Aara keluar dari ruang rawat ibunya bersamaan dengan dokter Felix di belakangnya.“Aara tunggu!” tahannya.Membuat Aara yang sebenarnya hendak pergi pun lantas menghentikan langkahnya.“Iya dokter?” tanyanya.“Ada yang ingin aku sampaikan, bisakah kita bicara di ruanganku?” tanyanya.“Baiklah dok.”Mereka pun berjalan bersamaan, hingga sampai di depan ruangan Felix.“Mari, masuklah.”Aara mengangguk, dia masuk. Kemudian duduk di depan meja kerja dokter Felix.Tampak dokter Felix juga yang duduk di tempatnya seraya melepas jas dokter yang tadi dia pakai.“Apa yang ingin Anda sampaikan ini berhubungan dengan ibu saya, dok?” tanyanya.Felix menoleh. “Benar,” jawabnya.“Apa ada masalah? Mungkinkah ada sesuatu yang serius?”“Ah tidak, justru sebaliknya. Seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, jika dalam dua hari kondisi ibumu membaik. Maka beliau sudah boleh pulang.”“Jadi?”“Syukurnya kondisi Bu Asti membaik dengan begitu cepat. Mungkin karena perasaan beliau yang akhir-akhir ini juga
“Apa menantu tidak datang lagi?” tanya Asti. Yang seketika membuat Aara kembali gugup.“Tidak Bu, sebenarnya dia ada meeting yang sangat penting hari ini. Jadi dia tidak bisa datang dan mengantar kita. Karena itu –““Aku di sini.”Deg!Mendengar suara yang amat tidak asing itu, Aara langsung menoleh dengan cepat ke arah pintu. Pupil matanya tampak melebar, karena tidak percaya dengan siapa yang dilihatnya saat ini.“Za-zayden,” gumamnya pelan.Zayden tersenyum, dia lalu melangkah masuk ke dalam dan menghampiri mereka.Zayden menatap Aara, yang saat ini masih melihatnya dengan tatapan tidak percaya.“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanyanya, dan seketika Aara pun tersadar.“Apa kau tidak suka, jika aku datang?”Aara menggeleng. “Ah tidak, bukan seperti itu. Ha-hanya saja, bu-bukankah kau bilang hari ini kau ada meeting? Kenapa sekarang tiba-tba datang?” tanyanya dengan senyum yang dia tunjukkan secara paksa.‘Mampus, jika Zayden mengatakan kebalikannya. Ibu pasti akan tahu, jika aku
Dengan masih menunjukkan raut tidak percaya, Aara membawa Zayden masuk ke dalam kamarnya.Terlihat Zayden yang masuk tanpa ragu, dengan diikuti Aara di belakangnya.Zayden mengedarkan pandangannya, melihat keadaan kamar Aara bahkan sampai ke setiap sudutnya.Glek!Beberapa kali Aara menelan salivanya, entah kenapa dia seperti mengikuti sebuah kontes dengan Zayden sebagai jurinya.‘Lagi pula kenapa sih dia bilang kau ikut menginap, memangnya dia akan betah tinggal di rumah seperti ini?’ batinnya.“Sangat kecil,” ujar Zayden.“Be-benarkan, kamar saya bahkan tidak lebih besar dari kamar mandi di rumah Anda. Jadi, sepertinya Anda tidak akan betah.”“Sepertinya memang benar.”“Iya, kan. Jadi, bagaimana jika Anda kembali saja dan tolong biarkan saya saja yang menginap.”Deg!Aara terkejut, karena Zayden tiba-tiba berbalik dan menatapnya dengan jarak yang begitu dekat.Dia menyipitkan matanya, dimana hal itu sukses membuat Aara gugup.“Kau mengusirku?”“Ha-ah? Te-tentu saja itu tidak benar,
Aara saat ini berjalan di belakang Zayden untuk menuju kamar mereka.Dari sana, dia bisa memerhatikan Zayden yang dari tadi hanya terus diam seraya wajahnya yang terus melihat ke bawah.“Anda akan menabrak sesuatu jika terus melihat ke bawah,” ucapnya.Dan seketika membuat Zayden pun tersadar. Tanpa menoleh pada Aara, dia pun mengangkat wajahnya itu lantas meneruskan lagi langkah kakinya hingga mereka tiba di depan kamar Aara.Zayden membukanya, dan masuk begitu saja dengan disusul oleh Aara.Dia terdiam, karena melihat kasur Aara yang begitu kecil dan sepertinya hanya cukup untuk satu orang.“Saya akan tidur di lantai. Jadi Anda bisa tidur di atas,” ucap Aara yang menyadari ekspresi Zayden saat ini.“Lantai rumahmu kotor, karena belum dibersihkan dalam waktu yang lama. Jadi naik saja!” jawabnya.“Tapi ranjangnya kecil, itu hanya muat untuk satu orang. Anda naik saja, lagi pula saya sudah terbiasa.”Zayden terdiam, namun tatapannya itu terlihat mengarah tajam pada Aara. Dimana tatapan
Zayden keluar dari dalam kamarnya, baru saja dia menerima pesan jika Sam sudah berada di luar rumahnya saat ini.Dia pun berjalan ke sana, dan benar saja. Sam tampak sudah berdiri di dekat mobilnya.Dia langsung membungkuk, ketika melihat Zayden yang datang menghampirinya.“Tuan,” sapanya.Dia mengangkat kembali tubuhnya itu, lalu melihat pada Zayden. Tanpa sadar dia memperhatikan pakaian yang Zayden kenakan saat ini.‘Tuan memakai baju siapa? Apa itu milik Hendra?’ batinnya.“Benar, ini milik Hendra. Apakah aneh?”Sam kaget, ketika Zayden menjawab apa yang baru saja isi hatinya katakan. Tuannya ini benar-benar, dia bahkan tahu apa yang tidak dia katakan.“Tidak Tuan, Anda selalu cocok memakai apa pun. Karena tubuh Anda sempurna,” jawabnya memuji.Karena Zayden tampak hanya diam saja, karena sebenarnya dia sudah bosan dengan semua pujian itu.“Kau membawanya?” tanyanya kemudian.“Iya Tuan.”Sam lalu berjalan ke arah bagasi mobil. Dia membukanya dan mengambil sebuah koper d
Sam kaget, ketika Zion menanyakan keberadaan tuannya saat ini. “Itu ... maafkan saya Tuan Besar, saya tidak berani memberitahukan keberadaan tuan sekarang,” jawabnya.“Sam, apa kau berani melawan tuan besarmu!” ujar Ken yang tidak suka dengan sikap Sam.Sam pun hanya menunduk. “Tidak papa Ken, Sam hanya menuruti perintahnya tuannya. Hal itu justru membuatku tenang, karena Sam orang yang begitu setia. Lanjutkan pekerjaanmu.”Sam pun membungkuk.Zion menatap Sam sebentar, dia lalu berbalik untuk kembali ke dalam ruangannya.Walaupun begitu, tetap saja dia penasaran di mana keberadaan putranya saat ini.“Apa saya perlu mencari keberadaan tuan muda saat ini?” tanya Ken.“Tidak usah, biarkan saja,” jawabnya.Ken mengangguk.Zion langsung terdiam, kakinya itu terus melangkah dengan lebar. Tapi kepalanya itu fokus memikirkan sesuatu.‘Entah kenapa, aku merasa Zayden sekarang tengah menyembunyikan sesuatu,’ batinnya.***Sementara itu di rumah Aara. Zayden tengah duduk di atas ran
“Tuan dan nyonya? Jika tuan mereka adalah Zayden. Maka, siapa yang mereka maksud sebagai nyonya?” gumamnya.Merasa penasaran, Alya mengurungkan niatnya untuk keluar dari sana dan justru melangkah berjalan mendekati dia pelayan itu.“Apa yang sedang kalian bicarakan?”Kedua pelayan itu terlihat terkejut, kala melihat Alya yang menghampiri mereka dan bertanya.“Nyonya Besar,” sapa mereka seraya membungkuk.“Tadi kalian membicarakan Zayden, kan?”“Maaf Nyonya Besar, itu benar. Tapi kami bersumpah kami tidak menjelek-jelekkan tuan.”Alya menatap intens pada dua pelayan itu hingga membuat mereka merasa gugup.“Tadi aku dengar kalian menyebut tuan dan nyonya. Aku tahu jika tuan yang kalian maksud adalah Zayden. Tapi, siapa nyonya yang kalian maksud. Karena setahuku putraku belum menikah.”Kedua pelayan di sana tampak takut sekaligus terkejut. Mereka tidak menyangka, jika Alya yang selalu orang tua dari tuan mereka tidak mengetahui pernikahan putranya.Tampak mereka yang saling men
“Bagaimana mama bisa tahu?”“Maafkan saya Tuan, saya terpaksa ....”Lucas tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya, karena dia sangat merasa bersalah pada tuannya itu.“Apa mama masih di sana sekarang?”“Beliau sudah pulang, Tuan. Tapi ekspresi wajah beliau terlihat sangat kecewa.”Terdengar helaan nafas yang begitu berat keluar dari mulut Zayden. Dia memegang keningnya. Dia tidak tahu, jika semuanya akan terjadi sampai seperti ini.Bagaimana ini, mamanya pasti sangat kecewa padanya.“Tuan, apa Anda akan pulang?”Bukannya menjawab, Zayden justru memutuskan panggilannya begitu saja.Terlihat jelas, jika saat ini dia sangat frtustrasi.“Tidak ada cara lain, aku harus pergi menemui mama.”Zayden mengambil jaket dan juga kunci mobilnya yang memang Sam sediakan sebelumnya.Dia lalu bergegas pergi dari sana, melewati Aara yang melihat kepergian Zayden dengan bingung.“Tuan, Anda mau ke mana?”Zayden tidak berhenti, dia terus berjalan. Sepertinya karena perasaannya yang kac