Vida hanya menyeringai sengit menanggapi dua wanita yang mengintimidasinya, sejak dulu Diah dan Ega memang tidak suka padanya karena kedekatannya dengan Erick dan Rion. Tak ayal, saat Vida sedang diterpa masalah dua perempuan itu jadi mempunyai kesempatan untuk menyerangnya.Vida masih diam dan acuh, dan kembali mencuci tangan di wastafel dengan tenang.Diah dan Ega semakin geram dengan sikap tidak peduli yang ditampilkan Vida. Diah hendak kembali mendorong tubuh Vida, tapi kali ini Vida tak mau diam. Ditangkapnya pergelangan tangan itu, dan dengan cepat Vida memutarnya di belakang punggung Diah dengan kuat, hingga perempuan itu memekik kesakitan.Ega maju selangkah ingin membantu Diah, tapi begitu Diah kembali memekik kesakitan Ega pun berhenti, membuat Vida kembali menyeringai sinis."Maju saja, atau ku patahkan tangannya," ancam Vida dengan suara dingin membekukan Ega yang tak berani melanjutkan langkahnya."Vid, lepasin tangan gue, sakit tahu!" pekik Diah memohon.Vida tersenyum
Davin pun tersenyum mencela, melihat kemarahan di wajah istrinya, kemudian melanjutkan kalimatnya yang terjeda. "Karena itu, bagi dua mahasiswi yang telah mempermalukan istri saya. Saya persilahkan untuk minta maaf pada istri saya secara terbuka, jika tidak, saya akan menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan masalah ini."Kini mata Vida melebar, kemudian mengerjapkan matanya beberapa kali. Wajahnya kembali memerah, bukan karena marah, tapi karena malu setelah sadar jika dia telah salah paham pada suaminya.Jika para mahasiswa dan mahasiswi tengah bertanya-tanya siapa istrinya Davin? Vida justru penasaran siapa yang mencoba menjatuhkannya? Selama ini dia tidak pernah bersikap mencolok untuk mengundang permusuhan dengan siapa pun, apa ada yang menaruh dendam padanya?Tapi mata Vida memicing tajam melihat dua gadis yang beberapa saat yang lalu mengintimidasinya di toilet wanita.'Tentu saja mereka,' batin Vida geram.Diah dan Ega naik ke atas panggung dengan wajah sangat buruk dan juga tu
Davin sama sekali tak mencegah atau menghentikan amukan istrinya. Dia hanya menatap Vida dingin. Dia sangat kecewa, dia pikir Vida marah karena dia menyebabkannya dipermalukan di kampus, tapi kenyataannya Vida marah karena mengkhawatirkan keadaan Erick sekarang. Jelas istrinya mempunyai kepedulian tinggi pada laki-laki tersebut. Kecemburuan memenuhi relung hatinya, tidak terima jika perhatian istrinya terbagi pada laki-laki lain."Kamu benar-benar membuatku kesal hari ini. Suruh pengawalmu untuk tidak mencegahku pergi, atau kamu bisa melihat kenekatan ku jika kamu masih bersikeras." Vida menudingkan jari telunjuknya dengan sangat emosional pada Davin, kemudian berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan Davin yang masih berdiri."Ikuti kemanapun dia pergi. Dan bawa dia pulang sebelum jam makan malam tiba." Titah Davin pada dua bodyguard yang dia tugaskan untuk menjaga Vida.Sengaja memilih bodyguard wanita, karena Davin tidak rela jika ada lelaki yang menyentuh istrinya disaat terpaksa
"Kak, kamu datang?" Erick menyapa Fani setelah menemukan sosok cantik itu di dekat pintu.Seketika senyum licik itu berubah menjadi rona wajah sedih penuh kekhawatiran. Fani buru-buru mendekati Erick dan bertanya dengan nada yang begitu khawatir, bahkan terlihat ada embun di pelupuk matanya. "Erick, bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana Davin bisa melakukan ini padamu?"Erick dapat melihat kakaknya yang baik dan lembut memang sangat mengkhawatirkannya, tapi alisnya mengeryit saat melihat kejanggalan. "Darimana Kakak tahu jika dia yang melakukannya?"Fani sedikit terkesiap, dan segera berdalih. "Ada perempuan itu disini? Tentu saja kakak dapat menebak."Vida sedikit menyeringai, jelas perempuan itu menguping sejak tadi. Vida tahu jika akan ada ketegangan setelah Fani datang, dia sungguh sangat malas, dan sudah lelah untuk berdebat kali ini, jadi dia memilih untuk pamit. "Rick, gue pulang dulu, lo istirahat saja biar cepat sembuh."Erick mengangguk samar, dia tahu Vida mulai tidak nyaman
Makan malam di kediaman keluarga Wijaya baru saja selesai. Davin dan Vida yang sama sekali tidak menunjukan interaksi sedikitpun, membuat suasana di meja makan terasa sangat kaku. Hanya aura dingin yang begitu beku terpancar pada wajah mereka.Nenek Rumi dan Naya sampai merasa tercekik dengan sikap diam pasangan muda tersebut. Padahal sebelumnya mereka berpikir akan ada adegan romantis yang penuh cinta setelah mereka kembali dari kediaman Danu, mengingat sebelumnya Davin dirundung penyakit mala rindu yang sangat luar biasa.Langit gelap masih terlihat mendung seperti tadi siang, namun belum juga membawa tetes hujan jatuh ke bumi, hingga menghadirkan udara panas yang begitu gerah. Vida duduk termenung sendirian di paviliun tengah taman. Menatap gemericik air kolam ikan yang beriak diterpa kilat lampu taman.Berada di luar cukup membuat pori-pori kulit Vida bernapas guna menghindari rasa gerah. Meski di dalam rumah ada pendingin ruangan, namun tiupan udara bebas cukup menenangkan hatiny
"Kamu sudah memiliki segalanya, kenapa kamu meminta bayaran dari perempuan miskin sepertiku?" tanya Vida dengan wajah pias yang bodoh.Davin tersenyum hangat, tangan kokohnya bergerak perlahan merengkuh pinggang ramping Vida dengan pelan. Membuat Vida sedikit menahan napas merasakan sentuhan lembut itu. Tubuhnya pun bergeser dan menyentuh tubuh tegap Davin."Perempuan miskin ini adalah istriku." Suara Davin yang terdengar setengah berbisik ini benar-benar membuat jantung Vida berdetak tidak karuan.Angin berembus semakin kencang membawa udara dingin yang menembus tulang, diikuti derai rintik hujan yang begitu deras membasahi rerumputan hijau yang berseri. Membekukan dua insan yang menatap tanpa gerakan. Vida begitu tegang, hingga tanpa sadar tangannya sudah berada di dada Davin, meremas t-shirt yang dikenakan pria tersebut.Davin sudah menyambar dengan ciuman yang membara dan juga mendadak, mengejutkan Vida yang tidak siap. Lenguhan terdengar merdu tatkala Davin menggigit bibir bawah
Dering telepon, suara mesin pinter, dan keyboard yang diketik menununjukan kesibukan kantor dari perusahaan besar yang sedang beroperasi. Vida melangkah anggun menuju mesin pembuat kopi guna memenuhi permintaan suami sekaligus bosnya yang baru saja bertitah. Dia sudah berusaha bersikap ramah pada setiap karyawan yang dia temui, namun entah mengapa hanya ada tatapan sinis yang dia dapati. Meski begitu, Vida tidak ingin ambil pusing, dia pikir sikap seorang pemimpin pasti menular pada karyawannya, mengingat betapa dingin dan sombongnya Davin jika berada di tempat umum.Tangannya bergerak lembut memasukan butiran kopi hitam ke dalam mesin di depannya, lantas melipat tangan di depan dada sembari menunggu. Wajahnya sedikit menoleh kala menyadari ada karyawan laki-laki yang mendekat, mungkin dia juga ingin membuat kopi. Vida sedikit menarik senyum untuk menunjukan keramahan. Dan ternyata laki-laki tersebut tidak sombong, dia membalas senyum Vida, bahkan dia menyapa."Hai, karyawan baru ya?"
Kesempatan bagus tidak datang dua kali, itu yang ada dipikiran Fani. Sangat bodoh, jika tidak memanfaatkan moment tersebut untuk menarik simpati semua orang agar berpihak padanya. Dengan wajah sendu dan tersakiti Fani terus menjelaskan pada semua orang yang bertanya, bahwa benar, Vida memang merebut Davin darinya dengan jalan terlarang. Tak lupa derai air mata buaya yang mengalir di pipinya guna mendukung aktingnya yang teramat teraniaya.Tak sedikit yang memberi dukungan pada Fani, dan mendoakan yang terburuk bagi Vida yang tak tahu apa-apa.Lama kelamaan status Vida sebagai istri Davin akhirnya diketahui oleh para karyawan perusahaan WJ, namun image Vida sebagai perempuan jahat perebut kekasih orang sudah melekat pada benak setiap orang. Jadi hanya segelintir orang yang bersikap ramah padanya, itu pun terlihat terpaksa, karena bagaimanapun dia adalah istri direktur utama, tentu saja tidak ada yang berani macam-macam dengannya.Sementara Fani, terus berusaha mendekati Davin dengan kem
Matahari sudah condong ke barat kala Vida kembali ke rumah sakit. Hari yang sangat melelahkan, tapi juga dengan cepat terselesaikan meski dibumbui dengan kekerasan fisik. Paras cantik Vida menunjukan kelegaan saat sinar lampu menerpa wajah ayunya yang tak menunjukan senyuman.Dia berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan ekspresi datar, namun masih memperlihatkan keanggunan. Diikuti Mee Noi dan Pam di belakangnya yang berjalan tanpa berucap. Senyum baru tercipta kala Nia mengatakan jika Davin sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, dan sekarang dia sudah sadar.Vida sangat tidak sabar untuk menemui suaminya, detak jantung yang tadinya tenang, tiba-tiba saja menunjukan lonjakan, mungkin karena rasa senang yang meluap dari dasar hati. Vida segera masuk ke ruang rawat inap suaminya, dan menemukan laki-laki tersebut setengah berbaring dengan bantal yang tinggi, saat wajah tampan itu tersenyum lemah kepadanya.Sungguh tak ingin menangis, tapi tetap saja air mata bahagia itu bertumpuk mem
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, ha? Sedari tadi kamu hanya membuang-buang waktuku, membuatku semakin muak melihatmu. Seharusnya yang mati hari ini adalah kamu, bukan Davin!" Seru Fani sembari mencengkeram kerah pakaian Vida.Vida kembali menyeringai sengit mengejek Pam dengan bertanya santai. "Jadi benar-benar kamu pelakunya?""Memangnya kalau iya kenapa, ha? Apa yang bisa kamu lakukan? Lagipula orang yang ku suruh untuk menembak mu juga sudah mati, dia tidak akan bisa bersaksi bahwa aku memang yang merencanakan pembunuhan ini," timpal Fani dengan geram dan melotot ke arah Vida, tangannya masih mencekeram pakaian Vida.Seketika terdengar suara tawa Vida yang renyah, dilanjutkan perkataan Vida yang santai. "Jadi setelah gagal membunuhku, kamu malah membunuh orang yang kamu suruh, begitu?"Fani sungguh tak suka melihat tawa Vida yang terdengar mengejek. Dia pun tak bisa mengendalikan tangan untuk menampar Vida dengan keras, hingga wajah Vida menoleh ke samping dengan paksa. Tapi kali
Hari masih terang, matahari juga bersinar indah, hanya sedikit mendung yang terlihat bergelombang menghiasi langit biru yang tampak cerah. Seorang wanita cantik berlenggang santai di koridor hotel sembari menarik koper di tangannya.Setelah mengotori tangan dengan melenyapkan seseorang, Fani tidak mungkin akan tetap berdiam diri di tempat. Dia harus kembali ke Indonesia untuk menyelamatkan diri. Terlebih Fani juga tak ingin kepulangannya ke tanah air dengan menyandang gelar narapidana tindak pembunuhan, apabila tertangkap oleh polisi setempat, itu hanya akan mencoreng nama baiknya saja. Bagaimana pun dia harus tetap menjadi peri cantik yang baik hati.Sungguh ironi, setelah melakukan kejahatan yang tak terampuni, wajah cantik itu sama sekali tidak menunjukan ketakutan atau tertekan layaknya orang yang baru saja menghilangkan nyawa seseorang. Dia masih terlihat santai kala berjalan keluar dari dalam hotel dan menunggu taksi pesanannya tiba.Bahkan dia sempat tersenyum kala mengingat pe
Koridor rumah sakit masih terlihat senyap di depan ruang emergency. Empat orang yang masih menunggu terdiam menikmati aroma disinfektan yang terasa tebal menyentuh indera penciuman. Tak satupun yang membuka mulut untuk berucap, menciptakan keheningan yang penuh kecemasan.Pipi Vida tak lagi basah, meski manik hitam itu masih berkaca-kaca memandang udara kosong yang diliputi kehampaan. Ingatannya merujuk pada ucapan Davin sebelum dia ambruk setelah berusaha menyelamatkannya.'Sudah aku bilang, aku akan menjadi perisaimu.' Kata tulus itu terngiang dan terasa dalam menyentuh hati, hingga tanpa sadar bulir kristal kembali mengalir dengan pelan membasahi pipi Vida tanpa suara.Selama ini Vida masih menganggap Davin laki-laki arogan yang penuh rayuan, dia tidak pernah berpikir jika dia benar-benar akan membuktikan ucapannya untuk menjadi perisai. Tanpa sadar Vida menyentuh perutnya dan membatin. 'Bagaimana ibu bisa meragukan ayahmu?'Sesaat kemudian seorang perawat tiba memecah keheningan. "
Dor!Suara tembakan melengking jauh menghentikan waktu yang berputar. Vida pun sudah jatuh dalam pelukan Davin saat mendengar suara tembakan yang memekakkan telinga. Dia terdiam cukup lama dalam keheningan dan hangatnya dekapan sang suami, belum mengerti apa yang sedang terjadi, sampai dia mendongak dan mendapati senyuman manis dari seorang Davin."Aku sudah mengatakan, aku akan menjadi perisaimu."Bruk!Davin jatuh berdebum di parkiran, bersamaan dengan mengalirnya cairan berwarna merah dan menebar aroma amis khas darah pada jajaran paving blok. Menghadirkan jeritan panjang Vida yang melaung di udara, kala sadar tembakan telah mengenai punggung suaminya.***Brankar yang didorong tergesa-gesa mengiringi derai tangis Vida yang berjalan setengah berlari sembari terus menggenggam tangan Davin yang hampir kehilangan kesadaran akibat banyak mengeluarkan darah."Tolong, tunggu disini. Kami akan segera melakukan upaya penyelamatan." Seorang perawat menghentikan Vida sesampainya di depan pint
Lenguhan malas terdengar di pagi hari saat Vida masih enggan membuka mata. Tapi ketika ingatannya menunjukan dimana dia berada, dia pun mau tidak mau membuka mata dengan segera. Terlihat mata kelam yang berkilat indah menyambut, begitu jernih layaknya embun yang menetes di dedaunan. Vida yakin suaminya sudah bangun sejak tadi, karena tak sedikitpun dia menangkap kemalasan pada binar wajah yang tersenyum.Tangan Vida bergerak malas menyentuh pipi Davin dan berucap. "Sudah lama bangun?""Uhum ...." Suara yang tercipta dari bibir yang terkatup itu terdengar sangat seksi."Kamu sudah lebih baik?" Kali ini pertanyaan Vida membuat Davin tak bisa menyembunyikan lengkungan senyum dari bibirnya.Namun, Davin segera kembali mengeluarkan suara samar untuk menjawab pertanyaan Vida. "Uhum ....""Baguslah kalau begitu." Hanya tiga kata bernada datar yang keluar dari mulut Vida dan terdengar acuh tak acuh, saat dia kembali menarik tangan dari pipi Davin. Dan itu lebih baik bagi Davin, dari pada Vida
Sementara Davin terlihat memiringkan tubuhnya membelakangi Vida. Dan mendadak bibirnya melengkung indah, menunjukan senyum penuh arti saat matanya terbuka lebar.Sejak awal dia memang tidak kehilangan kesadaran, dia memang sengaja berakting untuk melancarkan rencananya, juga demi memicu kemarahan Vida setelah tahu dia sedang dijebak. Sebelum Davin keluar dari restoran, dia sempat bertemu dengan ibu mertuanya."Davin, kamu mau kemana?" Nia yang baru saja ingin mengambil list dari pelanggan dari atas meja mulai bertanya kala melihat Davin lewat.Segera Davin mengerutkan alis dan membatin, 'bukankah ibu yang menyuruhku mengantar pesanan ini? Bagaimana dia tidak tahu aku akan pergi kemana?'"Oh, mau mengantar pesanan ya? Ya sudah, hati-hati di jalan," ucap Nia santai setelah melihat box makanan ukuran sedang di tangan Davin, kemudian dia pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban Davin, setelah mengambil list tersebut.Davin masih berpikir positif, sampai dia bertemu dengan Vida di meja kas
Dengan susah payah Fani membawa Davin ke ranjangnya. Sedikit kesal, dia sudah sering menggunakan obat perangsang tapi tidak seperti ini reaksinya, seharusnya Davin menyerangnya dengan bertubi-tubi, bukannya malah memejamkan mata seperti ini.Fani melihat Davin menggeliat, sembari menggumamkan sesuatu. "Vida ...."Membuat Fani semakin kesal mendengar nama itu, tapi tak lama kemudian bibirnya kembali melengkung, lantas merangkak di tempat tidur dan menjatuhkan diri di atas tubuh Davin yang terkulai di atas kasur. Tak lupa dia mengecup pipi Davin dan berbisik lembut. "Kamu boleh berfantasi dengan istrimu. Tapi malam ini kamu adalah milikku, Davin. Aku akan memuaskan mu."Perlahan Fani kembali menegakkan tubuhnya untuk duduk, jari-jemarinya mulai bergerak lembut membuka setiap kancing kemeja yang dikenakan Davin, kadang dia juga mengelus lembut otot liat yang begitu padat pada dada bidang yang berkulit putih.Fani masih mendengar Davin yang bergumam samar menyebut nama Vida, tapi dia sungg
"Vida, sejak kapan kamu berdiri di situ?" sedikit gugup tapi Pam menutupinya dengan senyuman.Tatapan Vida belum beralih, dan itu terlihat begitu tajam dan dingin, sampai suara samar nan menusuk terdengar dari celah kedua bibir tipis yang tampak bergerak samar. "Kemana kamu menyuruh kak Davin pergi?"Pam terkesiap mendengar pertanyaan Vida, tapi dia masih berusaha menguasai diri dan berlagak tidak mengerti dengan terus tersenyum hangat. "Aku? Kenapa aku menyuruhnya pergi? Berbicara dengannya saja aku enggan. Sudah, ayo kita masuk."Pam segera merangkul Vida dengan santai, tapi langsung mendapat tepisan kasar dari Vida. Kini Pam mulai mendapati kemarahan di wajah cantik yang semakin kentara."Vida ...." Pam menunjukan raut wajah sayu dan sedih melihat kemarahan Vida, bukan dibuat-buat, dia memang sedih melihat Vida seperti itu kepadanya."Aku tanya sekali lagi. Kamu menyuruh kak Davin kemana?" Suara pelan dan dingin Vida kembali membekukan udara yang Pam hirup. Membuatnya sedikit menah