Setelah kepergian David, Zayden yang masih berdiri di sana tampak mengarahkan pandangannya itu pada Aara.‘Tidak, semua ini bukanlah salah paham. Karena aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Dia, benar-benar wanita kotor yang dengan tidak tahu malunya menjadi simpanan pria yang sudah beristri,' batinnya.Dengan ekspresi penuh kebenciannya, Zayden melangkah hendak kembali ke ranjang tempat tidurnya.Menurutnya, karena Aara sudah diperiksa. Dia pasti baik-baik saja, dan tidak akan terjadi apa pun padanya.“Ahh.”Teg!Namun, langkah Zayden tampak terhenti. Ketika dia mendengar suara rintihan yang kembali Aara perdengarkan.Dia pun menoleh, melihat Aara yang kembali memegangi perutnya. Apa ini karena dia belum meminum obat? Tapi David sudah menyuntiknya kan tadi, seharusnya dia baik-baik saja. Atau obatnya belum bekerja? Batinnya.Seraya menggigit bibir bawahnya, Zayden pun berbalik dan melangkah menghampiri Aara.Alis Zayden kembali mengerut, karena melihat Aara yang masih terlihat s
Pagi telah datang menghampiri bumi setelah dihiasi oleh gelapnya malam dalam waktu yang cukup lama. Saat ini waktu sudah menunjukkan pukul 7.30 pagi. terlihat Aara yang menggerak-gerakkan tangannya, pertanda bahwa sebentar lagi dia akan bangun.Kening Aara mengerut, ketika dia merasakan sesuatu yang begitu keras pada tangannya saat ini.‘Apa ini? Apa mungkin aku kesiangan dan Zayden memindahkanku keluar?’ batinnya dengan mata yang masih tertutup rapat.Mata Aara perlahan mulai terbuka, tapi pandangannya itu masih terlihat begitu samar.‘Apa itu, apa itu dada?’ batinnya lagi.“Apa kau masih tidak mau bangun?”Deg!Suara dingin dari seseorang yang amat dikenalnya itu sontak membuat Aara langsung membuka mata sepenuhnya.Dia kaget, setelah menyadari apa yang sudah terjadi sebenarnya padanya.Dia melihat sekelilingnya, perasaan terkejutnya itu bertambah kala dia juga menyadari di mana saat ini dia berada.“Tu-tuan Zayden,” ucapnya terbata.Zayden mendudukkan badannya, seraya tangannya itu
Aara berjalan kembali menuju kamarnya seraya menjunjung obat yang baru saja Lucas berikan padanya.Dalam setiap langkahnya, dia terus memikirkan apa yang sebenarnya Zayden inginkan.Kenapa dia selalu bertindak sesuka hatinya, di mana dari setiap tindakannya ada saja yang membuatnya tidak mengerti.Aara memberhentikan langkahnya itu tepat di depan kamarnya. Dia lalu masuk ke dalam.Menaruh bungkusan di tangannya itu pada meja di dekat sofa yang biasa dia gunakan untuk tidur.Aara terdiam, seketika ingatannya itu mengarah pada ibunya.Hari ini, adalah jadwal operasi ibunya. Dia hanya berharap, jika semuanya akan lancar, tidak ada sesuatu hal pun yang akan terjadi pada ibunya.Air mata Aara menetes, membuktikan rasa khawatirnya yang luar biasa. Bagaimana tidak, karena sebagai seorang putri satu-satunya dia benar-benar tidak bisa bersama dengan ibunya di saat dia membutuhkan dirinya untuk berada di sampingnya.“Maafkan Aara Bu,” ucapnya.***Di rumah sakit, dokter Felix saat ini tengah me
Aara yang saat ini berada di dalam kamarnya itu merasa gusar, mengingat hari ini adalah hari operasi ibunya. Dia benar-benar takut, dan merasa tidak tenang. Hatinya terus bertanya-tanya, apakah operasi itu berjalan lancar, apakah keadaan ibunya baik-baik saja sekarang.Kedua hal itu terus berputar-putar di kepalanya dan mengganggunya.Andai saja ponselnya masih ada sekarang, dia yakin dokter Felix pasti ... tunggu!Aara tiba-tiba terdiam, memikirkan hal yang baru saja diingatnya.“Apakah mungkin, dokter Felix memang sudah menghubungiku. Itu artinya, dia sudah memberitahukannya pada Zayden. Karena jika itu benar, otomatis Zaydenlah yang akan mengangkat panggilannya.”Tok tok!Saat Aara tengah menerka-nerka apa yang kemungkinan terjadi, terdengar suara ketukan dari luar pintu kamarnya itu.Dia pun menoleh, sebenarnya Aara malas, karena saat ini dia ingin sendiri. Tapi, apa boleh buat. Karena dia tahu, itu pasti pelayan di sini atau mungkin kepala pelayan Lucas.“Masuklah!” sahutnya.Seke
“Hmm, i-itu ... mu-mungkinkah, dokter Felix menghubungi saya hari ini?”Ucapan Aara itu seketika membuat Zayden terdiam, mulutnya itu tidak terbuka untuk menjawab pertanyaan Aara.Hanya saja, matanya itu tiba-tiba menatapnya dengan sangat lekat, bahkan sangat lekat hingga membuat dada Aara berdebar dengan begitu keras.‘Kenapa? Kenapa dia tidak menjawabku? Apakah, mungkin dia salah paham?’ batinnya.“Tuan?”‘Aku sudah menduganya, sejak perhatian aneh yang tiba-tiba dia tunjukkan bahkan tanpa mendapat perintah dariku. Tapi ternyata benar, sikap itu karena dia membutuhkan sesuatu?’Zayden kembali menatap Aara lekat, apa yang dia tanyakan itu seketika membuat Zayden kembali mengingat mengenai apa yang Felix katakan padanya tadi siang, juga laporan Sam mengenai hal itu.5 jam laluZayden yang berada di ruangannya itu, tampak menoleh pada pintu yang baru saja terbuka dan memperlihatkan Sam yang masuk dan berdiri di depannya.“Tuan,” sapanya seraya membungkuk.“Kau sudah mendapatk
Sementara Aara, dia yang mendengar pembicaraan Zayden tadi itu merasa penasaran, sebenarnya hendak ke mana Zayden pergi. Kenapa terdengar begitu rahasia? Apakah dia hendak pergi ke suatu tempat yang aneh? Sepertinya ini juga bukan sebuah pekerjaan, tapi dari ucapannya tetap terdengar begitu penting. Jadi, ke mana sebenarnya dia hendak pergi? Pikirnya. Aara menggigit kuku ibu jarinya, kepalanya terus memikirkan ke mana sebenarnya Zayden hendak pergi. Hingga tanpa diduga, pintu di depannya itu terbuka dan membuat Aara yang tadi tengah melamun itu terkejut. Dia menoleh, matanya tampak melebar ketika mendapati jika Zaydenlah yang membuka pintunya. “Kau,” pekiknya dengan alis yang mengerut. Melihat itu, Aara pun gugup. Dia berpikir, apakah Zayden akan curiga padanya. Apakah dia akan menganggapnya sudah menguping pembicaraannya tadi? “Sedang apa kau di sini?” Namun, mendengar pertanyaan Zayden itu. Sepertinya dia tidak curiga? “Aku tanya, sedang apa kau di sini dan bukannya masuk?!
Dokter Felix tampak duduk di samping Asti yang masih terbaring di hospital bad dengan mata yang tertutup.Sekarang sudah hampir 24 jam berlalu, dia yakin obat bius itu akan segera hilang dan bu Asti akan segera sadar.Dan seperti yang dipikirkannya, tak lama mata bu Asti tampak bergerak-gerak. Dan secara perlahan mulai terbuka.Dia melihat samar pada langit-langit di atasnya yang berwarna putih. Namun, secara perlahan pandangan samarnya itu mulai menjelas. Dia bahkan bisa mendengar suara seseorang yang memanggil namanya.“Bu Asti.”Asti pun menoleh, dia masih terlihat begitu lemah bahkan sesekali terdengar rintihan yang keluar dari mulutnya.“Apa Anda merasakan sakit? Apa dada Anda sakit?”“Dokter Felix?” ucapnya lemah.“Iya Bu, ini saya. Jika Anda merasakan sakit, maka beri tahu saya?”Bu Asti menggeleng. “Di .. mana A-aara?”Mendengar pertanyaan itu, seketika Felix pun terdiam. Kedua tangannya yang berada di atas pahanya itu tampak mengepal, karena sebenarnya dia tidak tah
“Aku pergi menemui ibumu.” “Apa?” Aara benar-benar terkejut, pupil matanya bahkan sampai melebar. Apa yang baru saja didengarnya? Zayden, dia pergi menemui ibunya?Tampak Zayden yang kemudian berdiri, dengan tatapannya yang terus fokus menatap Aara. Dia melangkah, hingga kini berada tepat di depan Aara.Jarak mereka begitu dekat, hingga rasanya Aara bisa merasakan panas nafas Zayden yang mengenai keningnya.“Di rumah sakit,” lanjutnya.Seketika, Aara pun mendongak. Menatap Zayden lagi-lagi dengan ekspresi terkejutnya.“Kenapa, terkejut? Apa karena aku tiba-tiba mengetahuinya?”‘Aku tidak terkejut, karena kau adalah seorang Zayden. Aku yakin, kau pasti sudah mencari tahu semuanya tentang diriku bahkan pada titik terkecil. Tapi, aku justru terkejut. Karena entah kenapa kau malah terlihat seperti baru mengetahui hal ini. Kau bahkan sampai datang ke sana,' batinnya.“Kenapa? Kenapa kau tidak memberitahukan hal ini padaku?”Aara mengernyit. ‘Jadi, sungguh dia benar-benar tidak tahu?’ bati