Thanks udah buka bab ini welcome to Shanaya New Journey ya đ«¶đ«¶đ«¶
Setelah mengirim pesan, Shanaya memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dia menoleh ke luar jendela mobil yang dikemudikan Leonel sebelum mengajak pria itu bicara."Leo, papa bilang kamu sudah menjadi sopir pribadiku sejak aku masih kuliah di Indonesia, apa benar?" Leonel yang tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu pun kaget. Dia memandang Shanaya dari pantulan kaca spion tengah dan merasa sedikit terintimidasi dengan sorot mata gadis itu."Lalu di mana kamu saat aku mengalami kecelakaan? Apa kamu kenal teman-teman kuliahku, bagaimana aku dulu? Apa aku sombong? Sok bos atau sangat manja?" Shanaya mencecar Leonel dengan banyak pertanyaan, inilah yang membuat Isaak kadang was-was dan terus mengingatkan Leonel dan orang-orang sekitar Shanaya, tentang skenario yang sudah dirinya rancang sedemikian rupa."Hari di mana Anda mengalami kecelakaan saya izin cuti, Nona. Dan saya sangat menyesal karena melakukan itu sehingga Anda harus membawa mobil sendiri."Mau tak mau Leonel pun ikut
"Tuan, pengacara Anda mengirimkan dokumen yang Anda minta."Oriaga sejak tadi diam melamun memandang ke luar jendela penthouse miliknya. Pria itu tampak memandang Pak Wira dari pantulan kaca. Dia mengucapkan terima kasih ke kepala pelayannya itu â yang dengan setia menemani dirinya semenjak kembali ke Indonesia."Apa Anda sudah minum obat, Tuan?" Pak Wira memandang gelas berisi air mineral yang masih utuh, menandakan bahwa Oriaga belum meminum obatnya. Pak Wira sengaja bertanya agar Oriaga merasa sungkan."Sebentar lagi! Pak Wira tidak perlu khawatir. Mana mungkin aku tidak meminumnya? Aku masih ingin hidup lebih lama," kata Oriaga."Tuan!" Pak Wira merasa sangat sedih mendengar Oriaga berkata seperti ini. Sekitar setahun yang lalu setelah Oriaga pergi, Pak Wira juga ikut pergi dari rumah utama. Hingga beberapa bulan kemudian Oriaga mencarinya dalam kondisi sangat terpuruk, bak anak kepada bapaknya, Oriaga menceritakan apa yang terjadi pada Pak Wira.Oriaga begitu terpukul melihat S
Amora buru-buru masuk ke kamar Shanaya. Dia menuju lemari gadis itu untuk mengecek sesuatu, karena Isaak sedang menelepon Amora dan bertanya apakah Shanaya pamit pergi liburan padanya.Seperti memiliki firasat yang tidak baik, Isaak takut kalau Shanaya sampai kenapa-napa. Dia jelas tidak ingin kehilangan putrinya itu, apalagi kalau ternyata yang dikatakan dokter benar, bahwa Shanaya bisa mendapatkan ingatannya kembali. "Passport dan visanya tidak ada," kata Amora. Wajahnya langsung berubah karena Isaak malah membentak setelah dia menjawab."Sudah aku bilang simpan saja dokumen penting Shanaya di kamar kita!"Amora seketika merasa apa yang dilakukannya selama ini ke Shanaya dan Isaak sia-sia. Perasaan Amora yang sedang hamil 5 bulan menjadi sangat sensitif hingga hatinya sakit mendengar bentakan dari Isaak."Apa kamu lupa? Kamu sendiri yang berpesan harus melakukan semuanya senatural mungkin, agar jangan sampai Shanaya mencurigai sesuatu," balas Amora. "Kenapa kamu malah membentak-ben
Shanaya memilih untuk mandi. Dia merasa sangat tenang saat tubuhnya berada di dalam air yang dingin. Dalam pikirannya Shanaya hanya menduga kalau dirinya kelelahan sekaligus butuh penyesuaian.Shanaya mengusap kepalanya yang memang baru sedikit ditumbuhi oleh rambut. Dia menyentuh bagian di mana bekas jahitan operasi yang sudah dia jalani berada. Berpikir betapa mengerikannya waktu yang harus dia lewati beberapa bulan lalu.Shanaya diam, dia larut dalam perasaan sedih yang tiba-tiba menyergap hati, kemudian memilih menenggelamkan wajahnya beberapa detik ke bath up sebelum muncul kembali dengan napas tersengal."Aku butuh udara segar, sebaiknya aku pergi jalan-jalan," lirih Shanaya. Dia pun beranjak dari bath tub, mengambil handuk lalu melilitkan kain berbahan wol itu ke badan sambil bercermin. Shanaya mengusap wajah, memandang penampilannya yang dirasanya sangat buruk jika tidak memakai rambut palsu seperti ini."Kira-kira gadis macam apa kamu itu? Apa kamu tidak ingin mengingat masa
Shanaya lagi-lagi meneteskan air mata meski lift yang membawanya sudah turun dua lantai. Dia merasa ada yang janggal setelah bertemu pria di depan lift tadi, hingga Shanaya pun memutuskan menekan tombol lift untuk naik kembali ke atas. Namun, saat lift terbuka di lantai kamarnya lagi, Shanaya mau tak mau harus mundur dan menutup lift itu diam-diam. Shanaya seketika merasa bodoh saat melihat seorang wanita membuka pintu kamar â yang berada tepat di sebelah kamarnya untuk menyambut pria tadi."Pria hidung belang," gerutu Shanaya. Dia mendongak sambil mengusap mata agar tak lagi menangis. "Otakku memang bermasalah, bagaimana bisa aku menangis di depan pria tak di kenal," imbuhnya.Shanaya pun berlalu menuju restoran hotel untuk makan malam. Sedangkan Oriaga seketika limbung.Sesaat setelah masuk ke kamar president suit miliknya, Oriaga menyanggahkan tangan kirinya ke dinding."Anda baik-baik saja?""Aku baik-baik saja," kata Oriaga. Dia diam sejenak sebelum meminta wanita yang merupakan
Pak Wira menutup panggilan dari Oriaga lantas diam memandangi layar ponselnya. Beberapa saat yang lalu, Isaak menghubungi Pak Wira untuk meminta bantuan. Isaak tahu tidak mungkin meminta bantuan Oriaga karena kontaknya sudah diblokir oleh pria itu, hingga harapan satu-satunya bagi Isaak hanyalah Pak Wira. Dan kini Pak Wira bingung karena Oriaga malah memintanya menghubungi Isaak."Mereka benar-benar seperti anak kecil, apa susahnya memakai nomor lain untuk menghubungi atau membuka blokir dan menghubungi sendiri."Pak Wira pun memasukkan ponsel ke dalam kantong celana sambil mengeluh. Pria paruh baya itu sedang dalam perjalanan menuju penthouse milik Oriaga. Lima bulan yang lalu Oriaga memutuskan untuk tidak terus tinggal di rumah utama, dia terkadang memilih tinggal di penthouse dan setiap hari Pak Wira harus ke sana untuk mengecek pekerjaan para pelayan â yang juga harus mondar-mandir rumah utama dan kediaman pribadi Oriaga. "Aku tidak akan menjadi penghubung kalian, silahkan bersi
Shanaya duduk diam bak boneka tanpa nyawa. Tatapannya lurus ke ujung ranjang dengan tubuh yang terasa mengambang. Shanaya merasa seperti baru terbangun dari tidur panjang tapi malah mendapat mimpi buruk. âMaaf lama mencari burger untukmu.â Shanaya menoleh memandang Andra yang masuk ke dalam kamar. Di tangan pemuda itu tampak bungkusan berisi makanan yang dirinya minta. âTerima kasih, aku tadi sudah bertekad tidak akan mau makan kalau sampai kamu tidak datang membawa apa yang aku mau,â kata Shanaya menggunakan nada manja. Andra tertawa lega, setelah memberikan makanan itu ke Shanaya, dia lantas mengulurkan tangan mengusap rambut Shanaya yang mulai menyantap burgernya. âPelan-pelan,â kata Andra. Shanaya pun mendongak dan mengangguk, membiarkan Andra mengusap sudut bibirnya sebelum duduk di sebelahnya dan bicara. âAku sebenarnya tidak ingin meninggalkanmu di sini, tapi aku harus mandi, meletakkan barang-barangku dulu di rumah, apa tidak masalah kalau aku tinggal sebentar?â Pertan
"Shana! Anak Papa."Isaak yang baru saja tiba di rumah sakit langsung memeluk Shanaya yang sedang duduk di ranjang sambil berbincang bersama Andra. Karena kehadiran Isaak itu, Andra harus rela melepas pegangan tangannya ke Shanaya. Pemuda itu tersenyum melihat Isaak akhirnya datang dan Shanaya tersenyum membalas pelukan Isaak."Ini akibatnya kalau pergi tidak bilang-bilang, jangan ulangi lagi!" Ucap Isaak, dia pun mengembuskan napas lega. Perasaan takut kehilangan Shanaya membuat Isaak sampai tidak bisa tidur sepanjang perjalanan menuju Indonesia. "Mama akan menyusul bersama Issa, karena harus mendapat surat rekomendasi dulu dari dokter kandungannya sebelum terbang," kata Isaak.Mendengar itu Shanaya pun merasa bersalah, dia ingin Isaak memberitahu Amora agar tidak usah menyusul ke Indonesia."Mamamu bilang dia ingin liburan juga, mumpung Issa juga libur."Karena alasan itu Shanaya tak mendebat lagi, mereka pun berbincang membahas kondisi Shanaya sambil menunggu dokter datang untuk
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, âApa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?â Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. âBukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?â tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. âMereka sangat bahagia,â ucap Shanaya ke Oriaga. âKita juga,â balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,âSaya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.âTernyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.âBaju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--â Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.âKenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,â ucap Shanaya.âMemangnya Pak Wira men
âKenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,â ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.âItu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,â ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.âApak amu sudah siap?â tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,âBagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?â âLancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,â jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. âKenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,â ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. âAku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,â balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. âSombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.â Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.âJangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,â ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.âApa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,â ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.âApa kondisi Anda sudah membaik?â tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. âAda apa?â Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. âPaman ada di mana?â tanya Andra dengan suara yang masih panik. âAku sedang ada urusan di luar,â jawab Oriaga, âada apa?â tanya pria itu lagi. âBagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. âSudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,â ucap Oriaga dari seberang panggilan. âBagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,â balas Andra. âTenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,â ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.âApa kamu masih di rumah sakit?â tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.âIya,â jawab Mauri dari seberang panggilan.âAku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,â ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.âSyukurlah kalau memang seperti itu.âAda kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.âSampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.ââHm ⊠aku akan coba bertanya dulu ke Papa,â balas Mauri dari seberang panggilan.âAku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,â ucap Andra.âPasti aku kabari segera,â balas Mauri. âOh ⊠ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. âAndra, tumben kamu datang pagi sekali?â sapa Shanaya. âIya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. âItu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?â Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, âMaksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.â Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. âMakanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,â ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
âTidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,â ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. âBaiklah, tapi hati-hati,â ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.âTunggu, saya ingin bicara dengan Anda,â ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.âIzinkan saya bicara pada Anda Pak,â ucap Andra membujuk.âTidak ada yang perlu