Shanaya masih menunggu jawaban baik dari mulut Aston atau Farah. Namun, dering ponsel dan nama seseorang yang terpampang di layar membuat Shanaya seketika tak peduli lagi pada dua orang itu. Dia meminta izin ke Farah dan Aston untuk menerima panggilan. Bibir Shanaya merekah bak bunga yang mekar di musim semi. Matanya bahkan berkaca-kaca saat suara di seberang sana menyapa. "Apa Oom sudah sampai?" Tanya Shanaya bahkan saat Oriaga baru mengatakan kata hai. Oriaga tersenyum senang, rasa lelah 14 jam penerbangan seketika hilang mendengar suara riang istri kecilnya. "Aku baru menuju hotel, apa kamu sedang pergi berbelanja bersama Aston?" Tanyanya. "Hm... aku menuruti apa kata Oom, ngomong-ngomong apa kamu lelah sekali? Kenapa suaramu begini?" Shanaya cemas, bibirnya mengerucut memikirkan kondisi Oriaga saat ini. "Tenang saja! Aku baik-baik saja, aku pernah melakukan perjalanan lebih ekstrim dari ini, lebih dari 24 jam berada di pesawat hanya untuk melakukan pertemuan kurang dari 3 jam
Shanaya menggeleng menolak pemberian Ariani karena dia pikir tidak perlu hal semacam itu untuk membuat pria takluk. Namun, sang ibu tiri langsung memasukkan bungkusan yang disebutkan tadi ke dalam kantong celana jeans yang dikenakan Shanaya."Sudah! Coba dulu, apa salahnya sih?" Ariani memaksa. Wajahnya berubah ketus tapi tak lama memulas senyum membuat Shanaya heran. Tak ingin berdebat lagi, Shanaya pun akhirnya diam lantas keluar membawa kudapan dan minuman yang Ariani buat. Mereka mengobrol sampai Shanaya ingat meninggalkan Aston di luar. Dia pun meminta izin menemui sekretaris suaminya itu sambil membawa minuman dingin."Ini! Kenapa masih di sini seharusnya kamu pergi saja. Aku bisa pulang sendiri." Shanaya memasang muka kesal, diam-diam melirik Aston yang minum layaknya orang yang baru saja lari marathon. "Pekerjaan saya hari ini memang menemani Anda," jawab Aston seraya mengembalikan gelas pada Shanaya. "Silahkan Anda lanjutkan berbincang dengan orangtua Anda di dalam, saya sa
Satu unit sedan mewah tampak terparkir di depan sebuah rumah yang sekelilingnya ditumbuhi pepohonan lebat. Aura seram terpancar membuat siapapun pasti mengira rumah itu tidak berpenghuni. Arumi duduk menekuk kaki di ayunan gantung yang ada di dalam rumah. Dia kesal karena tidak bisa pergi ke mana-mana karena kehabisan bensin. Kartu debit dan kredit yang dia miliki juga tak ada gunanya, tidak ada toko yang mau menerima pembayaran menggunakan kartu-kartunya. "Setelah hukumanku selesai, aku pastikan akan mengambil satu koper uang tunai dan menyimpannya, lihat saja nanti!" Arumi masih belum bisa menghilangkan rasa kesal. Dia bahkan tidak menunjukkan rasa penyesalan atau meminta maaf dan memohon pengampunan Oriaga.Mata Arumi menyipit menatap ponsel miliknya di atas nakas. Dia benci menyadari Shanaya malah memblokir nomornya setelah dia mengirim foto-foto Oriaga yang masih saja memakai jasa kupu-kupu malam meski sudah menikah."Aku akan memberi dia pelajaran! Kak Oriaga milikku, dia milik
Hari itu Isaak mengantar Oriaga ke bandara. Mereka berdiri bersisian memandang jet pribadi yang akan membawa Oriaga pulang ke Indonesia dari dalam ruang tunggu khusus. Isaak masih memikirkan nasihat Oriaga soal mencari wanita yang dicintainya juga kemungkinan keberadaan darah dagingnya. “Apa kamu benar-benar tidak mau aku bantu? Aku yakin bisa dengan mudah menemukan wanita itu dan anakmu.” Isaak menggeleng. Keputusannya sudah bulat untuk pergi mencari keberadaan Seruli dengan usahanya sendiri ke Indonesia. “Setelah urusan di sini selesai, aku pasti akan langsung terbang ke Indonesia dan mengabarimu. Orangku juga sudah bergerak mencari keberadaan Seruli,” ujar Isaak. Tatapannya menerawang jauh. Dia sejatinya takut jika benar Seruli sudah bahagia dan mungkin sang anak kandung juga tidak akan mau mengakuinya sebagai ayah. “Beri tahu aku kalau kamu butuh bantuan, dan saat kamu datang ke Indonesia segera kabari, aku akan membawa Shana bertemu denganmu.” Oriaga menepuk pundak Isaak lalu
Shanaya diam dan semakin memeluk erat bukunya. Dia merasa organ tubuh yang berada di belakang buku itu berdebar-debar. Shanaya meneteskan air mata, bagaimana bisa dia seperti ini? Merindukan sesorang seperti saat dia merindukan sang bunda. Kenapa dia seperti sangat takut kehilangan Oriaga? Apa karena pria itu kaya? Memiliki segalanya dan bisa memberi semua hal yang wanita manapun idamkan. "Wah ... tega sekali, aku bahkan sudah menepati janji tapi sambutanmu seperti ini." Oriaga menggelengkan kepala seolah kecewa, di saat itu Shanaya mendekat lalu berkata— "Sebentar! Aku bingung meletakkan buku ini di mana, Oom." Oriaga tersenyum melihat tingkah polos istri kecilnya. Dia seketika membayangkan Isaak jika bertemu dengan anak Seruli, pasti seperti dia dan Shanaya saat ini. Shanaya melepas tas dan meletakkannya di anak tangga untuk menjadi alas buku yang dia pinjam, setelah itu menghambur memeluk Oriaga tak peduli apakah ada orang yang melihat mereka. “Kenapa kamu tidak memberi kabar
Shanaya tak banyak bertanya tentang tempat yang akan dituju Oriaga, tapi di dalam hati dia sudah menerka suaminya pasti akan mengajaknya ke hotel. Shanaya heran, bagaimana bisa tenaga Oriaga masih ada bahkan setelah melakukan perjalanan jauh. Bukankah seharusnya pria itu istirahat? Shanaya menggeleng pelan, bahunya tak lama mengedik karena mendapati tebakannya benar. Oriaga membelokkan kemudi ke King Hotel. Namun, bukannya menuju lobi Oriaga malah turun ke parkiran bawah tanah. "Oom kenapa tidak parkir di depan?" Shanaya menelan ludah merasa takut karena ada yang janggal. "Terlalu repot jika harus melakukannya di kamar."Shanaya melebarkan manik mata tak percaya. Dia yang awalnya menatap intens Oriaga seketika mengalihkan pandangan ke arah depan. Menggunakan sebuah kartu akses pria itu melewati portal parkir dan melesatkan mobil semakin turun ke parkiran."Sebenarnya ada berapa lantai parkiran yang dimiliki King Hotel?" Shanaya bertanya tapi tidak mendapat jawaban dari Oriaga. Dia
Isaak menemui Amora di kediaman wanita itu, meskipun hubungan mereka tidak baik sejak pertama menikah dan menganggap putra yang hadir di pernikahan mereka bukanlah darah dagingnya, tapi Isaak tetap tidak bisa membiarkan anak berumur lima tahun mengetahui masalah orang dewasa. Dia tetap memeluk Issa, mendengarkan celotehan anak itu dan memberi respon seperti biasa.“Tuan muda Issa, saatnya mandi!”Isaak menoleh mendengar suara pengasuh putranya, di saat yag bersamaan Amora juga mendekat dan membuatnya menurunkan Issa dari gendongan.“Aku mau main sama Daddy.” Issa melayangkan protes, bibirnya mengerucut lantas mendongak memandang Isaak dengan sorot mata mengiba.“Nanti kamu bisa main lagi setelah mandi,” ucap Amora. Meski kalimatnya itu dia tujukan ke Issa, tapi matanya memandang wajah suami yang tidak pernah dia miliki seutuhnya ini.Sama halnya seperti Amora, Isaak juga melakukan hal yang sama. Pria itu mengucapkan kalimat untuk sang putra, tapi memandang ke Amora.“Mommy-mu benar, k
Beberapa menit yang lalu sebelum mengirim pesan ke Shanaya, Masayu memilih untuk mengabari kejadian di rumah utama ke Arumi. Dia berjanji ke Arumi akan menyudutkan Shanaya dan membuat gadis itu terkena hukuman yang sama seperti Arumi. Masayu mengajak sang adik untuk bersatu menyingkirkan Shanaya dari rumah, tidak boleh ada salah satu di antara mereka yang berkhianat karena sejatinya mereka memiliki tujuan yang sama dan kurang kompak.Arumi yang mengetahui kabar itu merasa sangat senang, dia bahkan memberikan ide ke Masayu agar Shanaya tak bisa mengelak. Lagipula itu bukan fitnah, bungkusan aneh yang pelayan temukan memang benar-benar bukan jebakan yang dilakukan oleh Masayu apalagi Arumi. Seperti menggenggam kartu AS Shanaya, Masayu menunggu kedatangan gadis itu di ruang tamu. Dia memulas senyum miring, bahkan tidak merasa gentar mengetahui Shanaya pulang bersama Oriaga. Masayu berpikir malah semakin bersemangat untuk membongkar kebobrokan Shanaya di depan sang kakak.“Kakak sudah pu
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu