“Dari mana kamu sampai semalam tidak pulang? Melacur?”
Bentakan Ariani membuat Shanaya diam mematung di ruang tamu. Ibu tirinya itu terlihat murka bahkan memasang muka garang. Shanaya hanya bisa menunduk, tak berani membantah karena sadar sudah melakukan kesalahan.
Perlakuan seperti ini sebenarnya sudah Shanaya dapat sejak berumur delapan tahun. Lebih tepatnya saat Nugroho — sang ayah menikah lagi dengan Ariani. Namun, bagi Shanaya rasanya tetap saja menyakitkan dibentak seperti ini meski sudah kerap mengalami.
“Dasar anak tidak tahu diuntung!”
Suara Ricky kakak tiri Shanaya terdengar dari arah ruang makan. Pria itu mendekat sambil memakai jaket hanya untuk ikut memaki.
“Sana cepat gantikan istriku membantu ayah makan! Sejak semalam Rahma repot karena kamu tidak pulang. Istriku itu hamil anak kembar. Dia butuh banyak istirahat, bukannya malah sibuk mengurus ayah. Kalau sampai terjadi apa-apa pada Rahma, apa kamu mau tanggungjawab?”
Shanaya tak membalas, lebih memilih pergi ke kamarnya untuk meletakkan tas, setelah itu cepat-cepat menuju kamar Nugroho —yang sejak tiga bulan lalu hanya bisa berbaring di atas kasur karena mengalami stroke.
Shanaya menyapa Rahma lantas meminta maaf. Dia hendak mengambil alih piring di tangan kakak iparnya itu tapi ditolak dengan halus.
“Sudah, biar Mbak saja! Kamu ada kuliah tidak pagi ini?”
“Nggak Mbak, tapi aku harus menggantikan temanku di toko. Kami bertukar shift,” jawab Shanaya.
“Ya sudah kamu mandi sana! Masmu sudah berangkat kerja ‘kan?”
Rahma menoleh ke arah pintu kemudian menepuk lengan Shanaya, meminta sang adik ipar bergegas mandi.
Shanaya pun mengangguk, tapi sebelum pergi dia mendekat untuk menyapa ayahnya yang semakin hari terlihat semakin kurus.
“Obat Ayah tinggal hari ini, apa kamu ada uang?”
Meskipun tidak tega melihat Shanaya banting tulang untuk membiayai pengobatan Nugroho, tapi Rahma sendiri bingung harus berbuat apa. Dia sendiri harus keluar dari pekerjaannya karena hamil.
“Iya Mbak, ada. Nanti aku belikan,” balas Shanaya. Gadis itu tersenyum ke Nugroho, kemudian pamit setelah mengajak ayahnya bercanda.
Dua jam kemudian, Shanaya terlihat berada di tempat kerjanya — sebuah toko roti yang juga menyediakan bermacam-macam jenis kue. Pembeli juga bisa menikmati kue yang dibeli di sana karena terdapat beberapa set tempat duduk.
Sebagai karyawan di sana, Shanaya terbilang sangat rajin. Di saat tidak ada pembeli, dia tidak mau duduk diam. Seperti saat jam makan siang seperti ini, Shanaya sudah mengambil lap untuk membersihkan meja, tapi baru saja melangkah, lonceng di atas pintu toko tiba-tiba berbunyi.
Shanaya buru-buru kembali menuju ke belakang meja kasir. Dia berada di toko sendirian karena dua temannya pamit membeli makan siang.
“Selamat datang!” Sapa Shanaya tanpa menoleh. Gadis itu memperbaiki sejenak mesin kopi yang terlihat eror, setelah itu berjalan dan berhenti tepat di depan si pembeli.
“Silahkan!”
Shanaya mengangkat kepala, kaget mendapati seorang pria sedang memandangi wajahnya. Tatapan mereka bertemu dan Shanaya menelan ludah susah payah karena merasakan de javu.
Gadis itu mengepalkan tangan di sisi badan, meski gemetaran tapi dia tetap bersikap ramah kepada pria di hadapannya ini.
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Apa cake yang paling laris di sini?”
Suara pria itu tidak mungkin bisa Shanaya lupa, badannya semakin gemetar bahkan rasa sakit karena kejadian semalam masih dia rasakan.
“Choco monster, Kak. Tapi sayangnya sudah habis.”
Shanaya memanggil Oriaga menggunakan panggilan yang biasa dipakai untuk menyebut pelanggan, meskipun dia tahu pria itu lebih pantas dipanggil paman.
Oriaga memindai isi etalase yang memisahkannya dengan Shanaya, sebelum mengangsurkan pandangan ke wajah gadis itu lagi. Keduanya sempat diam beberapa detik sebelum Oriaga berkata—
“Aku mau peanut cake ini dan sebotol air mineral.”
Shanaya mengambil kotak dan memasukkan kue yang diminta Oriaga, dia juga bertanya apakah pria itu menginginkan air mineral dingin atau biasa.
Shanaya pikir Oriaga akan pergi setelah membayar, tapi pria itu malah duduk di salah satu kursi lantas membuka tutup botol air mineral. Canggung dan bingung harus bagaimana, Shanaya memilih diam di belakang meja kasir. Dia berpura-pura tidak mengenali Oriaga karena sudah berniat memakai uang dari pria itu untuk membeli obat ayahnya.
Shanaya melamun, sampai tak mendengar bunyi lonceng pintu toko. Seorang wanita terlihat masuk dan langsung melempar kotak kue ke meja kasir. Wanita itu marah bahkan memaki Shanaya menggunakan kata-kata kotor.
“Kenapa kuenya tidak sesuai pesanan? Apa kalian tahu? Karena kue ini kejutan yang akan aku berikan ke pacarku menjadi kacau.”
Shanaya membuka kotak untuk melihat kue itu, dia yakin bukan dirinya yang melayani, tapi sebagai pelayan Shanaya tetap bersikap sopan. Dia meminta wanita itu sabar, sementara dirinya mengecek detail pesanan.
Namun, wanita itu malah merangsek masuk ke tempat yang hanya boleh dimasuki oleh karyawan, dia melayangkan tangan hendak memukul Shanaya, tapi tanpa diduga Oriaga lebih dulu menahan.
“Apa kamu ingin jadi jagoan?”
Tatapan dingin Oriaga ke wanita itu cukup membuat Shanaya tercenung.
“Siapa kamu? Tidak usah ikut campur urusan orang!”
“Siapa aku? Aku adalah orang yang bisa membuatmu hidup segan mati tak mau.”
“Apa?”
Shanaya diam membeku, lidahnya bahkan terasa kelu. Tanpa banyak bicara Oriaga menarik paksa pembeli itu keluar dari belakang etalase toko lantas melepas tangannya dengan kasar.
“Aku akan viralkan toko ini, lihat saja!”
Oriaga memulas seringai mendengar ancaman wanita itu dan menjawab dengan enteng, “Silahkan! Kita lihat saja siapa yang akan memakai baju warna oranye jika sampai itu terjadi.”
Tatapan menusuk Oriaga membuat wanita itu memilih pergi, tapi sebelum itu dia sempat meraih kue dari dalam kotak yang ada di meja kasir, lalu melemparnya ke Shanaya. Kue itu mengotori bagian dada, leher dan sedikit dagu Shanaya.
“Dasar babu! Dia gadunmu ‘kan? Pelacur!”
Mata Shanaya berkaca-kaca mendengar hinaan wanita itu. Dia menunduk menahan tangis tapi ternyata tidak bisa. Air mata Shanaya menetes ke pipi, di saat itu Oriaga mengulurkan sapu tangan kepadanya.
“Bersihkan wajahmu!”
Shanaya tak langsung menerima uluran sapu tangan itu. Dia mendongak menatap Oriaga, tak menyangka tangan pria itu bisa menjangkau dagunya.
“Jangan diam saja saat ada orang yang berbuat kasar seperti itu! Kalau kamu merasa benar, melawan bukan sebuah kesalahan,” ucap Oriaga.
Shanaya menjauhkan wajah bahkan sampai mundur satu langkah.
“Kenapa Anda melakukan itu? Saya sudah meminta Anda untuk berhenti, tapi kenapa Anda masih melakukannya?”
Oriaga kaget. Ternyata Shanaya mengingat dirinyalah yang sudah merenggut kesucian gadis itu semalam.
“Apa kamu mengingatku?”
“Kenapa Anda tega melakukan itu? Apa salah saya?”
Shanaya semakin terisak. Dadanya terasa sakit karena bingung harus berbuat apa. Jika dia marah lalu sok memiliki harga diri karena merasa dirugikan Oriaga, maka sudah pasti ayahnya tidak akan minum obat besok pagi.
“Itu salah paham! Aku tidak bermaksud jahat padamu, itu terjadi karena aku salah mengira dirimu adalah …. “
Oriaga menjeda lisan. Dia tahu akan sangat menyakitkan bagi gadis seumuran keponakannya ini jika sampai menyebut kata pelacur.
“Berhentilah menangis dan mari kita bicara!”
Shanaya duduk berhadapan dengan Oriaga. Sementara dirinya takut pria itu meminta kembali uang yang ditinggalkan untuknya, Oriaga takut jika sampai Shanaya melaporkannya dengan tuduhan melakukan pemerkosaan. “Bagaimana Anda bisa tahu saya bekerja di sini?” Tanya Shanaya setelah itu menundukkan kepala. “Sepertinya ucapanku ke wanita yang menyerangmu tadi cukup jelas, sangat mudah bagiku melakukan apapun yang aku inginkan. Seperti sekarang, aku ingin membuat kesepakatan denganmu untuk melupakan kejadian kemarin,” ucap Oriaga. “Aku tahu siapa nama lengkapmu, ayah, ibu, alamat rumah dan di mana kamu kuliah,” imbuhnya. Shanaya terkesiap sampai mengangkat kepala untuk memandang Oriaga. Dia pikir pria itu masih memiliki sifat baik karena sudah menolongnya tapi ternyata keliru. Oriaga sangat sombong setelah dia setuju bicara empat mata seperti ini. “Bodoh! Mana mungkin pria baik suka meniduri wanita yang bukan istrinya?” Gumam Shanaya di dalam hati. “Aku tahu kamu ke King hotel untuk mengh
“Apa yang Anda katakan? Apa saya tidak salah dengar? Saya masih berpikir Anda berbeda dari pria tadi, tapi ternyata sama saja!”Suara Shanaya bergetar, takut setengah mati karena sadar sudah melukai Oriaga dengan membuat bibir pria itu berdarah. Shanaya hendak keluar saat pintu lift terbuka, tapi pria matang itu menghadang dan menutup pintu lift lagi.“Mari kita bicara dulu!” Pinta Oriaga.“Apa yang Anda mau, Pak? Bukankah Anda meminta agar saya tidak menampakan diri di depan muka Anda lagi?” Tanya Shanaya yang mulai frustasi.Gadis itu mendengar ucapan Oriaga ke pria mesum tadi soal hotel itu yang merupakan miliknya. Shanaya tak habis pikir berapa banyak hotel yang dimiliki Oriaga di kota ini, selain King Hotel tempat mereka pertama kali bertemu dua bulan lalu.“Aku benar-benar serius soal menjadi sugar baby-ku. Bagaimana?”“Anda pasti sudah gila, Anda sama saja seperti tamu tadi. Anda pasti berpikir saya tidak punya harga diri setelah menerima uang lima puluh juta itu.”Shanaya mund
“Anda bisa pergi! Untuk apa terus di sini?”Shanaya duduk di atas ranjang pesakitan. Dia menatap dingin Oriaga lantas membuang muka saat pria yang sedang sibuk dengan ponselnya itu menoleh.“Aku memang akan pergi, tapi pertimbangkan tawaranku tadi!”“Untuk orang miskin seperti saya, harta yang paling berharga hanya harga diri,” ucap Shanaya. “Jadi tanpa mempertimbangkan, Anda jelas sudah tahu jawaban saya.”Oriaga hanya diam memandang wajah Shanaya yang pucat. Berpikir gadis itu ternyata sedikit keras kepala.“Aku meminta sekretarisku pergi ke rumahmu untuk menyampaikan bahwa kamu sedang tugas ke luar kota, jadi sebaiknya kamu tetap di sini. Kalau kamu pulang sekarang jelas malah akan membuat keluargamu curiga.”Shanaya tak membalas ucapan Oriaga, memilih berbaring lalu memejamkan mata. Dia tak peduli lagi pria itu benar-benar pergi atau masih berada di sana.Shanaya berpikir sejenak kemudian memutuskan, memang lebih baik dia berada di rumah sakit dulu untuk memulihkan kondisi, karena
Ariani melongo tak menduga dari mana datangnya pria yang tiba-tiba ingin mengambil tanggung jawab atas biaya rumah sakit suaminya. Dia tersenyum mencibir, tapi tak lama menyadari penampilan Oriaga yang begitu elegan.Ariani memandang sepatu dan jam tangan mewah yang dikenakan Oriaga lantas membaui parfum pria itu yang wanginya berbeda. Dia menatap Shanaya kembali kemudian bertanya,"Apa dia atasanmu yang mengajakmu ke luar kota?"Shanaya menelan ludah susah payah. Ada dokter dan beberapa pasang mata yang memerhatikan mereka. Shanaya takut Ariani mempermalukannya lagi, meskipun dia sadar sudah tak memiliki harga diri setelah apa yang wanita itu lakukan tadi.Oriaga tak memedulikan tingkah Ariani. Dia menoleh dokter memintanya melakukan yang terbaik. Oriaga juga memanggil Aston untuk mengurus semua yang dibutuhkan Nugroho."Tempatkan ayah Shana di kamar VVIP, aku ingin beliau mendapat fasilitas dan perawatan terbaik.”Aston mengangguk lantas pergi bersama dokter. Sedangkan Ariani sendir
Pagi itu Oriaga berhasil membuat jantung Shanaya hampir berhenti berdetak. Setelah kemarin Oriaga tiba-tiba mengajaknya makan di restoran mewah, dan malamnya mengunjungi sang ayah untuk meminta izin menikah, sekarang Oriaga sudah mengulurkan buku nikah padanya.“Meskipun kamu sedang sibuk, jika aku menginginkan itu darimu maka kamu harus menjadikan keinginanku prioritas, aku tidak suka diminta menunggu apalagi ditolak, kecuali saat kamu datang bulan.”Kalimat Oriaga itu terdengar seperti perintah dari pada penjelasan.“Masih banyak aturan dariku yang harus kamu patuhi, tapi akan terlalu panjang jika aku mengatakannya di sini. Aku akan menuangkannya di sebuah dokumen.” “Apa Anda datang ke sini hanya untuk memberikan ini?” Tanya Shanaya. “Kamu pikir untuk apa? Aku heran, bagaimana bisa kemarin kamu begitu berani membalas ucapan Olivia, tapi sekarang seperti anak kucing yang baru saja tersiram air,” hina Oriaga. Shanaya diam tak bisa menjawab, matanya terus saja memandangi dua buku ni
Semua orang menoleh ke sumber suara. Mereka memandang seorang gadis seumuran Shanaya yang tampak mematung dengan raut wajah kebingungan."Bersikaplah yang sopan! Jangan seenaknya memanggil namanya karena dia adalah bibimu," balas Oriaga."Ki ... Kirana?" Lirih Shanaya.Gadis bernama Kirana itu mendekat dengan kening terlipat halus, memandang Masayu yang merupakan ibunya lalu Shanaya. Kirana memaksakan senyuman, lantas duduk setelah pelayan memersilahkan."Aku tahu dia teman kuliahmu, tapi sekarang dia istriku," kata Oriaga.Mulut Kirana menganga, dia menggeleng membuang muka dan berakhir menatap linglung Oriaga. "Istri? Apa Paman bercanda? Apa paman tahu seperti apa dia?" Pertanyaan Kirana membuat semua orang kaget dan secara bersamaan memandang ke arahnya kecuali Oriaga. "Paman, dia itu .... "Oriaga baru mengangkat kepala dan menatap tajam Kirana saat keponakannya itu membuka mulut lagi. Tanpa menunjukkan reaksi yang berlebihan Oriaga lantas melirik Shanaya, ia menyadari ada gura
"Bagaimana bisa Paman menikah lagi tanpa memberitahu kita?" Kirana tampak kesal, setelah Oriaga juga Shanaya pergi gadis itu mulai bicara lantang ke ibu dan tantenya."Apa Mama tidak ingin melakukan apa-apa? Apa tante Arumi juga akan diam melihat Paman tiba-tiba membawa orang asing ke sini?" Amuk Kirana. Gadis itu tak peduli banyak telinga pelayan yang mendengar ucapannya."Jaga mulutmu Kirana! Kamu seharusnya sudah paham betul sifat Pamanmu." Masayu memperingatkan sang putri, dia sendiri bingung kenapa tiba-tiba Oriaga menikah tanpa memberitahu mereka. Arumi sendiri terlihat lebih tenang. Wanita yang berprofesi sebagai perancang perhiasan itu memilih menyantap steak yang dihidangkan dengan khidmat. Meskipun di dalam hatinya Arumi juga bertanya-tanya, tapi dia tak ingin bersikap reaksioner seperti Kirana."Lagipula kenapa kamu terlambat pulang? Untung saja pamanmu tidak marah," ucap Masayu seraya melempar tatapan kesal ke anaknya."Kenapa? Bahkan Andra juga tidak datang," balas Kira
“Nona, saya baru akan menjelaskan aturan dan beberapa hal yang Tuan inginkan untuk Anda lakukan besok, saya pikir Anda bisa bersabar tapi malah berkeliaran malam-malam.” Pak Wira memberanikan diri mengungkapkan perasaannya saat ini. Meski terdengar sedikit mengeluh, tapi dia membungkuk di samping Shanaya. “Maaf! Apa mungkin aku sudah membuat Pak Wira berada dalam masalah?” Shanaya memberikan respon yang membuat pak Wira merasa gadis itu berbeda dari para wanita penghuni rumah utama lainnya. “Aku lapar. Tuan Oriaga memintaku datang untuk makan malam, tapi setelah sampai di sini aku bahkan hanya duduk dan tak lama dia memintaku mengikutinya pergi.” Shanaya bicara dengan nada lemah. Dia memegangi perut hingga pak Wira meminta pelayan memberitahu koki agar mempercepat proses menyiapkan hidangan. Entah dari mana datangnya keberanian mengeluhnya ini, yang pasti Shanaya merasa senang. “Ngomong-ngomong, kenapa Anda memanggil suami Anda sendiri dengan sebutan Tuan?” Shanaya menoleh pak
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu