Shanaya duduk berhadapan dengan Oriaga. Sementara dirinya takut pria itu meminta kembali uang yang ditinggalkan untuknya, Oriaga takut jika sampai Shanaya melaporkannya dengan tuduhan melakukan pemerkosaan.
“Bagaimana Anda bisa tahu saya bekerja di sini?” Tanya Shanaya setelah itu menundukkan kepala.
“Sepertinya ucapanku ke wanita yang menyerangmu tadi cukup jelas, sangat mudah bagiku melakukan apapun yang aku inginkan. Seperti sekarang, aku ingin membuat kesepakatan denganmu untuk melupakan kejadian kemarin,” ucap Oriaga. “Aku tahu siapa nama lengkapmu, ayah, ibu, alamat rumah dan di mana kamu kuliah,” imbuhnya.
Shanaya terkesiap sampai mengangkat kepala untuk memandang Oriaga. Dia pikir pria itu masih memiliki sifat baik karena sudah menolongnya tapi ternyata keliru. Oriaga sangat sombong setelah dia setuju bicara empat mata seperti ini.
“Bodoh! Mana mungkin pria baik suka meniduri wanita yang bukan istrinya?” Gumam Shanaya di dalam hati.
“Aku tahu kamu ke King hotel untuk menghadiri acara ulangtahun temanmu, kalau kamu menolak apa yang aku inginkan, maka aku tidak akan segan menemui orangtuamu dan bercerita kalau putri mereka mabuk-mabukan. Aku bahkan punya rekaman kamera pengawas dari hotel lengkap sejak kamu datang.”
Shanaya merasa terpojok, ingin sekali menyebut dirinya korban, tapi sadar kejadian kemarin sebenarnya bisa dihindari jika saja dia tidak menerima minuman dari temannya.
“Kamu juga mabuk dan sepertinya menenggak obat perangsang,” ujar Oriaga. Pria itu malah menegaskan kecemasan Shanaya. “Jadi mari kita lupakan kejadian itu, aku akan memberimu uang lagi sebagai kompensasi.”
“Berapa banyak uang yang bisa Anda berikan?”
Membuang harga diri, Shanaya tahu tidak akan bisa menang melawan pria seperti Oriaga. Lebih baik dia mengubur rasa malu dan menerima kompensasi yang ditawarkan.
“Artis terkenal saja hanya mematok dua puluh lima juta untuk satu malam, tapi karena aku tahu keluargamu sedang mengalami kesulitan ekonomi, maka aku akan memberimu tiga puluh juta,” jawab Oriaga.
“Tapi saya yakin tarif artis terkenal yang Anda sebut tadi, karena mereka sudah sering dipakai oleh pria lain.” Shanaya meremas tangan di atas paha untuk mengusir rasa grogi atas keberaniannya menjawab seperti ini.
Oriaga tersenyum miring, tak menyangka gadis berwajah polos seperti Shanaya ini ternyata pandai bernegosiasi.
“Saya yakin ada hal yang Anda cemaskan, mengingat Anda sampai meluangkan waktu menemui saya sendiri.” Shanaya mengambil napas sejenak, menjeda ucapannya untuk menguatkan dirinya sebelum berkata lagi,
“Berikan saya lima puluh juta sebagai kompensasi dan saya akan berpura-pura tidak pernah mengenal Anda. Saya akan menjamin istri Anda juga tidak akan tahu kelakuan buruk Anda.”
Jantung Shanaya berdetak lebih cepat, berharap Oriaga tak keberatan menerima nominal yang akan dia minta.
“Istri?” Oriaga kaget mendengar Shanaya menyebut kata itu. Dia tertawa sambil memalingkan muka. “Baiklah, aku akan memberimu lima puluh juta, tapi pastikan kita tidak akan pernah bertemu lagi.”
Shanaya mengangguk lantas berbisik di dalam hati kalau dirinya juga tidak sudi bertemu dengan pria yang sudah merenggut kesuciannya secara paksa.
Namun, keberuntungan seperti tak pernah berpihak pada Shanaya. Di tempatnya menimba ilmu beredar gosip tentang dirinya yang menjadi ayam kampus karena masuk ke kamar hotel bersama pria. Hal ini membuat Shanaya malu. Mempertimbangkan hal itu dan ayahnya yang membutuhkan perhatian khusus, juga uang yang tak sedikit untuk berobat. Shanaya memutuskan cuti kuliah dan mencari pekerjaan tambahan.
Sudah hampir dua bulan setelah kejadian yang merubah hidupnya, dan kini Shanaya hanya fokus bagaimana cara mengumpulkan pundi-pundi agar tidak dicap sebagai benalu oleh ibu dan kakak tirinya.
“Aku heran dari mana Shana mendapat uang untuk membiayai terapi ayahnya, kerja apa dia berangkat pagi pulang malam. Apa mungkin dia benar-benar menjadi pelacur?”
Shanaya membersihkan kamar yang baru saja selesai ditempati tamu di sebuah hotel bintang lima. Gadis itu memasukkan uang lima puluh ribu yang ditinggalkan tamu ke kantong seragam sambil mengingat ucapan Ariani ke Rahma yang tanpa sengaja dia dengar.
Shanaya tak peduli apa yang ada di pikiran orang lain. Bahkan uang lima puluh juta dari Oriaga tidak dia gunakan untuk bersenang-senang sendiri. Uang itu habis untuk menutup hutang Ariani dan biaya pengobatan sang ayah.
“Shana, setelah yang ini selesai kamu bersihkan kamar president suit ya! Aku akan membereskan sisanya.”
Shanaya mengangguk, bergegas menuju kamar president suit yang dikatakan temannya setelah memastikan kamar superior itu bersih dan siap ditempati tamu lain.
Namun, saat sampai di kamar president suit itu, Shanaya kaget karena si tamu ternyata masih berada di dalam.
“Maaf, Pak! Apa benar Anda mau kamar ini dibersihkan?” Tanya Shanaya sopan.
“Iya!”
Shanaya canggung, biasanya tamu akan pergi saat ada cleaning service yang membersihkan, tapi pria penghuni kamar ini tampak santai dan malah duduk bermain ponsel masih mengenakan jubah mandi tanpa mengganti baju.
“Maaf, apa Anda masih mau berada di sini saat saya rapikan?”
“Iya, bersihkan saja!”
Shanaya mengangguk, dia membersihkan kamar itu sambil sesekali menyentuh kening. Panas, dia memang sedang kurang sehat, tapi tahu tidak boleh izin karena masih dalam masa percobaan. Saat ini sebenarnya Shanaya merasa kurang nyaman, entah perasaan atau memang benar tapi Shanaya merasa pria pemilik kamar itu terus memandanginya.
Hingga hal yang ditakutkan Shanaya pun terjadi, saat dia berdiri di sisi ranjang untuk merapikan sprei, pria itu mendekat, berdiri tepat di belakangnya lalu menyentuh bokongnya.
“Apa yang Anda lakukan?” Shanaya menoleh dan berteriak lantang, marah mendapatkan perlakuan kurang ajar seperti itu.
“Tidak usah munafik, aku akan memberimu uang tapi puaskan aku dulu.”
“Pak, saya bukan pelacur. Bagaimana bisa Anda merendahkan saya seperti ini?”
Shanaya menepis kasar tangan pria itu yang hendak menyentuhnya. Hal ini membuat si pria marah, berteriak, memaki dan membuat keributan.
Oriaga yang baru saja keluar dari kamar mendengar suara berisik yang membuatnya geram. Belakangan ini dia sudah dibuat frustasi karena tidak bisa menuntaskan birahi. Hasratnya selalu menggebu, tapi saat melihat tubuh telanjang wanita bayaran yang dia sewa tiba-tiba nafsunya menguap hilang.
Oriaga pun mencari sumber keributan, apalagi hotel itu adalah miliknya sehingga dia memiliki kuasa untuk menegur siapa pun yang menganggu ketenangannya.
“Permisi, apa Anda bisa mengecilkan suara?”
Oriaga melebarkan pintu kamar yang tidak tertutup sempurna, dia kaget melihat Shanaya berada di sana dan sedang berdebat dengan seorang pria.
“Siapa kamu?” Hardik pria itu.
Shanaya menoleh, matanya berkaca-kaca sampai membuat Oriaga terbeku. Meski kaget, tapi Oriaga langsung sadar kalau Shanaya memakai seragam karyawan hotelnya.
“Lepaskan dia!” Titah Oriaga.
Pria tamu hotel itu malah memulas seringai, meminta Oriaga untuk tidak mencampuri urusannya.
Suasana hati yang kurang baik dan hal aneh yang dia rasakan saat melihat Shanaya lagi membuat Oriaga masuk tanpa permisi. Dia melingkarkan lengan ke leher tamu itu, menarik keluar lalu mendorongnya hingga jatuh terduduk di lantai.
“Hanya ada satu orang yang boleh menjadikan hotelku tempat mesum yaitu aku.” Oriaga berkata dengan mata menatap tajam menusuk pria di hadapannya.
“Meski Anda tamu dan membayar mahal untuk menempati kamar ini, tapi Anda tidak boleh melecehkan karyawan,” ucap Oriaga. “Jika Anda tersinggung, silahkan buat laporan ke polisi, saya akan dengan senang hati meledani!” Tantangnya setelah itu kembali masuk kamar.
Oriaga meraih pergelangan tangan Shanaya, tanpa bicara menggelandang gadis itu masuk ke lift. Oriaga mendorong dan mengurung tubuh Shanaya ke dinding, menatap wajah kemudian mencium bibir gadis itu dengan kasar.
Shanaya jelas kaget, dia memberontak memukuli tubuh Oriaga, tapi pria itu sama sekali tak peduli dan terus mencumbunya.
“Apa Anda sudah tidak waras?”
Shanaya mendorong Oriaga sesaat setelah menggigit bibir pria itu hingga melepaskan tautan bibir mereka. Dia menutup bibir menggunakan punggung tangan. Darahnya mendidih dan dadanya terasa terbakar karena marah.
Oriaga sendiri masih sibuk mengatur napas, menyentuh bibirnya yang berdarah akibat gigitan Shanaya. Setelah berhasil menguasai diri, dia memandang Shanaya dan berkata, “Bagaimana jika kamu menjadi sugar baby-ku?”
“Apa yang Anda katakan? Apa saya tidak salah dengar? Saya masih berpikir Anda berbeda dari pria tadi, tapi ternyata sama saja!”Suara Shanaya bergetar, takut setengah mati karena sadar sudah melukai Oriaga dengan membuat bibir pria itu berdarah. Shanaya hendak keluar saat pintu lift terbuka, tapi pria matang itu menghadang dan menutup pintu lift lagi.“Mari kita bicara dulu!” Pinta Oriaga.“Apa yang Anda mau, Pak? Bukankah Anda meminta agar saya tidak menampakan diri di depan muka Anda lagi?” Tanya Shanaya yang mulai frustasi.Gadis itu mendengar ucapan Oriaga ke pria mesum tadi soal hotel itu yang merupakan miliknya. Shanaya tak habis pikir berapa banyak hotel yang dimiliki Oriaga di kota ini, selain King Hotel tempat mereka pertama kali bertemu dua bulan lalu.“Aku benar-benar serius soal menjadi sugar baby-ku. Bagaimana?”“Anda pasti sudah gila, Anda sama saja seperti tamu tadi. Anda pasti berpikir saya tidak punya harga diri setelah menerima uang lima puluh juta itu.”Shanaya mund
“Anda bisa pergi! Untuk apa terus di sini?”Shanaya duduk di atas ranjang pesakitan. Dia menatap dingin Oriaga lantas membuang muka saat pria yang sedang sibuk dengan ponselnya itu menoleh.“Aku memang akan pergi, tapi pertimbangkan tawaranku tadi!”“Untuk orang miskin seperti saya, harta yang paling berharga hanya harga diri,” ucap Shanaya. “Jadi tanpa mempertimbangkan, Anda jelas sudah tahu jawaban saya.”Oriaga hanya diam memandang wajah Shanaya yang pucat. Berpikir gadis itu ternyata sedikit keras kepala.“Aku meminta sekretarisku pergi ke rumahmu untuk menyampaikan bahwa kamu sedang tugas ke luar kota, jadi sebaiknya kamu tetap di sini. Kalau kamu pulang sekarang jelas malah akan membuat keluargamu curiga.”Shanaya tak membalas ucapan Oriaga, memilih berbaring lalu memejamkan mata. Dia tak peduli lagi pria itu benar-benar pergi atau masih berada di sana.Shanaya berpikir sejenak kemudian memutuskan, memang lebih baik dia berada di rumah sakit dulu untuk memulihkan kondisi, karena
Ariani melongo tak menduga dari mana datangnya pria yang tiba-tiba ingin mengambil tanggung jawab atas biaya rumah sakit suaminya. Dia tersenyum mencibir, tapi tak lama menyadari penampilan Oriaga yang begitu elegan.Ariani memandang sepatu dan jam tangan mewah yang dikenakan Oriaga lantas membaui parfum pria itu yang wanginya berbeda. Dia menatap Shanaya kembali kemudian bertanya,"Apa dia atasanmu yang mengajakmu ke luar kota?"Shanaya menelan ludah susah payah. Ada dokter dan beberapa pasang mata yang memerhatikan mereka. Shanaya takut Ariani mempermalukannya lagi, meskipun dia sadar sudah tak memiliki harga diri setelah apa yang wanita itu lakukan tadi.Oriaga tak memedulikan tingkah Ariani. Dia menoleh dokter memintanya melakukan yang terbaik. Oriaga juga memanggil Aston untuk mengurus semua yang dibutuhkan Nugroho."Tempatkan ayah Shana di kamar VVIP, aku ingin beliau mendapat fasilitas dan perawatan terbaik.”Aston mengangguk lantas pergi bersama dokter. Sedangkan Ariani sendir
Pagi itu Oriaga berhasil membuat jantung Shanaya hampir berhenti berdetak. Setelah kemarin Oriaga tiba-tiba mengajaknya makan di restoran mewah, dan malamnya mengunjungi sang ayah untuk meminta izin menikah, sekarang Oriaga sudah mengulurkan buku nikah padanya.“Meskipun kamu sedang sibuk, jika aku menginginkan itu darimu maka kamu harus menjadikan keinginanku prioritas, aku tidak suka diminta menunggu apalagi ditolak, kecuali saat kamu datang bulan.”Kalimat Oriaga itu terdengar seperti perintah dari pada penjelasan.“Masih banyak aturan dariku yang harus kamu patuhi, tapi akan terlalu panjang jika aku mengatakannya di sini. Aku akan menuangkannya di sebuah dokumen.” “Apa Anda datang ke sini hanya untuk memberikan ini?” Tanya Shanaya. “Kamu pikir untuk apa? Aku heran, bagaimana bisa kemarin kamu begitu berani membalas ucapan Olivia, tapi sekarang seperti anak kucing yang baru saja tersiram air,” hina Oriaga. Shanaya diam tak bisa menjawab, matanya terus saja memandangi dua buku ni
Semua orang menoleh ke sumber suara. Mereka memandang seorang gadis seumuran Shanaya yang tampak mematung dengan raut wajah kebingungan."Bersikaplah yang sopan! Jangan seenaknya memanggil namanya karena dia adalah bibimu," balas Oriaga."Ki ... Kirana?" Lirih Shanaya.Gadis bernama Kirana itu mendekat dengan kening terlipat halus, memandang Masayu yang merupakan ibunya lalu Shanaya. Kirana memaksakan senyuman, lantas duduk setelah pelayan memersilahkan."Aku tahu dia teman kuliahmu, tapi sekarang dia istriku," kata Oriaga.Mulut Kirana menganga, dia menggeleng membuang muka dan berakhir menatap linglung Oriaga. "Istri? Apa Paman bercanda? Apa paman tahu seperti apa dia?" Pertanyaan Kirana membuat semua orang kaget dan secara bersamaan memandang ke arahnya kecuali Oriaga. "Paman, dia itu .... "Oriaga baru mengangkat kepala dan menatap tajam Kirana saat keponakannya itu membuka mulut lagi. Tanpa menunjukkan reaksi yang berlebihan Oriaga lantas melirik Shanaya, ia menyadari ada gura
"Bagaimana bisa Paman menikah lagi tanpa memberitahu kita?" Kirana tampak kesal, setelah Oriaga juga Shanaya pergi gadis itu mulai bicara lantang ke ibu dan tantenya."Apa Mama tidak ingin melakukan apa-apa? Apa tante Arumi juga akan diam melihat Paman tiba-tiba membawa orang asing ke sini?" Amuk Kirana. Gadis itu tak peduli banyak telinga pelayan yang mendengar ucapannya."Jaga mulutmu Kirana! Kamu seharusnya sudah paham betul sifat Pamanmu." Masayu memperingatkan sang putri, dia sendiri bingung kenapa tiba-tiba Oriaga menikah tanpa memberitahu mereka. Arumi sendiri terlihat lebih tenang. Wanita yang berprofesi sebagai perancang perhiasan itu memilih menyantap steak yang dihidangkan dengan khidmat. Meskipun di dalam hatinya Arumi juga bertanya-tanya, tapi dia tak ingin bersikap reaksioner seperti Kirana."Lagipula kenapa kamu terlambat pulang? Untung saja pamanmu tidak marah," ucap Masayu seraya melempar tatapan kesal ke anaknya."Kenapa? Bahkan Andra juga tidak datang," balas Kira
“Nona, saya baru akan menjelaskan aturan dan beberapa hal yang Tuan inginkan untuk Anda lakukan besok, saya pikir Anda bisa bersabar tapi malah berkeliaran malam-malam.” Pak Wira memberanikan diri mengungkapkan perasaannya saat ini. Meski terdengar sedikit mengeluh, tapi dia membungkuk di samping Shanaya. “Maaf! Apa mungkin aku sudah membuat Pak Wira berada dalam masalah?” Shanaya memberikan respon yang membuat pak Wira merasa gadis itu berbeda dari para wanita penghuni rumah utama lainnya. “Aku lapar. Tuan Oriaga memintaku datang untuk makan malam, tapi setelah sampai di sini aku bahkan hanya duduk dan tak lama dia memintaku mengikutinya pergi.” Shanaya bicara dengan nada lemah. Dia memegangi perut hingga pak Wira meminta pelayan memberitahu koki agar mempercepat proses menyiapkan hidangan. Entah dari mana datangnya keberanian mengeluhnya ini, yang pasti Shanaya merasa senang. “Ngomong-ngomong, kenapa Anda memanggil suami Anda sendiri dengan sebutan Tuan?” Shanaya menoleh pak
"Apa sudah kenyang?""Anda belum tidur?" Shanaya menutup pintu dengan sangat pelan. Dia mendekati Oriaga yang duduk di tepi ranjang. Pikirannya mulai menerka-nerka, akankah Oriaga meminta pelayanan seks lagi darinya."Tuan, besok saya berniat pulang untuk mengambil baju dan melihat keadaan ayah di rumah sakit." Shanaya memberanikan diri meminta izin, meskipun tangannya yang berada di depan badan sedikit gemetaran."Apa kamu tidak melihat koper yang ada di dekat lemari kosong di dalam kamar ganti? Isinya baju untukmu."Shanaya terkesiap, merasa Oriaga seolah menghalanginya bertemu dengan Nugroho. "Tapi .... ""Lihat dan baca dulu apa yang tertulis di amplop itu, jangan berani-beraninya kamu tidur sebelum memahami isinya!" Titah Oriaga. Dia memandang dingin Shanaya lalu menunjuk amplop di meja menggunakan dagu. Shanaya jelas tak berani membantah, dia meraih amplop itu lantas menoleh Oriaga. Pria itu ternyata memerhatikan dirinya, tapi tak lama naik ke atas ranjang dan berbaring membe
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu