“Kenapa kamu seperti itu?” tanya Arumi saat melihat Masayu yang sudah mabuk berat sedang berpelukan dengan Kirana. Masayu mengurai pelukan dan hanya menoleh Arumi, tapi tidak menjawab pertanyaan adiknya itu.Arumi lantas memandang Kirana karena Masayu mengabaikannya, tapi keponakannya itu juga tak menjelaskan apa pun. Arumi pun terus memperhatikan Masayu, hingga kemudian menyimpulkan sendiri dengan apa yang terjadi pada sang kakak“Patah hati? Kamu begini karena cinta ‘kan?” Terka Arumi karena tahu terakhir kali Masayu bersikap persis seperti ini saat patah hati. “Kamu gila begini hanya karena sakit hati? Kamu ini memang sangat lemah jika soal cinta,” cibir Arumi dengan senyum miring di wajah.Kirana pikir karena mabuk Masayu tidak akan paham sedang disindir oleh Arumi. Namun, setelah mendengar ucapan tantenya itu Masayu mengambil gelas lantas melemparnya tepat di bawah kaki Arumi. Terang saja Arumi terkejut sampai berjengket kaget. Masayu tidak terima disebut lemah oleh Arumi yang
“Tidak perlu membujukku, aku tidak akan merubah pikiranku,” ucap Oriaga yang sadar Masayu terus mengikutinya menuju kamar. Oriaga menghentikan langkah kaki, dia menoleh sampai Masayu kaget dan hampir menubruk badannya. “Kakak, jangan pedulikan Rumi. Aku yakin dia asal bicara tadi.” Masayu ketakutan, padahal di belakang Oriaga wanita itu ikut merencanakan hal buruk bersama Arumi. “Aku tidak peduli dia asal bicara atau serius dengan ucapannya, yang pasti aku akan tetap pergi dari sini. Tenang saja aku akan memberikan semua yang kalian inginkan, aku hanya akan mengambil hak yang merupakan hasil kerja kerasku sendiri.” Oriaga hampir membuka pintu kamar, tapi Arumi lebih dulu keluar dan mengancam. “Kalau kakak pergi dari sini, lebih baik kakak bakar saja rumah ini.” Oriaga menarik sudut bibir, dia mengurungkan niat masuk ke kamar dan memilih berbelok ke lift setelah Arumi menantangnya seperti tadi. Masayu yang geram mendekat kemudian mendorong pundak Arumi, ingin sekali dia menampar
Setelah seminggu menunggu, hari itu Shanaya akhirnya pergi bersama Isaak ke Jerman. Dia tak hanya pergi bersama Isaak, karena Amora dan Issa pun ikut serta.Shanaya memandang jalanan yang dilewati dari dalam mobil saudara Isaak yang menjemput mereka di bandara. Shanaya benar-benar tak menyangka jika dirinya akan bepergian ke dua negara berbeda hanya dalam kurun waktu kurang dari dua bulan.“Bagaimana menurutmu?” tanya Amora saat menyadari Shanaya yang tersenyum kecil melihat ke luar jendela.Shanaya menoleh ke Amora, lantas menjawab, “Benar-benar berbeda dari Indonesia. Apa di rumah yang akan kita tinggali nanti juga seperti ini?”“Tentu saja, kamu malah bisa melihat bukit dan padang rumput nanti,” jawab Amora karena lega melihat Shanaya yang senang.Mereka akan pergi ke rumah saudara Isaak yang berada di kota Heidelberg. Perjalanan mereka terkesan menyenangkan karena dalam pikiran masing-masing perjalanan ini seperti sebuah liburan keluarga.Saat sampai di rumah paman Isaak yang bern
"Lihat! siapa yang semringah dan lahap makannya? Apa kamu tidak merasa kalau istrimu agak kurusan Ori?"Isaak terus saja menggoda Shanaya, dia ikut bahagia melihat putrinya kembali bersemangat. Meskipun hubungan mereka juga masih dingin bak minuman soda yang sedang ditenggaknya.Oriaga yang baru saja meletakkan potongan daging ke piring Shanaya pun tertawa, dia mengusap puncak kepala istrinya yang tersenyum malu-malu mendengar omongan Isaak. Oriaga tak malu menunjukkan perasaannya ke Shanaya, dia bahkan tanpa sungkan merangkul dan mengusap konstan lengan istrinya itu."Ini aku punya hadiah untuk kalian," kata Isaak sambil mengeluarkan kunci dari dalam kantong celana dan meletakkan kunci itu di dekat piring Oriaga."Nikmati waktu kalian, anggap saja hadiah bulan madu dariku," imbuh Isaak.Oriaga memandang kunci rumah yang Isaak berikan lantas menoleh ke Shanaya. Istrinya itu tersenyum manis kemudian menyandarkan kepala ke lengannya. Melihat betapa manja Shanaya ke Oriaga membuat Amora
Melihat Shanaya ketakutan, Oriaga seolah baru sadar kalau sudah membuat sang istri trauma. Bagaimana reaksi Shanaya saat dia tinggalkan sebentar cukup membuatnya khawatir.Oriaga memeluk erat Shanaya malam itu, dia semakin merasa bersalah saat menyadari dalam tidurnya pun Shanaya masih saja ketakutan. Seperti tidak nyenyak, tangan kiri Shanaya terus menggenggam erat sisi kaosnya."Aku di sini, aku tidak akan pergi ke mana-mana," bisik Oriaga.Rasa bersalahnya semakin besar kala melihat air mata menetes di sudut mata Shanaya. Oriaga tak pernah menduga akan ada satu mahkluk di bumi ini yang sangat mencintai dan melekat padanya."Maaf sudah membuatmu seperti ini, terima kasih sudah mau mencintai pria brengsek sepertiku," lirih Oriaga. Dia berakhir terlelap juga sambil terus memeluk Shanaya.Pagi harinya Shanaya bangun lebih dulu, saat membuka mata dia bersyukur karena pemandangan yang pertama kali dia lihat adalah wajah Oriaga. Shanaya menyentuhkan tangan ke pipi pria itu, dia memindai pa
Oriaga pun mengajak Shanaya jalan-jalan setelah sarapan. Mereka menikmati pemandangan hamparan rumput yang terlihat hijau dan begitu indah. Udara di sana sangat sejuk, bahkan angin berembus pelan hingga begitu menenangkan. Shanaya tampak senang. Sepanjang kaki melangkah dia terus merangkul lengan Oriaga. “Aku senang berada di sini. Udaranya segar, lingkungannya tenang dan bagaimana bisa aku makah buah cherry langsung petik dari pohonnya seperti ini,” celoteh Shanaya yang terlihat begitu senang. Dia merogoh kantong cardigan dan mengeluarkan buah bulat kecil berwarna merah itu dari sana lalu memasukkannya ke mulut.Oriaga menatap Shanaya yang terlihat begitu bahagia, hingga dia pun bertanya, “Apa kamu mau menetap di sini saja?”"Apa bisa?" balas Shanaya antusias."Tentu saja, apapun itu aku akan mengusahakannya untukmu."Shanaya tersipu, mungkinkah kalau dia meminta dibangunkan 1000 candi Oriaga juga akan mengabulkannya?Shanaya tersenyum-senyum bahagia. Dia dan Oriaga masih menikmati
Aroma masakan yang sangat sedap menguar dari dapur rumah yang ditinggali Shanaya dan Oriaga. Sejak setengah jam yang lalu pasangan itu tampak kompak mempersiapkan masakan untuk mereka santap bersama.Shanaya bahkan tak hentinya mengembangkan senyum. Dia memasukkan bahan-bahan ke dalam panci sambil sesekali memandang Oriaga yang sedang mengolah bahan masakan lain di wajan."Apa ini hidup yang kamu impikan?" Tanya Shanaya saat Oriaga menggelayuti dirinya yang sedang menunggu sup matang di depan kompor."Hm ... karena ini sangat tenang." Setelah mengatakan itu Oriaga sengaja mematikan api kompor hingga membuat Shanaya menoleh. "Kenapa?" Shanaya mengernyit. "Itu sudah matang, tidak perlu memasak sayur lama-lama," kata Oriaga memberi alasan.Namun, Shanaya tahu apa yang diinginkan dan apa yang ada di pikiran Oriaga sekarang. Menunggu selama tiga hari lebih setelah pertemuan mereka pasti sulit untuk Oriaga."Apa kamu ingin itu?" "Hm .... hanya saja aku takut kalau tubuhmu masih belum k
Meskipun merasa enggan dan masih memendam amarah, tapi Masayu hari itu pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Arumi. Dia mendengar kalau sang adik mendapat sepuluh jahitan di kepala karena pukulan vas bunga yang dilakukan oleh Kirana. Saat baru saja masuk lobi, Masayu yang sibuk memasukkan kunci ke dalam tasnya tak sadar seorang pria sedang mengamati. Ibunda Kirana itu terus melangkahkan kaki, hingga saat menatap ke depan, dia kaget mendapati Malik berdiri tak jauh darinya. Masayu sebenarnya ingin menghindar, tapi sayang terlambat karena Malik terlanjur mendekat. Dia pun berusaha mengabaikan dengan tetap berjalan ke arah Malik, bukan untuk menyapa pria itu, tapi karena kamar Arumi memang harus melalui sana.Malik terus saja memandang Masayu yang berjalan ke arahnya, hingga saat akan melewati, Malik langsung menahan tangan Masayu.“Apa yang kamu lakukan?” Masayu marah sambil berusaha melepas paksa tangan Malik yang menggenggam pergelangan tangannya.“Aku bisa menjelaskan semua yang terja
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu