"Vida, suamimu datang untuk menjemputmu."Davin memang sudah tiba di Bangkok sejak pukul dua dini hari tadi. Tapi karena kendaraan umum baru beroperasi pada pukul lima pagi, terpaksa Davin harus menunggu tiga jam di bandara untuk mendapatkan kendaraan menuju Pattaya. Tiga jam pula dia menempuh perjalan dari bandara menuju ke rumah ibu Vida. Beruntung tidak cukup sulit menemukan alamat rumah tersebut. Alamat yang diberikan Danu sangat jelas, juga tempat yang mudah dijangkau, sungguh sangat mempermudah Davin menemukannya."Aku sungguh tidak paham dengan kata suami menjemput itu, Bu. Kami sudah berpisah."Setelah terdiam dengan waktu yang lama Vida baru membuka suara, membuat Davin menurunkan pandangan pada perut membulat, dimana ada benihnya yang tengah tumbuh di sana.Terdengar embusan napas pelan, namun terasa dalam dari hidung mancung Davin. Dia segera mengeluarkan lipatan kertas dari balik mantelnya, lantas meletakkan di atas meja."Kamu hamil, perceraian kita ditolak, kamu masih ist
'Rencana?' Davin memutar bola mata setelah mengulang kalimat Vida dalam hati. Baginya tidak ada rencana, selain membawa Vida pulang. Tapi pertanyaan penuh kecurigaan tersebut menuntunnya untuk mengingat apa yang telah dia lakukan sebelumnya, hingga istrinya terlihat sangat ragu atau bahkan tidak ingin kembali bersamanya, ada semburat ketakutan yang terpendam dalam manik bening yang berkilat menawan. Setelah membiarkan suasana hening untuk beberapa waktu, kemudian Davin kembali bertanya. "Apa yang kamu takutkan?" Pertanyaan to the point yang dilontarkan Davin menciptakan senyum getir di bibir Vida. "Aku tidak takut, aku hanya tidak mau," tegas Vida tak kalah berterus terang. Kilat mata dalam menatap Vida lekat, saat Davin bertanya. "Kenapa?" Seringai sengit terbit di sudut bibir Vida dilanjutkan jawaban sinis. "Karena kamu sangat memuakkan." Embusan napas kasar terdengar, kala Davin melepaskan tangan yang ditarik pemiliknya. Bukan untuk menyerah, dia hanya memberi ruang sejenak p
"Siapa Pam? Kamu ingin berselingkuh dariku?"Vida menyeringai sinis mendengar pertanyaan suaminya. "Kalau iya memang kenapa?"Davin sungguh tak suka dengan wajah menantang Vida, kemudian menarik pinggang istrinya perlahan tapi cukup kuat hingga Vida langsung merapat ke dada suaminya sembari mendongak. Davin mengunci pandangan Vida dengan mata kelam yang begitu tajam sembari berbisik sinis. "Kamu boleh mencoba berpaling dariku, tapi kamu akan tetap menjadi milikku."Vida sedikit terhuyung ketika Davin melepaskan dekapannya dengan sedikit kasar, suara rendah itu pun kembali mengalun dengan sinis. "Aku menyita ponselmu. Kamu boleh tidur sekarang, ini sudah malam."Vida segera menatap Davin tajam setelah bisa berdiri tegak, semburat kebencian itu semakin pekat memenuhi manik hitamnya. Dengan gusar Vida segera meraih bantal dan melemparkannya pada Davin dengan sangat emosional, kemudian memekik."Kenapa aku harus bertemu denganmu? Aku sangat membencimu? Hidupku selalu bahagia saat tidak ada
Aroma maskulin tercium samar dari celah hidung Vida yang masih terlelap. Dekapan hangat terlampau membuai, hingga dia terlalu nyaman menikmati tidurnya, sampai Vida tidak sadar jika mentari pagi sudah mulai mengintip dari ufuk timur.Sementara Davin sendiri juga dalam keadaan sama dengan Vida, lama tak merasakan tidur nyenyak, ternyata memeluk sang istri adalah obatnya.Sangat nyenyak sampai mereka tidak tahu jika berkali-kali ponsel Vida yang menggunakan mode senyap terus bergetar di atas meja, terabaikan begitu saja, membuat kesal orang yang menelponnya.Kla yang baru saja bangun tidur segera menuruni tangga, setelah mendengar bel rumah terus saja berbunyi mengusik paginya yang tenang."Bibi, apa Vida belum bangun?" Pam tak ingin menunda pertanyaannya setelah Kla membuka pintu."Belum, tapi lebih baik hari ini jangan ganggu dia." Kla masih sedikit terlihat malas ketika menjawab.Seketika wajah Pam menunjukan kekhawatiran. "Memang kenapa? Apakah cintaku sedang sakit?""Sakit, kalau ka
"Tidak perlu!"Hardikan dari suara dingin dan tegas tersebut membuat dua wanita yang sedang berjalan dengan langkah santai di trotoar dekat pantai segera menoleh.Paras tampan yang kaku, dingin dan sangat arogan segera terlihat, dan berangsur-angsur mendekat ke arah mereka. Tatapan tajam dari bola mata kelam yang terarah pada Pam membuat perempuan tersebut memicingkan mata, dia sangat bisa merasakan jika tatapan Davin sama sekali tak ramah dan cenderung menebar permusuhan terhadapnya.'Pantas saja, Vida ingin meninggalkannya. Dia sangat mengerikan, bahkan ketika aku belum sempat menyinggungnya,' ujar Pam dalam hati.Dia juga segera membalas tatapan permusuhan yang lontarkan Davin, dengan sedikit mengangkat dagu agar terlihat sombong.Segera setelah Davin sampai, dia langsung sedikit mendorong Pam agar menjauh dari Vida, dan kemudian Davin mendapatkan tempat di antara dua perempuan tersebut. Seakan ingin menjadi benteng agar Vida dan Pam tak lagi berdekatan."Hei! Apa-apaan ini?" Pam ya
Cakrawala kembali membiru gelap, terhampar memenuhi luasnya langit malam yang begitu memikat. Vida sudah berdandan dan mengenakan pakaian terbaik malam ini. Dress model A-line warna putih selutut telah membalut tubuhnya dengan sangat cantik, perutnya yang menggembung sama sekali tak mengurangi pesona sempurna yang dia miliki.Davin tahu itu, hingga bibirnya tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum tipis yang sangat menawan."Kamu lihat apa?" Nada ketus itu menggema dengan raut wajah masam saat menatap Davin.Senyum Davin semakin melebar dan hangat sebelum dia menjawab. "Istriku sangat cantik."Vida hanya sedikit menyeringai mendengar pujian dari suaminya. Wajahnya terlihat jengkel kemudian merengkuh lengan Pam yang ada di sampingnya. Seperti ingin menunjukan bahwa dia memilih orang lain dari pada dirinya.Senyum Davin belum juga hilang, lantas menaikan alisnya untuk menanggapi sikap Vida yang sebenarnya sangat menyebalkan. Matanya terus mengedar ke segala arah, bukan untuk memilih jaj
Hinggar-binggar ini sama sekali tak menarik bagi Vida. Apalagi kedatangannya ke Thailand untuk mencari ketenangan setelah dihantam berbagai masalah. Dia juga bukan orang yang bisa meluapkan kekesalan pada dunia malam, tapi demi menjauhkan Davin darinya, dia malah terjebak sendiri dengan segala kebisingan ini.Beruntung Vida mempunyai pribadi yang tak acuh. Meski merasa dirinya lurus, tapi dia bukan orang yang sok suci dan jijik dengan segala kegilaan di tempat tersebut, dia hanya wanita dingin yang jauh dari kepedulian terhadap lingkungan sekitar.Minuman dingin sudah tersedia di depan Vida, setelah Pam membelok mengajaknya masuk ke dalam bar. Tentu saja bukan minuman beralkohol karena dia sedang hamil. Berbeda dengan dua pria dan satu perempuan yang tampak bahagia dengan segala kegaduhan ini, gelas likeur juga berada dalam genggaman tangan mereka dan entah sudah berapa kali mereka menenggaknya.Vida dapat melihat ternyata ketampanan suaminya cukup menarik perhatian para gadis untuk
Vida yang berada dalam dekapan Davin tentu saja bisa melihat apa yang terjadi antara Mee Noi dan Pam di depan sana. Dia khawatir itu akan berlanjut, mengingat sebelumnya mereka sudah tidak terkendali karena pengaruh alkohol. Dia ingin berdiri untuk menghampiri Pam. Tapi sangat sulit untuk lepas dari dekapan Davin."Kamu mau kemana?" tanya Davin pelan."Lepaskan aku. Ini sudah cukup, suruh temanmu bersikap sopan pada Pam!" Vida menunjukan raut kekhawatiran di wajahnya. Tadi pagi dia yang mengajak Pam untuk keluar bersamanya, jika terjadi sesuatu, tentu saja dia akan sangat merasa bersalah."Bagaimana mungkin aku akan menghentikannya. Lihatlah perempuan itu sangat menikmati sentuhan Mee Noi." Senyum Davin tersungging sadis setelah berucap pelan di dekat telinga Vida, kerena dia memang menempatkan Vida dalam pangkuannya dan memeluknya dengan posisi menyamping."Kak, kapan kamu berhenti menjadi penjahat? Kamu terus memaksakan kehendak untuk mencapai tujuanmu, jangan sampai aku semakin memb
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida
Sementara Davin terlihat memiringkan tubuhnya membelakangi Vida. Dan mendadak bibirnya melengkung indah, menunjukan senyum penuh arti saat matanya terbuka lebar.Sejak awal dia memang tidak kehilangan kesadaran, dia memang sengaja berakting untuk melancarkan rencananya, juga demi memicu kemarahan Vida setelah tahu dia sedang dijebak. Sebelum Davin keluar dari restoran, dia sempat bertemu dengan ibu mertuanya."Davin, kamu mau kemana?" Nia yang baru saja ingin mengambil list dari pelanggan dari atas meja mulai bertanya kala melihat Davin lewat.Segera Davin mengerutkan alis dan membatin, 'bukankah ibu yang menyuruhku mengantar pesanan ini? Bagaimana dia tidak tahu aku akan pergi kemana?'"Oh, mau mengantar pesanan ya? Ya sudah, hati-hati di jalan," ucap Nia santai setelah melihat box makanan ukuran sedang di tangan Davin, kemudian dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Davin, setelah mengambil list tersebut.Davin masih berpikir positif, sampai dia bertemu dengan Vida di meja kas
Dengan susah payah Fani membawa Davin ke ranjangnya. Sedikit kesal, dia sudah sering menggunakan obat perangsang tapi tidak seperti ini reaksinya, seharusnya Davin menyerangnya dengan bertubi-tubi, bukannya malah memejamkan mata seperti ini.Fani melihat Davin menggeliat, sembari menggumamkan sesuatu. "Vida ...."Membuat Fani semakin kesal mendengar nama itu, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali melengkung, lantas merangkak di tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas tubuh Davin yang terkulai di atas kasur. Tak lupa dia mengecup pipi Davin dan berbisik lembut. "Kamu boleh berfantasi dengan istrimu. Tapi malam ini kamu adalah milikku, Davin. Aku akan memuaskan mu."Perlahan Fani kembali menegakkan tubuhnya untuk duduk, jari-jemarinya mulai bergerak lembut membuka setiap kancing kemeja yang dikenakan Davin, kadang dia juga mengelus lembut otot liat yang begitu padat pada dada bidang yang berkulit putih.Fani masih mendengar Davin yang bergumam samar menyebut nama Vida, tapi dia sungg
"Vida, sejak kapan kamu berdiri di situ?" sedikit gugup tapi Pam menutupinya dengan senyuman.Tatapan Vida belum beralih, dan itu terlihat begitu tajam dan dingin, sampai suara samar nan menusuk terdengar dari celah kedua bibir tipis yang tampak bergerak samar. "Kemana kamu menyuruh kak Davin pergi?"Pam terkesiap mendengar pertanyaan Vida, tapi dia masih berusaha menguasai diri dan berlagak tidak mengerti dengan terus tersenyum hangat. "Aku? Kenapa aku menyuruhnya pergi? Berbicara dengannya saja aku enggan. Sudah, ayo kita masuk."Pam segera merangkul Vida dengan santai, tapi langsung mendapat tepisan kasar dari Vida. Kini Pam mulai mendapati kemarahan di wajah cantik yang semakin kentara."Vida ...." Pam menunjukan raut wajah sayu dan sedih melihat kemarahan Vida, bukan dibuat-buat, dia memang sedih melihat Vida seperti itu kepadanya."Aku tanya sekali lagi. Kamu menyuruh kak Davin kemana?" Suara pelan dan dingin Vida kembali membekukan udara yang Pam hirup. Membuatnya sedikit menah