“Tak masalah kamu menganggapku seperti itu, tapi coba lihatlah dari sisi aku sebagai suami dan ayah yang ingin melindungi istri juga anaknya.” Shanaya merasa seperti tertampar dengan kata-kata Oriaga. Dia memejamkan mata hingga air matanya deras mengalir sampai mengenai lengan Oriaga yang masih melingkar di dadanya. Oriaga pun mengurai pelukan dan membalik pelan tubuh Shanaya, dia mengusap pipi sebelum membawa Shanaya ke dalam pelukan. Shanaya sendiri malah semakin tergugu, dia merasa sangat egois. Bagaimana bisa tidak memikirkan calon anaknya tapi malah egonya sendiri. Namun, meski begitu Oriaga juga tidak menyalahkan. Oriaga tahu Shanaya memang sedang berada di usia di mana cinta lebih utama dari segalanya. “Pergilah ke Belanda, di sana ada Isaak dan istrinya yang akan menjagamu, juga ada Andra yang bisa menjadi temanmu,” ucap Oriaga. “Apa kamu tidak akan menemui sama sekali sampai anak ini lahir?” Lirih Shanaya. Perasaannya campur aduk, sebagai seorang wanita pasti sangat ber
Ariani buru-buru menutup koper berisi uang itu dan meletakkannya di bawah kaki, tanpa basa-basi dia bergegas membubuhkan tanda tangan ke surat perjanjian yang Pak Wira sodorkan. Shanaya sendiri yang baru saja keluar dari kamar Nugroho melihat dan hanya diam. Dia tahu Oriaga pasti sudah mempersiapkan semuanya untuk melindungi ayahnya. “Kita pulang sekarang, Nona?” Pak Wira bertanya sambil memasukkan perjanjian yang sudah ditandatangani Ariani ke dalam amplop. Shanaya sendiri membalas dengan anggukan kepala, sedangkan Ariani menoleh dan berdiri. Wanita itu mendekat ke Shanaya dan menepuk lengan sang anak tiri. “Kamu tenang saja! Belajar yang rajin, urus urusanmu dengan baik, tidak perlu khawatir dengan ayahmu, aku pasti akan menjaganya baik-baik,” kata Ariani. Senyuman lebar milik Ariani memberi tanda ke Shanaya bahwa uang yang diberikan oleh Oriaga pasti cukup membuat ibu tirinya itu bahagia. Shanaya hanya mengangguk lemah, setalah itu pamit untuk pulang ke rumah utama. Tujuan Sha
"Apa aku bicara begitu?" Tanya Isaak sok berpura-pura linglung. "Aku cuma bercanda tadi, aku sebenarnya sedang menghina Oriaga yang sudah tua," imbuhnya menutupi rasa serba salah yang mendera.Beruntung saat Andra masih menatap curiga, putra Isaak datang mendekat dan seketika mengalihkan fokus pemuda itu.“Kak Andra, main denganku, ayo!” Issa langsung menarik tangan Andra untuk diajak pergi bermain bersama.“Iya, mau main apa?” Andra langsung berdiri karena Issa menariknya kuat. Karena Issa bersekolah di sekolah Internasional maka Bahasa Inggris anak itu pun terbilang cukup mumpuni.“Bola,” jawab Issa.Andra pun pamit ke Isaak dan Amora untuk ikut Isaa ke halaman dan menemani bocah itu main.Kini tinggal Isaak berdua bersama Amora di ruang keluarga. Amora sendiri terlihat menatap Isaak yang sedang memperhatikan ke arah Issa dan Andra pergi.“Apa kamu benar-benar tidak akan memberitahu Shanaya kalau kamu ayahnya?” tanya Amora.“Aku takut,” jawab Isaak sambil menggelengkan kepala. Dia
“Kenapa Pak? Apa dia sakit?” Tanya Shanaya cemas, dia panik saat Pak Wira malah diam dan bertanya- “Bolehkah saya memeluk Nona?” Shanaya membeku lantas mengangguk lemah. Tak perlu menanti jawaban dari Pak Wira, dia sudah tahu kalau Oriaga memang tengah sakit saat ini. “Nona tenang saja! Kondisi Tuan baik. Dokter sudah memeriksa kondisinya. Memang aneh, lazimnya orang seumuran Tuan Oriaga terkena darah tinggi, tapi Tuan malah darah rendah,” ucap Pak Wira seraya mengurai pelukan.“Dia benar-benar baik-baik saja ‘kan Pak?” Tanya Shanaya tak percaya. “Tuan mengeluh pusing, hari ini dia tidak pergi ke kantor,” jawab Pak Wira. Dia menepuk lengan Shanaya kemudian berpesan- “Nona, jaga kandungan baik-baik! Apa yang Tuan lakukan saat ini jelas semata-mata untuk melindungi Nona dan calon anaknya, Tuan menginginkan keluarga dan saat ini dia sedang dalam usaha mewujudkan impian itu.” Shanaya hanya mengangguk tak sanggup membalas perkataan Pak Wira, dia buru-buru mengusap pipinya yang basah t
Kirana duduk di ranjang kamarnya setelah berbincang bersama Oriaga. Gadis itu tampak memegang ponsel lantas mendial nomor Andra untuk bisa berbincang dengan saudaranya itu.“Halo."Suara Andra terdengar dari seberang panggilan. Kirana sendiri malah kaget karena perbedaan waktu tapi Andra sigap menerima panggilannya.“Terima kasih sudah mengangkat teleponku, kalau tidak aku pasti kesepian,” ujar Kirana sambil merebahkan tubuhnya di kasur.“Kenapa? Apa ada masalah?” tanya Andra dari seberang.“Hm … ada. Sejak kamu pergi, banyak masalah yang terjadi,” jawab Kirana. Dia pun akhirnya menceritakan soal kejadian yang menimpa Shanaya, hingga akhirnya Shanya diusir dari rumah oleh Oriaga.“Semua jadi berantakan di rumah,” ujar Kirana setelah selesai cerita.“Tidak usah membahas Shanaya lagi,” ucap Andra tiba-tiba dari seberang panggilan, tentu saja pemuda itu hanya berpura-pura tak tahu serta terdengar tak peduli sama sekali dengan nasib gadis yang pernah sangat dia cintai.Kirana pun diam, me
Andra masih bingung dengan yang terjadi. Dia terus memandang wanita yang wajahnya penuh luka lebam dan terlihat frustasi itu. Dia yang awalnya tak mau ikut campur tapi nahas malah menyaksikan pertengkaran itu, kini malah berdiri mematung sambil memandangi wajah si wanita.Wanita itu pun memalingkan muka dari Andra dan kini kembali fokus ke pria yang ada di dalam. Dia terlihat begitu waspada saat melihat pria itu hendak melangkah keluar.“Jangan mendekat! Masuk, atau aku akan lompat!” ancam wanita itu sambil menunjuk ke dalam. Satu tangan sudah memegang pembatas balkon, satu langkah saja diambil oleh pria di hadapannya, maka dia akan benar-benar melompat.Andra sangat terkejut mendengar ucapan wanita itu, bahkan kedua kakinya secara impulsif bergerak maju seolah hendak menahan wanita itu.Pria yang ada di hadapan wanita itu pun terkejut bukan main. Dia takut jika sampai wanita itu benar-benar melompat.“Jangan melakukan hal bodoh. Kemarilah! Kemari, aku tidak akan melakukan apa pun asa
Setelah menempuh perjalanan lumayan lama akhirnya Shanaya pun sampai di Belanda. Sesampainya di Bandara, dia dijemput Isaak yang sudah menantinya sejak tadi. Pria itu bahkan sengaja menjemput satu jam sebelum jadwal pesawat Shanaya tiba, secara pribadi tanpa sopir.Isaak sangat antusias, jujur dia merindukan sosok putrinya. Hingga saat melihat Shanaya berjalan menuju arahnya, Isaak pun melambai penuh semangat."Shanaya!"Teriakan Isaak membuat Shanaya sedikit malu. Untung saja ini di Belanda, jadi orang-orang tak peduli. Coba saja masih di Indonesia tentunya Shanaya sudah menjadi pusat perhatian. “Bagaimana penerbanganmu?” tanya Isaak sambil mengambil alih koper milik Shanaya.“Lumayan melelahkan,” jawab Shanaya sambil memaksakan senyum meski hatinya masih begitu sedih.Isaak mengangguk, melihat kepiluan di wajah Shanaya membuat hati Isaak ikut ngilu. Namun, dia sudah berjanji pada Oriaga dan dirinya sendiri untuk membuat Shanaya nyaman dengan hanya membahas hal-hal menyenangkan. Me
Sementara di Indonesia, Oriaga yang kondisinya masih sedikit kurang sehat harus pergi bekerja karena beberapa urusan memang tidak bisa dia serahkan ke orang lain. Meskipun wajahnya tak secerah biasanya, tapi dia berusaha semaksimal mungkin terlihat sama seperti sebelumnya. Aston tidak tahu alasan di balik Oriaga memilih berpisah dari Shanaya, yang dia tahu atasannya itu tidak benar-benar berpisah, karena dia mendapat perintah untuk memalsukan dokumen perceraian sebagaimana yang Oriaga minta. “Pak, saya mendapat pesan dari Pak Wira untuk mengingatkan Anda minum vitamin,” ucap Aston dengan nada yang sangat lirih. Dia takut jika Oriaga malah marah dan menganggapnya cerewet. “Hm… terima kasih. Kalau Pak Wira mengirimimu pesan lagi dan memintamu untuk mengingatkanku minum vitamin, katakan saja kalau aku sudah menyalakan alarm di ponsel,” balas Oriaga. Aston diam sembari mengatupkan bibir rapat-rapat. Dulu dia sangat menginginkan Oriaga bisa jauh lebih tenang dan kalem, tidak suka marah
Hari itu mungkin menjadi hari yang paling ditunggu oleh semua orang. Sebuah pesta pernikahan digelar megah, senyum serta canda tampak kentara di wajah keluarga terutama dua pasang mempelai yang kini sedang berdansa. Oriaga melihat Shanaya yang tersenyum, lantas mendekatkan bibir ke telinga istrinya itu kemudian berbisik, “Apa kamu ingin pesta pernikahan seperti ini?” Shanaya semakin melebarkan senyum lantas menoleh suaminya. “Bukankah sudah terlambat kalau kita membuat pesta?” tanya balik Shanaya. Oriaga menanggapi ucapan Shanaya dengan senyuman karena apa yang dikatakan memang benar. Pesta pernikahan Andra, Mauri, Elkan, dan Kirana berlangsung hari itu. Shanaya menatap ke para pengantin baru itu, setelah semua yang dilalui, kini semua orang mendapat kebahagiaan tak terkecuali. “Mereka sangat bahagia,” ucap Shanaya ke Oriaga. “Kita juga,” balas pria itu sambil menggenggam erat tangan Shanaya. Shanaya melebarkan senyum lantas menyandarkan kepala di pundak Oriaga.
Pagi itu selepas Oriaga berangkat ke kantor, Shanaya tampak duduk di taman bersama Pak Wira yang punya tugas tambahan mengawasinya satu kali dua puluh empat jam.Pak Wira terlihat membawa buku catatan dan pulpen di tangannya. Pria tua itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di hidung sebelum berkata,“Saya sudah membuat daftar barang yang harus disiapkan sebelum Anda melahirkan.”Ternyata diam-diam Pak Wira memiliki catatan barang apa saja yang harus disiapkan Shanaya untuk menyambut kelahiran anaknya.Shanaya pun memperhatikan Pak Wira yang memegang buku catatan itu, hingga mulai membaca apa saja yang tertulis di sana.“Baju new born lima lusin, baju tidur tiga lusin, selimut sepuluh, sepatu sepuluh, lalu--” Belum juga Pak Wira selesai menyebutkan semua barang yang dicatat, Shanaya sudah menghentikan pria itu.“Kenapa banyak sekali, Pak? Bayi tidak perlu baju sebanyak itu, lagipula yang Pak Wira sebutkan itu baju, bukan popok sekali pakai,” ucap Shanaya.“Memangnya Pak Wira men
“Kenapa mendadak seperti ini? Sebenarnya tidak perlu dijemput tidak apa-apa, aku bisa pergi ke sana sendiri,” ucap Mauri. Dia terkejut karena Andra tiba-tiba menghubungi.“Itu Kirana sudah di bawah, tidak masalah! Pergi saja bersama dengannya,” ucap Andra dari seberang panggilan.Mauri benar-benar tak percaya mendengar ucapan Andra, tapi karena tak ingin Kirana lama menunggu, Mauri pun buru-buru menyambar tasnya menuju lobi.Hari itu secara mendadak Andra memberitahu bahwa Kirana akan datang untuk mengajak Mauri pergi ke butik.Mauri yang merasa belum mengenal dekat Kirana jelas merasa sungkan, apalagi saat sampai di lobi Kirana sudah berdiri di sana lantas menghampirinya.“Apak amu sudah siap?” tanya Kirana saat bertemu sang calon kakak ipar. Mauri kaget sekaligus senang mendapati sikap ramah Kirana. Namun, masih ada sedikit rasa sungkan di hatinya, hingga Mauri hanya mengangguk membalas pertanyaan Kirana.Tak menunggu lama Kirana pun mengajak Mauri masuk ke mobilnya yang masih terp
Baru saja masuk kamar, tapi Oriaga langsung ditodong pertanyaan dari Shanaya yang ternyata menunggu dirinya pulang. Shanaya yang sedang bersantai duduk di atas ranjang seketika menegakkan badan. Wanita itu antusias bertanya,“Bagaimana tadi pertemuan dengan orang tuanya Mauri?” “Lancar dan tentu saja Ayah Mauri langsung merestui,” jawab Oriaga. Oriaga berjalan mendekat ke Shanaya yang sejak tadi ternyata sedang membaca buku. Oriaga naik ke ranjang, lantas tanpa permisi mengambil buku Shanaya kemudian berbaring terlentang untuk membaca buku itu. “Kenapa bacanya sambil berbaring? Baca sambil duduk, nanti matamu sakit kalau membaca dengan posisi seperti itu,” ucap Shanaya sambil menatap Oriaga. “Aku memang sudah 43 tahun, tapi mataku ini masih bisa melihat dengan jelas. Kamu tenang saja,” balas Oriaga dengan santainya tanpa mengganti posisi. “Sombong, awas saja nanti kalau kamu mengeluh matamu gatal atau berair.” Shanaya bicara dengan nada candaan, dia menggeser dudu
Malam harinya Andra pun pergi ke rumah orang tua Mauri bersama Oriaga dan Masayu. Andra tak bisa bersikap tenang, dia terlihat sangat gugup saat baru saja turun dari mobil.“Jangan gugup, tarik napas panjang lalu embuskan perlahan,” ucap Masayu sambil merapikan kemeja Andra. Dia memulas senyum, menyadari bahwa sang putra mungkin sedang tidak baik-baik saja.Andra menatap sang mama, dia mengangguk kemudian melakukan apa yang dikatakan oleh Masayu.Masayu kemudian menggandeng tangan Andra, bersama Oriaga berjalan menuju pintu rumah Abraham.Saat sampai di depan rumah, ibu Mauri menyambut mereka dengan ramah meski wanita itu terlihat pucat dan tubuhnya masih kurang bugar.“Apa Anda baik-baik saja? Jika masih kurang sehat, seharusnya tak perlu menyambut kami di depan,” ucap Masayu berpindah menggandeng tangan ibu Mauri.Ibu Mauri pun mengajak semuanya masuk sambil digandeng Masayu. Meski baru pertama kali bertemu, tapi mereka tampak dekat.“Apa kondisi Anda sudah membaik?” tanya Masayu ka
Andra sudah sangat panik hingga memutuskan membuang status sebagai atasan dan bawahan lalu mencoba menghubungi nomor pamannya sendiri. “Ada apa?” Suara Oriaga terdengar dari seberang panggilan. Detak jantung Andra seketika mulai normal kembali, dia terlihat sangat lega karena panggilannya dijawab oleh Oriaga. “Paman ada di mana?” tanya Andra dengan suara yang masih panik. “Aku sedang ada urusan di luar,” jawab Oriaga, “ada apa?” tanya pria itu lagi. “Bagini Paman, ayah Mauri memintaku membawa Paman ke rumahnya nanti malam." Andra memberitahu Oriaga tanpa ada lagi basa-basi. “Sudah kuduga karena hal itu kamu menghubungi dengan suara panik seperti ini,” ucap Oriaga dari seberang panggilan. “Bagaimana aku tidak panik, aku ke ruangan Paman dan di sana sepi, bagaimana jika tiba-tiba saja Paman ke luar kota,” balas Andra. “Tenang saja, aku akan datang dan memastikan kalau kamu akan menikah dengan Mauri,” ucap Oriaga mencoba menenangkan Andra. Andra pun bernapas dengan
Setelah berbincang dengan Oriaga, Andra tak menunggu lama untuk menghubungi Mauri, memberitahu kabar baik yang didapatnya.“Apa kamu masih di rumah sakit?” tanya Andra saat panggilannya dijawab Mauri.“Iya,” jawab Mauri dari seberang panggilan.“Aku sudah menemui pamanku, dia setuju untuk membantu kita,” ucap Andra lagi. Ia mendengar suara helaan napas kasar dari seberang panggilan, hingga kemudian Mauri bicara.“Syukurlah kalau memang seperti itu.”Ada kelegaan di wajah Mauri yang tidak bisa Andra lihat karena mereka tidak sedang bersama. Bahkan jika saat ini berdekatan Mauri sangat ingin memeluk erat Andra.“Sampaikan ke papamu, pamanku bilang ingin bertemu, mau di rumah utama atau di rumahmu terserah yang penting papamu percaya.”“Hm … aku akan coba bertanya dulu ke Papa,” balas Mauri dari seberang panggilan.“Aku akan menunggu kabar darimu, kalau bisa cepatnya,” ucap Andra.“Pasti aku kabari segera,” balas Mauri. “Oh … ya, hari ini aku izin tidak ke kantor sehari lagi, aku sedang
Pagi itu Andra datang ke rumah utama. Saat sampai di sana, dia bertemu dengan Shanaya yang baru saja keluar dari lift dan heran melihat kedatangannya. Andra awalnya hendak menyapa, tapi melihat rambut Shanaya yang basah di pagi hari membuat Andra tertegun, bahkan pikiran pria itu sampai ke mana-mana. “Andra, tumben kamu datang pagi sekali?” sapa Shanaya. “Iya." Andra menjawab sekenanya. Masih kaget karena pikiran liar di kepala. “Itu ... memangnya wanita hamil boleh sering melakukan .... ?” Andra menjeda lisan, tanpa sadar mengungkapkan isi kepala. Shanaya terkejut mendengar pertanyaan Andra, hingga dia pun membalas, “Maksudmu bercinta? Itu malah sangat penting untuk menjaga kestabilan hormon.” Andra mengedip beberapa kali, dia bingung mendengar penjelasan Shanaya. Namun, agak sungkan untuk bertanya. “Makanya kamu cepetan nikah supaya tahu hal semacam ini,” ucap Shanaya saat melihat Andra bingung. Andra mengerucutkan bibir mendengar hinaan Shanaya, hingga dia pun mem
“Tidak bisa! Aku harus bicara serius ke papamu, jika masalah ini tidak dibereskan dan dituntaskan, maka akan terus berlarut,” ujar Andra mencoba meyakinkan Mauri.Mauri tertegun melihat Andra yang terlihat serius, hingga akhirnya mengangguk pelan mengizinkan pria itu pergi. “Baiklah, tapi hati-hati,” ucap Mauri yang masih menyimpan perasaan cemas.Andra mengangguk lalu menyentuh lembut pipi Mauri, dia lantas menoleh ke ibu Mauri yang terbaring lemah. Dia tersenyum tipis ke wanita itu seolah meminta izin.Setelahnya Andra pun keluar dari kamar inap itu, dan berlari mengejar Abraham yang berjalan di koridor hingga menghadang dan membuat Abraham berhenti melangkah.“Tunggu, saya ingin bicara dengan Anda,” ucap Andra. Meskipun menerima perlakuan buruk, tapi dia tetap bersikap sopan.Abraham terlihat kesal melihat Andra. Pria itu tak mau bicara, lebih memilih berjalan melewati Andra lagi tapi kembali dihadang.“Izinkan saya bicara pada Anda Pak,” ucap Andra membujuk.“Tidak ada yang perlu