Bocoran : Season 2 waktunya lompat ya geng
Sementara Masayu sedang menjenguk Arumi, Kirana masih saja gelisah takut kalau sampai sang tante melaporkannya ke polisi. Meskipun Masayu sudah menegaskan bahwa akan melindungi Kirana, tapi tetap saja melukai orang sampai masuk rumah sakit, menjadi beban mental bagi Kirana yang sudah berniat memperbaiki diri. Di kampus, Kirana terus saja menghindari Elkan. Dia bahkan berusaha keras untuk tak berpapasan dengan pemuda itu. Seperti kali ini, Kirana langsung putar arah saat melihat Elkan datang dari arah berlawanan, Sikapnya membuat Adeline dan Lola bingung.Elkan sendiri merasa ada yang janggal dan aneh karena Kirana mendadak menghindar.“Kenapa dia terus menghindariku?” Elkan heran melihat Kirana yang mengambil jalan lain setelah tatapan mereka bersirobok beberapa saat.Elkan berpikir setelah malam yang mereka habiskan bersama, Kirana pasti akan semakin tidak bisa lepas darinya, tapi ternyata semua pemikirannya itu salah. Kembaran Andra itu malah memberi jarak seolah enggan berdekata
Shanaya tak pernah menyangka kalau bulan madunya dan Oriaga akan dilakukan di Jerman. Meskipun ada masalah di balik semua ini, tapi dia bersyukur kini bisa terus bersama dengan pria yang sangat dicintainya itu. Shanaya dan Oriaga saat ini berjalan menyusuri sebuah Katedral kuno, mereka terus berjalan sambil saling menggenggam tangan hingga Shanaya melepas karena melihat banyak orang yang berkerumun di dekat sebuah tenda. “Dasar!” Gerutu Oriaga sambil menyusul langkah Shanaya. Ternyata di sana ada seorang wanita yang membuka jasa ramalan nasib menggunakan kartu. Melihat itu Oriaga pun menggeleng, dia berbisik ke telinga Shanaya untuk pergi saja dari sana.“Tidak usah ikut-ikutan, aku tidak percaya kamu akan tertarik dengan hal semacam ini,” kata Oriaga. Shanaya menoleh sambil memajukan bibir, bukannya percaya tidak percaya tapi ada rasa penasaran di hatinya sebagai manusia biasa. “Aku ingin mencoba, bagaimana kalau meramal nasib pernikahan kita?” Shanaya tampak memasang muka melas
"Bagaimana hasil ramalannya, apa bagus?" Oriaga bertanya dengan gaya sedikit meledek. Menyadari wajah Shanaya tak semringah, dia pun menduga bahwa apa yang disampaikan peramal itu pasti sesuatu yang tidak istrinya sukai."Duduklah! Aku panggilkan pelayan dulu untuk pesan minuman untukmu!"Bukannya menjawab, Shanaya malah mematung dengan mata merambang. Dia tak peduli ada banyak orang di sana dan langsung menghambur memeluk Oriaga."Kenapa?" Tanya Oriaga kebingungan. Dia menduga pasti masalah ramalan itulah yang membuat Shanaya seperti ini. "Untuk itu aku tadi melarangmu, apa yang dia katakan padamu? Haruskah aku datangi dan marahi peramal abal-abal itu?" Shanaya menggeleng menjawab pertanyaan Oriaga. Dia semakin memeluk erat tubuh Oriaga sambil sesekali menahan isak tangis."Apa dia bilang aku akan meninggalkanmu? Atau kita akan berpisah?"Shanaya menggeleng lagi, hingga Oriaga semakin bingung dan akhirnya hanya bisa menepuk-nepuk lembut punggung Shanaya."Apapun yang dikatakan peram
Shanaya berjalan keluar rumah dengan senyum merekah. Dia menuruni teras tangga dengan perasaan riang. Gadis itu berbelok menyusuri trotoar sambil menikmati pemandangan indah dan udara segar.Shanaya menyentuh permukaan perutnya, tersenyum dan berbisik mengajak calon anaknya bicara. "Bunda akan selalu menjagamu, Bunda juga akan memastikan tidak ada seorangpun yang bisa menyakitimu."Shanaya kembali mengayunkan langkah, hingga melihat pohon cherry dan berhenti untuk memetik dan menyantapnya langsung seperti sebelum-sebelumnya."Bagaimana kalau seandainya kamu terlahir perempuan dan Bunda beri nama kamu Cherry, lucu 'kan?" Shanaya terkekeh kecil, dia tak menyadari bahwa Oriaga ternyata menyusul.Ya, Oriaga langsung bangkit dari kursi dan menutup laptop tepat setelah Shanaya menutup pintu rumah tadi. Dia merasa tidak tenang membiarkan Shanaya berkeliaran seorang diri. Meski kata Isaak lingkungan di sekitar rumah yang mereka tinggali aman, tapi tetap saja mereka bukan warga negara asli.S
"Issa kembalikan! Jangan usil!""Tidak mau, tidak mau! Kakak lebih cantik pakai yang warnanya hitam."Shanaya akhirnya berhenti di dekat kursi di mana Isaak dan Amora duduk. Dia menoleh dua orang itu lantas mengadu tentang kelakuan Issa yang lagi-lagi mengambil rambut palsu miliknya yang berwarna merah kecokelatan."Papa! Tolong bilang ke Issa jangan suka menggangguku," rengek Shanaya sebelum menghentak-hentakkan kaki. Gadis itu lantas duduk di samping Isaak dan memeluk lengan dengan sangat manja."Iya nanti Papa bilang ke Issa." Setelah mengatakan itu, Isaak langsung memanggil nama putranya yang memang sedikit usil agar mengembalikan barang milik Shanaya."Issa kembalikan wig kakakmu, kalau kamu bandel nanti Papa dan Mama tidak akan mau lagi kamu ajak belanja mainan," kata Isaak.Ucapannya barusan cukup membuat bocah itu berpikir, tapi tidak membuatnya segera melakukan apa yang diminta, hingga Amora ikut angkat bicara. "Issa, siapa yang sudah janji akan selalu baik ke kakaknya? Ken
Setelah mengirim pesan, Shanaya memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dia menoleh ke luar jendela mobil yang dikemudikan Leonel sebelum mengajak pria itu bicara."Leo, papa bilang kamu sudah menjadi sopir pribadiku sejak aku masih kuliah di Indonesia, apa benar?" Leonel yang tak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu pun kaget. Dia memandang Shanaya dari pantulan kaca spion tengah dan merasa sedikit terintimidasi dengan sorot mata gadis itu."Lalu di mana kamu saat aku mengalami kecelakaan? Apa kamu kenal teman-teman kuliahku, bagaimana aku dulu? Apa aku sombong? Sok bos atau sangat manja?" Shanaya mencecar Leonel dengan banyak pertanyaan, inilah yang membuat Isaak kadang was-was dan terus mengingatkan Leonel dan orang-orang sekitar Shanaya, tentang skenario yang sudah dirinya rancang sedemikian rupa."Hari di mana Anda mengalami kecelakaan saya izin cuti, Nona. Dan saya sangat menyesal karena melakukan itu sehingga Anda harus membawa mobil sendiri."Mau tak mau Leonel pun ikut
"Tuan, pengacara Anda mengirimkan dokumen yang Anda minta."Oriaga sejak tadi diam melamun memandang ke luar jendela penthouse miliknya. Pria itu tampak memandang Pak Wira dari pantulan kaca. Dia mengucapkan terima kasih ke kepala pelayannya itu — yang dengan setia menemani dirinya semenjak kembali ke Indonesia."Apa Anda sudah minum obat, Tuan?" Pak Wira memandang gelas berisi air mineral yang masih utuh, menandakan bahwa Oriaga belum meminum obatnya. Pak Wira sengaja bertanya agar Oriaga merasa sungkan."Sebentar lagi! Pak Wira tidak perlu khawatir. Mana mungkin aku tidak meminumnya? Aku masih ingin hidup lebih lama," kata Oriaga."Tuan!" Pak Wira merasa sangat sedih mendengar Oriaga berkata seperti ini. Sekitar setahun yang lalu setelah Oriaga pergi, Pak Wira juga ikut pergi dari rumah utama. Hingga beberapa bulan kemudian Oriaga mencarinya dalam kondisi sangat terpuruk, bak anak kepada bapaknya, Oriaga menceritakan apa yang terjadi pada Pak Wira.Oriaga begitu terpukul melihat S
Amora buru-buru masuk ke kamar Shanaya. Dia menuju lemari gadis itu untuk mengecek sesuatu, karena Isaak sedang menelepon Amora dan bertanya apakah Shanaya pamit pergi liburan padanya.Seperti memiliki firasat yang tidak baik, Isaak takut kalau Shanaya sampai kenapa-napa. Dia jelas tidak ingin kehilangan putrinya itu, apalagi kalau ternyata yang dikatakan dokter benar, bahwa Shanaya bisa mendapatkan ingatannya kembali. "Passport dan visanya tidak ada," kata Amora. Wajahnya langsung berubah karena Isaak malah membentak setelah dia menjawab."Sudah aku bilang simpan saja dokumen penting Shanaya di kamar kita!"Amora seketika merasa apa yang dilakukannya selama ini ke Shanaya dan Isaak sia-sia. Perasaan Amora yang sedang hamil 5 bulan menjadi sangat sensitif hingga hatinya sakit mendengar bentakan dari Isaak."Apa kamu lupa? Kamu sendiri yang berpesan harus melakukan semuanya senatural mungkin, agar jangan sampai Shanaya mencurigai sesuatu," balas Amora. "Kenapa kamu malah membentak-ben
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu