis anaknya, Starla seakan tahu apa yang Sera katakan.Oh, ternyata seperti itu yang di sebut ikatan batin antara Ibu dan anak.Meski begitu, di hari pertama dan mungkin hingga seminggu ke depan, Starla masih harus menggunakan jasa mandi bayi yang ia sewa dari rumah sakit. Hanya sekedar untuk mandi, karena Starla masih belum bisa melakukan kegiatan yang satu itu. Starla masih ta
“Revanno.”“Ya?”Starla membelai wajah pucat Revanno. “Kamu baik-baik saja?”Revanno mengangguk seraya menelan ludah susah payah. Membuat Starla tertawa pelan.“Kenapa tertawa?” Revanno menatap istrinya dengan kening bertaut.“Yang ingin melahirkan itu aku, kenapa kamu yang panik dan pucat seperti ini?”“Yang ingin kamu lahirkan itu anakku, kenapa aku nggak boleh panik seperti ini?”Starla tersenyum simpul, membawa kepala Revanno ke dadanya. Membelainya lembut. “Jangan panik seperti itu. Aku baik-baik saja. Wajah kamu pucat sekali.”Revanno mengangkat kepala, sejajar dengan kepala Starla. Mata kelamnya menatap Starla lekat. “Berjanjilah padaku, kamu akan baik-baik saja.”Starla mengangguk. “Aku pasti baik-baik saja. Ini bukan pertama kali aku melahirkan, Revanno. Apa kamu lupa?” Tanyanya menatap Revanno. “Dan ini juga bukan pertama kalinya kamu menemaniku saat ingin melahirkan.”Revanno meringis. “Tapi tetap saja, Starla. Rasanya tetap sama tegangnya. Dan khawatir juga. Aku sangat kha
“Starla dimana?” Joshep yang tengah menyiapkan bekal untuk piknik bersama cucunya menatap Revanno yang memasuki dapur, dengan rambut basah.“Tidur,” jawab Revanno singkat. Revanno mulai mengambil beberapa telur untuk membuat omelet.“Tidur?” Tanya Joshep dengan satu alis terangkat, kemudian pria itu mengulum senyum. “Kelelahan?” Godanya.Revanno hanya tertawa pelan seraya mengangguk. Mulai memecahkan beberapa telur ke dalam mangkuk. “Apa perlu Ayah membawa Sera untuk menginap di hotel?”Revanno menoleh, ide itu terdengar sangatmenggoda. Namun, apa Starla akan mengizinkannya?“Ayah ajak ke hotel saja, ya. Hotel yang ada di Ubud. Ayah ingin mengajak Sera untuk melihat pemandangan yang ada di sana. Dia pasti suka.” Kata Joshep.Revanno mendekati Ayahnya, lalu memeluk Ayahnya singkat. “Terima kasih, Ayah.”Joshep mengangguk, menepuk- nepuk pelan bahu Revanno. “Dalam rangka mendapatkan cucu kedua, Ayah rela menjaga Sera selama yang kamu inginkan,” ujar Joshep sambil mengedipkan sebelah
“Sera ingat apa pesan Papa?” Revanno berjongkok di depan putrinya. Menatap gadis kecil itu sambil tersenyum.“Nggak boleh nakal dan menyusahkan Kakek sampai Papa dan Mama kembali ke Jakarta.”Revanno tersenyum, menepuk puncakkepala putrinya. “Pintar.”Revanno lalu merentangkan kedua tangannya dan memeluk Sera dengan begitu eratnya.“Hanya beberapa hari, Papa dan Mama akan pulang,” ujar Revanno pelan seraya mengecup kepala anaknya. Sementara Sera hanya mengangguk saja.Revanno dan Starla akan pergi berlibur ke Bali, hanya berdua. Setelah beberapa tahun tidak menghabiskan waktu hanya berduaan, Starla merasa sangat membutuhkan waktu untuk quality time berdua dengan suaminya. Dan Revanno menyetujui hal itu.“Ya sudah. Kalian cepat berangkat sana.” Joshep mengenggam tangan cucunya.Revanno sengaja menitipkan Sera kepada Ayahnya karena memang sejak awal Joshep-lah yang menawarkan diri untuk menjaga Sera selama Revanno dan Starla pergi berlibur. Lagipula sekarang Joshep juga sedang menikm
Starla terengah dengan Revanno yang terus menghunjam ke dalam tubuhnya dari belakang. Wanita itu memejamkan mata, mencengkeram kain yang mengikat kedua tangannya.“Revanno …” Starla mendesah. Ia mendapatkan kenikmatan yang selalu mampu membuatnya tergulung ombak yang begitu dalam.Revanno mencengkeram dada Starla dan menarik istrinya agar menempel ke dadanya. Starla berpegangan pada paha Revanno. Pria itu mendorong kuat-kuat dan menenggelamkan dirinya di sana. Terengah dengan bibir di leher istrinya. Bernapas terputus-putus.Ketika napas mereka tidak lagi memburu seperti tadi, Revanno mengecup leher Starla. Tubuh mereka masih menyatu lekat. Revanno memeluk perut untuk istrinya posesif, enggan melepaskannya. Bibir Revanno mengecupi bahu Starla. Sementara istrinya itu bersandar lemah di dada bidangnya.“Mama!” Teriakan nyaring membuat mata Starla yang semula terpejam, kini terbuka lebar. “Mama!”“Revanno, Sera,” ujar Starla pelan, tubuhnya lelah, Revanno tidak penah hanya cukup satu kal
Lima tahun kemudian.Mobil itu sudah terparkir dengan sempurna di depan rumahnya. Yang paling kecil turu dengan cepat, berlari masuk ke dalam rumah dengan wajah cemberut. Sementara, pria yang menyerupai gadis kecil itu mengikutinya dari belakang dengan senyum tipis dan gelengan kepala pelan.“Mama ... Mama ...” teriak gadis kecil itu hampir memenuhi setiap sudut ruangan. la membuka pintu rumah, mendorong dengan kasar, lalu masuk ke dalamnya disusul dengan sang Ayah yang membawakan tas sekolahnya.“Mama!” Teriaknya lagi, kali ini dengan air wajah yang memerah.Datanglah sang Ibu dari balik pintu dapur, menyambut anaknya yang baru pulang sekolah seperti biasanya. “Loh, anak Mama pulang sekolah kenapa wajahnya di tekuk seperti itu? Ada apa? Siapa yang berani membuat donat gula Mama marah?”Masih memasang wajah cemberut dengan bibir yang maju tak mundur sama sekali, gadis kecil itu bersidekap. “Sera nggak mau di jemput Papa lagi,” ujarnya nyaring.Mendengar hal itu, Starla lantas beralih
Kencan yang Revanno bayangkan adalah jalan-jalan menaiki mobil, berhenti di taman yang sepi dan menikmati jajanan yang ada di sana. Seharusnya. Ya seharusnya memang seperti itu. Namun, hal itu tidak mungkin karena ini adalah malam Minggu. Ia sudah merangkai semua rencana itu di dalam kepalanya, tetapi realita memang tidak seindah ekspetasi. Pasalnya, baru saja mobilnya keluar dari pelataran rumah sakit, kemacetan sudah menunggu mereka.Revanno menghela napas, wajahnya tertekuk masam, sedikit kesal lebih banyak mengumpat. Starla yang duduk di sampingnya bersama dengan Sera di dalam gendongan wanita itu sudah beberapa kali mengomeli Revanno. Meski Sera belum mengerti, atau memahami apa yang sang Ayah ucapkan, tapi tetap saja rasanya tidak tenang sekali mendengar Revanno mengumpat kasar di depan Sera.“Sabar, Revanno …” Sudah beberapa kali Starla berujar seperti itu. Kali ini ia menambahkan dengan usapan lembut di lengan suaminya. “Nggak apa-apa kok agak malam, Sera juga sudah memakai ba
Beberapa menit kemudian Joshep dan William tiba di rumah sakit bersama Sera yang saat ini tengah di gendong oleh Bi Diyah. Selama jeda menunggu para Kakek itu tiba di rumah sakit, Starla tidak ingin berbicara dengan Revanno. Ia masih merasa kesal pada suaminya yang mengabaikan dirinya. Revanno tidak menjemput Starla di rumah Vania. Tetapi pria itu justru marah-marah ketika Starla pulang terlambat. Apalagi saat beberapa menit sebelum kecelakaaan, Starla mendengar Revanno mengumpat dari balik sambungan telepon. Starla kesal sekali rasanya.Ngomong-ngomong, kecelakaan itu memang tidak fatal terjadi, hanya tabrakan beruntun akibat kemacetan dan tidak menghasilkan korban jiwa yang meninggal. Beberapa hanya luka lecet dan shock seperti Starla.Saat Joshep dan William datang, Revanno sedang mati-matian meminta maaf pada sang istri. Starla mendiamkannya hampir selama jeda sebelum Joshep dan William tiba.Revanno merasa bersalah, Starla juga tahu itu, terlihat dari gurat resah di wajah suamin
Revanno kekeuh tidak ingin ikut datang ke rumah Vania. Pria itu hanya mengantarkan sang istri sampai di depan pagar rumah Vania saja. Hal itu membuat Starla cemberut, merasa kesal karena Revanno tidak ikut turun. “Kenapa sih nggak ingin ikut?” Tanya Starla dengan bibir maju ke depan. “Padahal juga hanya sebentar saja, kok.”“Aku ada pekerjaan penting, Sayang,” jawab Revanno sabar.“Pekerjaan apa? Sepenting apa memangnya sampai harus kamu yang mengerjakannya?” Revanno menoleh penuh dramatis. “Tentu saja harus aku yang mengerjakannya. Suamimu ini pimpinan di perusahaan, Starla. Jadi wajar kalau pekerjaan itu aku yang mengerjakannya. Lagipula aku juga harus memberi contoh yang baik untuk para karyawanku.”Seketika bibir Starla langsung mencibir. Kalau orang lain yang berkata demikian mungkin Starla akan percaya, tapi Revanno? Ck! Bagaimana tingkah pria itu dulu, Starla sangat tahu. Ya, meskipun Starla akui kalau gaya kepemimpinan Revanno memang bagus. Tapi biasanya Revanno tidak pernah
Revanno menghampiri Starla yang sedang sibuk membungkus kado di ruang tengah. la duduk di sebelah sang istri seraya mengambil setoples keripik kentang buatan Bi Diyah.“Untuk siapa?” Tanya Revanno sambil mengunyah.Starla menoleh sekilas, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya membungkus kado hadiah untuk Mikayla, anak sahabatnya—Vania.“Untuk anaknya Vania, namanya Mikayla,” jelas Starla.Beberapa hari yang lalu Vania sempat mengatakan kalau anaknya akan merayakan ulang tahun. Dan berhubung kemarin Starla memiliki waktu untuk berbelanja, sekalian ia membeli hadiah untuk ia berikan kepada anaknya Vania.“Ulang tahun?” Revanno bertanya lagi dan Starla langsung mengangguk. “Kapan?” Imbuhnya dengan tangan yang bersiap memasukan dua keripik kentang sekaligus ke mulutnya.“Besok. Antar aku, ya?”Seketika gerakan tangan Revanno terhenti. “Nggak, ah. Kamu sendiri saja. Lagipula aku kan bekerja.”“Eh, mana bisa begitu?” Starla nenoleh ke arah sang suami, mengernyitkan keningnya. Seolah tidak t