"Aku tidak perlu menjawab pertanyaan labil seperti itu, kamu pikir kita saling kenal sampai tiba-tiba aku menyukaimu?"Hari itu Shanaya pergi jogging di taman. Dia pergi sendirian dan kini sedang berlari mengelilingi taman sambil memikirkan jawaban Oriaga padanya kemarin.Sebenarnya Shanaya ingin sekali memukul Oriaga, mengumpat pria itu yang jahat padanya."Bukankah dia yang memintaku untuk tidak percaya peramal? Kenapa memutus takdir buruk harus meninggalkanku?"Shanaya bertanya-tanya di dalam hati, hingga dia berhenti karena lelah dan mengatur napas. Shanaya pun mengedarkan pandangan, hingga melihat Ermanu dan Elisa yang baru saja datang di taman itu bersama anak-anak mereka.Shanaya awalnya terkejut, tapi berusaha tenang dan mengabaikan mereka.“Bukankah itu Shana?” tanya Elisa saat melihat Kai yang terus menatap pada Shanaya.Elisa hendak menyapa, tapi urung ketika melihat Shanaya melewatinya dan Ermanu begitu saja.“Tunggu, apa dia tidak melihat kita? Kenapa dia tidak menyapa?” t
Sementara Shanaya tengah sibuk memeriksa brangkas yang kuncinya Oriaga berikan padanya. Saat ini Andra sedang melihat-lihat bunga yang ada di hadapan. Pemuda itu berada di toko bunga dan sempat bingung memilih bunga apa yang cocok untuk diberikan ke Shanaya, sebelum akhirnya memutuskan.“Aku mau dibuatkan bucket mawar warna merah muda itu,” ucap Andra ke pelayan toko sambil menunjuk bunga yang dia maksud.“Baik.” Pelayan membalas ramah lantas mengambil bunga yang diinginkan Andra untuk merangkainya secantik mungkin.Tak berselang lama, Andra mengambil bunga yang sudah menjadi buket cantik lalu membayar. Dia lekas berjalan ke mobil, tapi langkahnya tertahan saat mendengar suara perempuan yang tak asing di telinga memanggil.“Andra! Ternyata benar kamu,” ucap Mauri dengan wajah semringah.Andra sendiri tampak terkejut karena bisa bertemu dengan Mauri di sana. Dia pun tersenyum melihat wanita itu yang berjalan mendekat ke arahnya.“Sedang apa kamu di sini?” tanya Andra basa-basi. Entah k
Mendengar jawaban sang adik, Amora merasa ada perbedaan yang cukup signifikan dari Elkan. Meski begitu, Amora merasa hal ini mengarah ke sesuatu yang positif sehingga dia pun merasa senang.“Tentu, aku tunggu. Jangan lupa memberi kabar dulu agar aku bisa menyiapkan dengan sempurna kedatangan kalian, kamu pasti rindu masakanku 'kan?" Amora memulas senyum lebar, begitu juga Elkan. Pria itu senang bisa melihat kakaknya berada di sana.Keduanya pun berbincang-bincang soal apa yang dilakukan Elkan sekarang. Hingga akhirnya Amora pamit karena harus segera pulang karena meninggalkan Issa bersama Isaak.“Ingat janjimu untuk datang makan malam,” ucap Amora sebelum pergi.“Tentu, kakak tidak perlu cemas,” balas Elkan.Amora pun pamit meninggalkan Elkan. Setelah Amora pergi, pria itu buru-buru mendial nomor Kirana untuk memberitahu.Kirana yang kini bekerja di salah satu anak perusahaan kakeknya pun sampai kaget. Wanita itu ragu saat melihat nomor Elkan tertera pada layar ponselnya. Namun, dia
Oriaga masih diam membeku, hingga Aston takut terjadi hal yang buruk ke pria itu lantas mendekat."Pak, apa ada yang terjadi?" Oriaga tak membalas, dia merasa tak bisa gegabah dalam menyikapi informasi yang diberikan oleh pihak bank tadi."Bagaimana kalau Shanaya memang sengaja berpura-pura karena alasan tertentu?" Gumam Oriaga. "Dia pasti akan marah kalau sampai tahu aku menyadari ini," imbuhnya."Pak apa Anda baik-baik saja?" Aston kembali bertanya, air mukanya terlihat sangat khawatir hingga Oriaga menoleh dan menjawab."Aku baik-baik saja, aku tadi merasa melupakan sesuatu tapi ternyata tidak."Setelah mengucapkan itu Oriaga memutar tumitnya kembali masuk ke ruang kerja. Sikapnya itu membuat Aston melongo. Aston diam-diam merogoh ponsel dan memberitahu Pak Wira. Dua orang kepercayaan Oriaga itu memang bersekutu untuk saling memberitahu kondisi pria itu jika dirasa ada yang aneh.Sementara itu Andra gelisah menunggu Shanaya pulang. Hingga beberapa saat kemudian, dia akhirnya lega
Shanaya memilih mengurung diri semenjak Andra pulang. Suasana rumahnya sudah sangat sepi karena Amora sepertinya kelelahan dan tidur lebih awal bersama Issa. Sedangkan Isaak sendiri sibuk bekerja di ruangannya. Semenjak berada di Indonesia Isaak memang harus mengontrol dan mengurus perusahaan secara online.Shanaya sendiri belum menceritakan apapun ke orang lain perihal temuannya. Kini, dia malah bingung harus diapakan sertifikat pemberian Oriaga ini tanpa tahu bahwa si pemberi sudah mulai curiga."Aku benar-benar merindukanmu, Oom Ori," lirih Shanaya. Dia menyentuh permukaan tanda kepemilikan bangunan itu dan lagi-lagi merenung."Haruskah aku jujur? Tidak! Aku belum membalas perbuatan orang-orang jahat itu, mereka harus merasakan akibatnya." Shanaya bermonolog, tangannya tampak meremas sprei ranjang dengan sorot mata penuh dendam.Sementara itu di tempatnya, Oriaga terlihat berjalan di belakang Pak Wira yang sedang menuju pintu. Pria itu terkesan membuntuti Pak Wira yang ingin pulang
Sepulangnya dari tempat Shanaya beberapa jam yang lalu, Andra langsung datang ke apartemen Masayu. Saat sampai di sana, pemuda itu bergegas mencari keberadaan Celine yang dikabarkan sempat dibawa ke rumah sakit tadi.“Di mana Celine? Bagaimana kondisinya? Apa kata dokter?” tanya Andra bertubi sambil berjalan masuk.Andra tak bisa tenang, dia ikut cemas dan takut jika terjadi sesuatu pada keponakannya itu.“Dia di kamar bersama Kirana, tadi sudah diperiksa,” jawab Masayu sambil berjalan di belakang Andra.“Apa dia benar-benar tidak kenapa-napa?” tanya Andra saat melihat Celine sedang dibui Kirana di atas ranjang.“Dokter bilang kalau Celine baik-baik saja, mungkin aku saja yang terlalu lebay dan panik,” jawab Masayu menjelaskan. Dia meremas jemari ketika ingat betapa paniknya dia saat Celine tidak berhenti menangis tadi.Andra sebenarnya ingin lebih mendekat, tapi melihat Kirana sedang berusaha menidurkan Celine. Dia pun memilih menunggu sampai keponakannya itu terlelap.Tak beberapa la
Oriaga tersenyum dari dekat pintu melihat Shanaya berjalan pulang ke tempat tinggalnya. Gadis itu bahkan sesekali masih menoleh seolah enggan berpisah darinya. "Selamat malam, tidurlah yang nyenyak," kata Oriaga tanpa suara.Namun, bukannya membuat Shanaya bergegas, kalimat itu malah membuat gadis itu berlari kembali ke arah Oriaga untuk memeluk."Bukankah kamu bilang masih ingin merahasiakan kalau ingatanmu sudah kembali? Bagaimana kalau ada yang melihat?" Tanya Oriaga. Meski bibirnya berkata seperti itu, tapi tangannya membalas pelukan Shanaya seolah enggan berpisah."Siapa yang malam-malam begini mau datang ke sini?"Shanaya bicara sambil menyembunyikan wajah ke dada Oriaga, dia benar-benar bahagia, berharap malam tak berlalu begitu saja. Namun, Shanaya tak menyangka tepat setelah mengatakan itu pintu kediaman Isaak terbuka dan pria itu keluar dari balik sana.Oriaga kaget bukan kepalang, begitu pula Isaak yang terbengong lantas mengedipkan mata berkali-kali seolah tak percaya ka
Shanaya tak menjawab pertanyaan Isaak. Gadis itu memilih mendorong papanya keluar kamar dan mengusirnya pergi. Isaak sendiri tak bisa berkata-kata, dia diam saja saat Shanaya menutup pintu dan terdengar suara kunci yang diputar."Wah ... kenapa aku harus terkejut begini, bukankah sejak dulu memang di brengsek Oriaga itu menantuku, tapi aneh rasanya, dari menantu dia berubah menjadi mantan menantu, dan apa sekarang dia mau jadi menantuku lagi?" Isaak sibuk bertanya-tanya pada diri sendiri. Dia masih diam di depan pintu kamar Shanaya lalu menoleh sejenak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mata Isaak tiba-tiba saja menyipit, dia tidak bisa menunggu besok pagi untuk menanyakan sesuatu ke sahabatnya hingga memilih berjalan tergesa ke penthouse Oriaga dan mengetuk pintunya. Isaak membuang napas kasar, tangannya sudah terangkat bersiap untuk menggedor kediaman Oriaga. Namun, tak dia sangka pria yang ingin dia temui itu lebih dulu membuka pintu seolah memang sedang menunggu."Aa...a... a
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu