"Tidak perlu!"Hardikan dari suara dingin dan tegas tersebut membuat dua wanita yang sedang berjalan dengan langkah santai di trotoar dekat pantai segera menoleh.Paras tampan yang kaku, dingin dan sangat arogan segera terlihat, dan berangsur-angsur mendekat ke arah mereka. Tatapan tajam dari bola mata kelam yang terarah pada Pam membuat perempuan tersebut memicingkan mata, dia sangat bisa merasakan jika tatapan Davin sama sekali tak ramah dan cenderung menebar permusuhan terhadapnya.'Pantas saja, Vida ingin meninggalkannya. Dia sangat mengerikan, bahkan ketika aku belum sempat menyinggungnya,' ujar Pam dalam hati.Dia juga segera membalas tatapan permusuhan yang lontarkan Davin, dengan sedikit mengangkat dagu agar terlihat sombong.Segera setelah Davin sampai, dia langsung sedikit mendorong Pam agar menjauh dari Vida, dan kemudian Davin mendapatkan tempat di antara dua perempuan tersebut. Seakan ingin menjadi benteng agar Vida dan Pam tak lagi berdekatan."Hei! Apa-apaan ini?" Pam ya
Cakrawala kembali membiru gelap, terhampar memenuhi luasnya langit malam yang begitu memikat. Vida sudah berdandan dan mengenakan pakaian terbaik malam ini. Dress model A-line warna putih selutut telah membalut tubuhnya dengan sangat cantik, perutnya yang menggembung sama sekali tak mengurangi pesona sempurna yang dia miliki.Davin tahu itu, hingga bibirnya tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum tipis yang sangat menawan."Kamu lihat apa?" Nada ketus itu menggema dengan raut wajah masam saat menatap Davin.Senyum Davin semakin melebar dan hangat sebelum dia menjawab. "Istriku sangat cantik."Vida hanya sedikit menyeringai mendengar pujian dari suaminya. Wajahnya terlihat jengkel kemudian merengkuh lengan Pam yang ada di sampingnya. Seperti ingin menunjukan bahwa dia memilih orang lain dari pada dirinya.Senyum Davin belum juga hilang, lantas menaikan alisnya untuk menanggapi sikap Vida yang sebenarnya sangat menyebalkan. Matanya terus mengedar ke segala arah, bukan untuk memilih jaj
Hinggar-binggar ini sama sekali tak menarik bagi Vida. Apalagi kedatangannya ke Thailand untuk mencari ketenangan setelah dihantam berbagai masalah. Dia juga bukan orang yang bisa meluapkan kekesalan pada dunia malam, tapi demi menjauhkan Davin darinya, dia malah terjebak sendiri dengan segala kebisingan ini.Beruntung Vida mempunyai pribadi yang tak acuh. Meski merasa dirinya lurus, tapi dia bukan orang yang sok suci dan jijik dengan segala kegilaan di tempat tersebut, dia hanya wanita dingin yang jauh dari kepedulian terhadap lingkungan sekitar.Minuman dingin sudah tersedia di depan Vida, setelah Pam membelok mengajaknya masuk ke dalam bar. Tentu saja bukan minuman beralkohol karena dia sedang hamil. Berbeda dengan dua pria dan satu perempuan yang tampak bahagia dengan segala kegaduhan ini, gelas likeur juga berada dalam genggaman tangan mereka dan entah sudah berapa kali mereka menenggaknya.Vida dapat melihat ternyata ketampanan suaminya cukup menarik perhatian para gadis untuk
Vida yang berada dalam dekapan Davin tentu saja bisa melihat apa yang terjadi antara Mee Noi dan Pam di depan sana. Dia khawatir itu akan berlanjut, mengingat sebelumnya mereka sudah tidak terkendali karena pengaruh alkohol. Dia ingin berdiri untuk menghampiri Pam. Tapi sangat sulit untuk lepas dari dekapan Davin."Kamu mau kemana?" tanya Davin pelan."Lepaskan aku. Ini sudah cukup, suruh temanmu bersikap sopan pada Pam!" Vida menunjukan raut kekhawatiran di wajahnya. Tadi pagi dia yang mengajak Pam untuk keluar bersamanya, jika terjadi sesuatu, tentu saja dia akan sangat merasa bersalah."Bagaimana mungkin aku akan menghentikannya. Lihatlah perempuan itu sangat menikmati sentuhan Mee Noi." Senyum Davin tersungging sadis setelah berucap pelan di dekat telinga Vida, kerena dia memang menempatkan Vida dalam pangkuannya dan memeluknya dengan posisi menyamping."Kak, kapan kamu berhenti menjadi penjahat? Kamu terus memaksakan kehendak untuk mencapai tujuanmu, jangan sampai aku semakin memb
Di saat Fani begitu gundah setelah melihat kemesraan mantan kekasihnya. Senyum Davin justru mengembang kala melihat Vida dan Pam mulai uring-uringan akibat permainannya dengan Mee Noi. Dia yang tadinya sangat membenci Pam karena berusaha merebut istrinya, kini rasa itu tak lagi begitu dalam, padahal sebelumnya dia sempat berpikir jika Pam benar-benar membuat Vida takluk dan berpaling darinya, Davin tak akan segan memecahkan botol beling dan menancapkan benda tajam tersebut pada wanita belok yang mengincar istrinya. Davin memang bukan orang yang bisa bermurah hati jika ada yang menginginkan miliknya.Tapi melakukan penyiksaan secara pelan ternyata lebih mengasyikkan, daripada langsung pada intinya. Terlebih Vida sudah mengatakan jika dia akan sangat membencinya jika terjadi sesuatu dengan Pam. Itu hanya akan merugikannya saja. Mendapatkan hati dan kepercayaan Vida jauh lebih penting daripada memuaskan egonya.Malam semakin larut, namun hinggar binggar di tempat tersebut belum juga bera
Vida segera memalingkan wajah setelah beberapa saat menatap suaminya. Dia tahu, dia tidak akan mampu menandingi kilat mata Davin yang tajam dan mengunci. Gemuruh di dada juga mulai bergolak kala dia merasa gugup.Senyum samar terbit di bibir Davin, tangannya bergerak lembut meraih dagu Vida, guna menuntun untuk menatapnya."Kenapa berpaling?" tanyanya pelan."Apa memandangmu adalah keharusan?" Vida mencoba untuk menjawab untuk menutupi rasa gugup."Kenapa tidak? Aku adalah suamimu." Suara rendah yang pelan itu sangat menyihir kala mengalun di ruangan sunyi yang memikat hati."Bukankah aku sudah bilang aku ingin berpisah denganmu? Aku menyukai Pam." Suara Vida terdengar bergetar menunjukan keraguan.Membuat Davin menarik senyum simpul dan terlihat mengejek. "Sampai kapan kamu akan berakting?""Aku tidak berakting, aku dan Pam memang mempunyai hubungan yang sangat erat, kami saling mencintai dan kami akan saling membahagiakan."Davin menaikan kedua alisnya masih dengan senyum mencela. "
Davin mengembuskan napas pelan, setelah apa yang terjadi mungkin sangat sulit bagi Vida untuk mempercayainya. Davin mencoba bersabar. Lantas kembali membaringkan tubuh dan merengkuh Vida dari belakang."Maaf, aku benar-benar minta maaf," ucap Davin pelan setengah berbisik di dekat telinga Vida, dengan mata terpejam.Vida mengembuskan napas perlahan, tapi tiba-tiba pikirannya kembali pada Pam. 'Apakah Mee Noi mengganggunya?'Setelah sekian lama terdiam, akhirnya Vida kembali membuka suara. "Jika kamu sudah yakin bahwa aku wanita normal, bisakah kamu membuang segala kekhawatiran mu yang tidak mendasar itu saat aku dekat dengan Pam?"Alis Davin berkerut meski matanya terpejam. "Kamu normal, tapi dia tidak. Siapa yang menjamin kamu tidak akan terpengaruh? Aku hanya melakukan antisipasi, aku tidak mau kehilangan kamu ataupun anakku.""Tch, tidak masuk akal," cibir Vida kesal."Vida, aku sangat cemburu, dia bisa mengurusmu selama enam bulan ini, tapi aku tidak. Memang aku yang salah karena t
Vida menarik senyum geli tatkala melihat Mee Noi yang terus menggoda Pam yang berjalan di depannya. Ternyata mereka masih meributkan perkara ukuran tiga inci yang menjadi topik perbincangan mereka pada saat bangun tidur tadi. Padahal ini sudah terjeda dengan mandi dan sekarang mereka tengah berjalan menuju restoran untuk makan siang.Sementara Davin sama sekali tak terpengaruh atau tertarik dengan perbincangan tersebut, raut wajahnya datar dan dingin saat dia terus menggenggam jemari Vida dengan begitu erat, mengembalikan ingatan Vida saat mereka berada di Bali. Kala itu Davin juga seperti ini saat melihat Erick melambaikan tangan padanya saat makan malam di Jimbaran.Vida sedikit menarik salah satu sudut bibirnya ke samping saat melirik Davin. Untuk seorang laki-laki sempurna yang yang memiliki segalanya, bukankan ini menunjukan tingkat kepercayaan diri yang rendah? Entah Vida harus bahagia atau sedih, Vida hanya takut ini hanya bentuk dari keserakahan."Aku tidak akan melakukan ini,
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida
Sementara Davin terlihat memiringkan tubuhnya membelakangi Vida. Dan mendadak bibirnya melengkung indah, menunjukan senyum penuh arti saat matanya terbuka lebar.Sejak awal dia memang tidak kehilangan kesadaran, dia memang sengaja berakting untuk melancarkan rencananya, juga demi memicu kemarahan Vida setelah tahu dia sedang dijebak. Sebelum Davin keluar dari restoran, dia sempat bertemu dengan ibu mertuanya."Davin, kamu mau kemana?" Nia yang baru saja ingin mengambil list dari pelanggan dari atas meja mulai bertanya kala melihat Davin lewat.Segera Davin mengerutkan alis dan membatin, 'bukankah ibu yang menyuruhku mengantar pesanan ini? Bagaimana dia tidak tahu aku akan pergi kemana?'"Oh, mau mengantar pesanan ya? Ya sudah, hati-hati di jalan," ucap Nia santai setelah melihat box makanan ukuran sedang di tangan Davin, kemudian dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Davin, setelah mengambil list tersebut.Davin masih berpikir positif, sampai dia bertemu dengan Vida di meja kas
Dengan susah payah Fani membawa Davin ke ranjangnya. Sedikit kesal, dia sudah sering menggunakan obat perangsang tapi tidak seperti ini reaksinya, seharusnya Davin menyerangnya dengan bertubi-tubi, bukannya malah memejamkan mata seperti ini.Fani melihat Davin menggeliat, sembari menggumamkan sesuatu. "Vida ...."Membuat Fani semakin kesal mendengar nama itu, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali melengkung, lantas merangkak di tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas tubuh Davin yang terkulai di atas kasur. Tak lupa dia mengecup pipi Davin dan berbisik lembut. "Kamu boleh berfantasi dengan istrimu. Tapi malam ini kamu adalah milikku, Davin. Aku akan memuaskan mu."Perlahan Fani kembali menegakkan tubuhnya untuk duduk, jari-jemarinya mulai bergerak lembut membuka setiap kancing kemeja yang dikenakan Davin, kadang dia juga mengelus lembut otot liat yang begitu padat pada dada bidang yang berkulit putih.Fani masih mendengar Davin yang bergumam samar menyebut nama Vida, tapi dia sungg
"Vida, sejak kapan kamu berdiri di situ?" sedikit gugup tapi Pam menutupinya dengan senyuman.Tatapan Vida belum beralih, dan itu terlihat begitu tajam dan dingin, sampai suara samar nan menusuk terdengar dari celah kedua bibir tipis yang tampak bergerak samar. "Kemana kamu menyuruh kak Davin pergi?"Pam terkesiap mendengar pertanyaan Vida, tapi dia masih berusaha menguasai diri dan berlagak tidak mengerti dengan terus tersenyum hangat. "Aku? Kenapa aku menyuruhnya pergi? Berbicara dengannya saja aku enggan. Sudah, ayo kita masuk."Pam segera merangkul Vida dengan santai, tapi langsung mendapat tepisan kasar dari Vida. Kini Pam mulai mendapati kemarahan di wajah cantik yang semakin kentara."Vida ...." Pam menunjukan raut wajah sayu dan sedih melihat kemarahan Vida, bukan dibuat-buat, dia memang sedih melihat Vida seperti itu kepadanya."Aku tanya sekali lagi. Kamu menyuruh kak Davin kemana?" Suara pelan dan dingin Vida kembali membekukan udara yang Pam hirup. Membuatnya sedikit menah